PBM-31

sebelum>>| awal>>| lanjut>>

Laman: 1 2 3 4

Telah Terbit on 17 Agustus 2010 at 00:01  Comments (55)  

The URI to TrackBack this entry is: https://pelangisingosari.wordpress.com/pbm-31/trackback/

RSS feed for comments on this post.

55 KomentarTinggalkan komentar

  1. Mardika…..Mardika…..Mardika…..!

    • ah, ki gembleh urikan…

      • merdeka
        sekali merdeka tetap merdeka

        • iya, ki… sebab kalau tiga kali, bento…

        • Covernye : hepi endhing…..!

    • Pilihan-1 : Merdeka
      Pilihan-2 : Merdeka
      Pilihan-3 : Merdeka
      Pilihan=4 : Merdeka

      Sak kersa Ki Ajar pak Satpam kemawon pundi ingkang badhe dipun pilih.

      Reff :
      di sini beta ngogrok-ogrok rontal
      dibuai dengan cantholan rontal
      tempat nggodain mentrik di hari tua
      sampai Ki Menggung mencak2 ikut keroyokan.

  2. beta unduh ye punya rontal
    MERDEKA
    KAMSIA, SEMUANYA…KAMSIAAAAAAA

    • Eeeeeiiit, ati-ati kalo pegang-pegangan,
      lihat tuh, di depan gandhok Ki Panembahan ame Ki Senopati ngawasin.

  3. menimbang: bahwa dalam rangka memberikan waktu beristirahat bagi ki ismoyo dan bebahu padepokan, perlu dilakukan langkah-langkah strategis akomodatif

    mengingat: terdapat 4 (empat) alternatif solusi, sebagaimana yang disampaikan oleh ki arema dan/ atau ki pak satpam

    ——————-MEMUTUSKAN———————–
    menetapkan: Pertimbangan Saya Tentang Cara dan Masa Edar Kitab.

    Bab 1
    Ketentuan Umum

    Dalam Pertimbangan ini yang dimaksud dengan:
    a. saya adalah saya sendiri.
    b. Bebahu Padepokan adalah orang-orang yang bertugas untuk mengatur, mengelola dan memelihara padepokan.
    c. kitab adalah hlhlp.
    d. cantrik dan mentrik adalah penyadong kitab.

    Bab 2
    Cara dan Waktu Edar

    Alternatif Pertama dapat dijadikan kandidat terkuat agar para bebahu padepokan dapat beristirahat dan tinggal copas saja dari padepokan tetangga, tentunya atas seizin bebahu dari padepokan yang bersangkutan.

    yang jadi masalah adalah, bagaimana bisa bebahu dari padepokan sebelah bersangkutan? tersangkut di manakah beliau-beliau?

    Bab 3
    Penutup

    Pertimbangan ini agar dapat direalisasikan dan menjadi ketetapan yang berlaku mulai pada waktu yang sesingkat-singkatnya.

    Ditulis di sini
    Pada tanggal 17 Agustus 2010

    Cantrik
    ttd,
    Banuaji

    salinan sesuai aslinya,
    kepala biro telik sandi
    u.b.
    kepala bagian pengawal padepokan
    ttd,
    tumenggung kartojudo
    nip. pl3

    tembusan:
    kepala biro abdi dalem

    • tanda tangan dulu..srek..esrek..esrek..pret !

      • Ki KartoJ,

        Ujung tanda tangan kok bunyinya esrek…. pret

        Ada yang sobek, atau …….. ????

        MERDIKO Ki

        SUGENG MANGAYUBAGYA LAN MAHARGYA KAMARDIKAN INGKANG KAPING-65 NUSWANTORO INDONESIA

        • ..O..itu tanda tangan penutup…

          Ken padmi sudah ada yang ngepek…hikss

  4. Nuwun

    Sugêng énjang. Sugêng pêpanggihan pårå kadang sâdåyå. Atur pambagyå raharjå dumatêng pårå kadang sutrésnå padépokan pêlangisingosari, ingkang dahat kinurmatan:

    Cantrik Bayuaji marak ing paséban, ngêndit rontal:
    DONGENG ARKEOLOGI & ANTROPOLOGI © 2010. [Rontal PBM 31]

    Dongèng ing samangké kasêrat ing dintên Sêlåså (Anggårå) Paing; 07 Påså 1943 – Dal. 07 Ramadhan 1431H; 17 Agustus 2010M. Wuku Bålå, Ingkêl Wong. Bhådråwådåmåså, mångså Karo 1932Ç.

    DONGENG SANG SÅKÅ GULA-KELÅPÅ, SANG MERAH PUTIH BENDERAKU

    Berkibarlah benderaku, lambang suci gagah perwira, di seluruh pantai Indonesia, kau tetap pujaan bangsa, siapa berani menurunkan engkau, serentak rakyatmu membela …….Sang Merah-Putih yang perwira, berkibarlah selama-lamanya”.

    Lagu diatas diciptakan oleh Ibu Soed tentang bendera Merah-Putih, bendera Indonesia. Bendera Merah-Putih? Sebenarnya hanya terdiri atas dua potong kain saja yang terdiri dari warna Merah berada diatas dan warna Putih berada dibawah yang kemudian dijahit menjadi satu.

    Namun kedua potong kain inilah yang menjadi lambang kebesaran bangsa Indonesia, ciri khas Indonesia, serta menjadi lambang kesatuan bangsa Indonesia yang terdiri atas banyak suku yang Bhinneka Tunggal Ika.

    Hari ini 17 Agustus 2010, kita Bangsa Indonesia memperingati ke-65 tahun Hari Kemerdekaan Indonesia. 65 tahun sudah secara resmi Bendera Sang Merah Putih berkibar di angkasa Republik Indonesia. Dan hari ini kita umat Muhammad Rasulullah SAW sedang berpuasa.

    Sama seperti 65 tahun yang lalu, pada saat Bung Karno dan Bung Hatta atas nama bangsa Indonesia memproklamasikan kemerdekaan Indonesia, bangsa Indonesia yang Muslim juga sedang berpuasa.

    Hari itu 17 Agustus 1945, Hari Jêmuwah (Sukrå) Umanis,. 08 Påså 1876 – Ehe; 08 Ramadhan 1364 (H); Windu: Kuntårå, Lambang: Langkir; Wuku: Menail, Ingkêl: Taru. Bhådråwådåmåså, mångså Karo 1867Ç

    Tapi tahukah pårå kadang sejarah bendera Merah-Putih itu?

    Berikut ini cantrik Bayuaji mencoba mendongeng tentangnya.

    Sang Merah-Putih selalu berkibar dan disambut dengan sangat syahdu dan penuh perasaan hormat pada setiap hari Nasional maupun hari-hari kemenangan dalam bidang prestasi, serta upacara lainnya. Bendera kebangsaan bukan hanya sebagai lambang ataupun ciri khas bangsa Indonesia, tetapi dari pada itu Sang Merah-Putih telah menjadi bagian dari bagian setiap insan Indonesia. Dia telah mendarah daging, menjadi sumsum yang mengalir selamanya dalam diri rakyat Indonesia.

    Dua potong kain Dwi Warna Merah dan Putih yang kita kenal sekarang sebagai Bendera Kebangsaan Bangsa Indonesia ini telah dikukuhkan sebagai bendera kebangsaan bangsa Indonesia melalui Pasal 35 Undang-Undang Dasar 1945 yang berbunyi Bendera kebangsaan Indonesia adalah Sang Merah-Putih, serta Peraturan Pemerintah No. 40 tahun 1958 tentang Peraturan Bendera Kebangsaan Republik Indonesia.

    Merah yang bermakna berani karena benar dan Putih yang bermakna suci. Pengorbanan yang besar telah ditorehkan rakyat Indonesia untuk Sang Merah-Putih ! Hal ini dapat dibuktikan dalam sejarah kebangsaan sejak 17 Agustus 1945 Sang Merah-Putih berkibar diseluruh tanah air dan tanggal 29 September 1950 berkibar di markas Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB).

    Bila kita melihat deretan bendera yang dikibarkan dari berpuluh-puluh bangsa di atas tiang, maka terlintas di hati kita bahwa masing-masing warna atau gambar yang terdapat di dalamnya mengandung arti, nilai, dan kepribadian sendiri-sendiri, sesuai dengan riwayat bangsa masing-masing. Demikian pula dengan bendera merah putih bagi Bangsa Indonesia.

    Warna merah dan putih mempunyai arti yang sangat dalam, sebab kedua warna tersebut tidak begitu saja dipilih dengan cuma–cuma, melainkan melalui proses sejarah yang begitu panjang dalam perkembangan Bangsa Indonesia.

    Menurut sejarah, Bangsa yang sekarang mendiami daerah yang kita kenal dengan Indonesia, memasuki wilayah Nusantara ketika terjadi perpindahan orang-orang Austronesia sekitar 6000 tahun yang lalu datang ke Indonesia Timur dan Barat melalui tanah Semenanjung dan Philipina. Pada zaman itu manusia memiliki cara penghormatan atau pemujaan terhadap matahari dan bulan.

    Matahari dianggap sebagai lambang warna merah dan bulan sebagai lambang warna putih. Zaman itu disebut juga zaman Aditya Candra. Aditya berarti Matahari dan Candra berarti Bulan.

    Penghormatan dan pemujaan tidak saja di kawasan Nusantara, namun juga di seluruh Kepulauan Austronesia, di Samudra Hindia, dan Pasifik.

    Sekitar 4000 tahun yang lalu terjadi perpindahan kedua, yaitu masuknya orang Indonesia kuno dari Asia Tenggara dan kemudian berbaur dengan pendatang yang terlebih dahulu masuk ke Nusantara. Perpaduan dan pembauran inilah yang kemudian melahirkan turunan yang sekarang kita kenal sebagai Bangsa Indonesia.

