HLHLP-028

1/3

“PANTAS,” desis Pangeran Singa Narpada, “dengan kekuatan yang luar biasa itulah, maka Kebo Sarik telah dilumpuhkan. Alangkah dahsyatnya ilmu itu, jika kalian berdua kelak mampu mengembangkannya dan mengungkapkannya dengan landasan yang matang. Namun, menilik umur kalian sekarang, maka kesempatan masih sangat luas, sehingga menurut perhitungan, maka kalian pada suatu saat akan menjadi orang-orang yang sulit dicari bandingnya. Namun dengan demikian, maka beban dipundak kalian pun menjadi bertambah berat. Dengan ilmu yang semakin tinggi, maka kalian akan mendapat godaan yang semakin besar. Mungkin dengan ilmu kalian yang sulit dicari bandingnya, kalian akan dapat melawan orang lain yang ingin menyulitkan keadaan kalian, tetapi pada suatu saat kalian akan menghadapi lawan yang sulit untuk dikalahkan. Lawan itu adalah diri sendiri. Dengan kemampuan yang sangat tinggi, maka kalian akan dapat dikuasai oleh ketamakan, oleh kedengkian dan keinginan yang tidak terbatas, serta nafsu untuk berkuasa atas orang lain dengan mempergunakan ilmu dan kemampuan kalian.”

Mahisa Murti dan Mahisa Pukat mengangguk-angguk kecil. Meskipun dengan istilah yang berbeda, tetapi maknanya pernah juga didengarnya baik dari ayahnya, dari paman-pamannya Witantra dan Mahisa Agni. Karena itu, keduanya berusaha untuk menyimpan pesan itu didalam hati.

Dengan bahan-bahan yang lengkap atas pengamatannya terhadap kedua orang anak muda itu, maka Pangeran Singa Narpada pun kemudian menyiapkan diri serta menyiapkan kedua orang anak muda itu untuk mulai dengan latihan-latihan. Pangeran Singa Narpada tidak perlu mulai dari tataran pertama, tetapi ia akan dapat langsung sampai pada tahap-tahap terakhir, karena Mahisa Murti dan Mahisa Pukat telah memiliki bekal yang cukup.

Latihan-latihan di sanggar maupun di udara terbuka sebagian terbesar dilakukan pada malam hari. Dengan sungguh-sungguh dan sangat berhati-hati Pangeran Singa Narpada memperkenalkan jalur ilmunya kepada Mahisa Murti dan Mahisa Pukat.

Sedikit demi sedikit keduanya belajar melihat perbandingan antara ilmu yang telah dikuasainya dengan ilmu yang diperkenalkan oleh Pangeran Singa Narpada. Mereka pun mulai mempelajari persamaan dan perbedaannya, sehingga mereka akan dapat dengan cepat menyadari, di jalur mana mereka berada.

“Jika kalian telah memahaminya dengan baik,” berkata Pangeran Singa Narpada, “maka kalian akan dapat berpindah-pindah seperti meloncat-loncat dari satu sisi ke sisi parit yang lain dengan penuh kesadaran dan tidak akan menjadi tumpang suh lagi. Dengan demikian, maka kalian akan dapat mempergunakan kedua jalur ilmu atau lebih di dalam dirimu bersamaan waktunya dan bahkan pada saatnya akan dapat saling mendukung dan saling mengisi.”

Mahisa Murti dan Mahisa Pukat mengangguk angguk penuh pengertian. Petunjuk-petunjuk yang diterimanya memang menunjukkan kepada mereka, arah yang harus mereka tempuh dalam perjalanan mereka mengarungi dunia olah kanuragan yang kadang-kadang keras dan gawat.

Di siang hari, mereka lebih banyak berada di gandok. Mereka lebih banyak berbicara dan berbincang tentang ilmu yang sedang mereka tekuni. Bahkan kadang-kadang mereka telah membuat gambar di atas rontal atau di atas papan atau bahkan di atas lantai dengan-arang atau alat-alat lain. Mereka menekuni latihan-latihan mereka lewat pembicaraan denggan langkah-langkah yang mereka goreskan dalam gambar.

Namun ternyata bahwa goresan-goresan dan pembicaraan itu banyak bermanfaat bagi keduanya. Dalam latihan-latihan yang sebenarnya, maka yang mereka lakukan itu seakan-akan memberikan banyak tuntunan. Pemecahan persoalan-persoalan yang mungkin timbul dengan tiba-tiba serta kemungkinan-kemungkinan yang tanpa dipersiapkan lebih dulu akan sangat sulit dipecahkan.

Pangeran Singa Narpada memang menjadi heran melihat perkembangan kedua orang anak muda itu. Kecepatan mereka meningkat melampaui perhitungan Pangeran Singa Narpada, sehingga dengan demikian Pangeran Singa Narpada semakin merasa tertarik kepada keduanya dan ia pun menjadi semakin bergairah untuk memberikan latihan-latihan yang semakin hari menjadi semakin berat.

Di antara kerja keras itu, ternyata Pangeran Singa Narpada masih juga menyempatkan diri berbicara dengan orang-orang bertongkat yang telah ditawannya. Namun pembicaraan mereka tidak segera menemukan jalur yang mampu menunjukkan pemecahan atas persoalan yang dihadapinya.

Ternyata bahwa orang-orang bertongkat itu memiliki keteguhan hati untuk tidak mengatakan sesuatu yang mereka anggap rahasia dari lingkungan mereka.

Namun ketika mereka mendengar bahwa guru mereka dan Kebo Sarik benar-benar telah terbunuh, maka rasa-rasanya mereka pun telah kehilangan segala macam cita-cita yang semula bagaikan terbang setinggi bintang.

Meskipun demikian, tidak mudah bagi Pangeran Singa Narpada untuk mengetahui siapakah mereka sebenarnya. Namun dari pembicaraan yang dapat ditangkap oleh Pangeran Singa Narpada dengan ketajaman telinga batinnya, maka orang-orang itu seakan-akan telah menjadi berputus-asa.

“Kita akan tetap menahan mereka,” berkata Pangeran Singa Narpada, “setiap hari kita akan berbicara dengan mereka. Siapakah yang menjadi jemu lebih dahulu. Kita atau orang-orang itu. Jika kita menjadi jemu lebih dahulu, maka kita akan berhenti bertanya sebelum kita mendengar jawabnya Tetapi jika mereka menjadi jemu lebih dahulu, maka merekalah yang akan mengakhiri pembicaraan sehingga mereka akan menjawab segala pertanyaan kita.”

Mahisa Murti dan Mahisa Pukat mengangguk-angguk. Keduanya menyadari, bahwa memang sulit untuk dapat menguasai perasaan keempat orang bertongkat itu.

Namun dalam pada itu, latihan-latihan yang dilakukan oleh Mahisa Murti dan Mahisa Pukat telah memasuki ke bagian yang gawat. Keduanya harus semakin tekun mengenali kedua jenis ilmu yang akan menjadi bagian dari kemampuan mereka.

Dalam keadaan yang demikian, maka kedua anak muda itu dianjurkan oleh Pangeran Singa Narpada untuk mulai menjalani laku. Mereka harus mulai mengurangi jenis makanan yang mereka makan, meskipun mereka masih belum diharuskan untuk tidak makan nasi menguranginya.

Sementara itu, ternyata bahwa Mahendra menjadi sering berkunjung ke Kediri kerena kesibukan perdagangannya meskipun sekaligus ia harus menengok anak-anaknya.

Suatu kali Mahendra telah mendapat kesempatan untuk melihat apa yang dapat dilakukan oleh Mahisa Murti dan Mahisa Pukat. Keduanya mampu menunjukkan kepada Mahendra, bagaimana kedua anaknya itu mampu mempergunakan jalur ilmu yang diterimanya dari ayahnya dan dari Pangeran Singa Narpada hampir berbareng tanpa menimbulkan bentur-benturan di dalam diri mereka. Bahkan dengan demikian maka unsur yang nampak pada kedua anaknya itu menjadi semakin banyak dan meliputi berbagai macam kegunaan.

Namun Pangeran Singa Narpada masih belum mulai dengan ilmu puncaknya, sehingga dengan demikian, maka kedua anak muda itu masih harus bekerja keras dan berbuat banyak.

Namun apa yang dapat disaksikan itu telah membuat Mahendra berbangga. Ia yakin bahwa kedua anaknya akan menjadi orang yang memiliki ilmu yang cukup dihari tua mereka.

Tetapi untuk sampai kepada ilmu puncak yang dimiliki oleh Pangeran Singa Narpada, maka Pangeran Singa Narpada masih harus membicarakannya dengan Mahendra. Selain ilmu yang dapat melontarkan kekuatan yang tidak ada taranya. Pangeran Singa Narpada juga memiliki ilmu yang disebut oleh beberapa orang sebagai ilmu yang licik, meskipun Pangeran Singa Narpada sendiri tidak mengerti, kenapa ilmunya disebut ilmu licik.

Karena itu, sebelum ia mewariskan ilmu itu kepada Mahisa Murti dan Mahisa Pukat, maka Pangeran Singa Narpada memerlukan berbicara lebih dahulu dengan ayah anak-anak muda itu.

“Terserah kepada Ki Mahendra,” berkata Pangeran Singa Narpada, “apakah Ki Mahendra keberatan atau tidak. Sebenarnya aku sendiri tidak mengerti, kenapa orang lain menyebutnya sebagai ilmu yang licik.”

“Aku tidak menyebutnya sebagai ilmu yang licik,” berkata Mahendra, “karena itu, aku tidak keberatan jika Pangeran menurunkan ilmu itu kepada anak-anakku. Justru dengan demikian maka aku akan berharap, anak-anak akan memiliki bekal semakin lengkap untuk mengabdi kepada sesama.”

“Aku juga berharap demikian,” berkata Pangeran Singa Narpada, “aku sudah berulang kali mengatakan kepada kedua anak muda itu, bahwa semakin tinggi ilmu yang mereka sandang, maka tanggung jawab mereka terhadap sesama menjadi semakin besar.”

“Bagaimana kesan Pangeran terhadap anak-anak itu?” bertanya Mahendra.

“Aku kira mereka akan dapat memenuhi keinginan ayahnya,” jawab Pangeran Singa Narpada.

“Syukurlah,” jawab Mahendra, “jika demikian, maka aku serahkan kebijaksanaannya kepada Pangeran. Ilmu itu sama sekali bukan ilinu yang licik. Bukan seperti laku seorang pencuri yang mengambil milik orang dengan diam-diam. Tetapi sebagai laku seorang kesatria yang mengambil kejahatan orang lain untuk melindungi sesamanya.”

“Baiklah,” berkata Pangeran Singa Narpada, “jika demikian, maka aku akan memberikan ilmu itu kepada Mahisa Murti dan Mahisa Pukat, agar di samping ilmu mereka yang dahsyat, yang diterima dari ayahnya, juga memiliki kemampuan untuk mengambil ilmu hitam dari orang lain.”

Dengan demikian maka Pangeran Singa Narpada tidak ragu-ragu lagi. Bahkan keragu-raguannya tentang dirinya sendiri pun menjadi semakin tipis. Ketika gurunya memberikan ilmu itu kepadanya, maka gurunya itu pun telah berpesan, “Jika kau salah langkah, maka ilmu ini akan menjadi ilmu yang sangat licik. Meskipun ditakuti oleh banyak orang, tetapi akan dikutuk oleh orang-orang yang mengabdikan diri kepada kebenaran. Tetapi jika kau mampu mengetrapkan kepada jalan kebenaran itu, maka kau akan menjadi sahabat umat manusia.”

