HLHLP-039

3/3

“Tetapi agaknya pemimpin padepokan itu telah berubah pendirian. Agaknya selama kami bersiap-siap untuk berangkat ke padepokan itu, ia telah berusaha untuk membangunkan orang-orangnya yang menjadi putus asa dan tidak mempunyai pegangan lagi. Mereka berusaha untuk mendapatkan kepercayaan kepada diri sendiri dengan mengadakan latihan-latihan yang berat. Namun aku yakin, bahwa hati mereka yang telah susut sampai sebiji sawi itu tidak akan mampu bertahan. Jika kita datang menggertaknya, maka mereka akan segera kehilangan lagi kepercayaan diri lagi. Mereka akan menjadi ketakutan dan dengan serta merta mereka akan segera menyerah,” berkata salah seorang dari kedua orang yang telah mengunjungi padepokan Suriantal itu.

Namun yang tidak dikatakannya kepada para pengikutnya, tetapi hanya diketahui oleh kedua orang yang datang ke padepokan itu, adalah tentang batu yang berwarna kehijau-hijauan itu.

Dalam kesempatan terpisah, kedua orang itu sepakat untuk sementara tidak membicarakannya lebih dahulu.

“Jika kita sudah berhasil tinggal di padepokan itu, maka kita tentu akan mendapat banyak kesempatan datang ke tepi hutan untuk mengamati batu itu lebih saksama. Mungkin kita harus memecahkannya atau dengan cara lain,” berkata seorang di antara mereka.

“Biarlah kita tentukan kelak,” jawab kawannya.

Demikianlah, maka para pengikut perguruan itupun telah bersiap-siap seluruhnya. Mereka akan berangkat meninggalkan sarang mereka terakhir di sebuah hutan yang tidak terlalu lebat, namun berbukit-bukit padas. Beberapa buah goa terdapat di bukit-bukit itu, yang dapat mereka pergunakan sebagai sarang mereka.

“Namun bagaimanapun juga kita harus bersiap sepenuhnya,” berkata salah seorang di antara kedua orang pemimpin yang pernah datang ke padepokan Suriantal, “mereka bekas orang-orang dari sebuah perguruan yang besar. Meskipun mereka telah dihancurkan oleh Akuwu Lemah Warah, namun sisa-sisanya, apabila mereka berhasil membangun diri mereka kembali, akan merupakan kekuatan yang harus diperhitungkan pula.”

Tetapi berpegang kepada keterangan sebelumnya, maka orang-orang di bukit-bukit padas itu menganggap bahwa yang akan mereka lakukan bukannya satu pekerjaan yang berat. Mereka akan dengan mudah memecahkan pintu gerbang padepokan, memasukinya dan menghancurkan perlawanan yang sia-sia. Membantai orang-orang yang keras kepala dan kemudian tinggal di sebuah padepokan yang baik dan memberikan kenyamanan bagi mereka.

Dengan mimpi-mimpi yang menyenangkan, maka mereka-pun kemudian telah berangkat ke padepokan Suriantal. Untuk sementara mereka memang tidak membawa kekayaan mereka selain senjata.

Namun sementara itu, orang-orang yang berada di padepokan Suriantal pun telah bersiap pula. Kekuatan mereka dibanding pada saat mereka menghadapi pasukan Akuwu Lemah Warah memang tidak lebih dari sepertiganya, setelah yang lain terbunuh dan melarikan diri. Tetapi yang akan datang menyerang pun tidak sekuat dan sebesar pasukan Lemah Warah.

Meskipun kekuatan mereka jauh susut, namun berdasarkan atas pengalaman mereka, maka orang-orang di padepokan itu dapat membagi tenaga mereka sebaik-baiknya. Mereka tidak menghamburkan tenaga tanpa arti yang hanya akan membuat kelelahan saja, sehingga justru pada saatnya, mereka tidak lagi mempunyai tenaga yang segar untuk melawan.

Dengan demikian, maka mereka tidak lagi dalam kelompok-kelompok yang besar berada di panggungan di belakang dinding padepokan untuk mengamati keadaan. Jika mereka sekelompok petugas berada di panggungan, maka tidak lebih dari dua orang di antara mereka sajalah yang bergantian mengamati keadaan, sedangkan yang lain sempat beristirahat dan tidur di panggungan yang memang dibuat agak besar.

Cara itu ternyata lebih baik dari cara yang telah pernah mereka lakukan dengan kelompok-kelompok yang besar bersama-sama mengawasi keadaan.

Dengan menghemat tenaga, maka mereka dapat menyimpan kekuatan. Jika terpaksa harus dipergunakannya, maka mereka memilih mempergunakan tenaga mereka untuk mengadakan latihan-latihan.

Tetapi Mahisa Murti dan Mahisa Pukat pun kemudian telah membatasi latihan-latihan itu pula, agar mereka tidak kehabisan tenaga justru pada saat diperlukan.

Dalam pada itu, maka orang-orang yang mengingini padepokan itu, semakin lama menjadi dekat pula dengan padepokan Suriantal, sehingga akhirnya, pada satu saat, seorang pengawas di sisi pintu gerbang melihat kehadiran mereka.

Tetapi yang dilihatnya jauh berbeda dengan kehadiran pasukan Akuwu Lemah Warah yang memperlihatkan tanda-tanda kebesaran dari sebuah Pakuwon sehingga kehadiran pasukan Lemah Warah itu dapat membuat tengkuk mereka meremang.

Namun yang datang itu adalah sekelompok orang dalam sebuah iring-iringan yang tidak teratur. Mereka menebar begitu saja dihadapan padepokan Suriantal tanpa terdengar aba-aba, orang-orang itu telah menghambur mencari tempat mereka masing-masing untuk duduk beristirahat.

