Janji kedatangan kedua punĂ„kawan tersebut diucapkan di Blambangan, ketika Majapahit hancur diserang oleh pasukan DĂȘmak BintĂ„rĂ„. Prabu Brawijaya meloloskan diri ke arah Timur, hendak menyeberang ke Pulau Bali, namun masih bertahan sementara di Blambangan.
Raden Patah, penguasa pertama DĂȘmak BintĂ„rĂ„, merasa bangga telah menghancurkan Majapahit yang dia anggap sebagai negara kafir. Serta merta, setelah mendengar kabar berhasil dikuasainya Majapahit oleh tentara Islam, Raden Patah datang dari Demak, ingin melihat langsung keadaan Majapahit yang berhasil dihancurkan. Setelah itu, dengan bangga beliau meneruskan perjalanannya ke Pesantren AmpĂšldĂȘntĂ„, hendak mengabarkan keberhasilan itu.
Namun ternyata, Nyi AgĂȘng AmpĂšl, istri almarhum Sunan AmpĂšl, malah mempersalahkannya. Nyi AgĂȘng AmpĂšl mengingatkan bahwa dulu semasa Sunan AmpĂšl masih hidup, beliau pernah berpesan bahwsanya jangan sekali-kali murid-murid beliau ikut campur masalah politik, atau malah berani merebut kekuasaan Majapahit.
Bahkan Nyi AgĂȘng dengan tegas menambahkan, Raden Patah telah berdosa tiga hal, pertama kepada Guru, yaitu melanggar wasiat Sunan AmpĂšl. Kedua kepada Ayah, karena Prabu Brawijaya adalah ayah kandung Raden Patah, dan ketiga kepada Raja, karena Raja adalah Imam, tidak boleh dilawan tanpa alasan yang benar.
Sebab, selama memerintah, Prabu Brawijaya tidak pernah melarang penyebaran agama Islam, bahkan menghadiahkan tanah AmpĂšldĂȘntĂ„, sebagai tanah perdikan. Diijinkan untuk dipakai sebagai basis pendidikan agama bagi orang-orang muslim.
Dengan sangat menyesal, Raden Patah meminta petunjuk, bagaimanakah cara untuk menghapus kesalahannya. Nyi AgĂȘng menyarankan agar kedudukan Prabu Brawijaya Pamungkas sebagai Raja harus dikembalikan. Namun yang menjadi masalah, kemanakah Sang Prabu meloloskan diri?
Nyi AgĂȘng memperkirakan, Sang Prabu pasti menuju ke Pulau Bali. Raden Patah berniat menyusul sendiri, namun dicegah Nyi AgĂȘng AmpĂšl, karena setelah kejadian penyerangan Majapahit oleh tentara Islam terjadi, maka tidak akan ada satupun orang Islam yang akan dipercayai oleh Sang Prabu.
Tidak Raden Patah, tidak juga Nyi AgĂȘng AmpĂšl, tidak pula Para Wali yang lain, yang turut serta membantu penyerangan ke kerajaan Majapahit tersebut. Namun, hanya ada dua Wali yang mungkin masih beliau percayai, pertama SyĂšh Siti JĂȘnar dan kedua Sunan KalijĂ„gĂ„. Karena kedua Wali ini terang-terangan menentang penyerangan pasukan Islam ke Majapahit.
Karena hubungan Raden Patah tidak begitu baik dengan SyĂšh Siti JĂȘnar, maka dia meminta pertolongan Sunan KalijĂ„gĂ„ untuk melacak keberadaan ayahandanya. Dan jika ditemukan, dimohon dengan segala hormat untuk kembali ke Trowulan, ibukota Majapahit, untuk dikukuhkan lagi sebagai Raja. Sunan KalijĂ„gĂ„ bersedia membantu, ditemani beberapa santri beliau langsung melakukan pencarian ke arah Timur.
Dan ternyata benar, di Blambangan, banyak umbul-umbul pasukan Majapahit serta para prajurid Majapahit yang siap tempur berkumpul disana. Dan benar pula, Prabu Brawijaya masih ada disana, belum menyeberang ke Pulau Bali. Agak kesulitan Sunan KalijÄgÄ memohon bertemu dengan Sang Prabu.
Namun karena Sang Prabu tahu betul, Sunan KalijÄgÄ, yang seringkali beliau panggil Sahid itu, menurut pasukan sandhi Majapahit, Sunan KalijÄgÄ bersama pengikutnya, sama sekali tidak ikut dalam penyerangan ke Majapahit, maka Sunan KalijÄgÄ dipersilakannya menghadap, walau dengan kawalan ketat.
Dikisahkan ketika Sunan KalijÄgÄ menjumpai Prabu Brawijaya di Blambangan untuk menyampaikan tugasnya. Dijelaskan pula oleh Sunan KalijÄgÄ, bahwa sebenarnya Sultan Demak merasa menyesal atas penyerbuannya ke Kerajaan Majapahit. Ia merasa berdosa melawan ayahnya.
Bahkan ia merasa pula bahwa pengangkatannya sebagai Sultan Demak itu juga dari ayahnya. Akan tetapi semuanya telah terjadi, maka Sultan Demak dengan bersedih hati kembali ke Demak.
Mendengar penuturan Sunan KalijÄgÄ, Sang Prabu luruh hatinya. karena sesungguhnya, Sang Prabu kini tengah menggalang kekuatan besar untuk merebut kembali tahta dari tentara Islam. Tidak bisa dibayangkan apabila itu terjadi, karena pendukung Sang Prabu Brawijaya masih banyak tersebar di seluruh Nusantara.
Pertumpahan darah yang lebih besar pasti akan terjadi. Putra-putra Prabu Brawijaya masih banyak yang berkuasa dan mempunyai kekuatan tentara yang besar, seperti Adipati Handayaningrat IV di Pengging, Lembu Peteng di Madura, Bondhan Kejawen di Tarub dan masih banyak lagi.
Dengan memberitahukan Adipati Palembang dan mertuanya Hongte di Cina serta memohon kesediaannya untuk mendatangkan balatentara Cina ke Bali untuk menggempur pasukan DĂȘmak BintĂ„rĂ„.
Mendengar rencana itu, KanjĂȘng Sunan KalijĂ„gĂ„ tertegun, dalam fikirnya akan terjadi perang besar, pertumpahan darah antar keluarga sendiri, ayah melawan anak. Untuk mencegah terjadinya peperangan yang pasti akan merugikan kedua belah pihak, bahkan rakyat Jawa pada waktu itu.