    Pada zaman itu ada kepercayaan yang memuliakan zat hidup atau zat kesaktian bagi setiap makhluk hidup yaitu getah-getih.

    Getah-getih yang menjiwai segala apa yang hidup sebagai sumbernya berwarna merah dan putih. Getah tumbuh-tumbuhan berwarna putih dan getih (dalam Bahasa Jawa/Sunda) berarti darah berwarna merah, yaitu zat yang memberikan hidup bagi tumbuh-tumbuhan, manusia, dan hewan. Demikian kepercayaan yang terdapat di Kepulauan Austronesia dan Asia Tenggara.

    Pada permulaan masehi selama dua abad, rakyat di Kepulauan Nusantara mempunyai kepandaian membuat ukiran dan pahatan dari kayu, batu, dan lainnya, yang kemudian ditambah dengan kepandaian mendapat pengaruh dari kebudayaan Dong Song dalam membuat alat-alat dari logam terutama dari perunggu dan besi.

    Salah satu hasil yang terkenal ialah pembuatan genderang besar dari perunggu yang disebut nekara dan tersebar hampir di seluruh Nusantara. Di Pulau Bali genderang ini disebut Nekara Bulan Pejeng yang disimpan dalam pura. Pada nekara tersebut di antaranya terdapat lukisan orang menari dengan hiasan bendera dan umbul-umbul dari bulu burung.

    Demikian juga di Gunung Kidul sebelah selatan Yogyakarta terdapat kuburan berupa waruga dengan lukisan bendera merah putih berkibar di belakang seorang perwira menunggang kerbau, seperti yang terdapat di kaki Gunung Dompu.

    Sejak kapan bangsa-bangsa di dunia mulai memakai bendera sebagai identitas bangsanya?

    Berdasarkan catatan sejarah dapat dikemukakan bahwa awal mula orang menggunakan bendera dimulai dengan memakai lencana atau emblem, kemudian berkembang menjadi tanda untuk kelompok atau satuan dalam bentuk kulit atau kain yang dapat berkibar dan mudah dilihat dari jauh.

    Berdasarkan penelitian akan hasil-hasil benda kuno ada petunjuk bahwa Bangsa Mesir telah menggunakan bendera pada kapal-kapalnya, yaitu sebagai batas dari satu wilayah yang telah dikuasainya dan dicatat dalam daftar. Demikian juga Bangsa Cina di zaman kaisar Chou tahun 1122 sebelum masehi.

    Bendera itu terikat pada tongkat dan bagian puncaknya terdapat ukiran atau totem, di bawah totem inilah diikatkan sepotong kain yang merupakan dekorasi. Bentuk semacam itu didapati pada kebudayaan kuno yang terdapat di sekitar Laut Tengah.

    Bendera bagi raja tampak sangat jelas, sebab pada puncak tiang terdapat sebuah simbol dari kekuasaan dan penguasaan suatu wilayah taklukannya.

    Ukiran totem yang terdapat pada puncak atau tiang mempunyai arti magis yang ada hubungnnya dengan dewa-dewa. Sifat pokok bendera terbawa hingga sekarang ini. Pada abad XIX tentara Napoleon I dan II juga menggunakan bendera dengan memakai lambang garuda di puncak tiang.

    Perlu diingat bahwa tidak semua bendera mempunyai arti dan ada hubungannya dengan religi. Bangsa Punisia dan Yunani menggunakan bendera sangat sederhana yaitu untuk kepentingan perang atau menunjukkan kehadiran raja atau opsir, dan juga pejabat tinggi negara.

    Bendera Yunani umumnya terdiri dari sebuah tiang dengan kayu salib atau lintang yang pada puncaknya terdapat bulatan. Dikenal juga perkataan vaxillum (kain segi empat yang pinggirnya berwarna ungu, merah, atau biru) digantung pada kayu silang di atas tombak atau lembing.

    Ada lagi yang dinamakan labarum yang merupakan kain sutra bersulam benang emas dan biasanya khusus dipakai untuk Raja Bangsa Inggris menggunakan bendera sejak abad VIII.

    Sampai abad pertengahan terdapat bendera yang menarik perhatian yaitu bendera “gunfano” yang dipakai Bangsa Germania, terdiri dari kain bergambar lencana pada ujung tombak, dan dari sinilah lahir bendera Prancis yang bernama “fonfano”.

    Bangsa Viking hampir sama dengan itu, tetapi bergambar naga atau burung, dikibarkan sebagai tanda menang atau kalah dalam suatu pertempuran yang sedang berlangsung. Mengenai lambang-lambang yang menyertai bendera banyak juga corak ragamnya, seperti Bangsa Rumania pernah memakai lambang burung dari logam, dan Jerman kemudian memakai lambang burung garuda, sementara Jerman memakai bendera yang bersulam gambar ular naga.

    Tata cara pengibaran dan pemasangan bendera setengah tiang sebagai tanda berkabung, kibaran bendera putih sebagai tanda menyerah (dalam peperangan) dan sebagai tanda damai rupanya pada saat itu sudah dikenal dan etika ini sampai sekarang masih digunakan oleh beberapa Negara di dunia.

    Pada abad VII di Nusantara ini terdapat beberapa kerajaan. Di Jawa, Sumatra, Kalimantan, dan pulau-pulau lainnya yang pada hakikatnya baru merupakan kerajaan dengan kekuasaan terbatas, satu sama lainnya belum mempunyai kesatuan wilayah.

    Baru pada abad VIII terdapat kerajaan yang wilayahnya meliputi seluruh Nusantara yaitu Kerajaan Sriwijaya yang berlangsung sampai abad XII.

    Salah satu peninggalannya adalah Candi Borobudur, dibangun pada tahun 824 Masehi dan pada salah satu relief pada dindingnya terdapat “pataka di atas lukisan dengan tiga orang pengawal membawa bendera merah putih sedang berkibar”.

    Adanya ukiran pada dinding Candi Borobudur (dibangun pada awal abad ke- 9) menjadi salah-satu bukti awal beliau, di mana pada ukiran tersebut menggambarkan tiga orang hulubalang membawa umbul-umbul berwarna gelap dan terang, di duga melambangkan warna Merah dan Putih.

    Keterangan untuk ukiran itu menyebutnya sebagai Pataka atau Bendera. Catatan-catatan lain sekitar Borobudur juga sering menyebut bunga Tunjung Mabang (Merah) dan Tunjung Maputeh (Putih).

    Ukiran yang sama juga tampak di Candi Mendut, tidak jauh Candi Borobudur, yang kurang lebih bertarikh sama.

    Dari bukti ukiran Candi Borobudur ini, Prof. H. Muhammad Yamin dengan rajin mengumpulkan banyak bukti sejarah lain yang dapat di kaitkan dengan pemujaan terhadap lambang, warna Merah dan Putih di setiap celah budaya Nusantara.

    Di bekas kerajaan Sriwijaya tampak pula berbagai peninggalan dengan unsur-unsur warna Merah dan Putih.
    Antonio Pigafetta, seorang pencatat dalam pelayaran Marcopolo di abad 16, dalam kamus kecilnya yang berisi 426 kata-kata Indonesia, memasukan entri Cain Mera dan Cain Pute, yang di terjemahkan sebagai Al Panno Rosso et Al Panno Bianco. Bila tidak sering melihat kombinasi Merah-Putih sebagai satu kesatuan, mungkinkah Pigafetta memasukkannya sebagai sebuah entri ?

    Pada Candi Prambanan di Jawa Tengah juga terdapat lukisan Hanoman terbakar ekornya yang melambangkan warna merah (api) dan warna putih pada bulu badannya. Hanoman = kera berbulu putih. Hal tersebut sebagai peninggalan sejarah di abad X yang telah mengenal warna merah dan putih.

    Prabu Airlangga, digambarkan sedang mengendarai burung besar, yaitu Burung Garuda yang juga dikenal sebagau Burung Merah Putih. Demikian juga pada tahun 898 sampai 910 Raja Balitung yang berkuasa untuk pertama kalinya menyebut dirinya sebagai gelar Garuda Muka, maka sejak masa itu warna merah putih maupun lambang Garuda telah mendapat tempat di hati Rakyat Indonesia.

    Kerajaan Singosari berdiri pada tahun 1222 sampai 1292 setelah Kerajaan Kediri, mengalami kemunduran. Raja Jayakatwang dari Kediri saat melakukan pemberontakan melawan Kerajaan Singosari di bawah tampuk kekuasaan Raja Kertanegara sudah menggunakan Bendera Merah Putih pada tahun 1292.

    Sejarah itu disebut dalam tulisan bahwa Jawa kuno yang memakai tahun 1216 Caka (1254 Masehi), menceritakan tentang perang antara Jayakatwang melawan R. Wijaya.

    Pada saat itu tentara Singosari sedang dikirim ke Semenanjung Melayu atau Pamelayu. Jayakatwang mengatur siasat mengirimkan tentaranya dengan mengibarkan panji-panji berwarna merah putih dan gamelan kearah selatan Gunung Kawi.

    Kidung Pararaton menerangkan:

    Samangka siraji jayakathong mangkat marep ing Tumapel, sanjata kang saka lor ing Tumapel, wong Deha naghala hala, tunggul kalawan tatabuhan penuh

    Sekarang raja Jaya Kathong berangkat menyerang Tumapel. Tentaranya yang datang dari sebelah utara Tumapel terdiri dari orang orang Daha yang tidak baik, berbendera dan bunyi bunyian penuh,

    Pasukan inilah yang kemudian berhadapan dengan Pasukan Singosari, padahal pasukan Singosari yang terbaik dipusatkan untuk menghadang musuh di sekitar Gunung Penanggungan.