Pesan itulah yang juga harus disampaikan kepada Mahisa Murti dan Mahisa Pukat pada saatnya.

Untuk menerima puncak ilmu Pangeran Singa Narpada itu, maka mahisa Murti dan Mahisa Pukat benar-benar harus mempersiapkan diri, itu maka dibutuhkan waktu yang cukup panjang.

Yang harus dilakukan oleh Mahisa Murti dan Mahisa Pukat adalah menjalani laku lahir dan batin. Mereka mulai mengurangi makanan pokok mereka sedikit demi sedikit, sementara itu, di malam hari pada hari-hari tentu mereka mulai berendam di dalam air sungai yang mengalir lambat. Sedangkan di hari-hari lain mereka harus melatih wadag mereka dengan mendaki gunung dan menuruni lereng digelapnya malam. Berlari-lari di sepanjang sungai berbatu-batu.

Namun yang terutama adalah latihan-latihan yang tekun bagi pernafasan. Mengatur keseimbangan kekuatan di dalam dan di luar dirinya, berlatih mengetrapkan kekuatan yang dihirupnya pada jalur pernafasannya, sehingga kekuatan ke seluruh tubuh, kemudian jika dikehendaki telah memusat pada bagian-bagian tubuhnya sesuai dengan maksud dan kegunaannya.

Mahendra tidak dapat menunggui anaknya dalam laku yang dijalani, karena ia harus kembali ke Singasari. Namun ia percayakan kedua anaknya kepada Pangeran Singa Narpada.

Dengan demikian maka kedua anak muda itu benar-benar tlah bekerja keras. Mereka sama sekali tidak mengenal waktu dan lebih. Meskipun sebagian besar waktu yang mereka pergunakan adalah malam hari.

Sementara itu, Kediri semakin lama memang menjadi semakin tenang. Tidak banyak timbul persoalan-persoalan yang dapat menjadikan Sri Baginda resah dan gelisah. Pemerintahan berjalan dengan wajar dan hubungan dengan Singasari masih terjalin sebagaimana seharusnya.

Namun dengan demikian bukan berarti bahwa tidak ada masalah sama sekali yang terjadi di Kediri. Kekuatan-kekuatan yang semula diikat oleh para pemimpinnya yang gagal, dan kemudian terpecah-pecah, telah dibekali dengan dendam dan kebencian.

Mereka memang tidak dapat berbuat banyak atas Kediri dalam keseluruhan. Tetapi mereka akan mampu berbuat sesuatu bagi bagian-bagian kecil dari Kediri.

Meskipun demikian, para prajurit Kediri pada umumnya mampu mengatasi persoalan-persoalan yang timbul itu dengan cepat. Para prajurit Kediri tidak mau mengalami kesulitan sebagaimana pernah terjadi. Jika mereka terlambat, maka kekuatan yang kecil itu akan dapat mekar dan menjadi kiblat dari dendam dan kebencian yang masih terdapat di mana-mana.

Sementara itu, keempat orang bertongkat yang masih tetap ditahan di bagian belakang dari istana Pangeran Singa Narpada ternyata memang tidak dapat memberikan keterangan selain tentang diri mereka sendiri. Yang tertua di antara mereka, yang telah dengan cerdik mempersilahkan Pangeran Singa Narpada membuat peti perak, namun yang ternyata telah terjerumus sendiri kedalam kesulitan, agaknya memang masih menyimpan sesuatu yang belum disebutkannya. Namun agaknya yang mereka lakukan adalah sekedar didorong oleh keinginan mereka sendiri. Tidak sebagaimana dilakukan oleh Ki Ajar Bomantara yang berhubungan dengan Pangeran Lembu Sabdata. Sedangkan sampai saat-saat terakhir, Pangeran Lembu Sabdata masih juga belum benar-benar dapat disembuhkan. Berbagai cara sudah ditempuh. Meskipun keadaannya menjadi semakin baik, tetapi ia masih tetap menutup diri.

Dalam kehidupannya sehari-hari, meskipun masih ditempatkan di tempat yang khusus dan mendapat pengawasan yang kuat, Pangeran Lembu Sabdata sudah dapat melayani dirinya sendiri. Ia mulai sadar tentang kehadirannya. Tetapi orang lain baginya tetap dianggapnya sebagai bahaya yang setiap saat dapat menerkamnya.

Karena itu, maka Pangeran Lembu Sabdata masih belum bersedia bergaul dengan siapa pun juga. Bahkan dengan tabib yang mengobatinya dengan tekun sabar dan bersungguh-sungguh itu pun masih saja terbentang jarak yang sulit untuk ditutup.

Namun dalam pada itu, kehidupan sehari-hari di Kediri telah berangsur menjadi baik dan mapan. Suasana yang demikian ternyata telah dapat dimanfaatkan oleh Mahendra, itu pun masih saja seorang pedagang batu-batu permata, batu bertuah dan benda-benda pusaka.

Sementara itu, kedua anaknya telah menekuni ilmu yang luar biasa yang siap diwariskan oleh Pangeran Singa Narpada.

Untuk itu, maka Mahisa Murti dan Mahisa Pukat telah menjalani laku yang sangat berat. Sehingga akhirnya, Pangeran Singa Narpada memandang bahwa waktunya sudah tiba. Ternyata Mahisa Murti dan Mahisa Pukat telah benar-benar siap, karena sebelum ia menjalani laku untuk menerima ilmu yang tinggi dari Pangeran Singa Narpada, Mahisa Murti dan Mahisa Pukat telah pernah menjalani laku untuk menerima ilmu puncak dari ayahnya sendiri yang juga menjadi gurunya.

Karena itu, maka untuk menjalani laku sebelum menerima ilmu Pangeran Singa Narpada, maka Mahisa Murti dan Mahisa Pukat mampu melakukannya dengan baik dalam waktu yang terhitung cepat.

Dengan demikian, maka akhirnya saatnya telah sampai pula bagi Mahisa Murti dan Mahisa Pukat untuk menerima ilmu yang sulit dicari bandingnya itu, dan bahkan sudah jarang ditemui duanya.

Menjelang senja Mahisa Murti dan Mahisa Pukat telah melakukan mandi keramas. Mereka telah membersihkan wadag mereka sebelum mereka memasuki sanggar dan menjalani laku hening untuk melihat ke dalam diri mereka sendiri. Tanpa ada orang lain yang menunjuk maka dalam laku hening, Mahisa Murti dan Mahisa Pukat berusaha untuk menilai diri mereka sendiri. Apakah mereka sudah cukup pantas untuk memasuki tataran yang lebih tinggi dalam olah kanuragan. Apakah mereka sudah cukup mampu mempertanggung-jawabkan ilmu yang akan diterimanya.

Dalam laku hening, keduanya seakan-akan telah memisahkan dirinya yang menilai dan dirinya yang dinilai. Mahisa Murti dan Mahisa Pukat yang duduk bersila dengan menyilangkan tangan di dadanya, dalam memejamkan matanya, justru seakan-akan mereka melihat diri mereka duduk di hadapan mereka. Dalam kesempatan yang demikian maka keduanya telah menerawang sampai ke pusat jantung, untuk menilai perasaan, dan sampai ke pusat otak untuk menilai penalaran, siapakah mereka itu di dalam keluarga besar umat manusia.

Demikianlah mereka lakukan sampai tengah malam. Baru setelah kentongan tengah malam berbunyi, maka Pangeran Singa Narpada telah memasuki sanggar.

Untuk beberapa saat masih dilakukan laku terakhir. Baru setelah semuanya dilakukan dengan tuntas, maka Pangeran Singa Narpada itu mulai menurunkan ilmunya kepada Mahisa Murti dan Mahisa Pukat.

Suasana di istana itu terasa hening. Tidak banyak orang yang tahu apa yang sedang terjadi di dalam sanggar. Dua orang prajurit yang bertugas pada saat mengelilingi halaman istana dan lewat di dekat sanggar, memang telah mendengar sesuatu yang tidak jelas di dalam sanggar itu. Namun mereka menyangka bahwa seseorang sedang mengadakan latihan di dalam sanggar itu. Para prajurit itu tidak mengira, bahwa di dalam sanggar itu telah terjadi sesuatu yang sangat penting. Pangeran Singa Narpada sedang mewariskan ilmunya yang jarang ada duanya kepada Mahisa Murti dan Mahisa Pukat.

Seperti juga puncak ilmunya yang diterimanya dari ayahnya, maka yang diturunkan oleh Pangeran Singa Narpada adalah pokok landasan dari ilmunya, sehingga Mahisa Murti dan Mahisa Pukat masih berkewajiban untuk mengembangkannya dan mematangkannya di dalam dirinya.

Ketika langit menjadi merah oleh cahaya fajar, maka Pangeran Singa Narpada yang letih telah keluar dari sanggar itu. Untuk menyegarkan tubuhnya, maka Pangeran Singa Narpada langsung pergi ke pakiwan untuk mandi.

Namun dalam pada itu, Mahisa Murti dan Mahisa Pukat ternyata masih tetap berada di dalam sanggar. Rasa-rasanya tubuh mereka menjadi sangat lemah dan kehilangan tulang belulangnya setelah mereka mengerahkan segenap kemampuan yang ada di dalam diri mereka untuk menerima ilmu yang diturunkan oleh Pangeran Singa Narpada.

Untuk beberapa lama Mahisa Murti dan Mahisa Pukat masih duduk bersila di sanggar dengan tangan berada di atas lutut. Mereka masih berusaha mengatur pernafasan mereka yang terengah-engah. Dengan sebulat hati mereka berusaha untuk memulihkan keadaan tubuh mereka, meskipun tidak dengan serta merta dan sepenuhnya.

Demikianlah, perlahan-lahan terasa angin pagi yang menyusup lewat celah-celah dinding mulai menyentuh tubuh mereka, sehingga rasa-rasanya menjadi semakin segar. Darah mereka yang mengalir dengan keras dan degup jantung yang bagaikan berguncang-guncang telah mulai mereda dan bahkan menjadi pulih kembali.

Namun agaknya mereka memerlukan waktu yang agak panjang. Ketika matahari sudah naik, keduanya masih belum nampak keluar dari sanggar.

Tetapi Pangeran Singa Narpada dapat memakluminya. Kedua anak itu jika ditilik dari umurnya masih terlalu muda. Hanya karena keduanya telah pernah menerima puncak ilmu ayahnya sajalah, maka Pangeran Singa Narpada berani memberikan ilmunya kepada kedua orang anak itu. Karena menurut pengertian Pangeran Singa Narpada, jika yang menerima ilmu itu ternyata masih belum memiliki kesediaan badani yang cukup, maka jatungnya justru akan dapat meledak.

Ternyata bahwa Mahisa Murti dan Mahisa Pukat benar-benar telah siap menerima ilmu yang luar biasa itu, meskipun untuk beberapa saat, keadaan tubuh mereka terasa menjadi lemah. Bahkan mungkin diperlukan waktu yang lebih lama lagi untuk memulihkan seluruh kekuatan tubuh kedua anak muda itu.

Ketika matahari kemudian naik semakin tinggi, bahkan hampir mencapai puncak langit, maka kedua anak muda itu baru merasa keadaan mereka sudah menjadi cukup baik. Karena itu, maka mereka pun telah menghentikan samadi mereka.

Setelah membenahi pakaian mereka, maka kedua orang anak muda itu pun telah keluar dari dalam sanggar dan seperti juga Pangeran Singa Narpada, mereka pun langsung pergi untuk menyegarkan badan. Ketika mereka mulai menyiram tubuh mereka dengan air di pakiwan, rasa-rasanya segalanya memang telah menjadi pulih kembali.