Kelompok-kelompok kecil dari orang-orang itu, membuat lingkaran-lingkaran pembicaraan. Agaknya mereka memang sedang memperbincangkan padepokan Suriantal yang mereka hadapi.

“Menarik,” desis salah seorang di antara mereka.

“Dindingnya cukup kuat,” desis yang lain.

“Bukan apa-apa,” sahut kawannya, “kita akan memecahkan pintu gerbang dan memasuki padepokan itu dengan penuh kebanggaan atas kebesaran pasukan kita. Pasukan yang sekuat ini tentu belum pernah dilihat oleh orang-orang padepokan yang dungu itu.”

Yang lain tidak menjawab. Namun kemudian mereka telah mendapat perintah, bahwa mereka memang harus beristirahat.

“Utusan kita akan menemui pemimpin padepokan itu. Setelah mereka melihat kekuatan kita, mungkin mereka berubah pendirian, sehingga kita akan memasuki padepokan itu tanpa bertempur. Kita akan mengusir beberapa orang di antara mereka yang kita anggap tidak berbahaya. Tetapi orang-orang yang sudah bersiap-siap menentang kita akan tetap mendapat hukuman yang sepantasnya. Mereka harus mati. Tetapi hal itu akan kita lakukan kelak,” berkata salah seorang di antara para pemimpin mereka.

Dengan demikian, maka orang-orang yang berada di depan padepokan itu memang telah menebar. Agaknya mereka memang mendapat tugas untuk mengawasi seputar padepokan itu, sehingga tidak ada orang yang akan dapat lolos.

Sambil berbaring, duduk-duduk dengan bersandar pepohonan, memeluk lutut dan menguap, mereka menunggu perintah yang bakal datang selanjutnya.

Bahkan banyak di antara mereka yang kemudian jatuh tertidur. Namun ternyata bahwa mereka telah melakukan pembagian pekerjaan cukup baik pula. Sementara pasukan itu beristirahat, beberapa orang telah membuat tungku perapian dan menyiapkan makan dan minum bagi mereka.

Ternyata dalam waktu yang pendek, hampir semua orang di antara mereka telah tertidur kecuali orang-orang yang bekerja di dapur. Bahkan yang kemudian mengawasi keadaan adalah justru orang-orang yang sedang memasak itu.

Namun para pemimpin mereka sama sekali tidak menghiraukannya. Siapapun yang mengawasi keadaan tidak penting, karena para pemimpin mereka memang sudah menduga, bahwa orang-orang padepokan itu pada mulanya akan berusaha untuk mempertahankan padepokan mereka, sehingga mereka tidak akan melarikan diri.

Hanya dengan menakut-nakuti mereka, maka orang-orang di padepokan itu mungkin akan kembali kepada sikapnya semula, meskipun akibatnya bagi mereka akan berbeda.

Selagi orang-orangnya beristirahat, dua orang pemimpin dari perguruan yang datang untuk mengambil alih padepokan itu memang telah memasuki padepokan untuk bertemu sekali lagi dengan orang yang untuk sementara memimpin padepokan itu.

Sekali lagi mereka menjelaskan bahwa mereka memerlukan padepokan itu.

“Kau lihat, betapa kekuatan kami telah berada di seputar padepokan ini,” berkata salah seorang dari kedua orang itu.

“Ya,” jawab pemimpin padepokan itu, “tetapi kami sudah siap pula.”

Tetapi kedua orang itu tertawa. Seorang di antara mereka berkata, “Apa yang telah berhasil kalian siapkan di padepokan yang sudah lumat menjadi debu ini? Jika kami datang, maka kami masih harus membangunnya kembali menjadi sebuah padepokan yang besar dan berwibawa.”

“Ki Sanak,” berkata pemimpin padepokan itu, “ketika kami menerima Ki Sanak beberapa waktu berselang, kami memang sudah bertekad bulat untuk mempertahankan padepokan ini. Tekad itu pun tetap menyala di dalam hati kami sampai hari ini.”

“Jangan mengelabui diri sendiri,” berkata salah seorang dari kedua orang pemimpin perguruan yang datang itu, “aku yakin bahwa ketika kalian melihat pasukan kami datang, maka hati kalian telah kuncup.”

Tetapi pemimpin padepokan itu tersenyum. Katanya, “Kau memang seorang pemimpin perguruan yang senang berkelakar.”

“Apa maksudmu?” bertanya orang itu.

“Ketika kalian datang, ternyata bahwa bayangan kami tentang kalian telah rusak sama sekali,” berkata pemimpin padepokan itu, “kami pernah melihat pasukan Lemah Warah datang mengepung padepokan ini. Kami kagum melihat pasukan itu menempatkan diri. Belum lagi bagaimana setiap prajurit di antara mereka berbuat sesuatu, kami sudah digetarkan oleh kehadiran mereka dalam gelar kebesaran pasukan sebuah Pakuwon. Tanda-tanda kebesaran yang menandai setiap kelompok prajurit membuat hati ini menjadi berdebar-debar,” pemimpin padepokan itu berhenti sejenak. Namun kemudian ia berkata lebih lanjut, “Tetapi ketika kami melihat kalian datang, kemudian orang-orang kalian bertebaran dan berbaring di atas rerumputan kering, maka yang terbayang oleh kami adalah sekelompok orang kelaparan yang menunggu kemurahan hati seorang dermawan yang akan membagikan makan bagi mereka.”