KanjĂȘng Sunan KalijĂ„gĂ„ meminta, agar pertikaian dan dendam dihentikan, dan sudilah kiranya Sang Prabu kembali memegang tampuk pemerintahan. Prabu Brawijaya menolak, karena jikalau itu terjadi, maka beliau akan merasa terhina oleh putra selirnya sediri, Raden Patah, yang lahir dari putri China Eng-Kian dan dibesarkan di Palembang dalam asuhan Adipati Arya Damar atau Swan Liong.
Bagaimana tidak, seorang ayah harus menerima tahta dari anaknya sendiri, sungguh sangat memalukan. Ketika perundingan menemui jalan buntu, maka Sunan KalijÄgÄ mengusulkan agar beliau dengan kebesaran jiwa, mau memeluk Islam. Dengan demikian, seluruh pendukung beliau pasti akan meninggalkan beliau satu persatu, dan pertumpahan darah yang lebih besar lagi akan terhindar.
Mendengar akan hal itu, Prabu Brawijaya tercenung, untuk menghindari peperangan lebih besar, setidaknya, usulan Sunan KalijÄgÄ memang masuk akal. Demi perdamaian, Sang Prabu mengesampingkan ego-nya. Maka dengan kebesaran hati, beliau menyatakan memeluk agama Islam, setelah mendapatkan penjelasan tentang Islam dari Kanjeng Sunan Kalijaga.
[Sang Prabu Brawijaya,
Bersabda dengan lemah lembut,
Mengharapkan kepada kedua punakawannya,
Tapi SabdÄpalon tetap menolak,
Diriku ini sekarang,
Sudah memeluk Agama Rasul,
Wahai kalian kakang berdua,
Ikutlah memeluk agama suci,
Lebih baik karena ini agama yang mulia.]
Karena kepandaian Sunan KalijÄgÄ maka bersedialah Prabu Brawijaya kembali ke Majapahit. Ia sangat tertarik atas keterangan Sunan sehingga prasangka buruk akan agama Islam sedikit banyak hilang.
Menurut SabdÄpalon agama yang ada di Jawa lebih cocok bagi orang Jawa dan orang Jawa tidak selayaknya merasuk agama yang bukan berasal dari Jawa karena agama Jawa tidaklah lebih rendah daripada agama yang datang dari luar. Prabu Brawijaya tidak kuasa melawan bantahan dari Sabdopalon yang ternyata adalah jelmaan mahkluk halus penguasa tanah Jawa yang telah berumur 2300 tahun.
[3].SabdÄpalon matur sugal
Yen kawulÄ boten arsi
NgrasukÄ agÄmÄ Islam
Wit kulĂ„ puniki yĂȘkti Ratuning Dang Hyang Jawi
Momong marang anak putu
Sagung kang pÄrÄ
NĂ„tĂ„ Kang jumĂȘnĂȘng ing tanah Jawi
Wus pinasthi sayĂȘkti kulĂ„ pisahan.
[SabdÄpalon menghaturkan kata-kata agak keras,
Hamba tidak mau,
Memeluk agama Islam,
Sebab hamba ini sesungguhnya, Raja Dahnyang Penguasa Gaib Tanah Jawa,
Memelihara kelestarian anak cucu penghuni tanah Jawa,
Serta semua
Para Raja, Yang memerintah di tanah Jawa,
Sudah menjadi suratan karma, wahai Sang Prabu, kita harus berpisah.]
[Dengan Paduka Wahai Sang Raja,
Kembali ke Sunyaruri Alam Kosong Alam Tiada Tepi,
Hanya saja saya menghaturkan sebuah pesan agar Paduka menghitung,
Kelak sepeninggal hamba,
Apabila sudah datang waktunya, Genap lima ratus tahun,
Mulai hari ini,
Akan saya ganti agama di Jawa,
Agama Budi akan saya sebarkan ditanah Jawa.]
[Siapa saja yang tidak mau memakai,
Akan saya hancurkan,
Akan saya berikan kepada cucu saya sebagai tumbal,
Makhluk halus berwarna-warni,
Belum puas hati hamba,
Apabila belum hancur lebur,
Saya akan membuat penanda,
Pertanda sebagai janji serius saya,
Gunung Merapi apabila sudah meletus mengeluarkan lahar.]
[Kearah selatan barat mengalirnya,
Berbau anyir air laharnya,
Itulah waktunya,
Sudah mulai menyebarkan agama Budi,
Merapi janji saya,
Menggelegar seluruh jagad,
Kehendak Penguasa Alam,
Karena segalanya pasti akan berganti,
Tidak mungkin untuk diubah lagi.]
[Sangat sangat sengsara,
Yang hidup ditanah Jawa,
Perlambang tahun kedatangannya, Lawon SaptÄ NgÚsthi Aji
Seandainya menyeberangi sebuah sungai,
Ketika masih berada ditengah-tengah,
Banjir bandhang akan datang tiba-tiba,
Tingginya air mampu menenggelamkan manusia,
Banyak manusia sirna karena mati.]
[Bahaya yang datang,
Merata diseluruh tanah Jawa,
Diciptakan oleh Yang Memberikan Hidup,
Tidak bisa untuk ditolak,
Sebab didunia ini,
Dibawah kekuasaan,
Penguasa para penguasa,
Sebagai bukti,
Jagad ini ada yang menciptakan.]
[Bermacam-macam mara bahaya,
Merusak tanah Jawa,
Semua yang bekerja,
Hasilnya tidak mencukupi,
Pejabat banyak yang lupa daratan,
Pedagang mengalami kerugian,
Yang berkelakuan jahat semakin banyak,
Yang bertani tidak mengahasilkan apa-apa,
Hasilnya banyak terbuang percuma di rimba.]
[Bumi hilang berkahnya,
Banyak hama mendatangi,
Pepohonan banyak yang hilang,
Dicuri manusia,
Kerusakannya sangat parah,
Sebab saling berebut,
Rusak tatanan moral,
Apabila malam hujan banyak pencuri,
Pabila siang banyak perampok.]
[11].Huru hÄrÄ sakÚh janmÄ
RĂȘbutan ngupĂ„yĂ„ anggĂȘring prĂ„jĂ„
Tan tahan pĂȘrihing ati
KatungkÄ praptÄnÚki
PagĂȘblug ingkang linangkung
LĂȘlĂ„rĂ„ ngĂ„mbrĂ„-Ă„mbrĂ„
Warading saktanah Jawi
Ănjing sakit sorĂȘnyĂ„ sampun pralĂ„yĂ„.