Namun dalam pada itu, meski pun tingkat mewariskan ilmu itu sudah selesai, namun masih ada sesuatu yang harus diberikan oleh Pangeran Singa Narpada.

Karena itu, ketika keduanya telah selesai membenahi diri, maka Pangeran Singa Narpada pun berkata, “beristirahatlah sebaik-baiknya lahir dan batin. Malam nanti kita masih akan berbicara.”

Mahisa Murti dan Mahisa Pukat mengangguk kecil. Sebenarnyalah mereka ingin beristirahat sebaik-baiknya. Karena itu, maka sehari itu, keduanya hampir tidak keluar dari dalam bilik mereka. Mereka telah mempergunakan waktu mereka untuk sejenak tidur. Tetapi karena tidak menjadi kebiasaan mereka tidur di siang hari, maka mereka pun hanya sejenak dapat lenyap.

Ketika malam turun, maka kedua anak muda itu telah bersiap. Bersama Pangeran Singa Narpada mereka memasuki sanggar pula. Namun mereka tidak akan lagi melakukan pewarisan ilmu sebagaimana telah dilakukan semalam, tetapi mereka hanya duduk saja di atas selembar tikar. Di sebelah mereka lampu minyak menyala di atas ajuk-ajuk bambu.

Dalam kesempatan itu, Pangeran Singa Narpada telah memberikan beberapa macam petunjuk sebagaimana diterimanya dari gurunya. Bagaimana Mahisa Murti dan Mahisa Pukat dapat mengembangkan ilmu mereka. Selebihnya Pangeran Singa Narpada juga memberikan petunjuk-petunjuk apa yang sebaiknya dilakukan oleh Mahisa Murti dan Mahisa Pukat sebagai pewaris ilmunya.

“Agaknya tidak akan berbeda jauh dari pesan-pesan yang pernah kau terima dari ayahmu,” berkata Pangeran Singa Narpada.

Mahisa Murti dan Mahisa Pukat mengangguk-angguk. Sementara itu Pangeran Singa Narpada berkata, “Karena itu, usahakanlah, agar kalian dapat melakukan sebagaimana di harapkan oleh ayahmu.”

“Kami akan berusaha Pangeran,” desis Mahisa Murti.

“Ya,” jawab Pangeran Singa Narpada, “aku yakin akan kejujuran hati kalian. Kalian adalah anak-anak muda yang memiliki bekal yang tidak ada bandingnya. Ilmu dari ayahmu, dan sekarang yang aku wariskan kepadamu, sementara itu, kalian telah memiliki penangkal racun yang dapat menolak racun dan bisa yang bagaimanapun tajamnya.”

Mahisa Murtidan Mahisa Pukat menundukkan kepalanya.

Sementara itu Pangeran Singa Narpada berkata, “Dengan bekal yang kalian miliki, maka pada suatu saat kalian akan menjadi orang yang sulit ada tandingnya. Namun itu bukan berarti bahwa kalian dapat berbuat apa saja, karena sebenarnyalah bahwa yang terkuat itu pun pada suatu saat akan dikalahkan oleh kekuatan baru tanpa di pilih apakah itu kekuatan hitam kekuatan putih. Karena itu, seseorang tidak boleh menjadi sombong karena ilmu-ilmu yang dimilikinya.”

Mahisa Murti dan Mahisa Pukat masih saja menunduk.

Masih banyak pesan-pesan yang diberikan oleh Pangeran Singa Narpada disamping petunjuk-petunjuk apakah yang harus dilakukan dalam waktu dekat dan panjang.

Akhirnya Pangeran Singa Narpada berkata, “Mahisa Murti dan Mahisa Pukat. Jika aku mewariskan ilmuku kepada kalian, itu agaknya bukannya tanpa pamrih. Karena itu, maka aku minta, kalian akan bersedia memenuhi permintaanku.”

Mahisa Murti dan Mahisa Pukat menjadi tegang sejenak. Namun mereka pun berusaha untuk menghapuskan semua kesan itu dari wajah mereka. Bahkan keduanya pun kemudian berusaha untuk mendengarkan sebaik-baiknya, pesan apakah yang akan diberikan oleh Pangeran Singa Narpada itu.

Untuk beberapa saat Pangeran Singa Narpada justru terdiam. Namun kemudian setelah menarik nafas dalam-dalam ia pun berkata, “Aku terpaksa mengatakannya. Tetapi niatku baik.”

Mahisa Murti dan Mahisa Pukat sama sekali tidak menjawab. Ia menunggu apa yang akan dikatakan oleh Pangeran Singa Narpada itu.

Baru sejenak kemudian Pangeran Singa Narpada berkata, “Mahisa Murti dan Mahisa Pukat. Bukan maksudku untuk mengorek rahasia keluarga sendiri, karena setiap cacad yang terdapat di dalam lingkungan keluargaku adalah cacadku juga.”

Mahisa Murti dan Mahisa Pukat menjadi semakin berdebar-debar. Sementara itu Pangeran Singa Narpada berkata selanjutnya, “Dengarlah baik-baik, meskipun aku harus mengatakannya sambil menyembunyikan wajahku. Sebenarnyalah aku tidak dapat mempercayai lagi siapa pun juga di dalam lingkungan keluargaku sendiri. Ada beberapa alasan yang dapat aku sebut. Tetapi aku kira aku tidak perlu mengatakan kepadamu. Karena itu, tidak seorang pun di antara mereka yang menurut pendengaranku pantas untuk menerima warisan ilmuku.” Pangeran Singa Narpada berhenti sejenak, lalu, “Namun dengan demikian, aku telah mencemaskan Tanah Kediri. Jika tidak ada orang yang memiliki bekal ilmu yang cukup, maka pada suatu saat, jika datang orang yang ingin mengganggu ketenangan Tanah ini, tidak akan ada seorang pun yang akan dapat mengatasinya. Karena itu, maka aku akan minta tolong kepadamu. Meskipun kau bukan keluarga Kediri, namun aku berharap agar kau bersedia berbuat sesuatu bagi Tanah ini.”

Jantung Mahisa Murti dan Mahisa Pukat terasa berdebar semakin cepat. Namun keduanya dapat merasakan betapa pahitnya perasaan Pangeran Singa Narpada. Ia merasa sendiri di ramainya Tanah Kediri.

Memang ada beberapa Senapati yang dapat dipercayainya. Tetapi mereka tidak mampu menarik kepercayaan Pangeran Singa Narpada sepenuhnya.

Karena itulah, maka beruntung sekali Mahisa Murti dan Mahisa Pukat yang justru telah menerima warisan ilmu yang luar biasa dari Pangeran Singa Narpada.

Tetapi justru karena itu, maka keduanya tentu tidak akan dapat menolak permintaan Pangeran Singa Narpada itu.

“Bagaimanakah kira-kira tanggapan kalian?” bertanya Pangeran Singa Narpada. Namun kemudian katanya, “Tetapi aku tidak memaksakan keinginan ini. Aku pun tidak tergesa-gesa ingin mendengar jawab kalian. Kalian dapat memikirkannya barang satu dua pekan. Pada suatu saat kalian akan dapat memberikan jawaban tanpa ragu-ragu lagi serta tidak akan menyesal di kemudian hari.”

Mahisa Murti dan Mahisa Pukat saling berpandangan sejenak, baru kemudian Mahisa Murti menyahut, “Pangeran. Adalah tidak pantas sama sekali bagi kami apabila kami mengelak satu kewajiban yang dibebankan oleh guru kami kepada kami, apapun ujud dan bentuknya. Namun agaknya Pangeran tidak ingin berbicara selaku guru terhadap murid-muridnya, karena Pangeran merasa bahwa Pangeran tidak membentuk kami sejak permulaan. Namun bagaimanapun juga kami adalah murid-murid yang wajib setia pada gurunya. Meskipun demikian sebagaimana yang Pangeran katakan, kami akan mempertimbangkannya dalam beberapa hari ini, meskipun sebenarnya itu tidak perlu.”

“Terima kasih,” jawab Pangeran Singa Narpada, “aku akan menunggu jawabnya. Tetapi aku akan dapat salah duga. Jika demikian yang terjadi, maka aku tidak akan merasa sangat kecewa, karena semuanya yang memang halus terjadi dan akan terjadi.”

Mahisa Murti dan Mahisa Pukat tidak menjawab. Tetapi kepala mereka telah tertunduk semakin dalam. Keduanya mencoba untuk menerawang Kediri yang besar. Apakah tidak ada seorang pun di antara para bangsawan yang dapat dipercaya oleh Pangeran Singa Narpada?”

Bahkan diluar sadarnya Mahisa Murti dan Mahisa Pukat hampir-hampir telah menyatakan ketidak percayaannya.

Untunglah bahwa hal itu masih belum diucapkannya.

Sementara itu, malam telah menjadi semakin malam. Karena itu maka Pangeran Singa Narpada pun berkata, “sudahlah Mahisa Murti dan Mahisa Pukat. Kalian tentu menjadi sangat letih semalam. Mungkin kalian sudah merasa cukup beristirahat. Tetapi biarlah kekuatan kalian pulih kembali seutuhnya. Besok kau tidak harus menjalani laku lagi. Sementara itu waktu kita menjadi bertambah panjang untuk berbicara dengan orang-orang bertongkat yang sudah sangat lama berada di sini. Jika kita memang tidak memerlukan lagi, maka mereka akan aku kirimkan ke penjara istana, agar mereka dapat disimpan saja di sana.

“Sulit untuk mendengar keterangannya Pangeran,” berkata Mahisa Pukat.

“Ya. Namun kita masih akan mencoba. Sementara ini kita tidak dapat memusatkan perhatian kita. Namun agaknya mulai besok kita tidak akan lagi terganggu waktunya. Siang dan malam kita akan dapat melakukannya. Meskipun aku tahu, bahwa apa yang akan kita dengar tidak akan berarti apa-apa.”

Mahisa Murti dan Mahisa Pukat mengangguk-angguk. Ia pun mempunyai perhitungan yang demikian. Tetapi memang tidak ada salahnya untuk mencoba sekali lagi berbicara dengan orang-orang bertongkat itu.

Dengan demikian maka sejenak kemudian, Mahisa Murti dan Mahisa Pukat pun telah minta diri untuk kembali ke dalam biliknya. Mereka memang masih ingin beristirahat untuk beberapa saat lagi. Apalagi dimalam itu.

Ketika fajar membayang di hari berikutnya, maka Mahisa Murti dan Mahisa Pukat telah berada di luar biliknya sebagaimana dilakukannya sehari-hari. Mereka tidak dapat meninggalkan kebiasaan mereka untuk berbuat sesuatu. Membersihkan halaman atau mengambil air dari sumur untuk memenuhi jambangan di pakiwan atau kerja-kerja yang lain.

Tetapi, karena di istana Pangeran Singa Narpada semuanya itu sudah dilakukan oleh orang-orang tertentu, maka keduanya setiap pagi telah berada di dalam sanggar. Apalagi ketika mereka telah menerima ilmu dari Pangeran Singa Narpada, maka mereka merasa perlu untuk selalu berusaha mengembangkannya bersama-sama dengan ilmu yang diwarisinya dari ayahnya.

Namun mereka tidak dapat melakukannya dengan serta merta. Mereka sadar, bahwa mereka harus melangkah dengan sabar. Hari itu adalah hari-hari permulaan bagi mereka menanggapi ilmu yang diwarisinya dari Pangeran Singa Narpada. Karena itu, maka mereka pun tidak dengan cepat ingin memaksa diri untuk mencapai satu loncatan panjang.