“Gila,” geram kedua orang pemimpin perguruan yang datang itu hampir berbareng. Seorang di antara mereka kemudian berkata, “kau jangan mencoba membesarkan hatimu dengan cara yang tidak wajar. Aku percaya bahwa Akuwu Lemah Warah dapat menunjukkan tanda-tanda kebesaran seperti yang kau katakan. Tetapi tidak lebih dari sekedar rontek dan umbul-umbul. Tetapi bukan ujung senjata yang dapat membelah lambung kalian sebagaimana dibawa oleh orang-orangku.”

Tetapi pemimpin padepokan itu masih saja tersenyum. Katanya, “Kau kira para prajurit Lemah Warah itu hanya membawa rontek dan umbul-umbul serta kelebet?”

“Persetan,” pemimpin perguruan yang ingin memiliki padepokan itu mulai marah, “sebaiknya kau mengerti apa yang sebenarnya kau hadapi. Atau kau memang sedang berpura-pura?”

“Ki Sanak,” berkata pemimpin padepokan itu, “pengalaman telah mengajarkan kepada kami, bagaimana kami harus mempertahankan padepokan ini. Kekalahan kami dari pasukan Lemah Warah, merupakan pelajaran yang sangat mahal bagi kami.”

“Kekalahan kalian dari Pakuwon Lemah Warah telah menghancurkan semua kekuatan yang tersisa. Tidak ada lagi yang dapat kalian banggakan sekarang ini. Semuanya sudah hancur. Karena itu, kalian jangan mencoba bersembunyi di balik reruntuhan yang sudah tidak berarti apa-apa ini,” berkata salah seorang dari kedua orang yang datang itu, “cobalah melihat kenyataan dengan jujur. Kemudian kalian akan dapat mengambil keputusan yang tepat tanpa mengorbankan orang-orang kalian yang sudah tinggal beberapa orang itu.”

Tetapi pemimpin pengawal itu menyahut, “Sudahlah. Apa maumu sebenarnya? Membunuh diri atau karena kebodohan kalian sehingga kalian tidak tahu siapakah yang kalian hadapi?”

“Gila,” geram orang itu, “baiklah jika kau tidak mampu menilai dirimu sendiri. Kami akan menunggu sampai esok. Kalian masih mempunyai kesempatan untuk menentukan langkah apa yang akan kalian ambil.”

“Tidak ada gunanya,” jawab pemimpin padepokan itu, “kami sudah siap sejak lama. Karena itu, kami tidak perlu waktu sampai esok sebagaimana kau katakan. Kecuali jika kalian sendirilah yang memang belum siap. Sebaiknya kalian mempersiapkan diri baik-baik menghadapi kekuatan yang tidak kau duga sebelumnya.”

“Kau terlalu sombong,” sahut salah seorang dari kedua orang itu, “tetapi kau akan segera menyesal.”

Pemimpin padepokan itu masih akan menjawab. Tetapi kedua orang itu sudah bangkit dan melangkah meninggalkan barak induk dari padepokan itu.

Di pintu gerbang, sekelompok orang padepokan itu mengangguk. Tetapi kedua orang itu sama sekali tidak menghiraukannya. Bahkan terdengar seorang di antara kedua orang itu mengumpat.

Tetapi para penjaga di pintu gerbang itu tidak menjadi marah. Bahkan ketika kedua orang itu melangkah menjauh, terdengar gelak tertawa yang meledak di pintu gerbang itu, sehingga kedua orang itu telah berpaling ke arah mereka.

Kemarahan telah menghentak di jantung keduanya. Tetapi keduanya masih harus menahan diri betapapun sakit hati mereka.

Demikianlah, ketika keduanya telah kembali ke dalam lingkungan mereka, maka keduanya telah memanggil semua pemimpin kelompok. Dengan tegas keduanya memerintahkan agar semua orang bersiaga sepenuhnya. Ternyata mereka harus merebut padepokan itu dengan kekerasan.

“Bukankah hal itu lebih baik?” desis salah seorang dari pemimpin kelompok itu.

“Mungkin memang demikian,” sahut pemimpin kelompok yang lain, “kematian bukan lagi menjadi persoalan. Berapapun kita membunuh, perbuatan kami itu dapat dianggap sah.”

Beberapa orang yang lain ternyata telah membenarkan, sehingga keputusan untuk merebut dengan kekerasan itu justru disambut dengan gembira.

Karena itulah, maka orang-orang yang datang itu pun telah mempersiapkan diri. Besok, jika matahari terbit, mereka akan memasuki padepokan itu, menghabisi semua isinya dan mendudukinya sebagai milik mereka.

Namun orang-orang padepokan itu pun telah mempersiapkan diri pula sebaik-baiknya. Meskipun pimpinan tertinggi tetap dipercayakan kepada orang yang sedang memimpin padepokan itu, namun sesungguhnya Mahisa Murti dan Mahisa Pukat lah yang mengatur mereka, disesuaikan dengan pengalaman orang-orang padepokan itu pada saat pasukan Lemah Warah menyerang mereka.

“Tetapi nampaknya orang-orang ini mempunyai cara yang lain untuk menyerang,” berkata pemimpin padepokan itu.

“Mereka tidak mempunyai ikatan sebagaimana sekelompok prajurit. Mereka akan dengan liar menyerang padepokan ini dari arah yang disukai oleh setiap orang. Karena itu, maka pertahanan kita pun harus menyesuaikannya.”

Pemimpin padepokan itu pun telah menebarkan orang-orangnya yang sudah tidak terlalu banyak. Namun sebagian terbesar di antara mereka tetap berada di bagian depan padepokan. Menilik cara mereka memilih tempat untuk beristirahat, maka sebagian dari mereka memang berada di bagian depan dari padepokan itu. Tetapi bukan berarti bahwa tidak ada di antara mereka yang tidur mendekur di bagian belakang padepokan.