    Kejadian tersebut ditulis dalam suatu piagam yang lebih dikenal dengan nama Piagam Butak.
    Butak adalah nama gunung tempat ditemukannya piagam tersebut terletak di sebelah selatan Kota Mojokerto. Pasukan Singosari dipimpin oleh R. Wijaya dan Ardaraja (anak Jayakatwang dan menantu Kertanegara). R. Wijaya memperoleh hadiah sebidang tanah di Desa Tarik, 12 km sebelah timur Mojokerto.

    Berkibarnya warna merah dan putih sebagai bendera pada tahun 1292 dalam Piagam Butak yang kemudian dikenal dengan Piagam Merah-Putih, namun masih terdapat salinannya.

    Demikian perkembangan selanjutnya pada masa kejayaan Kerajaan Majapahit, menunjukkan bahwa putri Dara Jingga dan Dara Petak yang dibawa oleh tentara Pamelayu juga mangandung unsur warna merah dan putih (jingga=merah, dan perak=putih).
    Tempat raja Hayam Wuruk bersemayam, pada waktu itu keratonnya juga disebut sebagai Keraton Merah-Putih, sebab tembok yang melingkari kerajaan itu terdiri dari batu bata merah dan lantainya diplester warna putih.

    Empu Prapanca pengarang buku Negarakertagama menceritakan tentang digunakannya warna merah-putih pada upacara kebesaran Raja Hayam Wuruk. Kereta pembesar-pembesar yang menghadiri pesta, banyak dihiasi merah-putih, seperti yang dikendarai oleh Putri raja Lasem.

    Nagarakretagama Pupuh LXXXIII: 1.

    An mangka kottaman sri-narapati siniwing tiktawilwaikanatha
    Saksat candreng sarat kastawan ira n-agawe tusta ning sarwwaloka
    Lwir padma ng durjjana lwir kumuda sahana sang sajjanasih teke twas
    Bhrtya mwang kosa len wahana gaja turagadanya himper samudra
    .

    Begitulah keluhuran Sri Baginda ekananta di Wilwatika,
    Terpuji bagaikan bulan di musim gugur, terlalu indah terpandang,
    Berani laksana tunjung merah, suci bagaikan teratai putih,
    Abdi, harta, kereta, gajah, kuda berlimpah-limpah bagai samudera
    .

    Kereta putri Daha digambari buah maja warna merah dengan dasar putih, maka dapat disimpulkan bahwa zaman Majapahit warna merah-putih sudah merupakan warna yang dianggap mulia dan diagungkan.

    Salah satu peninggalan Majapahit adalah cincin warna merah putih yang menurut ceritanya sabagai penghubung antara Majapahit dengan Mataram sebagai kelanjutan.

    Dalam Keraton Solo terdapat panji-panji peninggalan Brawijaya yaitu Raja Majapahit terakhir. Panji-panji tersebut berdasar kain putih dan bertuliskan arab jawa yang digaris atasnya warna merah.

    Hasil penelitian panitia kepujanggaan Yogyakarta berkesimpulan antara lain nama bendera itu adalah Sang Såkå Gulå Kelåpå. dilihat dari warna merah dan putih. Gula warna merah artinya berani, dan kelapa warna putih artinya suci.

    Di Sumatra Barat menurut sebuah tambo yang telah turun temurun hingga sekarang ini masih sering dikibarkan bendera dengan tiga warna, yaitu hitam mewakili golongan penghulu atau penjaga adat, kuning mewakili golongan alim ulama, sedangkan merah mewakili golongan hulu balang. Ketiga warna itu sebenarnya merupakan peninggalan Kerajaan Minang pada abad XIV yaitu Raja Adityawarman.

    Juga di Sulawesi di daerah Bone dan Sopeng dahulu dikenal Woromporang yang berwarna putih disertai dua umbul-umbul di kiri dan kanannya. Bendera tersebut tidak hanya berkibar di daratan, tetapi juga di samudera, di atas tiang armada Bugis yang terkenal.

    Bagi masyarakat Batak terdapat kebudayaan memakai ulos semacam kain yang khusus ditenun dengan motif tersendiri. Nenek moyang orang Batak menganggap ulos sebgai lambang yang akan mendatangkan kesejahteraan jasmani dan rohani serta membawa arti khusus bagi yang menggunakannya.

    Dalam aliran animisme Batak dikenal dengan kepercayaan monotheisme yang bersifat primitive, bahwa kosmos merupakan kesatuan tritunggal, yaitu benua atas dilambangkan dengan warna merah dan benua bawah dilambangkan dengan warna hitam. Warna warna ketiga itu banyak kita jumpai pada barang-barang yang suci atau pada hiasan-hiasan rumah adat.

    Demikian pula pada ulos terdapat warna dasar yang tiga tadi yaitu hitam sebagai warna dasar sedangkan merah dan putihnya sebagai motif atau hiasannya.

    Di beberapa daerah di Nusantara ini terdapat kebiasaan yang hampir sama yaitu kebiasaan memakai selendang sebagai pelengkap pakaian kaum wanita. Ada kalanya pemakaian selendang itu ditentukan pemakaiannya pada setiap ada upacara-upacara, dan sebagian besar dari moti-motifnya berwarna merah dan putih.

    Ketika terjadi perang Diponegoro pada tahun 1825-1830 di tengah-tengah pasukan Diponegoro yang beribu-ribu juga terlihat kibaran bendera merah-putih, demikian juga di lereng-lereng gunung dan desa-desa yang dikuasai Pangeran Diponegoro banyak terlihat kibaran bendera merah-putih.

    Perlawanan rakyat yang di pimpin oleh Pangeran Diponegoro pada abad ke-19 di mulai dengan barisan rakyat yang mengibarkan umbul-umbul Merah-Putih berkibar di mana-mana. Rakyat berkeyakinan bahwa Merah-Putih adalah pelindung mereka dari segala marabahaya.

    Ibarat gelombang samudera yang tak kunjung reda perjuangan Rakyat Indonesia sejak zaman Sriwijaya, Majapahit, putra-putra Indonesia yang dipimpin Sultan Agung dari Mataram, Sultan Ageng Tirtayasa dari Banten, Sultan Hasanudin, Sisingamangaraja, Tuanku Imam Bonjol, Teuku Umar, Pangeran Antasari, Pattimura, Diponegoro dan banyak lagi putra Indonesia yang berjuang untuk mempertahankan kedaulatan bangsa, sekalipun pihak penjajah dan kekuatan asing lainnya berusaha menindasnya, namun semangat kebangsaan tidak terpadamkan.

    Empat warna utama dalam mitologi jawa, yakni Merah sebagai lambang amarah, Putih sebagai lambang Mutmainnah, Kuning sebagai lambang Supiah, dan Hitam sebagai lambang Luwainnah. Dua keraton di Solo, misalnya menggunakan lambang-lambang warna itu sebagai benderanya.

    Keraton Susuhunan Paku Buwono memakai simbol Timur-Selatan yang dilambangkan dengan warna Gulå-Kelåpå atau Merah-Putih.

    Sedangkan Keraton Mangku Negoro memakai symbol Barat-Utara yang dilambangkan dengan warna Hijau-Kuning. Getaran warna Hijau sama dengan warna Hitam lambang Luwainnah.

    Warna Merah dan Putih tidak hanya di pakai sebagai lambang penting oleh kerajaan Mataram. Pada abad ke-16, dua bilah cincin berpermata Merah dan Putih diwariskan oleh Raja Majapahit kepada Ratu Jepara yang bernama Kalinyamat.

    Kapal-kapal perang Ratu Kalinyamat ketika melakukan penyerbuan melawan orang-orang Portugis di perairan Laut Jawa, pada tiang-tiang utama kapal berkibar bendera Merah Putih.

    Di kerajaan Mataram sendiri, umbul-umbul Gulå-Kelåpå yang berwana Merah-Putih terus dimuliakan oleh Sultan Agung serta Raja-Raja yang meneruskannya.

    Pada abad ke-19 itu pula, para pemimpin dan pengikut gerakkan Paderi di Sumatera Barat banyak yang mengenakan sorban berwarna Merah dengan jubah berwarna Putih, untuk menandai gerakan perlawanan kaum Paderi terhadap Belanda.

    Kata tunggul, dwaja atau pataka sangat lazim digunakan dalam kitab jawa kuno atau kitab Ramayana. Gambar pataka yang terdapat pada Candi Borobudur, oleh seorang pelukis berkebangsaan Jerman dilukiskan dengan warna merah putih.

    Pada abad XX perjuangan Bangsa Indonesia makin terarah dan menyadari akan adanya persatuan dan kesatuan perjuangan menentang kekuatan asing, kesadaran berbangsa dan bernegara mulai menyatu dengan timbulnya gerakan kebangsaan Budi Utomo pada 1908 sebagai salah satu tonggak sejarah.

    Kemudian pada tahun 1922 di Yogyakarta berdiri sebuah perguruan nasional Taman Siswa dibawah pimpinan Suwardi Suryaningrat. Perguruan itu telah mengibarkan bendera merah putih dengan latar dasar warna hijau yang tercantum dalam salah satu lagu antara lain: Dari Barat Sampai ke Timur, Pulau-pulau Indonesia, Nama Kamu Sangatlah Mashur Dilingkungi Merah-putih. Itulah makna bendera yang dikibarkan Perguruan Taman Siswa.