Tetapi sebagaimana di hari-hari lain, maka untuk tidak menimbulkan kesan-kesan tersendiri, maka keduanya tidak terlalu lama berada di dalam sanggar. Di siang hari, mereka adalah tamu yang khusus jika mereka di istana, tetapi jika mereka berada di padang terbuka, maka mereka adalah murid-murid yang bekerja keras untuk mempersiapkan diri mereka. Sedangkan di malam hari, waktu mereka lebih banyak justru berada di dalam sanggar.

Kebiasaan itu akan berlaku untuk waktu berikutnya. Namun dengan langkah-langkah yang berbeda. Mereka tidak lagi mempersiapkan diri untuk menerima ilmu yang jarang ada duanya, tetapi mereka menelusuri langkah-langkah untuk mengembangkan ilmu mereka.

Namun dalam pada itu, ternyata Mahisa Murti dan Mahisa Pukat telah memerlukan untuk menemui orang-orang bertongkat yang masih saja berada di dalam tahanan.

Kehadiran Mahisa Murti dan Mahisa Pukat selalu diterima dengan penuh kecurigaan oleh oang-orang bertongkat itu, sebagaimana kehadiran Pangeran Singa Narpada. Namun keempat orang itu tidak akan dapat menolak. Mereka harus menerima kedua orang anak muda itu betapapun mereka tidak senang.

Mahisa Murti dan Mahisa Pukat yang memasuki bilik tahanan keempat orang itu pun kemudian telah berusaha berbicara dengan mereka. Tetapi kedua anak muda itu segera merasakan, bahwa tidak akan banyak persoalan yang dapat mereka simpulkan dari pembicaraan itu sebagaimana yang pernah dilakukan.

Namun Mahisa Pukat masih juga bertanya, “Siapakah di antara kalian yang paling tua?”

Pertanyaan itu adalah pertanyaan yang wajar, sehingga salah seorang di antara keempat orang itu telah menunjuk orang bertubuh kecil yang duduk di sudut sambil memeluk lututnya.

Mahisa Pukat berpaling ke arah orang bertubuh kecil itu. Sambil tersenyum ia berkata, “Kita sudah pernah bertemu sebelum kalian berada di bilik ini.”

“Ya,” jawab orang bertubuh kecil itu, “kita pernah bertempur. Kalian berdua bersama-sama melawan aku. Waktu itu kalian berdua menang.”

“Aku tidak menyangka bahwa kau termasuk seorang yang licik dan pengecut,” berkata Mahisa Pukat.

Wajah orang bertubuh kecil itu menjadi merah.

“Kami waktu itu menyangka bahwa kau adalah seorang yang baik budi. Kami menyangka bahwa kau telah dengan hati terbuka memberitahukan kepada Pangeran Singa Narpada, bagaimana menyelamatkan benda berharga itu. Ternyata bahwa yang kau lakukan itu merupakan satu langkah dari rencanamu yang sangat rumit dan curang.”

“Adalah salah kalian bahwa kalian, terutama Pangeran Singa Narpada, mempercayainya,” sahut orang itu.

“O, Kau kira Pangeran Singa Narpada mempercayaimu?” bertanya Mahisa Pukat.

Orang bertubuh kecil itu terdiam. Namun sorot matanya masih telah menunjukkan hatinya yang bergejolak menanggapi sikap Mahisa Pukat.

“Sudah berapa lama kalian berada di sini?” bertanya Mahisa Pukat tiba-tiba.

“Kau tahu itu,” jawab orang bertubuh kecil itu.

“Dan kau masih tetap tidak bersedia membantu kami,” berkala Mahisa Pukat.

“Apa yang harus aku bantu?” bertanya orang itu.

“Sampai saat ini kau masih belum menyebutkan, siapakah kalian sebenarnya. Siapakah orang-orang yang telah terbunuh itu? Dan untuk apa kalian berusaha mengambil benda berharga dari Gedung Perbendaharaan itu,” berkata Mahisa Pukat.

“Aku sudah mengatakan semua yang aku ketahui,” berkata orang itu, “apalagi?”

“Masih ada,” jawab Mahisa Pukat, “sebut, dari manakah asal kalian. Di manakah padepokan kalian dan untuk apa kalian mengambil pusaka itu.”

“Sudah kami jawab. Padepokan kami terletak jauh sekali. Kau tidak akan dapat membayangkan di manakah letaknya. Dan padukuhan kami? Sementara itu aku pun sudah menjawab kepadamu, kepada Pangeran Singa Narpada dan kepada siapapun yang bertanya kepada kami, bahwa yang terbunuh itu adalah guruku dan paman guruku. Nah, bukankah sudah jelas? Sedangkan untuk apa pusaka-pusaka itu, hanya guruku sajalah yang tahu. Sedang guruku sudah dibunuh oleh Pangeran Singa Narpada. Dengan demikian, maka pertanyaanmu yang terakhir itu tidak akan pernah dapat dijawab.”

Mahisa Pukat menarik nafas dalam-dalam. Rasa-rasanya pembicaraan itu sudah menjadi buntu sebagimana yang pernah dilakukannya.

Namun tiba-tiba saja ia bertanya, “Siapakah nama gurumu dan gelarnya?”

“Kenapa kau tidak bertanya sendiri ketika guru masih hidup?” bertanya orang bertubuh kecil.

“Tentu aku tidak mendapat kesempatan untuk melakukannya,” berkata Mahisa Pukat, “tetapi agaknya gurumu itu justru tidak begitu berkepentingan dengan pusaka yang kau ambil itu, karena menurut pengamatan kami, ia baru datang setelah pusaka itu diambil oleh paman gurumu.”

Orang bertubuh kecil itu tidak menjawab. Sementara itu Mahisa Pukat berkata, “Menurut pengamatanku, gurumu benar-benar seorang pertapa yang sudah tidak lagi memerlukan kebutuhan duniawi. Tetapi kenapa ia masih demikian tamaknya bahkan gejolak keinginan duniawinya masih sangat besar, karena ia masih berharap untuk menjadi seorang raja?”

“Bohong,” tiba-tiba salah seorang di antara keempat orang bertongkat itu memotong, “guru memang seorang pertapa yang bersih dari nafas keduniawian.”

“Jangan mimpi,” sahut Mahisa Pukat, “setiap orang melihat bahwa gurumu adalah seorang yang tamak sekali. Dalam umurnya yang sudah menginjak ketuaan, apakah sebenarnya yang ingin dicapai?”

“Guru memang tidak menginginkan apa-apa lagi. Yang dilakukannya semata-mata adalah karena cintanya kepada murid-muridnya.”

Mahisa Pukat mengerutkan keningnya. Namun kemudian ia bertanya, “Siapakah nama guru kalian itu?”

Keempat orang itu terdiam. Tidak seorang pun yang menjawabnya.

“Nah,” berkata Mahisa Pukat, “bukankah kalian malu menyebut nama gurumu? Itu adalah pertanda bahwa kalian memang mengakui, guru kalian adalah orang yang namanya pernah cemar atau tercemar.”

“Tidak,” salah seorang di antara keempat orang itu hampir berteriak, “kalian jangan mengigau.”

“Jangan berteriak begitu,” Mahisa Murti lah yang menyahut, “kamilah yang sepantasnya membentak-bentak kalian. Bukankah kalian adalah tawanan kami?”

Orang bertongkat itu menggeram.

“Kalian harus menerima nasib kalian. Kalian adalah korban ketamakan guru kalian,” berkata Mahisa Murti.

“Tidak. Sama sekali tidak,” sahut orang bertongkat itu.

“Kenapa tidak? Gurumu mati atas ulahnya sendiri. Sekarang kalianlah yang tinggal hidup akan mengalami nasib yang tidak dapat kalian ramalkan. Bukankah hal itu adalah sekedar akibat nafsu gurumu? “ ulang Mahisa Pukat.

Wajah orang-orang bertongkat itu menjadi merah. Tetapi mereka tidak dapat menyangkal bahwa nasib mereka memang menjadi sangat buruk. Tetapi mereka sama sekali tidak rela bahwa gurunyalah yang menjadi sasaran kesalahan itu.

Karena itu, maka salah seorang di antara mereka berkata, “Maaf jika aku berteriak. Tetapi aku tidak dapat menerima sikapmu yang merendahkan guruku.”

“Jadi bagaimana yang sebenarnya terjadi?” bertanya Mahisa Pukat tiba-tiba.

Pertanyaan itu memang mengejutkan. Orang bertubuh kecil itu pun menundukkan kepalanya. Ia tidak akan dapat mengelak lagi pertanyaan-pertanyaan yang tentu akan datang seperti datangnya ombak di tepi laut. Bergulung-gulung susul menyusul tidak henti-hentinya.

Namun orang bertubuh kecil itu tidak menunjukkan kegelisahannya. Meskipun kepalanya tertunduk, namun ia tidak berdesah.

“Bagaimana yang sebenarnya?” Mahisa Pukat mencoba mendesak, “siapakah sebenarnya yang tahu rencana pengambilan pusaka itu? Untuk apa? Jika kalian tidak ingin disebutkan korban ketamakan guru kalian, maka kalian tentu tidak akan menyangkal bahwa bukan guru kalianlah yang bernafsu untuk mengambil mahkota itu. Jika guru kalian terlibat, maka itu adalah karena cinta guru kalian terhadap kalian.”

Keempat orang bertongkat itu tidak menjawab.

“Masih ada kesempatan bagi kalian,” berkata Mahisa Pukat, “atau orang-orang Kediri akan mengambil kesimpulan bahwa seorang pertapa tua dari sebuah padepokan telah mengorbankan murid-muridnya bagi memenuhi ketamakannya.”

Keempat orang itu masih tetap berdiam diri. Wajah-wajah mereka tetap menunduk. Namun hati mereka tetap memberontak jika nama gurunya dicemarkan.

Hal itulah yang diketahui oleh Mahisa Murti dan Mahisa Pukat. Karena itu, maka keduanya berniat untuk mempergunakan hal itu sebagai senjata untuk mendengar keterangan orang-orang bertongkat itu kemudian.

Namun Mahisa Murti dan Mahisa Pukat tidak ingin memaksa mereka langsung berbicara. Karena itu, maka Mahisa Pukat pun kemudian berkata, “Baiklah. Aku kira hari ini kalian masih belum siap untuk berbicara. Besok aku akan kembali lagi. Jika besok kalian juga belum siap, maka hari berikutnya dan hari berikutnya dan seterusnya sampai kalian mau berbicara meskipun kami harus menahan diri untuk tidak mengumumkan kenistaan gurumu kepada seluruh rakyat Kediri bahkan seluruh rakyat Singasari.”

Wajah orang-orang itu menjadi merah padam. Tetapi mereka memang tidak dapat berbuat apa-apa. Mereka adalah tawanan yang terkurung dan dikelilingi oleh kekuatan yang jauh melampaui kekuatan mereka.

Kecuali jika mereka memang berhasrat untuk membunuh diri.

Dengan demikian maka keempat orang itu harus menahan gejolak perasaannya betapapun sakitnya. Bukan saja karena penghinaan terhadap guru mereka, tetapi juga karena keadaan mereka sendiri Tetapi perasaan mereka menjadi semakin sakit jika orang-orang Kediri mengatakan bahwa mereka adalah korban ketamakan gurunya.

Sejenak kemudian maka Mahisa Murti dan Mahisa Pukat yang berada didalam bilik tahanan itu pun telah minta diri. Sikapnya sama sekali tidak menunjukkan kekerasan perasaan mereka. Namun keempat orang bertongkat itu menyadari, bahwa meskipun demikian anak-anak muda itu akan mampu bertindak tegas terhadap mereka.