Tetapi baik Mahisa Murti, Mahisa Pukat maupun pemimpin padepokan itu tidak berniat untuk pada malam itu keluar dari padepokan dan menyerang orang-orang yang nampaknya bertebaran tidak teratur sama sekali.

“Kita tidak tahu cara mereka mempersiapkan diri,” berkata Mahisa Murti dan Mahisa Pukat kepada orang-orang padepokan itu.

Sebenarnyalah, menjelang pagi, orang-orang yang bertugas menyiapkan makan dan minumpun telah menjadi sibuk. Baik yang berada di luar maupun di dalam padepokan. Mereka tidak boleh membiarkan orang-orang mereka maju ke medan pertempuran sebelum makan lebih dahulu. Jika demikian, maka kawan-kawan mereka itu tidak akan mampu bertahan cukup lama.

Ketika langit menjadi merah, maka orang-orang yang berada di luar padepokan telah bersiap. Mereka tetap menebar di sekitar padepokan. Tetapi seperti yang diperhitungkan, maka sebagian besar di antara mereka memang berada di depan padepokan.

Dalam pada itu, ternyata orang-orang yang menyerang padepokan itu tidak memiliki persiapan sebagaimana sepasukan prajurit. Hanya beberapa orang saja di antara mereka yang membawa perisai yang akan dapat melindungi mereka dari serangan anak panah.

Namun orang-orang itu yakin akan kemampuan mereka, bahwa dengan senjata di tangan mereka, maka mereka akan dapat menangkis serangan anak panah.

Pada saat-saat terakhir, pemimpin mereka yang menyerang padepokan itu masih memanggil setiap pemimpin kelompok dan memberikan pesan-pesan terakhir.

“Hancurkan dengan segala cara. Jangan menahan diri lagi. Kematian tidak akan berarti apa-apa. Dalam pertempuran, maka membunuh merupakan pekerjaan yang wajar. Dan kalian harus melakukannya sebanyak-banyaknya. Bahkan semua orang di padepokan itu harus mati. Tetapi ingat, jika mungkin tangkap pemimpin padepokan itu hidup-hidup. Aku ingin melihat bagaimana ia mati di hadapan kita.”

Beberapa orang pemimpin kelompok itu tertawa. Seorang di antara mereka berkata, “Baiklah. Satu hal yang akan sangat menyenangkan. Setelah kita bertempur mati-matian, maka kita akan mendapatkan satu tontonan yang mengasyikan.”

“Kita tidak akan bertempur mati-matian. Semuanya akan berlangsung cepat. Yang kita lakukan adalah membantai orang-orang padepokan itu,” berkata yang lain.

Para pemimpin kelompok itu tertawa berbareng. Mereka memang terlalu yakin bahwa mereka akan dapat melakukan tugas mereka dengan mudah berdasarkan keterangan kedua orang pemimpin mereka yang pernah datang ke padepokan itu.

Namun tiba-tiba seorang di antara pemimpin mereka itu memperingatkan, “Tetapi dengar. Pada saat terakhir mereka telah menempa diri, sehingga mungkin kemampuan mereka akan pulih kembali. Karena itu, maka kalian harus berhati-hati.”

Para pemimpin kelompok itu mengangguk-angguk. Namun seorang di antara mereka berkata, “Kita akan melihat, apa yang dapat mereka lakukan.”

Demikianlah, ketika para pemimpin kelompok itu kembali ke kelompok mereka masing-masing, ternyata mereka telah menyampaikan pesan pemimpin mereka, bahwa mereka harus berhati-hati, karena orang-orang padepokan itu telah melatih diri mereka kembali.

Ketika matahari mulai memancarkan sinarnya, maka terdengar pemimpin perguruan yang menyerang padepokan itu memberikan isyarat. Ternyata mereka mengenal juga isyarat panah sendaren. Demikian panah sendaren mengaum di udara, maka orang-orang yang mengepung padepokan itu mulai bergerak.

Sebagian besar dari orang-orang yang menyerang padepokan itu memang berada di bagian depan. Mereka maju dalam kelompok-kelompok yang tidak teratur, seperti kelompok anak-anak muda yang pergi menonton wayang beber. Nainun di antara mereka yang berada di paling depan memang mereka yang mempergunakan perisai untuk melawan serangan anak panah dari orang-orang yang berada di sebelah-menyebelah regol.

“Sulit untuk memecahkan regol,” gumam seorang pemimpin kelompok.

“Kita memang tidak akan memecahkan regol,” sahut seorang kawannya yang berjalan di sebelahnya. Lalu katanya, “Kita berpegang pada rencana kita.”

Pemimpin kelompok itu mengangguk-angguk. Ia sadar sepenuhnya bahwa mereka tidak akan mungkin dapat memasuki padepokan itu lewat regol yang berat dan kuat. Apalagi di panggungan di sebelah menyebelah regol itu dijaga oleh orang-orang bersenjata panah.

Hal itu memang sudah disadari sebelumnya. Karena itu, maka sebenarnyalah orang-orang yang menyerang padepokan itu sudah mempunyai rencana yang tidak pernah diperhitungkan oleh orang-orang padepokan itu. Justru tidak pula dilakukan oleh para prajurit dari Lemah Warah.

Demikian orang-orang itu mendekati regol, maka orang-orang yang berada di sebelah-menyebelah regol itu telah melepaskan anak panah mereka. Namun pada saat yang demikian, dua buah anak panah sendaren telah terbang dan mengaum di udara.

Isyarat itu merupakan teka-teki bagi orang-orang padepokan. Mereka tidak segera tahu, apa yang akan dilakukan oleh orang-orang yang telah mulai menyerang itu.