[Huru hara seluruh manusia,
Berebut kekuasan kerajaan,
Tidak tahan perdihnya hati,
Disusul datangnya,
Wabah yang sangat mengerikan,
Penyakit berjangkit kemana-mana,
Merata seluruh tanah Jawa,
Pagi sakit sorenya mati.]
[12].KĂȘsandhung wohing pralĂ„yĂ„
KasĂȘlak banjir ngĂȘmasi
Udan barat salah mÄngsÄ
Angin gung nggĂȘgirisi
Kayu gung brastÄ sami
TinĂȘmpuhing angin agung
Kathah rĂȘbah amblasah
LÚpÚn-lÚpÚn samyÄ banjir
Lamun tinon pan kados samodrĂ„ bĂȘnĂ„.
[Belum selesai wabah kematian,
Ditambah banjir bandhang semakin menggenapi,
Hujan besar salah waktu,
Angin besar mengerikan,
Pohon-pohon besar bertumbangan,
Disapu angin yang besar,
Banyak yang roboh berserakan,
Sungai-sungai banyak yang banjir,
Apabila dilihat bagaikan lautan.]
[Ombak naik kedaratan,
Membuat rusak pesisir pantai,
Yang berada dikiri kanannya,
Pohon banyak yang hanyut,
Yang tumbuh dipesisir,
Hanyut ketengah lautan,
Bebatuan besar hancur berantakan,
Tersapu ikut hanyut,
Bergemuruh nyaring suaranya.]
[Gunung berapi semua,
Huru hara mengerikan,
Menggelegar suaranya,
Lahar tumpah kekanan dan kekirinya,
Menenggelamkan,
Menerjang hutan dan perkotaan,
Manusia banyak yang tewas,
Kerbau dan Sapi habis,
Sirna hilang tak bisa dipulihkan lagi.]
[15].Lindhu ping pitu sĂȘdinĂ„
KaryÄ sisahing sujanmi
Sitinipun samyĂ„ nĂȘlĂ„
BrĂȘkasakan kang ngĂȘlĂšsi
AnyĂšrĂšt sagung janmi
ManungsÄ pating galuruh
Kathah kang nandhang rogÄ
WarnÄ-warnÄ ingkang sakit
Awis waras akÚh kang praptÚng pralÄyÄ.
[Gempa bumi sehari tujuh kali,
Membuat ketakutan manusia,
Tanah banyak yang retak-retak,
Makhluk halus yang ikut membantu amarah alam,
Menyeret semua manusia,
Manusia menjerit-jerit,
Banyak yang terkena penyakit,
Bermacam-macam sakitnya,
Jarang yang bisa sembuh malahan banyak yang menemui kematian.]
SabdÄpalon juga memberitahukan bahwa kelak penguasa tanah Jawa akan beralih kepada orang yang menjadi asuhan SabdÄpalon. SabdÄpalon kemudian pergi meninggalkan Prabu Brawijaya, muksa.
[SabdÄpalon kemudian menghilang,
Sekejap mata tidak terlihat sudah,
Kembali ke Alam misteri,
Sangat keheranan Sang Prabu,
Terpaku tidak bisa bergerak,
Dalam hati merasa menyesal,
Merasa telah berbuat salah,
Akhirnya hanya bisa berserah kepada Tuhan,
Janji yang telah terucapkan itu sesungguhnya tak akan bisa diubah lagi.]
Prabu Brawijaya menyesal bahwa telah terbujuk Sunan KalijÄgÄ untuk berpindah agama, namun karena semuanya telah terjadi, SabdÄpalon berpesan agar Prabu Brawijaya tetap menjalankan apa yang telah menjadi pilihannya tersebut.
Prabu Brawijaya sangat sedih sepeninggal penasehatnya tersebut namun Sunan KalijÄgÄ berusaha menghibur hati Prabu Brawijaya dgn mengatakan bahwa ajaran agama Islam itu baik. Sunan bersabda bahwa air telaga itu berbau wangi dan terjadilah demikian. Prabu Brawijaya memerintahkan agar mengambil bumbung untuk membawa air wangi tersebut sebagai bekal dalam perjalanan.
Perjalanan Prabu Brawijaya diiringi oleh Sunan KalijÄgÄ telah sampai di Sumberwaru dan bermalam disana. Pagi harinya air dalam bumbung tersebut masih berbau wangi. Perjalanan kemudian dilanjutkan ke Penarukan dan bermalam disana. Pagi harinya air dalam bumbung masih berbau wangi.
Sesampainya di Besuki bermalam pula disana, namun pada pagi harinya air dalam bumbung tidak lagi berbau wangi tetapi berbau banger, oleh karena itu Probolinggo juga dinamakan Bangerwarih. Probolinggo juga sebagai pertanda bahwa Prabu Brawijaya masuk agama Islam karena terpengaruh tangan orang lain.
Setelah selama seminggu dalam perjalanan yang melewati Panarukan, Besuki dan Prabolinggo akhirnya sampailah di NgampĂšldĂȘntĂ„. Sesampainya di NgampĂšldĂȘntĂ„ Prabu Brawijaya memerintahkan agar membuat surat yang ditujukan kepada Sultan Demak supaya datang ke NgampĂšl Gading.
Prabu Brawijaya juga memerintahkan untuk membuat surat untuk anaknya yaitu Adipati Andayaningrat dan Adipati Ponorogo Bhatara Katong yang meminta kepada mereka tidak menuntut bela atas jatuhnya Kerajaan Majapahit.
Prabu Brawijaya sangat sedih atas jatuhnya Kerajaan Majapahit sehingga menderita sakit yang sangat parah. Menjelang kepergiannya Prabu Brawijaya meminta kepada Sunan KalijÄgÄ untuk menjaga keturunan Raja, dan terhadap Raden Patah yang belum juga datang memenuhi panggilan ayahnya Prabu Brawijaya hanya akan memberi ijin memerintah kepada Sultan Demak tersebut sampai dua keturunan saja.