Beberapa saat kemudian maka Mahisa Murti dan Mahisa Pukat itu pun meninggalkan bilik itu. Sehingga dengan demikian maka keempat orang bertongkat itu pun mendapat kesempatan untuk saling berbicara di antara mereka.

Tetapi rasa-rasanya pembicaraan mereka pun terasa hambar. Dengan nada rendah orang bertubuh kecil, saudara tertua di antara keempat orang itu pun berkata, “Anak-anak muda itu berhasil memancing perasaan kita terhadap guru.”

“Kita memang tidak dapat berbuat lain,” jawab salah seorang di antara orang-orang bertongkat itu, “aku tidak tahan mendengar mereka menghinakan guru.”

“Mereka sengaja berbuat demikian untuk, mengikuti perasaan kita,” jawab orang bertubuh kecil itu.

“Apa pun alasannya, tetapi apakah kita akan sampai hati mendengar, bahwa kesalahan ini ditimpakan seluruhnya kepada guru kita? Sementara guru kita ikut terlibat dalam hal ini karena cintanya kepada kita?” sahut salah seorang adik seperguruannya itu.

“Aku mengerti,” berkata orang bertubuh kecil itu, “Tetapi jika seandainya kita ingkar pada kenyataan dan tidak membantah kata-kata pancingan itu, semata-mata juga untuk kepentingan padepokan kita.”

“Tetapi bagaimanapun juga, aku tidak dapat mendengar penghinaan atas guru,” berkata adik seperguruannya yang lain, “Bahkan aku bersedia mengalami apa saja di dalam tahanan ini untuk mempertahankan nama guru.”

“Jika demikian, apakah kita harus berterus terang tentang padepokan kita yang besar itu. Tentang persiapan-persiapan yang sudah kita lakukan, serta tentang salah seorang di antara keluarga kita yang masih mempunyai darah keturunan raja-raja yang besar yang kita harapkan akan dapat merebut kekuasaan Kediri yang goyah?” bertanya orang bertubuh kecil itu.

“Memang hal itu tergantung kepada ketahanan kita untuk tetap membungkam,” jawab adik seperguruannya yang lain, “Jika kita mengalami tekanan, maka kita harus menahankannya. Jika sampai terloncat dari mulut kita bahwa di padepokan kita telah terkumpul kekuatan yang besar, maka Kediri tentu akan mengambil langkah-langkah, terutama Pangeran Singa Narpada, sementara kekuatan di padepokan kita belum siap. Apalagi dengan hilangnya guru dan paman yang sebenarnya akan dapat membantu kekuatan di padepokan kita.”

“Baiklah,” berkata orang bertubuh kecil itu, “kita akan tetap bertahan, apapun yang akan kita alami.”

Dengan tekad itulah, maka orang-orang bertongkat itu akan mempertanggung jawabkan nasib mereka sendiri, sementara orang-orang yang mereka tinggalkan telah menunggu mereka dengan harapan didalam hati mereka.

Demikianlah, maka dengan hati yang selalu berdebar-debar mereka menunggu waktu melintas dengan lambatnya! Ketegangan itu rasa-rasanya telah mencengkam semakin lama semakin kuat.

Dihari berikutnya, sejak matahari terbit, mereka dengan jantung yang berdegupan telah menunggu kehadiran Mahisa Murti dan Mahisa Pukat yang akan bertanya seribu macam persoalan yang harus mereka elakkan jawabnya.

Tetapi ternyata hari itu sampai lewat tengah hari Mahisa Murti dan Mahisa Pukat tidak nampak datang mengunjungi mereka.

Namun ketika mereka menganggap bahwa Mahisa Murti dan Mahisa Pukat pada hari itu tidak akan datang, tiba-tiba saja pintu bilik tahanan itu terbuka.

“Gila,” orang-orang bertongkat itu mengumpat.

Mereka melihat Mahisa Murti dan Mahisa Pukat berdiri di depan pintu.

Namun orang-orang bertongkat itu merasa heran, bahwa mereka melihat kedua orang anak muda itu mengenakan pakaian lengkap dengan pedang di lambung.

“Selamat sore,” berkata Mahisa Murti.

Orang-orang bertongkat itu menjawab sapa itu dengan malesnya. Meskipun jantung mereka berdebaran, namun mereka berusaha untuk nampak selalu tenang. Keempat orang itu tetap duduk berpencar di dalam ruang itu.

“Maaf, bahwa kami akan mengganggu ketenangan kalian,” berkata Mahisa Murti. Lalu, “Tetapi aku minta salah seorang di antara kalian pergi bersamaku.”

Wajah-wajah itu menjadi tegang.

“Tidak apa-apa. Tetapi para pemimpin prajurit Kediri ingin berbicara dengan salah seorang di antara kalian. Nah, siapakah di antara kalian yang akan pergi bersama kami?” bertanya Mahisa Pukat.

Keempat orang itu saling berpandangan. Namun akhirnya orang yang tertua di antara mereka tidak dapat ingkar. Katanya, “Aku adalah saudara tertua di antara kami berempat. Karena itu, jika hanya seorang saja yang harus ikut, maka biarlah aku yang ikut bersamamu.”

Mahisa Murti dan Mahisa Pukat pun mengangguk-angguk. Dengan nada datar Mahisa Pukat berkata, “Bagus. Itu adalah satu tanggung jawab yang pantas dihargai. Marilah, kita akan pergi sejenak.”

Orang bertubuh kecil itu pun kemudian melangkah kepintu. Namun ia masih berhenti sejenak dan berpaling ke arah saudara-saudara seperguruannya. Rasa-rasanya ia ingin memandang mereka sampai tuntas, seolah-olah ia tidak akan bertemu lagi dengan adik-adik seperguruannya itu.

Sejenak kemudian, maka orang bertubuh kecil itu pun telah melangkah pintu dan pintu itu pun tertutup kembali dan diselarak dari luar.

Namun demikian ketegangan masih tetap mencengkam hati ketiga orang yang masih tinggal di dalam bilik itu. Dengan cemas seorang di antara mereka bergumam, “Ke mana ia di bawa!?”

Kedua saudara seperguruannya berpaling ke arahnya. Dengan nada dalam salah seorang di antara keduanya itu menyamhut. “Ia tidak akan pergi terlalu lama. Seperti kata anak-anak muda itu, bahwa para pemimpin prajurit Kediri akan berbicara. Agaknya tidak akan terjadi sesuatu, justru karena ia akan berbicara dengan para pemimpin.”

Saudara-saudara seperguruannya mengangguk-angguk. Namun mereka sadar, bahwa saudara seperguruannya yang mengatakan itu pun tidak yakin akan kebenaran kata-katanya, karena yang diucapkan itu adalah sekedar untuk menenangkan hati saja.

Dengan tegang ketiga orang itu menunggu saudara seperguruannya yang tertua itu kembali. Namun sampai saatnya seorang prajurit menyalakan lampu minyak di dalam ruang itu, orang bertubuh kecil itu belum kembali.

“Kau tahu, ke mana saudaraku itu dibawa?” bertanya salah seorang dari ketiga orang yang menunggu itu.

Prajurit yang menyalakan lampu minyak itu menggeleng. Tetapi ia menjawab juga, “Aku tidak tahu ke mana ia dibawa. Yang aku lihat adalah bahwa saudaramu itu telah diikat di belakang seekor kuda.”

“Apa?“ hampir berbareng ketiga orang itu bertanya.

“Ya. Saudaramu diikat di belakang seekor kuda, harus mengikuti kuda itu meninggalkan istana ini. Mungkin ia akan dibawa menghadap para panglima dan Senapati, “jawab prajurit itu.

“Gila,” geram salah seorang di antara ketiga orang itu, “Apakah kau berkata sebenarnya?”

Prajurit itu memandang orang yang bertanya itu dengan tajamnya. Kemudian ia pun bertanya pula, “Apakah kau kira aku berbohong? Buat apa aku membohongimu?”

Orang-orang bertongkat itu tidak bertanya lagi. Namun jantung mereka menjadi berdentangan. Mereka tidak mengira bahwa saudaranya itu akan diperlakukan demikian oleh para prajurit Kediri.

“Perlakuan yang kejam,” geram salah seorang di antara mereka.

Saudara-saudaranya tidak menjawab. Tetapi rasa-rasanya darah mereka telah mendidih.

Karena itulah, maka hampir semalam suntuk ketiga orang yang berada didalam bilik tahanan itu hampir tidak dapat memejamkan matanya. Hanya sesaat sebelum matahari terbit mereka sempat tidur sejenak.

Ketika matahari terbit, maka mereka telah kembali dicengkam oleh kegelisahan. Mereka telah menunggu dan menunggu. Namun pada hari itu, saudara seperguruannya belum juga kembali kedalam bilik itu.

Dengan demikian maka ketiga orang bersaudara seperguruan itu menjadi semakin gelisah dan tegang. Selain semalam mereka tidak dapat tidur, maka rasa-rasanya mereka pun tidak dapat menelan makan yang dihidangkan bagi mereka hari itu. Makan yang dihidangkan tiga kali dalam sehari, hampir tidak disentuhnya karena jantung mereka yang berdebaran.

Namun disore hari, prajurit yang menghidangkan makan tidak mengambil sisa makan mereka dan membiarkan makan itu tetap didalam bilik itu.

Ternyata ketika tengah malam saudara seperguruan mereka belum pulang dan mereka tidak juga dapat tertidur, makan itu telah mereka makan meskipun hanya sebagian kecil saja.

Malam itu, orang yang mereka tunggu-tunggu itu pun belum juga kembali. Karena itu, maka ketiga orang itu pun telah berusaha untuk tertidur barang sejenak menjelang pagi.

Namun sebelum fajar, mereka telah dikejutkan oleh derak pintu yang terbuka. Ketika mereka membuka mata, maka mereka melihat Mahisa Murti dan Mahisa Pukat berdiri didepan mereka.

“Dimana saudaraku itu,” bertanya salah seorang di antara mereka.

Mahisa Pukat tersenyum. Katanya, “Aku tidak tahu. Aku telah menyerahkannya kepada para panglima dan Senapati yang menghendaki berbicara dengan saudaramu itu.”

“Apakah sekarang ia masih berada di antara para pemimpin? Berapa pekan para pemimpin itu akan berbicara dengan saudaraku?” bertanya yang lain.

Mahisa Pukat menarik nafas dalam-dalam. Namun kemudian dilemparkannya sebuah bungkusan kepada ketiga orang itu. Katanya, “Aku mendapat titipan dari para Senapati itu untuk disampaikan kepada kalian.”

“Apa? “ ketiga orang itu menjadi cemas.

“Bukalah,” berkata Mahisa Pukat.

Orang-orang itu menjadi ragu-ragu. Namun kemudian yang tertua di antara mereka pun telah membuka bungkusan itu. Darahnya terasa bagaikan berhenti mengalir ketika ia melihat bahwa didalam bungkusan itu terdapat pakaian saudara seperguruannya yang pergi itu.

Tangannya tiba-tiba telah menjadi gemetar. Wajahnya menjadi pucat dan rasa-rasanya ia tidak mampu lagi untuk membuka bungkusan itu lebih lanjut.

Kedua orang saudara seperguruannya menjadi tidak sabar. Berloncatan mereka menerkam bungkusan itu. Namun mereka pun telah menjadi pucat pula ketika mereka melihat bahwa isi bungkusan itu adalah pakaian saudara mereka yang tertua.

“Apa artinya?” bertanya salah seorang di antara mereka dengan suara gemetar.