Namun, yang berlangsung adalah terlalu cepat. Orang-orang itu dengan serta merta telah berlari menyusuri dinding padepokan.

Untuk beberapa saat orang-orang padepokan itu justru tercenung. Mereka tidak tahu apa yang akan mereka lakukan. Namun Mahisa Murti dan Mahisa Pukat cepat tanggap. Karena itu, maka Mahisa Murti dan Mahisa Pukat berteriak hampir berbareng, “Mereka akan memasuki padepokan dengan meloncati dinding.”

Sebenarnyalah pertahanan di beberapa bagian dari dinding padepokan itu agak lemah. Bagian yang sama sekali nampaknya tidak menjadi sasaran serangan, dianggap tidak perlu untuk dipertahankan. Sehingga dengan demikian, hanya di beberapa tempat saja berjaga-jaga kelompok-kelompok kecil yang akan menahan beberapa orang yang nampaknya memang akan berusaha meloncati dinding.

Namun ternyata orang-orang yang berkerumun di depan regol itu telah berlari memencar. Peristiwa yang terjadi begitu cepatnya itu telah membuat orang-orang di padepokan itu menjadi agak gugup.

Tetapi Mahisa Murti dan Mahisa Pukat sempat berkata,” jangan menjadi bingung. Atasi segala kejadian yang tiba-tiba. Cepat ambil sikap.”

Orang-orang padepokan yang hampir saja kehilangan arah itu tiba-tiba telah menemukan diri mereka kembali. Dengan cepat, mereka pun menebar. Meskipun mereka tidak sempat mencegah orang-orang yang datang itu meloncat ke atas dinding. Namun mereka sempat bersiap menunggu orang-orang itu meloncat.

Dengan cara itu, maka orang-orang yang menyerang padepokan itu telah sempat memasukinya. Meskipun mereka yang berada di luar, di depan regol, masih harus melawan hujan anak panah, tetapi sebagian di antara mereka telah berhasil masuk ke dalam padepokan.

Meskipun demikian bukan berarti bahwa mereka dapat berbuat menurut keinginan mereka. Tetapi dihadapan mereka orang-orang padepokan itu telah siap menunggu dengan senjata terhunus.

Dengan demikian, maka pertempuran pun telah terjadi dengan sengitnya. Untunglah bahwa orang-orang padepokan itu cepat menebar sehingga mereka yang telah meloncat masuk tidak mendapat kesempatan untuk langsung menyerang ke arah pintu gerbang dan membuka dari dalam.

Karena itu, maka pintu gerbang itu masih tetap tertutup meskipun sebagian dari orang-orang itu telah memasuki padepokan.

Di bagian lain, beberapa orang telah meloncat pula. Tetapi orang-orang padepokan itu telah menunggu, sehingga mereka tidak dapat melakukannya dengan mudah sebagaimana mereka harapkan.

Dengan demikian, maka pertempuranpun telah terjadi di beberapa bagian dari padepokan itu. Orang-orang yang memasuki padepokan itu dengan dada tengadah, ternyata telah membentur kekuatan yang tidak mereka duga sebelumnya. Ternyata orang-orang padepokan itu, yang mereka sangka tidak lagi mempunyai keberanian untuk berbuat apapun juga menghadapi ujung senjata, ternyata adalah orang-orang yang telah menempa dirinya dengan latihan-latihan yang keras dan pengalaman yang sangat pahit.

Dalam pada itu, orang-orang yang menunggu di luar regol padepokan itu menjadi tidak sabar lagi. Regol itu masih tetap tertutup sementara orang-orang di sebelah menyebelah regol itu, di atas sebuah panggungan telah menyerang mereka dengan anak panah. Mereka yang berperisai berusaha untuk melindungi dirinya dan kawan-kawannya dengan perisai, sementara yang lain, yang memiliki kemampuan bermain pedang telah berusaha menangkis anak panah yang meluncur tidak terhitung itu.

Dalam pada itu, kedua orang pemimpin padepokan itu menjadi tidak sabar menunggu. Agaknya mereka merasa sudah terlalu lama menunggu, sementara orang-orangnya yang memasuki padepokan itu masih belum berhasil membuka pintu gerbang itu dari dalam.

Karena itu, maka kedua orang itu pun telah bersepakat untuk membuka pintu itu dengan cara mereka.

“Marilah,” berkata salah seorang di antara keduanya kepada para pengikutnya, “kita akan memecahkan pintu itu. Bantu aku. Lindungi kami dari serangan anak panah itu. Kalian harus melontarkan lembing, pisau atau apapun yang dapat kalian lontarkan. Lima orang di antara kalian yang terbaik, bantu aku dengan kekuatan ilmu yang yang ada padamu. Berikan perisai itu kepada kami.”

Beberapa orang yang masih berada di depan pintu itupun dengan cepat telah mengatur diri. Dua orang pemimpin padepokan itu bersama dengan lima orang terbaik, telah mengambil ancang-ancang.

Sebenarnyalah kedua orang pemimpin padepokan itu tidak memerlukan lima orang kawan. Namun dengan demikian, sasaran dari orang-orang yang berada di sebelah menyebelah regol di panggungan itu menjadi lebih banyak.

Demikianlah kedua orang pemimpin dari perguruan yang ingin merampas padepokan itu telah mempersiapkan ilmu puncak mereka. Mereka akan menyalurkan kekuatan puncak itu pada kaki mereka, sehingga bersama-sama mereka akan memecahkan pintu gerbang itu dengan kekuatan ilmu mereka yang sangat besar.