    Ketika terjadi perang di Aceh, pejuang-pejuang Aceh telah menggunakan bendera perang berupa umbul-umbul dengan warna merah dan putih, di bagian belakang diaplikasikan gambar pedang, bulan sabit, matahari, dan bintang serta beberapa ayat suci Al Quran.

    Para mahasiswa yang tergabung dalam Perhimpunan Indonesia yang berada di Negeri Belanda pada 1922 juga telah mengibarkan bendera merah-putih yang di tengahnya bergambar kepala kerbau, pada kulit buku yang berjudul Indonesia Merdeka. Buku ini membawa pengaruh bangkitnya semangat kebangsaan untuk mencapai Indonesia Merdeka.

    Demikian seterusnya pada tahun 1927 berdiri Partai Nasional Indonesia dibawah pimpinan Ir. Soekarno yang bertujuan mencapai kemerdekaan bagi Bangsa Indonesia. Partai tersebut mengibarkan bendera merah putih yang di tengahnya bergambar banteng.

    Kongres Pemuda pada tahun 1928 merupakan detik yang sangat bersejarah dengan lahirnya “Soempah Pemoeda”.

    Satu keputusan sejarah yang sangat berani dan tepat, karena kekuatan penjajah pada waktu itu selalu menindas segala kegiatan yang bersifat kebangsaan.

    Sumpah Pemuda tersebut adalah tidak lain merupakan tekad untuk bersatu, karena persatuan Indonesia merupakan pendorong ke arah tercapainya kemerdekaan.

    Semangat persatuan tergambar jelas dalam “Poetoesan Congres Pemoeda-Pemoeda Indonesia” yang berbunyi :

    Pertama : KAMI POETRA DAN POETRI INDONESIA MENGAKOE BERTOEMPAH DARAH YANG SATOE, TANAH AIR INDONESIA

    Kedua : KAMI POETRA DAN POETRI INDONESIA MENGAKOE BERBANGSA YANG SATOE, BANGSA INDONESIA

    Ketiga : KAMI POETRA DAN POETRI INDONESIA MENDJOENDJOENG BAHASA PERSATOEAN, BAHASA INDONESIA

    Pada kongres tersebut untuk pertama kalinya digunakan hiasan merah-putih tanpa gambar atau tulisan, sebagai warna bendera kebangsaan dan untuk pertama kalinya pula diperdengarkan lagu kebangsaan Indonesia Raya oleh penciptanya sendiri WR Supratman.

    Pada saat kongres pemuda berlangsung, suasana merah-putih telah berkibar di dada peserta, yang dibuktikan dengan panitia kongres mengenakan “kokarde” (semacam tanda panitia) dengan warna merah putih yang dipasang di dada kiri. Demikian juga pada anggota padvinder atau pandu yang ikut aktif dalam kongres menggunakan dasi berwarna merah-putih.

    Kegiatan pandu, suatu organisasi kepanduan yang bersifat nasional dan menunjukkan identitas kebangsaan dengan menggunakan dasi dan bendera merah-putih.

    Perlu disadari bahwa Polisi Belanda (PID) termasuk Van der Plass tokohnya sangat ketat memperhatikan gerak-gerik peserta kongres, sehingga panitia sangat berhati-hati serta membatasi diri demi kelangsungan kongres. Suasana merah putih yang dibuat para pandu menyebabkan pemerintah penjajah melarang dilangsungkannya pawai pandu, khawatir pawai bisa berubah menjadi semacam penggalangan kekuatan massa.

    Pengibaran Bendera Merah-Putih dan lagu kebangsaan Indonesia Raya dilarang pada masa pendudukan Jepang, karena ia mengetahui pasti bahwa hal tersebut dapat membangkitkan semangat kebangsaan yang nantinya menuju pada kemerdekaan. Kemudian pada tahun 1944 lagu Indonesia Raya dan Bendera Merah-Putih diizinkan untuk berkibar lagi setelah kedudukan Jepang terdesak. Bahkan pada waktu itu pula dibentuk panitia yang bertugas menyelidiki lagu kebangsaan serta arti dan ukuran bendera merah-putih.

    Detik-detik yang sangat bersejarah adalah lahirnya Negara Kesatuan Republik Indonesia pada 17 Agustus 1945. Setelah pembacaan teks proklamasi, baru dikibarkan bendera Merah-Putih, yang kemudian disahkan pada 18 Agustus 1945. Bendera yang dikibarkan tersebut kemudian ditetapkan dengan nama Sang Saka Merah Putih.

    Kemudian pada 29 September 1950 berkibarlah Sang Merah Putih di depan Gedung Perserikatan Bangsa-Bangsa sebagai pengakuan kedaulatan dan kemerdekaan Bangsa Indonesia oleh badan dunia.

    Bendera Merah-Putih mempunyai persamaan dengan bendera Kerajaan Monako, yaitu sebuah Negara kecil di bagian selatan Prancis, tapi masih ada perbedaannya. Bendera Kerajaan Monako di bagian tengah terdapat lambang kerajaan dan ukurannya dengan perbandingan 2,5 : 3, sedangkan bendera merah putih dengan perbandingan 2 : 3 (lebar 2 meter, panjang 3 meter) sesuai Peraturan Pemerintah No. 40 tahun 1958.

    Kerajaan Monako menggunakan bendera bukan sebagai lambang tertinggi karena merupakan sebuah kerajaan, sedangkan bagi Indonesia bendera merah putih merupakan lambang tertinggi.

    Bendera Indonesia, Merah Putih, sering diartikan “berani” dan “suci”. Apakah ini pemaknaan budaya modern atau budaya Indonesia promodern? Mengapa kini bangsa Indonesia memilih simbol merah dan putih sebagai jati diri? Mengapa merah di atas dan putih di bawah, bukan sebaliknya? Dari mana simbol ini berasal?

    Berbagai pertanyaan itu tak pernah diajukan orang sejak Mohammad Yamin menjelaskannya dalam buku yang tak pernah dicetak ulang. 6000 Tahun Sang Saka Merah Putih, tahun 1958.

    Dijelaskan, warna merah simbol matahari dan warna putih sebagai simbol bulan. Merah putih bermakna “zat hidup”. Hanya tidak dijelaskan makna “zat hidup”. Buku ini ingin membuktikan, Merah Putih sudah menjadi simbol bangsa Indonesia sejak kedatangan mereka di kepulauan Nusantara 6.000 tahun lampau.

    Makna merah-putih tidak cukup ditelusuri dari jejak arkeologi bahwa warna merah, putih, dan hitam dapat dijumpai pada berbagai peninggalan prasejarah, candi, dan rumah adat. Artefak- artefak itu hanya ungkapan pikiran kolektif suku-suku di Indonesia. Maka, arkeologi pikiran kolektif inilah yang harus digali dan masuk otoritas antropologi-budaya atau antropologi-seni.

    Alam pikiran semacam itu masih dapat dijumpai di lingkungan masyarakat adat sampai sekarang.
    Warna merah, putih, hitam, kuning, dan campuran warna- warna itu banyak dijumpai pada ragam hias kain tenun, batik, gerabah, anyaman, dan olesan pada tubuh, yang menunjukkan keterbatasan penggunaan warna- warna pada bangsa Indonesia.

    Kaum orientalis menuduh bangsa ini buta warna di tengah alamnya yang kaya warna. Benarkah bangsa ini buta warna? Atau bangsa ini lebih rohaniah dibandingkan dengan manusia modern yang lebih duniawi dengan pemujaan aneka warna yang seolah tak terbatas?

    Alam rohani dan duniawi. Alam rohani lebih esensi, lebih sederhana, lebih tunggal. Sedangkan alam duniawi lebih eksisten, kompleks, dan plural.

    Bangsa Indonesia pramodern memandang hidup dari arah rohani daripada duniawi. Inilah sebabnya penggunaan simbol warna lebih sederhana ke arah tunggal. Jika disebut buta warna, berarti buta duniawi, tetapi kaya rohani.

    Berbagai perbedaan hanya dilihat esensinya pada perbedaan dasar, yakni laki-laki dan perempuan. Semua hal yang dikenal manusia hanya dapat dikategorikan dalam dualisme-antagonistik, laki-perempuan. Matahari itu lelaki, bulan perempuan. Dan puluhan ribu kategori lain.

    Pemisahan “lelaki” – “perempuan” itu tidak baik karena akan impoten. Potensi atau “zat hidup” baru muncul jika pasangan-pasangan dualistik itu diharmonikan, dikawinkan, ditunggalkan. Itu sebabnya tunggalnya merah dan putih menjadi dwitunggal. Satu tetapi dua, dua tetapi tunggal.

    Dwitunggal merah-putih menjadi potensi, zat hidup.
    Harmoni bukan sintesis. Sintesis merah-putih adalah merah jambu. Bendera Indonesia tetap Merah Putih, dwitunggal.

    Dalam sintesis tidak diakui perbedaan karena yang dua lenyap menjadi satu. Bhinneka Tunggal Ika bukan berarti yang plural menjadi satu entitas. Yang plural tetap plural, hanya ditunggalkan menjadi zat hidup.

    Sebuah kontradiksi, paradoks, yang tidak logis menurut pikiran modern.
    Dalam pikiran modern, Anda harus memilih merah atau putih atau merah jambu. Lelaki atau perempuan atau banci.

    Dalam pikiran pramodern Indonesia, ketiganya diakui adanya, merah, putih, merah jambu. Merah jambu itulah Yang Tunggal, paradoks, Zat Hidup, karena Yang Tunggal itu hakikatnya Paradoks. Jika semua ini berasal dari Yang Tunggal, dan jika semua ini dualistik, Yang Tunggal mengandung kedua-duanya alias paradoks absolut yang tak terpahami manusia.