Hal tersebut terbukti bahwa setalah Raden Parah memerintah maka pemerintahan tersebut hanya sampai di dua keturunannya saja yaitu:
1. Adipari Unus/ Pangeran Sabrang Lor (1518)
2. Pangeran TrĂȘnggĂ„nĂ„ (1548)
Tahta Demak dikuasai AryĂ„ PĂȘnangsang yang terkenal kejam dan tidak disukai orang, sehingga timbul kekacauan dimana-mana. Apalagi ketika adipati Japara yang mempunyai pengaruh besar dibunuh pula, yang mengakibatkan si adik dari adipati Japara Ratu Kalinyamat bersama adipati-adipati lainnya menentang AryĂ„ PĂȘnangsang, yang salah satu dari adipati itu bernama HadiwijĂ„yĂ„ yang dikenal dengan nama DjĂ„kĂ„ Tingkir, yaitu putra dari KebokenĂ„ngĂ„ sekaligus menantu TrĂȘnggĂ„nĂ„.
DjĂ„kĂ„ Tingkir, yang berkuasa di Pajang Boyolali, dalam peperangan berhasil membunuh AryĂ„ PĂȘnangsang. Dan oleh karena itu ia memindahkan Keraton Demak ke Pajang dan ia menjadi raja pertama di Pajang. Dengan demikian, habislah riwayat kerajaan Islam Demak.
[Lihat selanjutnya Dongeng Arkeologi dan Antropologi Seri NSSI Keris Legendaris, di Gandhok Dongeng Arkeologi dan Antropologi]
Ooopsss…..!!!
UuupsssâŠ..!!!
EeepsssâŠ..!!!
IiipsssâŠ..!!!
AaapsssâŠ..!!!
Xxxpsss….!!!
sugeng dalu pak Satpam, malam kadang padepokan sedaya
matur nuwun……jdbk-DjVu mpun cantrik sedot.
sugeng pagi pak Satpam, pagi kadang padepokan sedaya
gandok jdbk-32…..kayak2e cucok nggo cantrik
Sampurasun,
Ngahaturkeun wilujeng wengi
ndĂšrĂšk ……
NgahaturkĂȘun wilujĂȘng wĂȘngi
Hangaturaken sugeng dalu,
katur Ki Bayuaji,
katur Ki Menggung,
katur Ki Seno dalah pak Satpam’e
Dag….dig….dug…..dag…..dig…..dug,
deg-deg-an ngenteni pengumuman jam wolu bengi iki,
lha kira-kira aku arep didhapuk ngurusi apa ya………????
Muga-muga bae Ki Menggung ora ndhapuk aku dadi tukang ngeBOLD utawa tukang ngITALIC.
Harak bisa kojur awakku dioyak oyak pak Satpam.
He….he….he…..
sugeng dalu para kadhang sedaya.
Nuwun
SugĂȘng dalu
DONGENG ARKEOLOGI & ANTROPOLOGI
SURYA MAJAPAHIT
Dongeng sebelumnya:
Waosan kaping-50. Tenggelamnya Surya Majapahit. [Parwa ka-02]. On 15 Oktober 2011 at 23:59 JdBK 31
Waosan kaping-51
TENGGELAMNYA SANG SURYA MAJAPAHIT [Parwa ke-03]
BĂȘdhahĂ© Kraton MĂ„jĂ„pahit lan adĂȘgĂ© Kraton DĂȘmak BintĂ„rĂ„
–SĂȘrat DarmĂ„gandhul, JĂ„ngkĂ„ JĂ„yĂ„bĂ„yĂ„ SabdĂ„palon NĂ„yĂ„gĂ©nggong–
SabdĂ„palon dan NĂ„yĂ„gĂ©nggong diyakini oleh beberapa kalangan adalah ‘penuntun gaib yang mengejahwantah‘. Dipercaya bahwa mereka berdua senantiasa hadir mengiringi Raja-raja Jawa sejak jaman Indonesia Purba.
Karena berbeda dalam keyakinan, maka mereka berdua pergi meninggalkan tanah Jawa semenjak keruntuhan Majapahit pada tahun 1400 Ă, atau 1478 M. Terkenal dengan surya sengkala yang sangat populer, yaitu: sirnĂ„ (0) ilang (0) kĂȘrthaning (4) bhumi (1) (dibaca 1400 Ă). Konon kalimat kĂȘrthaning bhumi, diambil dari ânama asliâ Prabu Brawijaya pamungkas yaitu BrĂ© KĂȘrthabhumi.
Janji kedatangan kedua punĂ„kawan tersebut diucapkan di Blambangan, ketika Majapahit hancur diserang oleh pasukan DĂȘmak BintĂ„rĂ„. Prabu Brawijaya meloloskan diri ke arah Timur, hendak menyeberang ke Pulau Bali, namun masih bertahan sementara di Blambangan.
Raden Patah, penguasa pertama DĂȘmak BintĂ„rĂ„, merasa bangga telah menghancurkan Majapahit yang dia anggap sebagai negara kafir. Serta merta, setelah mendengar kabar berhasil dikuasainya Majapahit oleh tentara Islam, Raden Patah datang dari Demak, ingin melihat langsung keadaan Majapahit yang berhasil dihancurkan. Setelah itu, dengan bangga beliau meneruskan perjalanannya ke Pesantren AmpĂšldĂȘntĂ„, hendak mengabarkan keberhasilan itu.
Namun ternyata, Nyi AgĂȘng AmpĂšl, istri almarhum Sunan AmpĂšl, malah mempersalahkannya. Nyi AgĂȘng AmpĂšl mengingatkan bahwa dulu semasa Sunan AmpĂšl masih hidup, beliau pernah berpesan bahwsanya jangan sekali-kali murid-murid beliau ikut campur masalah politik, atau malah berani merebut kekuasaan Majapahit.
Bahkan Nyi AgĂȘng dengan tegas menambahkan, Raden Patah telah berdosa tiga hal, pertama kepada Guru, yaitu melanggar wasiat Sunan AmpĂšl. Kedua kepada Ayah, karena Prabu Brawijaya adalah ayah kandung Raden Patah, dan ketiga kepada Raja, karena Raja adalah Imam, tidak boleh dilawan tanpa alasan yang benar.
Sebab, selama memerintah, Prabu Brawijaya tidak pernah melarang penyebaran agama Islam, bahkan menghadiahkan tanah AmpĂšldĂȘntĂ„, sebagai tanah perdikan. Diijinkan untuk dipakai sebagai basis pendidikan agama bagi orang-orang muslim.