Dengan melindungi diri dengan perisai, maka kedua orang itu bersama kelima orang yang lain, telah siap sepenuhnya. Ketika salah seorang di antara kedua pemimpin itu memberikan aba-aba, maka mereka pun telah meloncat berlari ke arah pintu gerbang. Sementara itu, orang-orangnya yang lain telah berusaha untuk mengurangi serangan dari panggungan di sebelah-menyebelah pintu gerbang itu. Dengan lembing, pisau dan bahkan bandil, orang-orang di luar pintu gerbang itu telah menyerang orang-orang yang berusaha menghalangi ketujuh orang itu dengan anak panah.

Bagaimanapun juga ternyata usaha itu berarti pula. Beberapa orang yang menyerang ketujuh orang itu dengan anak panah, harus memperhatikan serangan-serangan yang datang dari luar padepokan.

Sementara itu, kedua orang pemimpin padepokan yang berlari ke pintu gerbang sambil melindungi diri mereka dengan perisai, telah menyalurkan segenap kekuatan ilmu mereka pada kaki kanan mereka. Serentak keduanya telah meloncat dengan kaki terjulur menyamping. Sementara itu, kelima orang yang bersama mereka juga telah melakukan hal yang sama, meskipun mereka tidak memiliki ilmu setinggi kedua orang pemimpin mereka.

Ternyata bahwa kekuatan ilmu kedua orang itu memang luar biasa. Ketika kaki mereka menghantam pintu gerbang, maka dua kekuatan yang sangat besar, ditambah dengan kekuatan lima orang, ternyata telah mampu meretakkan selarak pintu gerbang padepokan itu.

Karena itu, maka ketika mereka kemudian mendorong pintu itu, maka pintu gerbang itu pun telah terbuka.

Beberapa orang penghuni padepokan yang menyaksikan hal itu menjadi berdebar-debar. Demikian pula pemimpin padepokan itu. Mereka dapat menduga, seberapa besar kekuatan kedua orang pemimpin padepokan yang telah mampu meretakkan selarak pintu gerbang yang besar itu.

Namun mereka tidak dapat tinggal diam dan membiarkan orang-orang yang masih berada di luar itu begitu saja memasuki padepokan. Karena itu, maka pemimpin padepokan itupun telah meneriakkan aba-aba, agar orang-orangnya segera menghambat gerak maju orang-orang itu.

Demikianlah, pertempuran yang sengit telah terjadi di mana-mana. Orang-orang yang ingin memiliki padepokan itu telah berusaha melakukan sebagaimana mereka rencanakan. Mereka akan membinasakan semua orang di padepokan itu, kecuali seorang. Pemimpin padepokan itu.

Tetapi ketika mereka telah terlibat dalam pertempuran dengan para penghuni padepokan itu, maka gambaran mereka tentang rencana itu telah menjadi kabur. Mereka tidak dapat dengan mudah mengalahkan orang-orang padepokan itu. Bahkan dalam pertempuran yang terjadi kemudian, mereka mulai merasakan bahwa orang-orang padepokan itu ternyata memiliki kemampuan yang tidak kalah dari kemampuan mereka yang datang untuk merebut padepokan itu.

Bukan saja kemampuan mereka yang tinggi, tetapi mereka pun telah bertempur dengan tekad yang menyala di dalam setiap dada karena mereka merasa wajib untuk mempertahankan padepokan mereka.

Di antara mereka yang bertahan itu adalah orang-orang Sunan tal yang tersisa. Mereka masih tetap mempergunakan tongkat-tongkat mereka sebagai senjata. Dengan kemampuan dasar yang mereka miliki serta tuntunan yang mereka terima dari Mahisa Murti dan Mahisa Pukat, maka mereka ternyata mampu mengatasi lawan-lawan mereka yang semula menganggap mereka tidak lagi memiliki keberanian untuk melawan.

Demikianlah, maka pertempuran itu pun ternyata merupakan pertempuran yang semakin seru. Orang-orang yang memasuki padepokan itu merasa bahwa mereka telah terjerumus ke dalam sarang serigala, sama sekali bukan sarang domba-domba yang jinak, yang dengan suka rela menyerahkan leher mereka untuk dibantai.

Di regol padepokan, dua orang pemimpin dari perguruan yang menghendaki padepokan itu, telah bertempur dengan garangnya. Orang-orang padepokan yang mencoba menghalanginya telah disapunya tanpa ampun sebagaimana memang ingin dilakukannya.

Dengan demikian, maka orang-orang yang mempertahankan padepokan itu di regol mulai terdesak. Beberapa orang pendatang sempat menerobos masuk mengikuti kedua orang pemimpinnya itu.

Dalam pada itu, pemimpin padepokan itu tidak dapat tinggal diam. Meskipun ia sadar, bahwa kemampuannya tentu tidak akan dapat mengimbangi pemimpin perguruan yang datang itu, tetapi ia merasa bertanggung jawab atas padepokan itu. Karena itu, apapun yang terjadi, maka iapun telah siap untuk melawan.

Namun ketika ia melangkah maju, terasa seseorang menggamitnya. Bahkan dengan nada datar terdengar orang yang menggamitnya itu berkata, “Mereka bukan lawanmu, apalagi berdua. Serahkan mereka kepada kami.”

Pemimpin padepokan itu termangu-mangu. Yang menggamitnya itu adalah Mahisa Murti.

Pemimpin padepokan itu menarik nafas dalam-dalam. Mereka menurut penilaian pemimpin padepokan itu, adalah anak-anak muda yang memiliki ilmu yang sangat tinggi pula.

Karena itu, maka dengan jantung yang berdebaran ia berdesis, “Terima kasih. Semoga Yang Maha Agung melindungi kalian.”