“Aku tidak tahu,” jawab Mahisa Pukat, “aku hanya mendapat pesan untak menyampaikan barang-barang itu kepada kalian tanpa mengetahui isinya. Jika aku boleh tahu, apakah isinya? “

“Ini adalah pakaian saudara kami,” jawab salah seorang di antara mereka.

“Pakaian? “ ulang Mahisa Pukat.

“Ya,” jawab orang itu.

Mahisa Pukat mengerutkan keningnya. Sementara itu ketiga orang yang sudah berhasil menguasai perasaannya itu telah mencoba membuka lebih jauh lagi. Mereka mulai membentangkan pakaian-pakaian itu.

Namun dengan demikian keringat dingin telah membasahi seluruh tubuh mereka. Pakaian itu benar-benar membuat mereka menjadi sangat ngeri.

Di beberapa bagian dari pakaian itu terdapat noda-noda darah sementara dibagian yang lain terdapat lubang-lubang karena pakaian itu telah koyak.

“Apa artinya ini Ki Sanak, apa artinya,” tiba-tiba seorang di antara ketiga orang itu berteriak semakin keras sambil mengibas-kibaskan pakaian itu.

“Tenanglah,” berkata Mahisa Murti, “Mundurlah.”

“Tetapi bukankah dengan demikian berarti saudaraku itu telah mati dalam keadaan yang mengerikan? Apakah arti dari pakaiannya yang telah terkoyak-koyak itu dan apa pula artinya noda-noda darah pakaian itu?” bertanya salah seorang di antara ketiga orang itu.

“Tenanglah,” berkata Mahisa Murti, “kami tidak tahu apa yang terjadi. Tetapi kami berjanji untuk menanyakan, apakah arti dari peristiwa ini.”

“Aku tidak percaya bahwa kalian berdua tidak mengetahui apa yang terjadi. Kalian tentu telah ikut dalam pembantaian yang kejam, yang tidak pantas dilakukan oleh orang-orang beradap,” berkata salah seorang dari ketiga orang.

“Yang menjadi tawanan di sini adalah kalian. Jika di antara kita ada perasaan tidak percaya, maka kamilah yang sepantasnya tidak percaya kepada keterangan kalian. Bukan kalian yang memaksa kami untuk mengatakan apa yang sebenarnya menurut pendapat kalian,” jawab Mahisa Pukat.

“Persoalannya tidak pada tawanan atau bukan tawanan,” jawab salah seorang dari mereka bertiga, “tetapi apakah pantas bahwa prajurit dan apalagi para Senapatinya memperlakukan seorang tawanan seperti itu.”

“Kita belum tahu pasti apa yang terjadi,” berkata Mahisa Murti, “karena itu aku berjanji untuk mempersoalkannya besok.”

“Omong kosong. Kalian datang pada saat seperti ini dan menyerahkan kepada kami pakaian yang koyak-koyak dan bernoda darah. Bukankah itu sudah pasti?” geram seorang di antara ketiga orang itu.

Tetapi Mahisa Murti menjawab, “Terserahlah menurut penilaian kalian. Tetapi aku minta diri. Aku ingin beristirahat di sisa fajar ini meskipun barangkali hanya sekejap saja.”

Ketiga orang itu memandang Mahisa Murti dan Mahisa Pukat dengan sorot mata yang membara. Namun mereka tidak dapat berbuat apa-apa. Sejenak kemudian Mahisa Murti dan Mahisa Pukat pun telah keluar dari dalam bilik itu, dan pintu pun kembali ditutup dan diselarak.

Sepeninggal Mahisa Murti dan Mahisa Pukat, ketiga orang bertongkat itu masih saja merenungi pakaian saudara seperguruannya yang tertua itu. Mereka membayangkan apa yang telah terjadi atasnya. Ketika saudaranya itu dibawa oleh Mahisa Murti dan Mahisa Pukat, ia telah diikat dibelakang kuda dan dipaksa untuk berjalan mengikutinya.

Kemudian, tentu sesuatu yang mengerikan telah terjadi. Saudaranya itu telah dipaksa untuk berterus terang. Tetapi agaknya saudara seperguruannya yang tertua itu tetap membungkam, sehingga ia mengalami perlakuan diluar batas perikemanusiaan.

Akhirnya yang dapat mereka renungi hanyalah pakaiannya yang koyak dan bernoda darah.

“Besok akan datang saatnya, kita masing-masing mengalami nasib yang sama,” desis salah seorang di antara ketiga orang itu.

“Apaboleh buat,” geram orang yang tertua di antara mereka bertiga. Lalu, “Kita tidak akan dapat berkhianat terhadap perguruan kita.”

“Mati dengan cara yang sangat menyakitkan hati,” desis yang lain. “Bagaimana jika kita membunuh diri saya?”

“Membunuh diri?” bertanya yang tertua, “itu bukan perbuatan terpuji. Kita tidak boleh mengelakkan penderitaan yang datang untuk kepentingan padepokan kita.”

“Bukan membunuh diri dengan menusuk dada kita sampai ke jantung,” jawab saudaranya.

“Jadi apa maksudmu?” bertanya yang tertua di antara mereka.

“Kita melawan para penjaga sampai mati,” jawab saudara seperguruannya, “itu akan lebih baik dari mati dalam keadaan seperti ini.”

Yang tertua mengerutkan keningnya. Lalu katanya,” belum tentu juga kita akan mati. Mungkin kita akan mengalami keadaan yang lebih mengerikan lagi.”

Kedua orang adik seperguruannya menarik nafas dalam-dalam. Namun mereka benar-benar tidak dapat menerima keadaan itu. Karena itu, maka sejenak kemudian seorang di antara mereka berkata, “Kami harus melarikan diri, tanpa mempedulikan apa yang dapat terjadi atas diri kami. Mati pun kami kehendaki.”

Saudara tertua yang tertinggal di antara mereka hanya dapat menarik nafas dalam-dalam. Rasa-rasanya memang tidak ada pilihan lain.

Tetapi adalah diluar dugaan mereka, bahwa petugas yang mengawasi mereka telah mendengarkan dengan cermat apa yang telah mereka bicarakan. Mahisa Murti dan Mahisa Pukat memang berpesan, bahwa sepeninggal mereka mungkin ketiga orang itu akan berbicara tentang pakaian kakak seperguruannya yang baru saja mereka berikan itu.

Dengan demikian maka di antara para petugas itu memang dengan sengaja telah menempel pada dinding bilik itu untuk mendengarkan pembicaraan ketiga orang saudara seperguruan yang marah itu, sehingga mereka tidak mengekang kata-katanya.

Para petugas yang mendengar percakapan itu pun segera telah melaporkannya kepada Mahisa Murti dan Mahisa Pukat, sehingga keduanya tahu bahwa ketiga orang itu akan berusaha untuk melarikan diri.

“Hal itu dilakukan dalam rangka usaha mereka membunuh diri,” berkata Mahisa Murti kepada Pangeran Singa Narpada ketika kedua anak muda itu melaporkan pula hal itu kepada Pangeran Singa Narpada.

Pangeran Singa Narpada menarik nafas dalam-dalam. Lalu katanya, “Kita harus berhati-hati. Kita harus dapat menangkap mereka kembali tanpa membunuh. Karena kematian justru mereka kehendaki. Namun sebelumnya harus dilakukan usaha agar mereka tidak sempat melarikan diri.”

Mahisa Murti dan Mahisa Pukat mengangguk-angguk. Sementara itu Pangeran Singa Narpada berkata, “Jika benar mereka keluar dari bilik itu, maka kalian akan bertempur menghadapi dua di antara mereka. Kalian dapat mencoba kemampuan kalian dengan ilmu yang aku wariskan kepada kalian, sehingga akhirnya mereka akan kehilangan kemampuan untuk bertempur tanpa membunuhnya. Serahkan yang seorang kepadaku. Aku tidak akan banyak mengalami kesulitan.”

Demikianlah, maka para petugas yang mengawasi bilik tawanan itu pun menjadi semakin berhati-hati. Pada suatu saat, ketiga orang itu tentu berusaha untuk melarikan diri. Mungkin pada saat-saat para petugas memberikan makan mereka dan mengambil sisa makanan sebelumnya. Atau pada kesempatan lain yang tiba-tiba.

Karena itu, ketika memberikan makan kedalam bilik itu, pengawalan telah dilakukan dengan lebih ketat. Sementara itu yang menyerahkan tiga nampan makanan kedalam bilik itu pun bukan petugas sebagaimana biasanya. Tetapi tiga orang perempuan yang diminta oleh nara pengawal untuk melakukannya. Tiga orang yang biasanya hanya bekerja di dapur.

Mula-mula ketiganya memang takut. Tetapi para pengawal menjamin keselamatan mereka jika terjadi sesuatu.

Sebenarnya lah ketiga orang saudara seperguruan itu mengumpat tidak habis-habisnya. Mereka sebenarnya ingin mempergunakan kesempatan itu untuk melakukan perlawanan. Mereka dapat melumpuhkan orang yang memberikan makan kepada mereka dan meloncat keluar. Kemudian menghadapi para pengawal dengan tekad untuk mati.

Tetapi betapapun buasnya ketiga orang bertongkat itu, ketika mereka melihat tiga orang perempuan memasuki bilik itu sambil membawa nampan berisi makan bagi mereka dengan sikap yang lugu dan kepala tunduk, hati mereka menjadi luluh. Apalagi seorang di antara ketiga orang perempuan itu rambutnya telah separo putih, sementara tangannya menjadi gemetar ketika ia meletakkan nampan itu diatas amben bambu.

“Setan orang-orang Kediri,” geram orang-orang itu, “Mereka ternyata sangat licik, pengecut dan biadab.”

Ketiga orang itu gagal dengan niatnya. Tetapi bukan berarti mati setelah bertempur dengan para pengawal.

Karena itu, maka ketiga orang itu pun sepakat untuk memecahkan dinding kayu yang tidak begitu tebal. Mereka merasa akan mampu melakukannya.

Laman: 1 2 3 4 5

Telah Terbit on 5 Oktober 2010 at 00:01  Comments (101)  

The URI to TrackBack this entry is: https://pelangisingosari.wordpress.com/hlhlp-028/trackback/

RSS feed for comments on this post.

101 KomentarTinggalkan komentar

  1. Balapan karo nGger Satpam ….
    Sugeng Enjang ngger!

    • Nglilir sedelo …
      Buka gandhog sambil gloyoral ….
      Begitu selarak dibuka … langsung ngloyor mlebu kamar maning!
      Heerrr her …. turu angler …

      Terpaksa rondha dewekan …

      • He he …
        lha wong kelap-kelip kok jare sare
        nglindur ayake
        selamat siang Pak De Ki Wid

        • sugeng enjing

        • Kulo kinten sing kelap kelip namung mripate … sanes radare ….
          nJenengan kedah sare … mangke “mlebet lesus, lho …. hiks

          • Hadu…
            banyak tugas nih Pak De

  2. Ngikuk pedepokan sedilit


    Lho…
    Pak Satpam kok tidak kenal
    Adakah yang sudah berubah?
    Tambah gendut atau tambah berewok?
    he he …, ngapunten Ki Biting
    sugeng rawuh

  3. Ésuk uthuk-uthuk. Wilujêng énjing

  4. Antri lontar dapat nomer 8 maning.

    • Nomer 3 Ki,
      Hanya tiga nama terdaftar …

      • Nggih Ki, kalau Ki Widura yang ambil tiga nomer dan Ki Satpam yang ambil dua nomer dikembalikan lagi,…… masak dokter dan penjaganya ikut antriiiii, terus yang ditunggu siapa …..