Dengan sangat menyesal, Raden Patah meminta petunjuk, bagaimanakah cara untuk menghapus kesalahannya. Nyi AgĂȘng menyarankan agar kedudukan Prabu Brawijaya Pamungkas sebagai Raja harus dikembalikan. Namun yang menjadi masalah, kemanakah Sang Prabu meloloskan diri?
Nyi AgĂȘng memperkirakan, Sang Prabu pasti menuju ke Pulau Bali. Raden Patah berniat menyusul sendiri, namun dicegah Nyi AgĂȘng AmpĂšl, karena setelah kejadian penyerangan Majapahit oleh tentara Islam terjadi, maka tidak akan ada satupun orang Islam yang akan dipercayai oleh Sang Prabu.
Tidak Raden Patah, tidak juga Nyi AgĂȘng AmpĂšl, tidak pula Para Wali yang lain, yang turut serta membantu penyerangan ke kerajaan Majapahit tersebut. Namun, hanya ada dua Wali yang mungkin masih beliau percayai, pertama SyĂšh Siti JĂȘnar dan kedua Sunan KalijĂ„gĂ„. Karena kedua Wali ini terang-terangan menentang penyerangan pasukan Islam ke Majapahit.
Karena hubungan Raden Patah tidak begitu baik dengan SyĂšh Siti JĂȘnar, maka dia meminta pertolongan Sunan KalijĂ„gĂ„ untuk melacak keberadaan ayahandanya. Dan jika ditemukan, dimohon dengan segala hormat untuk kembali ke Trowulan, ibukota Majapahit, untuk dikukuhkan lagi sebagai Raja. Sunan KalijĂ„gĂ„ bersedia membantu, ditemani beberapa santri beliau langsung melakukan pencarian ke arah Timur.
Sang Prabu Brawijaya, ditemani abdinya SabdÄpalon dan NÄyÄgénggong, dihadap oleh Sunan KalijÄgÄ, beserta para sesepuh dan sebagian pasukan Majapahit yang bersama-sama Sang Prabu hendak menyeberang menuju Pulau Bali, menyusul beberapa masyarakat Jawa lainnya yang lebih dahulu menyeberang kesana.
Disinilah dimulainya penulisan SĂȘrat SabdĂ„palon.
[1]. PÄdÄ sirÄ ngélingÄnÄ
CaritÄ ing nguni-nguni
Kang kocap ing sĂȘrat Babad
Babad nagari MÄjÄpahit
NalikÄ duking nguni
Sang-a BrÄwijÄyÄ Prabu
Pan samyĂ„ pĂȘpanggihan
Kaliyan NjĂȘng Sunan Kali
SabdÄpalon NÄyÄgénggong réncangirÄ.
[Ingatlah kalian semua,
Akan cerita masa lalu,
Yang tercantum didalam Babad
Babad Negara Majapahit,
Ketika itu,
Sang Prabu Brawijaya,
Tengah bertemu,
Dengan KangjĂȘng Sunan KalijĂ„gĂ„,
Ditemani oleh SabdÄpalon dan NÄyÄgénggong.]
Dan ternyata benar, di Blambangan, banyak umbul-umbul pasukan Majapahit serta para prajurid Majapahit yang siap tempur berkumpul disana. Dan benar pula, Prabu Brawijaya masih ada disana, belum menyeberang ke Pulau Bali. Agak kesulitan Sunan KalijÄgÄ memohon bertemu dengan Sang Prabu.
Namun karena Sang Prabu tahu betul, Sunan KalijÄgÄ, yang seringkali beliau panggil Sahid itu, menurut pasukan sandhi Majapahit, Sunan KalijÄgÄ bersama pengikutnya, sama sekali tidak ikut dalam penyerangan ke Majapahit, maka Sunan KalijÄgÄ dipersilakannya menghadap, walau dengan kawalan ketat.
GĂȘnti kang cinaritĂ„, tindakĂ© KanjĂȘng Sunan KalijĂ„gĂ„ ĂȘnggonĂ© ngupĂ„yĂ„ Sang Prabu BrĂ„wijĂ„yĂ„, mung didhĂ©rĂ©kakĂ© sakabat loro lakunĂ© kĂȘluntĂ„-luntĂ„, sabĂȘn dĂ©sĂ„ diampiri, sĂ„kĂ„ ĂȘnggonĂ© ngupĂ„yĂ„ wartĂ„. LampahĂ© Sunan KalijĂ„gĂ„ turut pĂȘsisir wĂ©tan, sing kalangkungan tindakĂ© Sang Prabu BrĂ„wijĂ„yĂ„.
LampahĂ© Sang Prabu BrĂ„wijĂ„yĂ„ wis tĂȘkan ing Blambangan, sarĂ©hnĂ© wis kraos sayah banjur kĂ©ndĂȘl Ă„nĂ„ sapinggiring bĂ©ji. Ing wĂȘktu iku panggalihĂ© Sang Prabu pĂȘtĂȘng bangĂȘt, dĂ©nĂ© sing marak Ă„nĂ„ ngarsanĂ© mung kĂȘkasih loro, iyĂ„ iku NĂ„yĂ„gĂ©nggong lan SabdĂ„palon, abdi loro mau tansah gĂȘguyon, lan pĂ„dhĂ„ mikir kahaning lĂȘlakon kang mĂȘntas dilakoni, ora antĂ„rĂ„ suwĂ© kĂȘsaru sowannĂ© Sunan KalijĂ„gĂ„, banjur ngabĂȘkti sumungkĂȘm padanĂ© Sang Prabu.
Sang Prabu banjur ndangu marang Sunan KalijĂ„gĂ„: âSahid! kowĂ© tĂȘkĂ„ Ă„nĂ„ Ă„pĂ„? Ă pĂ„ prĂȘlunĂ© nututi aku?â
Sunan KalijĂ„gĂ„ matur: âSowan kulĂ„ punikĂ„ kautus putrĂ„ padukĂ„, madosi panjĂȘnĂȘngan padukĂ„, kĂ„pĂ„nggihĂ„ wontĂȘn ing pundi-pundi, sĂȘmbah sungkĂȘmipun konjukĂ„ ing pĂ„dĂ„ padukĂ„ Aji, nuwun pangaksĂ„mĂ„ sadĂ„yĂ„ kasisipanipun, dĂ©nĂ© ngantos kamipurun ngrĂȘbat kaprabon padukĂ„ NĂ„tĂ„, awit saking kalimputing manah mudhĂ„ punggung, botĂȘn sumĂȘrĂȘp tĂ„tĂ„ krami, sangĂȘt kapĂ©nginipun mĂȘngku prĂ„jĂ„ angrĂ©h wadyĂ„bĂ„lĂ„, sinĂ©bĂ„ ing pĂ„rĂ„ bupati.