    Tetapi itulah Zat Hidup yang memungkinkan segalanya ini ada.
    Yang Tunggal itu metafisik, potensi, being. Yang Tunggal itu menjadikan Diri plural (becoming) dalam berbagai pasangan dualistik. Inilah pikiran monistik dan emanasi, berseberangan dengan pikiran agama-agama samawi.

    Harus diingat, merah-putih telah berusia 6.000 tahun, jauh sebelum agama-agama besar memasuki kepulauan ini. Warna merah, putih, dan hitam ada di batu-batu prasejarah, candi, panji perang. Putih adalah simbol langit atau Dunia Atas, merah simbol dunia manusia, dan hitam simbol Bumi atau Dunia Bawah. Warna-warna itu simbol kosmos, warna-warna tiga dunia.

    Alam pikiran ini hanya muncul di masyarakat agraris. Obsesi mereka adalah tumbuhnya tanaman (padi, palawija) untuk keperluan hidup manusia. Tanaman baru tumbuh jika ada harmoni antara langit dan bumi, antara hujan dan tanah. Antara putih dan hitam sehingga muncul merah. Inilah yang menyebabkan masyarakat tani di Indonesia “buta warna”.

    Buta warna semacam itu ada kain-kain tenun, kain batik, perisai Asmat, hiasan rumah adat. Meski dasarnya triwarna putih, merah, hitam, terjemahannya dapat beragam. Putih menjadi kuning. Hitam menjadi biru atau biru tua. Merah menjadi coklat. Itulah warna-warna Indonesia.

    Kehidupan dan kematian. Antropolog Australia, Penelope Graham, dalam penelitiannya di Flores Timur (1991) menemukan makna merah dan putih agak lain. Warna merah dan putih dihubungkan dengan darah.

    Ungkapan mereka, “darah tidak sama”, ada darah putih dan darah merah. Darah putih manusia itu dingin dan darah merah panas. Darah putih itu zat hidup dan darah merah zat mati. Darah putih manusia mendatangkan kehidupan baru, kelahiran. Darah merah mendatangkan kematian.

    Darah putih yang tercurah dari lelaki dan perempuan menimbulkan kehidupan baru, tetapi darah merah yang tercurah dari lelaki dan perempuan berarti kematian.

    Makna ini cenderung mengembalikan putih untuk perempuan dan merah untuk lelaki, karena hanya kaum lelaki yang berperang. Mungkin inilah hubungan antara warna merah dan keberanian. Merah adalah berani (membela kehidupan) dan putih adalah suci karena mengandung “zat hidup”.

    Mengapa merah di atas dan putih di bawah? Mengapa tidak dibalik? Bukankah merah itu alam manusia dan putih Dunia Atas? Merah itu berani (mati) dan putih itu hidup? Merah itu lelaki dan putih perempuan? Merah matahari dan putih bulan?

    Merah panas dan putih dingin? Artinya, langit-putih-perempuan mendukung manusia-merah-lelaki. Asal manusia itu dari langit. Akar manusia di atas.

    Itulah sangkan-paran, asal dan akhir kehidupan. Beringin terbalik waringin sungsang. Isi berasal dari Kosong. Imanen dari yang transenden. Merah berasal dari putih, lelaki berasal dari perempuan.

    Jelas, Merah-Putih dari pemikiran primordial Indonesia. Merah-putih itu “zat hidup”, potensi, daya-daya paradoksal yang menyeimbangkan segala hal: impoten menjadi poten, tak berdaya menjadi penuh daya, tidak subur menjadi subur, kekurangan menjadi kecukupan, sakit menjadi sembuh.

    Merah-putih adalah harapan eselamatan. Dia adalah daya-daya sendiri, positif dan negatif menjadi tunggal.

    Siapakah yang menentukan Merah-Putih sebagai simbol Indonesia? Apakah ia muncul dari bawah sadar kolektif bangsa?

    Muncul secara intuisi dari kedalaman arkeotip bangsa? Kita tidak tahu, karena merah-putih diterima begitu saja sebagai syarat bangsa modern untuk memiliki tanda kebangsaannya.

    Merah-Putih adalah jiwa Indonesia.

    Proklamasi
    Kami bangsa Indonesia, dengan ini menjatakan kemerdekaan Indonesia. Hal-hal jang mengenai pemindahan kekoeasaan dan lain -lain, diselenggarakan dengan tjara seksama, dan dalam tempo jang sesingkat- singkatnja.

    Djakarta, hari 17 boelan 8 tahoen 1945
    Atas nama Bangsa Indonesia

    Soekarno -Hatta

    MERDEKA!!!
    DIRGAHAYU INDONESIAKU

    Rujukan:
    1.Mangkudimedja, R.M., Serat Pararaton. Alih aksara dan alih bahasa Hardjana HP.; 1979. Proyek Penerbitan Buku Sastra Indonesia dan Daerah. Departemen P dan K, Jakarta.

    2. Megandaru W. Kawuryan. Negara Kertagama, Tata Pemerintahan Kraton Majapahit; 2006. Panji Pustaka; Jakarta

    3. Muhammad Yamin.6000 Tahun Sang Merah Putih. Penerbit Siguntang 1954

    4.Padmopuspito, Ki. J. Pararaton; Teks Bahasa Kawi, Terjemahan Bahasa Indonesia, 1966. Taman Siswa, Yogyakarta.

    5. Slamet Muljana Prof. Dr, Nagara Kertagama, Tafsir Sejarah; 2006. LkiS Yogyakarta.

    …………….

    Ya Allah! Tolonglah kami untuk dapat melaksanakan puasa sejak terbit fajar hingga terbenamnya matahari, sebagaimana telah Engkau wajibkan kepada kami. Jauhkanlah kami ya Allah dari sifat lalai dan dosa-dosa. Ajarilah kami ya Allah untuk selalu dapat berdzikir mengingatMu tak putus-putus. Kuatkanlah kami untuk selalu dapat mendirikan shalat malam, dan bertadarus Kitab SuciMu. Dengan TaufiqMu, Wahai Maha Pemberi Petunjuk. Tunjukilah kami jalan yang lurus, yaitu jalan orang-orang yang telah Engkau beri nikmat kepada mereka; bukan jalan mereka yang Engaku murkai dan bukan pula jalan mereka yang sesat. Aamin.

    SUGÊNG SAHUR, SUGÊNG NINDAKAKÊN IBADAH SIYAM DINTÊN KAPING-7

    Nuwun

    cantrik Bayuaji

    • nuwun sewu kepareng nderek saran nambahaken, sakmeniko sampun wonten uu no 24 tahun 2009 tentang bendera, lambang negara, bahasa dan lagu kebangsaan, matur nuwun

      • Matur nuwun Ki.Sugeng dalu

    • Matur sembah nuwun Ki Bayuaji, sedoyo dongengipun Ki Bayuaji sampun kulo simpen, kulo kempalaken dados setunggal.

  5. MERDEKA

    Merdeka Pak Satpam
    Merdeka Ki Arema
    Merdeka Ki Ismoyo
    Merdeka Kisanak
    Merdeka para Mentrik …

    Perjuangan baca PBM31 sudah selesai ….
    Namun Tugas (baca lainnya) lain masih menunggu …
    Heee hee……
    Kuesel puuooolllll

  6. Memandang Ken Padmi yang menundukkan wajahnya, seperti menegug air bayu sewindu.
    Pwenak’e puuooll (kata Ki Widura)

    MERDEKA !!
    SEKALI MERDEKA TETAP MERDEKA !!

    (PERSATOEAN PENGGEMAR KEN PADMI)

  7. selamat pagi,

    lapor, man utd 3 – newcastle 0. pencetak gol, berbatov, fletcher, ryan giggs.

    laporan selesai…

    sEkarang waktunya tidur.

    terima kasih

  8. sugeng sahur
    MERDEKA INDONESIA !

  9. Selamat berpisah PBM …
    Selamat Datang di Lembah Lereng Pegunungan sing Ijo2….

  10. di sana tempat lahir beta…

    “di sana” artinya sebuah tempat yg agak jauh…tdk terlalu jauh…paling hanya berjarak sepeminum teh …

    • oooooo, iya. jadi begitu ta, …
      ternyata saja juga sudah melestarikan satu tempat, …
      ki pandan berapa hayo, ….

      • nek kulo namung nguri2 koq ki ….

        kita hrs sering menengok dan mengunjunginya..

        halah..iki ngemeng opo tho yo….

    • dibuai dibesarkan dinda…eh bunda…

  11. saya memilih alternatif 2 ki, yaitu:

    2. Rontal diwedar mulai jilid awal (HLHLP-001) dengan menggunakan rontal djvu dari Ki Ismoyo? sampai jilid 010 disertai teks hasil editing dari Tirai Kasih

  12. MERDEKA.
    lho baru hadir sudah habis. yo wis lanjut. maturnuwun.

    cantrik juga manusia, pilih yang irit tenaga saja. pilihan ke-4.

  13. Matur sembah nuwun katur Ki Arema, Ki Ismoyo ugi Pak Satpam. PBM-31 mentas kemawon kulo undhuh.

  14. Hadir siang di hari selasa
    Selamat siang, selamat hari selasa

  15. Matur nuwun PBM pungkasan sampun dipu donlot. Kayanya ada sesuatu yang hilang setelah Ken Padmin resmi menjadi milik Mahesa Bungalan

  16. Sinten kelingan sinten ki dJo

    • Selamat malam Ki Mbelink….

  17. “Dirgahayu INDONESIA”

    • “di SINI tempat lahir BETA”

      • masuk gandok cantrik diCEKAL
        sapa ya….??

        hadu…..
        orang sama nomor anggota berbeda
        nomor anggota sama namanya berbeda
        namanya berbeda (padalah sama) nomernya berbeda (karena daftar baru)
        pusing…..
        ini nanti kalau dapat BLT mesti paling banyak.