  5. Nuwun

    Sugêng énjang. Cantrik Bayuaji sowan, ngêndit rontal:

    FILOSOFI JAWA, “AJARAN BUDHI” PADA MASYARAKAT JAWA

    Pada wêdaran sebelumnya [HLHLP 22 On 25 September 2010 at 06:16 bayuaji said:], telah diwêdar Pituduh dan Wêwalêr, dengan pokok bahasan ajaran: ketuhanan, dan ajaran lainnya adalah ndonyå lan kadonyan, kulåwargå, bêbrayan lan nagårå, laku budi lan kautaman batin, .

    Sekedar untuk mengingatkan kembali, bahwa penyebutan filosofi Jawa dan masyarakat Jawa, karena Ajaran Budhi ini adalah asli dari Bumi Tanah Jawa dan telah ada sejak lama di dalam komunitas “Wong Jåwå”, jauh sebelum ajaran agama Hindu, Budha, Nasrani, Islam masuk ke Tanah Jawa (Nusantara).

    Banyak sekali Pituduh dan Wêwalêr warisan leluhur kita, dan yang diwedarkan ini hanya sebagian kecil saja.

    Berturut-turut, Insya Allah akan saya wêdar:

    nDONYÅ lan KADONYAN.
    Pitutur lan Wêwalêr-nya antara lain:

    1.Urip ing ndonyå iku mung mampir ngombé.
    [Hidup di dunia itu hanya sementara].

    2.Kahanan donyå kuwi ora langgêng, mulå åjå ngêgungaké kâsugihan lan drajat kalungguhan irå, awit samångså mrangguli wolak-waliking jaman, sirå ora kagét lan nggumun.
    [Keadaan dunia tidaklah abadi, maka jangan mengagung-agungkan kekayaan, derajat dan kedudukan, zaman selalu berubah, ketika engkau menjumpanya, kalian tidak terkejut dan heran].

    3.Kang kinaran mulyå iku dudu sugihing båndhå ndonyå råjåbrånå, luhuring kalungguhan lan ungguling pangêrtén, nanging mulyå iku mapan ing mêmanising ati.
    [Hidup terhormat bukan disebabkan karena kekayaan, tingginya kedudukan dan unggulnya kepintaran, tetapi kehormatan itu terletak pada keindahan budi pekerti].

    4.Åjå dumèh sugih båndhå.
    [Jangan merasa harta adalah segalanya]

    5.Nyåwå mung gaduhan, båndhå mung sampiran.
    [Jiwa hanya titipan, harta benda hanya hiasan].

    6.Èlingå, båndhå iku anane mung anèng donyå, yèn mati ora digåwå.
    [Ingatlah, harta benda itu hanya ada di dunia, bila meninggal tidak akan dibawa].

    7.Wóng mati iku ora gåwå bandhané.
    [Mati tidak membawa harta benda].

    8.Åjå wêdi kangèlan, jalaran uríp anèng donyå iku pancèn angèl.
    [Janganlah takut menghadapi kesulitan, hidup di dunia memang sulit].

    9.Golèk båndhå iku sakmadyå waé, udinên katêntrêman njåbå njêro.
    [Mencari harta benda itu hendaknya sekedar menurut kebutuhannya saja, (yang lebih penting daripada itu adalah) meraih ketentraman lahir dan batin].

    10.Båndhå iku bisa gawé mulyå ugå bisa gawé cilåkå. Gawe mulyå lamun anané sâkå barang lan panggawé kang becik, gawé cilåkå lamun sâka panggawé nisthå.
    [Harta benda bisa membahagiakan dan menyengsarakan. Membahagiakan bila dihasilkan dengan cara yang benar, tetapi dapat menyengsarakan bila diperoleh dari perbuatan yang nista].

    11.Båndhå kang rêsik iku båndhå sâkå nyambut gawé kang bêcik lan ora sâkå panggawé nisthå. Båndhå kang rêgêd iku båndhå sâkå ngrusak darbèking liyan.
    [Harta benda yang bersih itu diperoleh dari hasil pekerjaan yang baik, bukan dari pekerjaan nista. Adapun harta benda yang kotor diperoleh dengan cara menyengsarakan orang lain].

    12.Kadonyan kang ålå iku atêgês mung ngångså-ångså golèk båndhå donyå ora mikiraké kiwå têngêné.
    [Kekayaan yang tidak bersih didapat dari nafsu yang tidak memikirkan orang lain.]

    13.Båndhå iku pêrlu, nanging åjå umuk. Drajat lan kalungguhan iku ugå pêrlu nanging åjå di pamèr-pamèraké. Amargå biså mlêsêdaké awaké déwé.
    [Harta benda itu perlu, tetapi bukan untuk disombongkan, drajat dan kedudukan itu juga perlu tetapi tidak untuk dipamerkan. Karena suatu saat bisa membuat tergelincirnya seseorang.]

    14.Aja mélik darbèking liyan.
    [Jangan menginginkan hak milik orang lain].

    KULÅWARGÅ, BÊBRAYAN LAN NAGÅRÅ
    Pitutur lan Wêwalêr-nya antara lain:

    1.Sing såpå lali marang wong tuwane, prasasat lali marang Pangerane. Amargå båpå biyungirå iku pinångkå lantaran uripmu ing alam donyå.
    [Barang siapa lupa akan orang tua, ibarat lupa akan Tuhannya, karena bapa ibu itu adalah lantaran keberadaan kita di dunia].

    2.Åjå wani murang tåtå marang wong atuwamu, jalaran sirå iku asalé sâkå wongtuwamu, sanadjan dikåyångåpå kahanané.
    [Jangan berani dan kurang ajar kepada orang tua, karena keberadaanmu di dunia ini karena adanya kedua orang-tuamu, bagaimanapun keadaannya.]

    3.Anak iku minångkå kudangané wong tuwå, ora ånå katrésnan kang ngluwihi katrésnané wong tuwå marang anak.
    [Anak adalah harapan orang tua, tidak ada kasih sayang yang melebihi kasih sayang orang tua terhadap anaknya.]

    4.Åjå ngêgungaké drajat lan pangkat wong atuwamu, jalaran drajat lan pangkat iku dudu sirå sing ndarbèni.
    [Jangan mengandalkan kedudukan orang tuamu, karena kedudukan itu bukan milikmu].

    5.Sing såpå sênêng urip têtanggan, kalêbu janmå linuwih. Paribasan tånggå têparo iku sêdulurmu sing cêdhak dhéwé.
    [Siapa yang suka bergaul dengan tetangga, termasuk seorang yang bijaksana. Tetangga adalah saudaramu yang terdekat.]

    6.Ora ånå wóng kang ingaranan uríp, kêjaba kang tansah trêsnå marang wóng kang ringkíh lan nandhang påpå cintråkå.
    [Keberadan orang itu akan berarti, bila dia selalu mencintai orang-orang yang hidupnya sengsara.]

    7.Ajiníng manungså iku kapúrbå ing pakartiné dhéwé, ora kagåwå sâkå katurunan, sêmat, pangkat, drajat, kapintêran, lan kasugihané.
    [Martabat kehormatan seseorang ditentukan oleh budi-pekertinya, tidak karena keturunan, kedudukan, kepandaian dan kekayan].

    8.Golèk jodho åjå mung mburu éndahing wârnå, sânajan ayu utåwå bagus, yèn atine durjånå ora wurung disiriki liyan.
    [Mencari jodoh jangan hanya melihat wajahnya. Meskipun rupawan namun bila buruk perangainya niscaya akan dijauhi orang].

    9.Dadi mânungså kang duwé kuwåså, iku kang diarani pamonge pråjå, kudu biså gawé têntrêm kawulané, lan ugå kudu gawé kukuhing lan tamenging pråjå.
    [Penguasa atau pejabat negara mempunyai tugas sebagai abdi negara yang mengemban amanat rakyat demi keamanan dan ketentramannya, menjadi perisai negara].

    10.Nâgårå kuwat iku amårgâ kawulané sênêng uripé lan disuyudi déning liyan.
    [Negara yang kuat adalah rakyatnya makmur dan dihormati oleh negara-negara lain].

    11.Lamun sirå dadi pamong nagårå, åjå sirå dêmên kuwåså dhéwé. Jalaran yèn sirå ora kasinungan panguwåså manèh, ing têmbé bakal ndadèkaké ora kajining awakirå ing têngahing bêbrayan. Ngèlingånå yèn sirå dudu siji-sijining wong kang pintêr
    [Bila menjadi pejabat negara, jangan sewenang-wenang. Jika kekusasan itu hilang/lepas, maka akan menjadikan dirimu tidak dihargai lagi. Ingatlah bahwa masih ada orang lain yang mempunyai kelebihan dibandingkan dengan dirimu].

    ånå tutugé

    Wêdaran selanjutnya adalahlaku budi dan kautaman batin.

    Nuwun,

    cantrik Bayuaji.

    • Matur sembah nuwun Ki Bayuaji, sampun kulo simpen.
      Wah…. ternyata memang bagus sekali pitutur dan wewaler warisan leluhur kita.

    • Luar biasa… Ki Bayuaji
      matur nuwun atas semua wejangan2nya
      mohon ijin aku tag di facebook ya ki!

  6. Srreeetttt…criiittttt
    Marap sek…kulo ngacung

    • criiittt nya apa ya?
      Kok seperti pengalaman saya pagi tadi …
      setelah kebanyakan makan sambell

    • Punapane sing nagcung ki … ?

    • sing ngacung sing critt..

  7. Hadir pagi,…
    Antri no.???

  8. Parape Ki Pandanalas, kok koyo opo yo. …..?
    Sugeng enjing poro kadang.
    Nderek marak paseban.

    • parape kulo mboten nate sami ki…
      tiap marap mesthi benten…..

  9. Wis pada ngantor ayake
    kok kadingaren rame banget pagi ini
    he he ….
    selamat pagi (agak siang) ki sanak semua

    • met siang Pak Satpam
      kesuwen le sarapan malah lali ngisi daftar absen

  10. Assalamu’alaikum, selamat pagi semuanya..
    muacet tenan pagi ini…..tapi, aku BAHAGIAAA banget..
    Hayoo ada yang tau kenapa….????

    • biasane yg senang kalo macet ki bakul air mineral ..
      opo ya Miss Nona jualan air mineral

      apa mungkin miss nona ultah bareng baju loreng ini hari .. ??

      • Wah Ki Emprith ini panggraitanya memang jempolan, ndak sia2 berguru dari padepokan ADBM sampai HLHLP yach..

        • berarti tinggal nunggu kiriman sego kuning dari Miss Nona
          ayo poro dulur ,… ndang ngisi list pembagian sego kuning

          😀

          • Silahkan bagi sanak kadang yang belokasi di Jakarta dan sekitarnya dapat menikmati suguhan atraksi sukhoi….
            (padahal aku ndak minta lho)Xixixi

          • Profesi Miss Nona pilot SUKHOI njih..?

            tp nek dikon milih : enak miloti opo dipiloti ?

          • aku kalau dipiloti Ki PA, Wegah ach..
            Wong miloti Becak aja suka nyusruk..
            Hehe3, becanda lho Ki…

          • miloti becak benten ro miloti Nona ……..

            miloti becak nek nyusruk iso bendhas kabes

            miloti Miss Nona luwih enak nyusruk2….keokeokeo

  11. selamat ulang tahun bagi sedulur TNI, semoga tetap jaya

    • Tinggal menunggu bonus ultah TNI sekaligus ultahe Miss Nona.

      Ki Pak Satpam, pripun niki, yg ultah wonten kalih, sekalian mawon bonuse 😀
      .
      .
      .
      double gitu

      • Sugeng siang….