SamangkĂ© putrĂ„ pĂ„dukĂ„ rumaos ing kalĂȘpatanipun, dĂ©nĂ© darbĂ© bĂ„pĂ„ Ratu Agung ingkang anyĂȘngkakakĂȘn saking ngandhap aparing darajat Adipati ing DĂȘmak, tangĂšh malĂȘsĂ„ ing sih padukĂ„ NĂ„tĂ„, ing mangkĂ© putrĂ„ padukĂ„ Ă©mut, bilih panjĂȘnĂȘngan padukĂ„ linggar saking prĂ„jĂ„ botĂȘn kantĂȘnan dunungipun, punikĂ„ putrĂ„ padukĂ„ rumaos yĂšn mĂȘsthi manggih dĂȘdukaning PangĂ©ran.
MilĂ„ kawulĂ„ dinutĂ„ madosi panjĂȘnĂȘngan padukĂ„, kĂ„pĂ„nggihĂ„ wontĂȘn ing pundi-pundi ingaturan kondur rawuh ing MĂ„jĂ„pĂ„hit, tĂȘtĂȘpĂ„ kados ingkang wau-wau, mĂȘngku wadyĂ„ sinĂ©bĂ„ pĂ„rĂ„ punggĂ„wĂ„, awĂ©tĂ„ dados jĂȘjimat pinundhi-pundhi pĂ„rĂ„ putrĂ„ wayah buyut miwah pĂ„rĂ„ santĂ„nĂ„, kinurmĂ„tĂ„n sinuwunan idi wilujĂȘngipun wontĂȘn ing bumi.
Manawi padukĂ„ kondur, putrĂ„ padukĂ„ pasrah kaprabon padukĂ„ NĂ„tĂ„, putrĂ„ padukĂ„ nyaosakĂȘn pĂȘjah gĂȘsang, yĂšn kaparĂȘng saking karsĂ„ padukĂ„, namung nyuwun pangaksĂ„mĂ„ padukĂ„, sadayaning kalĂȘpatanipun, lan nyuwun pangkatipun lami dados Adipati ing DĂȘmak, tĂȘtĂȘpĂ„ kados ingkang sampun.
DĂ©nĂ© yĂšn panjĂȘnĂȘngan padukĂ„ botĂȘn kĂȘrsĂ„ ngastĂ„ kaprabon NĂ„tĂ„, sinaosan kadhaton wontĂȘn ing rĂȘdi, ing pundi sasĂȘnĂȘnging pĂȘnggalih padukĂ„, ing rĂȘdi ingkang kĂȘrsakakĂȘn badhĂ© dipun dhĂȘpoki, putrĂ„ padukĂ„ nyaosi busĂ„nĂ„ lan dhahar padukĂ„, nanging nyuwun pusĂ„kĂ„ Karaton ing Tanah JĂ„wi, dipun suwun ingkang rila tĂȘrusing panggalih.â
Sang Prabu BrĂ„wijĂ„yĂ„ ngandikĂ„: âIngsun-rungu aturirĂ„, Sahid! Nanging ora ingsun-gatĂ©kakĂ©, karĂ„nĂ„ ingsun wis kapok rĂȘmbugan karo santri pĂ„dhĂ„ nganggo mĂ„tĂ„ pitu, pĂ„dhĂ„ mĂ„tĂ„ lapisan kabĂ©h, mulĂ„ blĂ©ro pandulunĂ©, mawas ing ngarĂȘp nanging jĂȘbul anjĂȘnggung ing buri, rĂȘmbugĂ© mung manis Ă„nĂ„ ing lambĂ©, batinĂ© angandhut pasir kinapyukakĂ© ing mĂ„tĂ„, murih picĂȘkĂ„ mĂ„tĂ„ku siji.
Sakawit ingsun bĂȘciki, walĂȘsĂ© kĂ„yĂ„ kĂȘnyung buntut, Ă„pĂ„ tĂ„ salah-ingsun, tĂȘkĂ„ rinusak tanpĂ„ prakĂ„rĂ„, tinggal tĂ„tĂ„ adat caraning manusĂ„, mukul pĂȘrang tanpĂ„ panantang, iku Ă„pĂ„ nganggo tataning babi, dadi dudu tataning manusĂ„ kang utĂ„mĂ„.
Sunan KalijĂ„gĂ„ barĂȘng ngrungu pangandikanĂ© Sang Prabu rumĂ„sĂ„ ing kaluputanĂ© ĂȘnggonĂ© mĂ©lu mbĂȘdhah kĂȘraton MĂ„jĂ„pĂ„hit, ing batin bangĂȘt pĂ„nĂ„langsanĂ©, dĂ©nĂ© kadudon kang wis kĂȘbanjur, mulĂ„ banjur ngrĂȘrĂȘpĂ„, aturĂ©: âInggih sadukĂ„-dukĂ„ padukĂ„ ingkang dhumĂ„wĂ„ dhatĂȘng putrĂ„ wayah, mugi dadosa jimat paripih, kacancang pucuking rĂ©mĂ„, kapĂȘtĂȘk wontĂȘn ing ĂȘmbun, mandar amĂȘwahĂ„nĂ„ cahyĂ„ nurbuwat ingkang wĂȘning, rahayunipun pĂ„rĂ„ putrĂ„ wayah sadĂ„yĂ„. SarĂ©hning sampun kalĂȘpatan, punĂ„pĂ„ malih ingkang sinuwun malih, kajawi namung pangapuntĂȘn padukĂ„. wangsul karsa padukĂ„ karsĂ„ tindak dhatĂȘng pundi?â
Sang Prabu BrĂ„wijĂ„yĂ„ ngandikĂ„: âSaiki karsaningsun arsĂ„ tindak mĂȘnyang Bali, kĂȘtĂȘmu karo yayi Prabu DĂ©wĂ„ Agung ing Klungkung, arsĂ„ ingsun-wartani pratingkahĂ© si Patah, sikĂ„rĂ„ wong tuwĂ„ kang tanpĂ„ dosĂ„, lan arsĂ„ ingsun-kon nimbali pĂ„rĂ„ Raja kanan kĂ©ring Tanah JĂ„wĂ„, putrĂ„-putraningsun HandĂ„yĂ„ningrat ing PĂȘngging, LĂȘmbu PĂȘteng ing MĂądurĂ„, Bondhan KĂȘjawĂšn ing Tarub lan liyĂ„-liyanĂ©, samĂȘktĂ„ sakapraboning pĂȘrang.