  18. yo WES tak ganti klambi sek,….!!
    pangling rupane OJO sampe pangling

    he-he-neee… 😀

  19. ….
    Munggah panggung main sandiwara
    entuk peran dadi patih Mantahun
    kadhang kula Ki Tumenggung Yudha Pramana
    jebulnya dina iki panjenengane ulang tahun.

    sugeng tanggap warsa Ki Menggung
    (berhubung hari ini HUT INDONESIA juga, maka mBoten parenk mBelink)

    Mardika Ki Menggung
    (sing ngendika Ki Menggung KartoJ LHO…..!)

    • mardika Kangmas Gembleh,
      pwenake ngapain ye sambil nunggu wedaran anyer

      • main dakon yok….

        tapi dah ngantuk nih, ntar gak bisa bangun untuk makan sahur.

  20. Nuwun

    Sugêng énjang. Sugêng pêpanggihan pårå kadang sâdåyå. Atur pambagyå raharjå dumatêng pårå kadang sutrésnå padépokan pêlangisingosari, ingkang dahat kinurmatan:

    Cantrik Bayuaji marak ing paséban, ngêndit rontal:

    DONGENG ARKEOLOGI & ANTROPOLOGI PENYEBARAN ISLAM DI NUSANTARA © 2010.

    Dongèng ing samangké kasêrat ing dintên Rêbo (Budå) Pon; 08 Påså 1943 – Dal. 08 Ramadhan 1431H; 18 Agustus 2010M. Wuku Bålå, Ingkêl Wong. Bhådråwådåmåså, mångså Karo 1932Ç.

    MUBALLIGHOT DARI LERAN [Bagian Kedua. PBM 31]
    [Fatimah binti Maimun bin Hibatu’llah, muballighot pertama di Pulau Jawa]

    Siapa Fatimah binti Maimun bin Hibatu’llah?

    Saat Wali Songo mulai menyebarkan agama Islam, lalu menggabungkan dengan tradisi setempat, asimilasi penyebaran Islam melahirkan salah satunya adalah Garebeg atau yang lebih dikenal dengan sebutan Sekaten dalam rangka maulud Nabi Muhammad SAW.
    Keragaman ini terasa berbeda di setiap daerah, namun tetap memiliki akar satu yang cukup kuat.

    Jauh sebelum itu, pada tahun 30 Hijriah atau 651 Masehi atau duapuluh tahun setelah Rasulullah SAW wafat, Khalifah Utsman ibn Affan mengirim delegasi ke Cina untuk memperkenalkan Daulah Islam yang belum lama berdiri. Selama empat tahun perjalanan, utusan Utsman ternyata sempat singgah di daerah kepulauan, tepatnya di pulau Sumatera.

    Dalam kronik Cina, utusan delegasi yang mengunjungi Cina berasal dari negara Ta-shi, suatu negara di Timur Tengah, dan dalam tulisan selanjutnya disebut “raja Ta-shi” bernama Han-mi-mo-mi-ni.
    Ta-shi transliterasi Cina, adalah Arab; dan Han-mi-mo-mi-ni, boleh dipastikan adalah ucapan Cina untuk Amirul Mu’minin , gelar resmi para khalifah Islam.

    Kemudian Dinasti Umayyah memulai perdagangan dengan penduduk di pantai barat Sumatera. Inilah awalnya penduduk Nusantara memeluk agama Islam. Sejak itu pelaut dan pedagang muslim terus berdatangan dengan membeli hasil bumi dari negeri nan hijau ini selain juga berda’wah. Lalu di Aceh, kerajaan Islam pertama di Nusantara berdiri, yaitu Kerajaan Pasai.

    Marcopolo juga pernah menyebutkan bahwa ia pernah singgah di Pasai pada tahun 692 H / 1292 M di saat telah banyak orang Arab yang menyebarkan Islam. Ibnu Battuthah, pengembara Muslim dari Maghribi, menuliskan berita saat ia singgah di Aceh tahun 746 H / 1345 M; ia menulis bahwa di Aceh telah tersebar mazhab Syafi’i.

    Sebagai bukti penyebaran agama Islam di Indonesia, bukti tertua terdapat di Gresik, Jawa Timur yaitu kompleks makam Islam, dengan makam tertua Fatimah binti Maimun yang berusia 475H (1082 M), bertepatan dengan kekuasaan Prabu Airlangga di Kerajaan Kadiri Daha. Dari bentuk makam ini, terlihat bahwa bentuknya bukan buatan penduduk asli, tetapi makam yang dibuat oleh para pedagang Arab.

    Sampai abad ke-8 H atau 14 M, pengislaman penduduk pribumi masih berlangsung sporadis, namun pada abad ke-9 H / 14 M, penduduk pribumi memeluk Islam secara massal. Para pakar sejarah berpendapat bahwa masuk Islamnya penduduk Nusantara secara besar-besaran pada abad tersebut disebabkan saat itu kaum muslimin sudah memiliki kekuatan politik yang berarti.

    Hal ini terbukti dengan berdirinya kerajaan berlatar-belakang Islam yang kental seperti Kerajaan Ternate, Aceh Darussalam, Demak, Cirebon, Malaka. Para penguasa kerajaan-kerajaan ini kebanyakan berdarah campuran, keturunan raja-raja pribumi pra-Islam dan para pendatang Arab.

    Pesatnya Islamisasi pada abad ke-14 dan 15 M antara lain juga disebabkan oleh surutnya kekuatan dan pengaruh kerajaan-kerajaan Hindu / Budha di Nusantara seperti Majapahit, Sriwijaya dan Sunda.

    Islam datang ke Asia Tenggara dengan jalan damai, tidak dengan cara berperang atau usaha merebut kekuasaan kerajaan yang sudah ada.

    Sebelum kemunculan Giri Kedaton (Insya Allah, akan didongengkan kemudian), Islam di wilayah Gresik belum mengalami perkembangan yang pesat seperti zaman pemerintahan Giri Kedaton.

    Islam zaman Fatimah binti Maimun bin Hibatu’llah dan Syeh Maulana Malik Ibrahim. Proses peradaban Islam yang dilakukan oleh beliau-beliau tersebut adalah melalui proses dagang dengan penduduk asli Gresik ketika itu.

    Kedua pejuang muslimah dan muslimin tersebut datang dengan kapal-kapal dagangnya yang besar dengan membawa barang dagangannya untuk ditawarkan dengan cara-cara ajaran Islam.

    Meskipun proses Islamisasi di Gresik masih penuh tantangan perjuangan, akan tetapi semuanya itu demi terwujudnya akhlaq rahmatan lil alamin. Bagi para pemimpin (pedagang) seperti Fatimah binti Maimun maupun Syeh Maulana Malik Ibrahim (dongeng tentang beliau Insya Allah akan diwedarkan kemudian), kata perjuangan untuk tegaknya agama Islam, merupakan harga mati untuk memperjuangkannya dengan diiringi prinsip-prinsip pengertian dan pemahaman terhadap akhlaq masyarakat Gresik pada waktu itu.

    Fatimah binti Maimun bin Hibatu’llah. Seorang perempuan muslim. Datang ke pulau Jawa dan mendaratkan kapal dagangnya di desa Leran, sebelah barat kota Gresik, kalau sekarang masuk wilayah kecamatan Manyar.

    Di Leran di temukan situs berupa batu nisan yang merupakan bukti prasasti arkeologis.

    Inskripsi Batu Nisan Leran:

    [1] Bism Allah al-Rahmaan al-Rahiim. Kullu man

    [2]‘alaihaa faan wa yabqaa wajhu rabbika dzul jalaa

    [3] li wal ikraam. Hadza qabru

    [4] syahidah binti maimun bin Hibatu’llah tuwuffiyat

    [5] fi yaumi al jum’ah….min rajab wa fii sanatin khomsatin

    [6] wa tis’ina wa arba’i mi’ atin, ila rahmati

    [7] Allah…..shadaqallah al adzim wa rasulihi al karim.

    Terjemahannya: [Teks dalam Bahasa Indonesia telah diwedar juga pada dongeng sebelumnya di PBM 30]

    [1]. Dengan Nama Allah Yang Maha Pengasih dan Maha Penyayang. Setiap yang ada

    [2]. di bumi adalah fana. Dan yang kekal abadi hanya Wajah Rabbmu Sang Maha Pemilik Segala Kebesaran (Dzul Jalaali)

    [3]. dan Sang Maha Pemilik Segala Kemuliaan (Ikraam). (Inilah) makam perempuan yang tak berdosa,

    [4]. yang lurus, bernama binti Maimun, putera Hibatu’llah, yang berpulang

    [5]. pada hari Jum’at delapan Rajab setelah tujuh malam berlalu

    [6]. pada tahun 495 (475), dengan rahmat

    [7]. Allah Yang Maha Mengetahui semua yang gaib, Allah Yang Maha Agung dan RasulNya yang mulia..

    Pada tahun 475 Hijriyah, atau bertepatan dengan angka tahun masehi 1082 Masehi. Ada pendapat yang mengatakan 495 Hijriyah, atau bertepatan dengan angka tahun 1102 Masehi.

    [“wa tis’ina wa arba’i mi’ atin”; beberapa orang membaca kata “wa tis’ina“ dan beberapa yang lain dengan bacaan “wa sab’ina“].