Mahisa Murti dan Mahisa Pukat pun kemudian telah menyiapkan dirinya untuk menghadapi dua orang yang tentu berilmu tinggi. Namun mereka sudah menyatakan kesediaannya untuk membantu orang-orang padepokan itu. Karena itu maka mereka harus membuktikan, apa yang dapat mereka lakukan sesuai dengan kesediaannya itu.

Untuk beberapa saat orang yang diserahi memimpin padepokan itu masih termangu-mangu. Rasa-rasanya berat baginya untuk melepaskan begitu saja anak-anak yang masih sangat muda itu untuk turun melawan orang-orang yang berilmu tinggi, yang tentu sudah memiliki pengalaman yang sangat luas.

Namun pemimpin padepokan itu mengerti, bahwa kedua anak muda itu adalah anak-anak muda yang memiliki ilmu yang tinggi.

Tetapi pemimpin padepokan itu tidak sempat termangu-mangu terlalu lama. Orang-orang yang menyerang padepokan itu melanda seperti banjir. Karena itu, maka ia pun harus segera turun ke dalam pertempuran.

Kedua orang pemimpin perguruan yang datangmenyerang padepokan itu telah mendera orang-orangnya untuk memasuki padepokan lewat regol yang telah terbuka. Jika mereka menjumpai hambatan, maka kedua orang itulah yang membuka jalan, sehingga orang-orangnya mendesak maju.

Tetapi kedua orang itu pun kemudian termangu-mangu ketika mereka melihat dua orang anak muda berada di arus orang-orangnya yang memasuki padepokan itu.

Ternyata Mahisa Murti dan Mahisa Pukat tidak membiarkan orang-orang padepokan itu menjadi gentar melihat sikap dan kelebihan kedua orang pemimpin dari perguruan yang telah mendatangi padepokan mereka. Beberapa kawan mereka telah terlempar dari arena dengan luka parah jika mereka berani menghalangi kedua orang itu.

Untuk memulihkan ketabahan hati orang-orang padepokan itu, maka Mahisa Murti dan Mahisa Pukat pun telah melakukan hal yang sama. Keduanya memang mampu melemparkan orang-orang yang berlari-larian memasuki padepokan itu. Siapa yang dekat dengan kedua anak muda itu, maka ia akan terlempar dan terbanting jatuh. Bahkan luka parah di tubuh mereka, telah membuat mereka tidak mampu lagi untuk bangkit.

Orang-orang padepokan itu yang menjadi gentar melihat kegarangan kedua orang pemimpin perguruan lawan itu, hatinya telah menjadi kembang kembali. Ternyata di antara mereka, terdapat pula seorang yang berilmu tinggi, sebagaimana kedua orang yang datang bersama seluruh perguruannya itu.

Kedua orang pemimpin perguruan yang datang ke padepokan itu pun menjadi tegang pula melihat dua orang anak muda yang ternyata memiliki kelebihan dari orang-orangnya. Sebagaimana dilakukan, maka kedua orang anak muda itupun telah melemparkan beberapa orang dari perguruannya keluar arena.

Karena itu, maka kedua orang itu pun sadar, bahwa kedua orang anak muda itu tentu dengan sengaja telah berusaha untuk menghadapinya.

Karena itu, dengan isyarat kedua orang itu telah berpencar. Mereka mengambil jarak beberapa langkah dari yang satu dengan yang lain.

Ketika Mahisa Murti dan Mahisa Pukat pun melakukan hal yang sama, maka kedua orang itu pun telah menjadi yakin karenanya. Dengan demikian, maka keduanya pun telah bersiap menghadapinya. Namun demikian, kedua.orang itu dianggapnya masih terlalu muda untuk turun di medan menghadapinya.

Tetapi Mahisa Murti dan Mahisa Pukat tidak memberinya banyak kesempatan. Keduanya segera telah menempatkan dirinya menghadapi kedua orang itu, masing-masing seorang.

Namun berbeda dengan lawannya, Mahisa Murti dan Mahisa Pukat sama sekali tidak merendahkan lawan-lawannya itu. Bahkan mereka menjadi sangat berhati-hati karena menurut perhitungannya keduanya memang orang-orang yang mumpuni.

Orang yang kemudian berhadapan dengan Mahisa Murti ternyata masih sempat bertanya, “Siapa kau anak muda?”

“Aku adalah salah seorang penghuni padepokan ini,” jawab Mahisa Murti.

“Siapakah namamu?” desak lawannya.

“Apa artinya sebuah nama,” jawab Mahisa Murti, “atau barang kali kau mau juga menyebut namamu?”

“Persetan,” geram orang itu, “sebenarnya aku merasa sayang, bahwa dalam umurmu yang masih sangat muda itu, kau harus mati.”

“Jangan cemas bahwa aku akan mati. Cemaskan dirimu sendiri. Kau sajalah yang mati karena kau sudah lebih tua dari aku,” jawab Mahisa Murti, “kau tentu sudah mengalami kehidupan yang lebih panjang dari aku.”

“Persetan,” geram orang itu, “ternyata bahwa kau memang pantas untuk dibunuh. Mulutmu harus dikoyak dan jantungmu harus dihancurkan.”

Mahisa Murti tersenyum. Katanya, “Jangan terlalu garang Ki Sanak. Kita masih belum saling berkenalan, meskipun aku yakin bahwa kau memiliki ilmu yang sangat tinggi.”

Orang itu tidak berbicara lagi. Namun iapun segera bersiap. Dengan garang ia telah menerkam Mahisa Murti. Namun ia masih mempergunakan gerak wajarnya sebagaimana ia melemparkan orang-orang lain di padepokan itu.