Lan Adipati PalĂ©mbang sunwĂ©hi wĂȘruh, yĂšn anakĂ© karo pisan satĂȘkanĂ© tanah JĂ„wĂ„ sun angkat dadi Bupati, nanging ora wĂȘruh ing dalan, banjur wani mungsuh bĂ„pĂ„ Ratu, sun jaluk lilanĂ© anakĂ© arĂȘp ingsun patĂ©ni, sabab murtat wani ing bĂ„pĂ„ kapindhonĂ© Ratu, lan ingsun arsĂ„ angsung wikan marang HongtĂ© ing CinĂ„, yĂšn putranĂ© wis patutan karo ingsun mĂȘtu lĂ„nĂ„ng siji, Ă„nĂ„nging ora wĂȘruh ing dalan, wani mungsuh bĂ„pĂ„ ratu, iya ingsun-jaluk lilanĂ©, yĂšn putunĂ© arsĂ„ ingsun-patĂ©ni, ingsun njaluk biyantu prajurit CinĂ„, samĂȘktĂ„ sakapraboning pĂȘrang, njujugĂ„ nagari Bali.
YĂšn wis samĂȘktĂ„ sawadyĂ„ prajurit, sartĂ„ pĂ„dhĂ„ Ă©ling marang lĂȘlabĂȘtan kabĂȘcikaningsun, lan duwĂ© wĂȘlas marang wong wungkuk kaki-kaki, yĂȘkti pĂ„dhĂ„ tĂȘkĂ„ ing Bali sagĂȘgamaning pĂȘrang, sun-jak marang Tanah JĂ„wĂ„ angrĂȘbut kapraboningsun, iyĂ„ sĂ„nĂ„dyan pĂȘrang gĂȘdhĂ© gĂȘgĂȘmpuran amungsuh Ă„nĂ„k, ingsun ora isin, awit ingsun ora ngawiti Ă„lĂ„, aninggal caranĂ© wong agung.â
Sunan KalijĂ„gĂ„ ngrungu dhawuhĂ© Sang Prabu kang mangkono iku ing sĂ„nĂ„lika mung dhĂȘlĂȘg-dhĂȘlĂȘg, ngandikĂ„ sajroning ati: âTan cidrĂ„ karo dhawuhĂ© Nyai AgĂȘng NgampĂ©lgadhing, yĂšn Ă©yang wungkuk isih mbrĂȘgagah nggagahi nagĂ„rĂ„, ora nyawang wujuding dhiri, kulit kisut gĂȘgĂȘr wungkuk.
Lamun iki ngantiyĂ„ nyabrang marang Bali, ora wurung bakal Ă„nĂ„ pĂȘrang gĂȘdhĂ© tur wadyĂ„ ing DĂȘmak mĂ„sĂ„ mĂȘnangĂ„, amargĂ„ katindhihan luput, mungsuh ratu pindho bĂ„pĂ„, kaping tĂȘlunĂ© kang mbĂȘciki, wis mĂȘsthi baĂ© wong JĂ„wĂ„ kang durung Islam yĂȘkti asih marang Ratu tuwĂ„, angantĂȘp tangkĂȘping jurit, mĂȘsthi asor wong Islam tumpĂȘs ing pĂȘpĂȘrangan.â
WusĂ„nĂ„ Sunan KalijĂ„gĂ„ matur alon: âDhuh pukulun JĂȘng Sang Prabu! saupami padukĂ„ lajĂȘngnĂ„ rawuh ing Bali, nimbali pĂ„rĂ„ RĂ„jĂ„, saĂ©stu badhĂ© pĂȘrang gĂȘgĂȘmpuran, punĂ„pĂ„ botĂȘn ngĂ©man risakipun nagari Jawi, sampun tamtu putrĂ„ padukĂ„ ingkang badhĂ© nĂȘmahi kasoran, panjĂȘnĂȘngan padukĂ„ jumĂȘnĂȘng NĂ„tĂ„ botĂȘn lami lajĂȘng surud, kaprabon Jawi kaliyĂ„ ing sanĂ©s darah padukĂ„ NĂ„tĂ„, saupami kados dĂ©nĂ© sĂȘgawon rĂȘbatan bathang, ingkang kĂȘrah tulus kĂȘrah tĂȘtumpĂȘsan sami pĂȘjah sadĂ„yĂ„ daging lan mĂ„nĂ„h kathĂȘda ing sĂȘgawon sanĂ©sipunâ.
Sang Prabu BrĂ„wijĂ„yĂ„ ngandikĂ„: âMungguh kang mangkono iki luwih-luwih karsanĂ© DĂ©wĂ„ Kang Linuwih, ingsun iki Ratu BinathĂ„rĂ„, nĂȘtĂȘpi mripat siji, ora nganggo mĂ„tĂ„ loro, mung siji marang bĂȘnĂȘr paningalku, kang miturut adat pranatanĂ© pĂ„rĂ„ lĂȘluhur.
SaupĂ„mĂ„ si Patah ngrĂ„sĂ„ duwĂ© bĂ„pĂ„ ingsun, kĂȘpĂ©ngin dadi Ratu, disuwun krĂ„nĂ„ning bĂȘcik, karaton ing Tanah JĂ„wĂ„, iyĂ„ sun-paringakĂ© krĂ„nĂ„ bĂȘcik, ingsun wis kaki-kaki, wis warĂȘg jumĂȘnĂȘng Ratu, nrimĂ„ dadi pandhitĂ„, pitĂȘkur Ă„nĂ„ ing gunung. Balik samĂȘngko si Patah siyĂ„ mring sun, mĂȘsthinĂ©-ingsun iyĂ„ ora lilĂ„ ing Tanah JĂ„wĂ„ diratoni, luwih karsaning JawĂ„tĂ„ Gung, pamintanĂ© marang pĂ„rĂ„ titah ing wuri.â
Sunan KalijĂ„gĂ„ barĂȘng mirĂȘng pangandikanĂ© Sang Prabu, rumĂ„sĂ„ ora kaconggah ngaturi, mulĂ„ banjur nyungkĂȘmi pĂ„dĂ„, sartĂ„ banjur nyaosakĂ© cundrikĂ© karo matur, yĂšn Sang Prabu ora karsĂ„ nglampahi kĂ„yĂ„ aturĂ© Sunan KalijĂ„gĂ„, Sunan KalijĂ„gĂ„ nyuwun supĂ„yĂ„ dipatĂ©ni baĂ©, amĂ„rgĂ„ lingsĂȘm mĂ„nĂ„wĂ„ mĂȘruhi lĂȘlakon kang saru.