    Dilihat dari angka tahun yang tertulis dari batu nisan, bahwa perjuangan yang dilakukan oleh Fatimah binti Maimun dalam proses Islamisasi pulau Jawa pada umumnya, untuk daerah pesisir Gresik pada khususnya, dan suasana masyarakat Jawa pada umumnya menganut peradaban patriarki, secara tidak langsung apa-apa yang di lakukan oleh Fatimah binti Maimun dalam memperjuangkan proses Islamisasi kurang mendapat respons dan pengawasan oleh penguasa kerajaan Mataram Hindu pada waktu itu. Akan tetapi di sisi lain bahwa Fatimah binti Maimun telah membuka hubungan dagang dari Cina, India, dan Timur Tengah.

    Kalau dilihat dan diamati dengan seksama dan teliti, bahwa yang sekarang ini desa Leran merupakan sebuah kota kuno yang sudah tersentuh oleh peradaban-peradaban Islam melalui proses dagang yang berskala internasional saling menguntungkan.

    Mangkuk-mangkuk keramik banyak ditemukan berserakan, ada yang tertimbun tanah dan juga juga yang timbul di atas tanah. Menurut hasil survey lapangan di situs Pesucinan desa Leran, kecamatan Manyar, Gresik (Penelitian Tim arkeologi tahun 1994-1996). menemukan sebuah mangkuk keramik abad ke 10-11 masehi. Hasil penelitian juga menunjukkan bahwa Leran merupakan kota kuno yang telah hilang.

    Di salah satu pulau Nusantara, Jawa pada zaman itu sudah terjadi interaksi sosial yang bersifat global, dan bahwa juga masyarakat Gresik telah mengenal pedagang-pedagang Islam yang bersifat penuh sopan santun dan akhlaq yang mulia. Sehingga menimbulkan rasa simpati dari penduduk sekitar.

    Pemimpin atau tokoh semacam Fatimah binti Maimun bin Hibatu’llah dan Syeh Maulana Malik Ibrahim banyak meninggalkan nilai-nilai dan wujud benda. Berupa ilmu, ajaran, dan bentuk bangunan, yang perlu dipelajari kembali melalui ilmu sejarah. Karena daya nalar pemimpin tersebut sedikit lebih maju dibanding dengan masyarakat sekitarnya.

    Peninggalan tersebut diantaranya adalah :

    1. Batu Nisan Leran. Batu Nisan Leran saat ini telah tersimpan di museum Trowulan, Mojokerto. Merupakan sebuah bukti prasasti.

    2. Cungkup Makam Fatimah, bentuk yang sekarang jauh berbeda dengan bentuk awalnya. Foto tahun 1920 memperlihatkan cungkup makam bergaya candi Hindu. Cungkup lama memperlihatkan ornamen kepala Kala, yang oleh para arkeolog dipahami sebagai bangunan yang didirikan atau dipugar pada abad ke-16.

    3. Mangkuk keramik, juga merupakan bukti sejarah yang mewakili Fatimah binti Maimun bin Hibatu’llah, begitu juga adanya kota kuno Leran yang pada tahunnya menjadi pusat peradaban perdagangan antar bangsa-bangsa dunia.

    4. Tambak pangkalan dinamakan tersebut karena memang di tempat tersebut terdapat semacam bekas tempat kapal-kapal para pedagang dari berbagai negara untuk bersandar terus melakukan aktifitas dagang. Dan di tempat itu pula kapal Fatimah binti Maimun dan Syeh Maulana Malik Ibrahim merapat dan menyandarkan kapalnya.

    5. Telaga sigaran, memang sebuah nama yang agak berbeda, di antara lingkungan desa Leran yang kebanyakan berupa tambak. Dinamakan telaga karena memang di tempat tersebut dulu digunakan oleh jama’ah masjid Maulana Malik Ibrahim untuk mengambil air wudhu, tapi disigar (dipisah) antara perempuan dan laki-laki.

    6. Bedug dan batu pondasi. Karena bentuk dan model Masjid Maulana Malik Ibrahim sudah berubah dan mengalami revolusi konstruksi total, maka yang tersisa adalah beberapa batu pondasi serta sisa-sisa kayu yang dikumpulkan dalam satu tempat dan jadi salah satu bukti. Beruntung kondisi bedug sebagai saksi berupa benda masih bisa di selamatkan di museum Sunan Giri.

    7. Mimbar untuk khutbah, berhasil diselamatkan dan sekarang ditempatkan di Masjid Leran, Tadinya masjid ini untuk kegiatan shalat Jum’at juga, karena berubahnya fungsi masjid Maulana Malik Ibrahim menjadi sebuah langgar yang hanya untuk shalat lima waktu dan kegiatan mengaji anak-anak kecil serta ekspresi kesenian Islam seperti diba’an dan hadrah.

    Masuknya Islam di Wilayah Asia Tenggara merupakan suatu titik balik dari perubahan besar sepanjang sejarah Nusantara. Meskipun demikian, sejarah masuknya Islam serta agama Yudeo Kristen di Indonesia masih di selubung mitos yang “berbau Israiliyat”.

    Bahkan dalam banyak hal ditengarai banyak terdapat juga indikasi pengaruh “Yudeo Kristen” pra-Nabi Isa. Hal ini secara sepintas dan tersirat kemudian diuraikan kemungkinannya dalam tulisan ke 7 pada buku Inskripsi Islam tertua di Indonesia, tulisan Ludvik Kalus dan Calude Guillot, yang diberi judul “Kota Yerusalem di Jawa dan Masjid Al Aqsa. Piagam Pembangunan Masjid Kudus bertahun 956 H/1549 M”

    Nampaknya sejak abad ke-8 sampai 11 Masehi bukan hanya Agama Islam saja yang masuk ke wilayah Indonesia. Namun juga agama-agama lainnya yang berkembang di Mediterania sana, semisal Yahudi dan Kristen. Hal ini nampaknya dipertegas pada temuan di Barus yang dijelaskan dalam buku “Barus 1000 Tahun Yang Lalu”. Buku Barus 1000 Tahun Yang lalu pun ditulis oleh peneliti Ecole Prancis dan diterbitkan tahun 2007 juga oleh penerbit yang sama.

    Buku itu menjelaskan temuan berbagai benda rumah tangga keramik, koin emas, dan lain-lain yang menunjukkan adanya pemukiman multi etnis di Sumatera bagian barat selatan. Kota Barus atau Farus menurut riwayat Persia, dalam hal ini bagaikan negara kota, suatu Kosmopolitan yang tidak dipengaruhi oleh Sriwijaya. Tetapi justru berhubungan dengan Jawa pada abad ke 9-11 M.

    Sebagai contoh Nisan di Leran yang dalam buku tersebut disimpulkan kalau bahannya bukan dari Jawa tapi isinya menunjukkan pengaruh tradisi esoteris Islam yang kental.

    Ludvik Kallus dan Claude Guillot sendiri menuliskan kajian tentang Nisan Leran (artikel ke-1 dalam buku tersebut) dengan fokus pada asal usul batu nisan tersebut. Batu Nisan tersebut nampaknya batu impor, bukan berasal dari Jawa atau wilayah Indonesia lainnya dan pernah digunakan sebagai jangkar kapal.

    Kesimpulan “pernah digunakan jangkar kapal inipun” masih mengambang karena didasarkan pada takikan di batu nisan. Pendapat lain mengatakan bahwa takikan di batu nisan itu merupakan suatu takikan simbolik dan berhubungan dengan makna esoteris dari syair di nisan tersebut.

    Tapi yang terpenting adalah menentukan asal batu nisan tersebut karena dengan mengetahui asal-usul batu itu dapat diketahui juga hubungan yang terjadi antara Jawa dan negara asal batu.

    Meskipun dituliskan dalam inskripsi kalau yang dimakamkan seorang yang sederhana tentunya tidak menunjukkan kalau ia mungkin seorang yang tidak berpunya atau tidak kaya. Bahkan kalau ditilik dari bahan batu nisannya yang impor dengan hiasan simbolik yang memadukan tradisi kufi (Arab), India, dan Cina, yang dimakamkan termasuk orang yang berada dan dihormati.

    Hiasan sulur bunga di batu nisan tersebut sangat unik dan tak ada duanya di dunia Islam. Setidaknya pada periode tahun 1082 M sebagai tanggal kematian. Karena itu, siapa yang dimakamkan pasti ia orang yang berpunya dan berharta. Minimal ia adalah seorang yang berpengaruh sampai-sampai harus mendatangkan batu khusus dan dihias khusus.

    Bahan batu nisannya sendiri diketahui juga dipakai di beberapa wilayah makam Islam lainnya yang berada di berbagai tempat di luar Nusantara.

    Selain itu, gaya penulisan syairnya ternyata mempunyai kemiripan dengan syair yang tertulis di batu-batu nisan 9 makam lainnya di Mediterania, 8 di Mesir dan 1 di Arabia.

    Boleh jadi syair tersebut merupakan ciri khusus dari suatu ordo mistikus Islam zaman dahulu yang berada di wilayah Mesir sebagai pusatnya. Beberapa kata di dalam nisan Leran juga masih misterius karena mengandung dualitas yang hanya dapat dipahami oleh seseorang yang mempunyai pengalaman mistik langsung.

    Apalagi tulisan di batu nisan tersebut menunjukkan bobot esoteris dan eksoteris, intelijensi dan spiritual dari yang dimakamkan tersebut yang kemungkinan besar seorang wali perempuan dengan tradisi sufi yang masih mengikuti tradisi awal Islam.

    Tokoh perempuan ini malah mungkin mempunyai keserupaan dengan tokoh sufi perempuan legendaris Rabiah al Adawiyah dari wilayah Mediterania bahkan tersirat mendekati keadaan-kedaan tertentu yang menyiratkan kualitas Maryam, tokoh perempuan suci dalam tradisi Kristen dan Islam.