Tetapi Mahisa Murti bukannya orang kebanyakan seperti orang-orang yang pernah terlemar dari arena. Jika serangan itu, datang ke arahnya, maka dengan sigapnya iapun telah berkisar menghindarinya, sehingga dengan demikian serangan itu sama sekali tidak menyentuhnya.

Tetapi lawan Mahisa Murti itu tidak menghentikan serangannya. Ketika ia gagal mengenai anak muda itu. maka serangan berikutnya pun telah datang pula. Demikian cepatnya. Tetapi Mahisa Murti pun mampu bergerak secepat serangan lawannya.

“Anak iblis,” geram orang itu, “ternyata kau memang mampu bertempur dengan baik. Kau dapat bergerak cepat menghindari serangan-seranganku. Tetapi jangan kau kira. bahwa aku hanya mampu bertempur dengan cara ini.”

“Aku tahu,” jawab Mahisa Murti, “kau mampu memecahkan pintu gerbang itu.”

Orang itu menggeram. Katanya, “Jika demikian kau tentu merasa memiliki ilmu yang tinggi, yang akan mampu mengatasi kekuatan yang kau kenali itu he?”

“Bukan begitu,” jawab Mahisa Murti, “tetapi sudah tentu harus ada orang yang bersedia menghadapimu.”

“Persetan,” geram orang itu, “tetapi jika yang kau dapatkan adalah kematian bukan salahku.”

“Sudah aku katakan, jangan cemas bahwa aku akan mati,” jawab Mahisa Murti.

Orang itu menjadi semakin marah. Karena itu. maka ia pun telah menyerang lagi dengan garangnya.

Tetapi Mahisa Murti yang meinadari kekuatan orang itu. berusaha untuk tidak tersentuh oleh serangannya, karena sentuhan itu akan berbahaya baginya.

Sejenak kemudian maka pertempuran itu pun telah menjadi semakin seru. Orang itu telah meningkatkan kemampuannya. Namun Mahisa Murti pun telah berbuat sebagaimana dilakukan oleh lawannya. Dengan demikian maka pertempuran itu pun semakin lama benar-benar menjadi semakin dahsyat pula.

Di tempat lain, Mahisa Pukat pun telah bertempur dengan sengitnya. Ternyata lawannya mempunyai darah yang lebih cepat mendidih dari lawan Mahisa Murti. Karena itu. maka pertempuran di antara Mahisa Pukat dan lawannya telah meningkat menjadi keras bahkan kasar. Mereka telah mulai mengetrapkan kemampuan ilmu mereka. Lawannya yang memiliki kekuatan yang sangat besar, yang mampu memecahkan pintu regol bersama seorang kawannya itu. rasa-rasanya memang ingin segera melumatkan Mahisa Pukat.

Tetapi Mahisa Pukat pun termasuk seorang anak muda yang tidak terlalu banyak membuat pertimbangan untuk mengambil langkah. Itulah sebabnya, maka pertempuran yang terjadi telah meningkat lebih cepat dari lingkaran pertempuran antara Mahisa Murti dan lawannya.

Namun dengan demikian, kedua ora; ng pemimpin dari sebuah perguruan yang ingin memiliki padepokan itu telah terikat oleh dua orang lawan mereka. Meskipun keduanya masih muda, tetapi ternyata bahwa keduanya benar-benar mampu menghambat gerak maju kedua orang pemimpin perguruan itu.

Bahkan apa saja yang dilakukan oleh kedua orang pemimpin itu. Mahisa Murti dan Mahisa Pukat mampu mengimbangi.

Sementara itu, pertempuran telah terjadi dimana-mana. Hampir tersebar diseluruh halaman dan kebun di padepokan itu. Namun apa yang dibayangkan oleh orang-orang yang datang untuk mengambil padepokan itu ternyata berbeda dengan apa yang mereka hadapi.

Orang-orang yang masih tinggal di padepokan itu ternyata tidak dengan cepat dapat dikuasai Mereka tidak menjadi ketakutan dan dengan serta merta kehilangan keberanian untuk melawan.

(Bersambung ke Jilid 40).

Koleksi: Ismoyo
Konversi/Proofing/Editing: Raharga

Laman: 1 2 3 4 5

Telah Terbit on 25 Oktober 2010 at 00:01  Comments (150)  

The URI to TrackBack this entry is: https://pelangisingosari.wordpress.com/hlhlp-039/trackback/

RSS feed for comments on this post.

150 KomentarTinggalkan komentar

  1. Nyoba baca-baca komen lawas di Padepokan adbmcadangan,

    On 30 Agustus 2009 at 21:48 leak said:

    waduh ki jogotilto,ki alema, ki pandanalas selta ki kinalyo dapat tambahan nama sugeng padahal ki sugeng tidak ikut ikut 😀 😀 😀 😀 😀 😀 😀 😀

    he he ….
    ki tluno podang, ki emplit, ki cucaklowo (mboten paleng kalian ki alema), ki widulo, ki kaltoyudo, ki budi plasojo, ki sukaslana, mboten paleng duko.

    • Ora mudeng.

    • he, he, he, he, … bibal setloke napa ki ?, …

    • ternyata ajiku kakang kawah adi ari2 mental keno tameng wajane Pak Lik…

      cucaklowo lsg dicekal, dikunjoroke

  2. Ikutan antri dibelakang p satpam,
    moga2 gek ndang dibukakno gendak anyar.

  3. Assalamu’alaikum, selamat sore, waduh ternyata wakeh tenan euy sing nggo digawe…, meeting meeting meeting asal jangan kepiting aja yah….

    • Pake aji welut putih Ni, biar gak kepithing.


Tinggalkan komentar