        Hadirrrr P. Satpam (Ngacunge sing dhuwur, ben ketok).

        Babakan bonus amargi wonten ingkang Ultah, namung saged nyengkuyung kemawon

        • bonus hari angkatan perang, semoga TNI menjadi suri tauladan bangsa baik dibidang keamanan dan ketaatan kepada bangsa dan negara serta motor reformasi dan lembaga yang paling anti korupsi.

  12. selamat siang.
    melu antri nunggu wektu thit, …

  13. nyruput kopi susu..eh..susu kopi sinambi F5 blog iki…jebul durung iso disruput..

    nyangkrim sek..

    “opo bedane kopi susu vs susu kopi ???” ayo ndang dibatang..mengko dak hadiahi gambar sing “HOT”

    • kopi susu: wedang kopi ditambahi susu anget
      susu kopi: susu anget ditambahi wedang kopi.

      niku mung sak-gaduk kula lho ki, …

    • he he ….
      niku unjukanipun Ki Arema
      Rumiyin enjing kopi sak muk, sonten sak muk.
      Menjelang 50-an, tidak diperbolehkan lagi kopi, diganti kopi susu.
      Lama-lama, kopi susu juga tidak boleh, sekarang ganti susu kopi.

      • nggih leres niku. enjing sak muk, sonten sak muk. dalune muk-mukan.

    • Kopi susu = kopi sing wernane rada putih
      Susu kopi = susu sing wernane rada ireng

      rak leres to Kiaine….????

  14. Enake…
    TNI Ultah ke 65
    Rontal diwedar dan dititipkan kepada ki sanak yang memberi komen urutan 65.
    he . he … he ….. he ……. he ……… he …………… (mblayu…, semakin jauh dan semakin gak kedengaran)

  15. tiga lima ……
    monggokurang tiga puluh …..

  16. nambahi siji, …

    • Nambah siji maneh

      • Nambah maneh siji

  17. Siji nambah maneh

    • nengok gandok

  18. Sugeng dalu Pak Satpam.
    Dereng dipun wedhar njih?

  19. Ki Banuaji rawuh terakhir tanggal 25 September 2010
    Ki Wiek datang terakhir tanggal 29 September 2010
    Ki Yudha berkunjung terakhir tanggal 2 Oktober 2010
    Ki Kartojudo sambang terakhir tanggal 3 Oktober 2010
    Ki Mukidi dan Nyi Cika sudah lama sekali tidak ngisi daftar hadir.

    Pada tindak kemana ya beliau-beliau itu?

    • tindak sala, oleh-olehe payung ….,
      pak jentit lo lo lobah wong mati ora obah

      • kleru ding yen obah ngentekke bocah

        • Ki Arga berkunjung terakhir setengah jam yang lalu.
          Ki Gla_Mer berkunjung seperempat jam yang lalu.

          lha padha ngasta oleh-oleh samak rontal 028 apa ora ya …???
          (kula dereng “ikut-2an” nogrok-ogrok amargi taksih gadhah PR kathah sanget, milai 005 dereng kecandhak)

          he…he…he….
          sugeng dalu.

  20. Iseng-2 tengok Padepokan ….
    Ee wis ditempelkan rontale-
    Swun nGger Satpam ….
    Tak sambi ngopy susu ….. nuang unjukane Ki Arema sak lepek wae ……

    ichhh kurang manis … atau pakai gula substitute?

    • Monggo Ki.
      Sugeng enjing ki.
      Nyruput kopi sinambi maos rontal, uenake puool.. nggih.
      sekedap malih mancal kemul.

  21. pas diinguk kok mak bedunduk, … ya trus tak undhuh, …
    matur nuwun nggih ki satpam.

    • Pas kula inguk kok sampun ndhodhok, lajeng kula petik.
      Matur sembah nuwun.

  22. Matur nuwun, sampun kulo undhuh.

    • wis do ngundhuh to aku kepingin melu ngundhuh ning no ngendi yo

      • Wonten halaman setunggal Ki. Gambaripun kemawon dipun klik, monggo…….

  23. Akhirnya Mahesa Murti dan Pukat mendapat warisan Thi-Khi-I-Beng seperti Pendekar Sadis …

  24. Assalamu’alaikum, selamat malam..
    Ikutan ronda ach, nyambi nungguin mami yg lg sakit berhubung ybs belum bisa tidur.
    P’satpam, aku perlu bawa senter ndak….

    • lho…, kalau maminya sakit tidak usah ikut ronda miss (wah repot ya nyebutnya, Ni miss tidak cocok, Nyi miss ya tidak cocok, nyebut miss saja terkesan “njangkar”).
      Kalau mau ronda, bawa senter dan payung sendiri, jaga-jaga kalau hujan. Tapi jangan pakai parfum ya, nanti pas gelap-gelap dikira kuntilanak. he he …., ngapunten…, guyon lho.

      • jebul ki Satpam durung pirso yen Miss Nona kuwi nek bengi seneng nangkring neng wit ringin mburi omah…sinambi ngrengeng nggambuh
        ……
        iiiihiiiihihihi xiiiixixixiixi…hiks (keselek anggone ngikik)

  25. met pagi,
    maturnuwun sik, ngunduhe mengko neng kantor wae.

  26. salam tengah malam…
    ingak-inguk

  27. Sugeng enjing kadang sedoyo.

  28. Matur nuwun P. Satpam, sampun nyruput susu teh.
    E.. mengko gek kleru susune teteh.

    • Monggo Ki.
      Sugeng enjing ugi.

  29. اَللَّهُمَّ مَا أَصْبَحَ بِيْ مِنْ نِعْمَةٍ أَوْ بِأَحَدٍ مِنْ خَلْقِكَ فَمِنْكَ وَحْدَكَ لاَ شَرِيْكَ لَكَ، فَلَكَ الْحَمْدُ وَلَكَ الشُّكْرُ

    Ya Allah! Nikmat yang kami terima atau diterima oleh seseorang di antara makhlukMu di pagi hari ini adalah dariMu. Maha Esa Engkau, tiada sekutu bagiMu. BagiMu segala puji dan kepadaMu panjatan syukur dari seluruh makhlukMu.”

    • Amiiinnn……

  30. kukur-kukur dicokot tinggi…
    songolikur dak enteni…

    mbang pete dironce-ronce …
    nadyan kece ora nduwe cewe …

    • Kacian deh lo…..xixixi

    • bence digondol wewe
      kece jarene dewe

      mungkur ning omah lawas
      sangalikur kok mung ning alas..

      • pace nggo rujakan…
        wong kece dadi rebutan…

        omah lawas dienggoni macan…
        nadyan neng alas dadi rebutan…

        • nggo rebutan tawon
          xixixi….

  31. Selamat pagi ki sanak semua,
    semoga selalu diberi keselamatan dan kesehatan selalu, amiin.
    Ngingak-inguk, langsung unduh.
    Matur nuwun p Satpam.

  32. Assalamu’alaikum, rutinitas jalan lagi…

    • Waalaikum salam ….

      h r u today miss…??? sdh ditempat yang barukah ?

      • ngendi kuwi sing anyar

        • sing anyar seh neng ngalas

          • o inggih ki

            gandok sebelah ket wau dalu kulo jugal jugil ngagem slumbat kok mboten mengo2, nopo wonten ingkang kagungan kunci kagem mbikak ?

          • kuncine di simpen neng gedung perbendaharaan pusoko kediri

      • Udah Ki PA, dari tgl 20/9 kemarin.
        dadine wis ora ngurusi kebun neh
        saiki urusane Oil & Gas engineering
        Today is ok but restless ’cause last night helped
        P’Satpam to watchguarded the padepokan.

        • wah…selamat ya …
          sakjane sih podho enake ngurusin kebon (sing rungut) ro ngurusin OLI…
          sing ra enak kuwi ngurusin GAS…

          keokeokeo…..

          “Today is ok but restless ’cause last night helped
          P’Satpam to watchguarded the padepokan.”
          ——-rak mudeng je artine

  33. SongoLikur kapan dibukak ki…???


    Lho…
    wis dibukak kuq
    Adakah yang sudah berubah?
    Tambah gendut atau tambah berewok?
    he he …, ngapunten Ki …
    lali…

    • waduh…. (kulo wau dijewer Ki Arema lho Ki)

      • rahasianipun ki Arema namung setunggal…

        “SUSU KOPIAH”….xixixi..nyuwun sewu radhi mbelink sekedhik..

  34. Gandok sebelah tetep rung iso di bukak

    • sore-sore nyate manuk emprith..
      sugeng sore ki emprith………

      manuke..manuke..manuk emprith
      manuk emprith..dowo buntute..
      buntute sing akeh wulune..
      yen digoyang dik..aduh enake..

      • sugeng sonten Ki P. Satpam …

        ono Miss Nona, mosok lagune semu-semu piye ngoten to Ki …

        • hiks…nyuwun sewu ki Em jeng ki Sat…

          nembe ngremeng langgamipun Adi Kemfot..ujug2 koq ketulis teng ngriki

  35. Doa menyambut petang hari menjelang malam:

    امسيني وامسي الملك لله والحمد لله لااله الا هو وحده لا شريك له
    اللهم اسئلك من خير ما فيها واعوذبك من شرها وشر ما فيها اللهم اني اعوذ بك من لكسل والحرم وسوء القبر وفتنةالدنيا وعذاب القبر اللهم انت ربي لااله الا انت عليك توكلت وانت رب العرش العظيم ماشاالله كان ومالم يشاء لم يكن لاحول ولا قوة الا باالله العلي العظيم اعلم ان الله على كل شيء قدير وان الله قد احاط بكل شيء علما اللهم اني اعوذ بك من شر نفسي ومن شر كل دابة انت اخد بناصيتها ان رب على صراط المستقيم

    Amsainaa wa amsal mulku lillaahi walhamdulillahi, laa ilaaha illallahu wahdahu laa syariika lahu. Allahumma innii as’aluka min khairi haadzihil lailati wa khhaiiri maa fiihaa, wa a’uudzu bika min syarrihaa wa syarrimaa fiihaa. Allaahumma innii a’udzuu bika minal kasali walharami wa suu’il kibari wa fitnatid dun-yaa wa ‘adzaabil qabri.”

    [Kami telah mendapatkan petang, dan jadilah kekuasaan dan segala puji kepunyaan Allah, tidak ada sekutu bagiNya. Ya Allah, sesungguhnya aku mohon kepadaMu kebaikan malam ini dan kebaikan yang terdapat padanya dan aku berlindung denganMu dari kejahatannya dan kejahatan yang terdapat padanya. Ya Allah, aku berlindung kepadaMu dari malas, tua bangka, dan dari keburukan lanjut usia dan gangguan dunia dan azab kubur.
    Aamin.

    • Nyuwun ngapunten, أمسينا , dede امسيني .., lan أمسى ,dede امسي matur nuwun..

      • wonten malih…إني أسألك dede اسئلك (ning tegesipun sami, namung kirang sesungguhnya aku..)

        • wah, malah kleru.. as’aluka panjenengan ingkang leres…

  36. nunggu neng latar gandok anyar

  37. Maaf, baru bisa mampir…….
    dengan ilmu menyedot bintang, rontal langsung gue sedot.
    srup….srup……..lemes deh elo semua…..

    • lho kite2 lagi nungguin nyang due sembilan, Adhimas !

  38. ungak anguk ingak inguk,
    kori kemandungan tjap sangalikur taksih mineb.

  39. Ingak inguk, nunak nunuk, dereng thok? Yo wis sing sabar menanti (koyo iklan nang belakng truk) xixixi


Tinggalkan komentar