    Makam Leran oleh masyarakat sekitar sering dikaitkan dengan nama tokoh legendaris lokal Dewi Suvara atau Dewi Swara. Dari namanya saja nampaknya tokoh ini dikenang karena suaranya yang menarik masyarakat sekitar meskipun mungkin masyarakat tidak tahu arti dari bacaan di Dewi Swara.

    Bisa jadi beliau seorang Qoriah atau pembaca Al Qur’an yang merdu dan mampu mempengaruhi jiwa masyarakat sekitar untuk masuk menjadi Islam, atau seorang perempuan yang suara kebijakannya didengar oleh masyarakat sekitar. Beberapa hikayat dan kajian Muhammad Yamin beberapa puluh tahun yang lalu menengarai makam tersebut kemungkinan seorang Putri dari Melayu beragam Islam.

    Peninggalan Harta Karun dari Kapal Karam.

    Dari dalam kapal karam yang ditemukan di pantura Cirebon terdapat ribuan benda kuno berupa mangkok dan piring peninggalan Dinasti Ming. Sekurangnya sekitar 271.381 artefak. Kapal karam yang ditemukan mengangkut berbagai benda, mulai dari keramik Cina sampai kristal Dinasti Fatimiyyah yang berkuasa di Mesir sekitar abad ke-10 sampai ke-11. Jadi kalau dihitung-hitung, usia kapal yang ditemukan itu ditaksir sekitar 1000 tahun.

    Setidaknya ini taksiran garis lurus berdasarkan temuan benda-benda berbagai rupa seperti keramik, ornamen-ornamen logam, dan benda-benda kristal yang ditaksir berasal dari abad ke-10 dan ke-11. Apakah kapal itu seusia dengan usia bendanya atau tidak sejauh ini tidak ada informasi yang akurat. Bisa jadi kapal itu usianya lebih muda tapi benda-benda yang diangkutnya lebih tua.

    Namun, dengan asumsi garis lurus kita akan meninjau kasus Harta Karun yang ditemukan di perairan wilayah pantai Utara Cirebon ini sama dengan usia benda yang dibawanya. jadi, setidaknya usia kapal itupun sekitar 1000 tahun atau kapal periode abad 10 sampai 11 Masehi (900 M sampai 1099 M).

    Dari temuan benda-benda kuno yang berasal dari kapal karam itu, di antaranya ditemukan artefak-artefak kristal dari dinasti Islam Fathimiyyah yang berdiri di Mesir di sekitar abad ke-10 sampai 11 Masehi.

    Selama ini teori masuknya Islam ke Indonesia masih simpang siur. Ada yang mengatakan dari abad 14, 15 bahkan ada bukti juga sejak awal abad ke-7 pedagang muslim sudah memasuki wilayah Nusantara. Temuan artefak kristal dinasi Fatimid dari abad ke-10 sampai ke-11 semakin memperkuat dugaan kalau pedagang muslim baik dari Cina maupun wilayah Arab dan Magribi (Mesir di benua Afrika) sudah lama menjalin kontak dengan kota-kota dagang di Nusantara.

    Muatan barang yang ditemukan menunjukkan kelas sosial pemesan barang yang pastilah kalangan yang berada. Yang menarik artefak kristal dari dinasti Fatimid termasuk benda-benda seni kelas tinggi yang tidak saja mencitrakan keindahan eksternal dari suatu benda tapi juga mencitrakan keindahan interior dimana nilai-nilai keindahannya semakin tinggi jika dibumbui dengan aspek-aspek esoteris bagaimana suatu benda dibuat.

    Timbul pertanyaan menyangkut benda kristal dinasti Fatimiyyah ini. Siapakah pemesannya? Siapakah dinasti Fatimiyyah? Apa peran kristal dalam peradaban Fatimiyyah? Darimana sebenarnya kapal itu dan mau kemana? Serta pelabuhan mana asal dan tujuannya mengingat pelabuhan pantai Utara Jawa yang dianggap tua seperti Cirebon, Banten maupun Sunda Kepala eksistensinya baru dikenal sekitar abad 15 Masehi.

    Sedangkan benda-benda itu usianya 1000 tahun kalau kita ambil patokan berdirinya dinasti Fatimiyyah sekitar 900 sampai 1100 Masehi? Lalu, siapakah saudagar besar pemilik kapal ini?

    Pelabuhan Pantura Jawa abad 10 dan 11 Masehi.

    Pelabuhan di Jawa yang ada disekitar abad 10 dan 11 adalah pelabuhan Banten di Jawa Barat, Gresik dan Tuban di Jawa Timur. Pelabuhan yang berada di Jawa Timur ini berada di sekitar sekitar selat Bali dan Jawa dan telah lama dikenal sebagai pelabuhan dagang.

    Penanggalan tertua mengenai eksisnya pelabuhan di Jawa Timur bisa ditemukan di penanda tahun yang tertera di nisan Siti Fatimah binti Maimun alias Dewi Swara di Desa Leran, Kecamatan Manyar, Gresik, Jawa Timur yang bertanda sekitar abad ke-11 (antara 1082 sampai 1102 M).

    Merujuk beberapa temuan sejarah yang sampai hari ini masih kita lihat dan masih didiskusikan kalangan arkeolog Nusantara, kapal dagang yang membawa barang-barang mewah tersebut sezaman dengan waktu hidup Fatimah Binti Maimun yang nampaknya sangat dihormati di Kawasan Timur Jawa.

    Apakah armada ini milik Siti Fatimah Binti Maimun yang begitu dihormati? Perlu dilakukan penelitian yang lebih serius. Namun, kuat dugaan antara kapal yang harta karunnya melimpah dan barang buatan Dinasti Song dan produk budaya dinasti Fatimiyyah ini mempunyai ciri yang kuat berhubungan dengan ciri dan ornamen di makam Fatimah Binti Maimun yang nampak sangat dihormati di Gresik dan hidup semasa dengan usia kapal tersebut yaitu sekitar 1000 tahun yang lalu.

    ånå candhakéatawa to be continued

    SUGÊNG SAHUR, SUGÊNG NINDAKAKÊN IBADAH SIYAM DINTÊN KAPING-8 RAMADHAN 1431 H

    Yaa Allah! Berilah aku rejeki berupa kasih sayang terhadap anak-anak yatim dan pemberian makan. Berilah aku kemampuan untuk menebar salam dan kedamaian. Berilah aku kesempatan untuk dapat bergaul dengan orang-orang yang Engkau muliakan, Wahai Dzat Yang Maha Mulia, dengan kemuliaanMu, Wahai tempat berlindung bagi orang-orang yang berlindung.

    Nuwun

    cantrik Bayuaji

    • Terima kasih Ki, tulisan 1 s/d 7 yang ada di atas batu nisan betul-betul sebuah mutiara.
      Terima kasih.

      • kalimat terakhir (ketujuh) adalah pembenaran dari pernyataan kalimat 1 s/d 6.
        Sebagaimana bila kita selesai membaca Al-Qur’an, pasti akan menutupnya dengan ucapan :inilah sebuah kebenaran yang agung.

    • Matur nuwun Ki Bayu, ingkang sampun kersa paring piwulang sejarah malih.

      Ki Ajar / Ki Arema, badhe nyuwun pirsa… manawi boten klintu, kala mben nate wonten rencana ngempalaken piwulang Ki Bayu wonten satunggal halaman khusus, punapa sios dipun wujudaken nggih? matur nuwun sanget.

      • Ingkang seri Pelangi di Langit Singosari ngantos Sepasang Ular Naga di Satu Sarang sampun ki, wonten gandok Dongeng Arkeologi: Halaman lain–> Jejak Masa Lalu –> Dongeng Arkeologi atau langsung : https://pelangisingosari.wordpress.com/Dongeng Arkeologi/
        Mulai seri Panasnya Bunga Mekar belum sempat dikumpulkan.
        he he …, ngapunten Ki

        • he he …, Akreologinya tidak katut ditandai, untung masih bisa link.

        • hehehe… ngapunten P. Satpam. Jebulipun wonten link-ipun tho, wonten sak wingkingipun gambar2 candi? kula kinten namung foto thok 🙂

          Matur nuwun sanget informasinipun.

  21. We ladalah wis tancep kayon ora kroso,
    Wingi upacara nganti bengi dadi ora sambang padepokan.
    Sugeng enjang matur nuwun Ki Seno, P. Satpam dan Ki Ismoyo.
    Sumonggo Cantrik Honggopati nderek pundi ingkang sae kemawon nyumanggaaken.
    Nuwun.

  22. Assalamu’alaikum, selamat pagi
    Matur nuwun :
    * Ki Ismoyo
    * Ki Arema
    * Ki P.Satpam
    * Sanak Kadang PDLS…..
    Aku Ikutan suara terbanyak yang penting masih bisa ngumpul2 dipadepokan ini.

    • Wa’alaikum salam,

      tak pikir ikut “juragan RUJAK”….!!

      • kayaknya udah ndak jualan, “BANGKRUT” xixixi

        • wulan POSO ni,

          pagi sampe buko-an….Bang-kerut !
          malem sampe sahur….Bang-kiet !!

          Bang-kuat juga bisa,…xixixixi

          • pesenku ojo diSENGGOL ni,

            Uuups, lali durung bukoan
            😀

          • untunge aku wis ra dodolan rujak…

            saiki genti profesi…dodolan es blewah

            hiks … ihiks…

  23. sugeng siang..

    sugeng saum hari ke-8.(bener ya???)

    • dibelakang nunik,
      Sugeng saur enggak pake H (Kangmas Gembleh ojo nambahi dengan plat seri Jambi)


Tinggalkan komentar