Sang Prabu nguningani patrapĂ© Sunan KalijĂ„gĂ„ kang mangkono mau, panggalihĂ© kanggĂȘg, mulĂ„ nganti suwĂ© ora ngandikĂ„ tansah tĂȘbah jĂ„jĂ„ karo nĂȘnggak waspĂ„, sĂȘrĂȘt pangandikanĂ©: âSahid! linggihĂ„ dhisik, tak-pikirĂ© sing bĂȘcik, tak-timbangĂ© aturmu, bĂȘnĂȘr lan luputĂ©, tĂȘmĂȘn lan gorohĂ©, amĂ„rgĂ„ aku kuwatir yĂšn aturmu iku goroh kabĂ©h.
SumurupĂ„ Sahid! saupĂ„mĂ„ aku kondur marang MĂ„jĂ„pĂ„hit, si Patah sĂ©bĂ„ mĂȘnyang aku, gĂȘthingĂ© ora bisa mari, amĂ„rgĂ„ duwĂ© bĂ„pĂ„ BuddhĂ„ kawak kapir kupur, liyĂ„ dinĂ„ lali, aku banjur dicĂȘkĂȘl dibiri, dikon tunggu lawang pungkuran, Ă©suk sorĂ© diprĂȘdi sĂȘmbahyang, yĂšn ora ngrĂȘti banjur diguyang Ă„nĂ„ ing blumbang dikosoki alang-alang garing.â
Sang Prabu mbanjurakĂ© pangandikanĂ© marang Sunan KalijĂ„gĂ„: âMĂ„rĂ„ pikirĂȘn, Sahid! saibĂ„ susahing atiku, wong wis tuwĂ„, nyĂȘkrukuk, kok dikum ing banyuâ.
Sunan KalijĂ„gĂ„ gumujĂȘng karo matur: âMokal manawi makatĂȘn, bĂ©njing kulĂ„ ingkang tanggĂȘl, botĂȘn-botĂȘnipun manawi putrĂ„ padukĂ„ badhĂ© siyĂ„-siyĂ„ dhatĂȘng panjĂȘnĂȘngan padukĂ„, dĂ©nĂ© bab agami namung kasarah sakarsĂ„ padukĂ„, namung langkung utami manawi panjĂȘnĂȘngan padukĂ„ karsĂ„ gantos sarak rasul, lajĂȘng nyĂȘbut asmaning Allah, manawi botĂȘn karsĂ„ punikĂ„ botĂȘn dados punĂ„pĂ„, tiyang namung bab agami, pikĂȘkahipun tiyang Islam punikĂ„ sahadat, sanajan salat dhingklak-dhingkluk manawi dĂ©rĂ©ng mangrĂȘtos sahadat punikĂ„ inggih tĂȘtĂȘp nĂ„mĂ„ kapirâ.
Sang Prabu ngandikĂ„: âSahadat iku kĂ„yĂ„ Ă„pĂ„, aku kok durung ngrĂȘti, cobĂ„ ucapnĂ„ tak-rungoknĂ©â.
KanjĂȘng Sunan KalijĂ„gĂ„ banjur ngucĂ„pĂ„kĂ© sahadat: ashadu ala ilaha ilaâllah, wa ashadu anna Mukhammadar-Rasuluâllah, tĂȘgĂȘsipun: Ingsung anĂȘksĂ©ni, ora Ă„nĂ„ PangĂ©ran kang sajati, amung Allah, lan anĂȘksĂ©ni, KangjĂȘng Nabi Mukhammad iku utusanĂ© Allahâ.
AturĂ© Sunan KalijĂ„gĂ„ marang Sang Prabu: âTiyang nĂȘmbah dhatĂȘng arah kĂ©mawon, botĂȘn sumĂȘrĂȘp wujud tĂȘgĂȘsipun, punikĂ„ tĂȘtĂȘp kapiripun, lan malih sintĂȘn tiyang ingkang nĂȘmbah puji ingkang sipat wujud warni, punikĂ„ nĂȘmbah brahĂ„lĂ„ nĂ„mĂ„nipun, milĂ„ tiyang punikĂ„ prĂȘlu mangrĂȘtos dhatĂȘng lair lan batosipun.
Tiyang ngucap punikĂ„ kĂȘdah sumĂȘrĂȘp dhatĂȘng ingkang dipun ucĂ„pĂ„kĂȘn, dĂ©nĂ© tĂȘgĂȘsipun Nabi Mukhammad Rasulaâllah: Mukhammad punikĂ„ makam kuburan, dados badanipun tiyang punikĂ„ kuburipun rĂ„sĂ„ sakalir, muji badanipun piyambak, botĂȘn muji Mukhammad ing âArab, raganipun manusĂ„ punikĂ„ wĂȘwayanganing Dzating PangĂ©ran, wujud makam kubur rĂ„sĂ„,
Rasul rĂ„sĂ„ kang nusuli, rĂ„sĂ„ pangan manjing lĂ©san, RasulĂ© minggah swargĂ„, luâllah, luluh dados ĂȘndhut, kasĂȘbut Rasuluâllah punikĂ„ rĂ„sĂ„ Ă„lĂ„ gĂ„ndĂ„ salah, riningkĂȘs dados satunggal Mukhammad Rasulaâllah, kang dhingin wĂȘruh badan, kaping kalih wĂȘruh ing tĂȘdhi, wajibipun manusĂ„ mangĂ©ran rĂ„sĂ„, rĂ„sĂ„ lan tĂȘdhi dados nyĂȘbut Mukhammad rasuluâllah, milĂ„ sĂȘmbahyang mungĂȘl âuzaliâ punikĂ„ tĂȘgĂȘsipun nyumĂȘrĂȘpi asalipun.
DĂ©nĂ© raganipun manusĂ„ punikĂ„ asalipun saking roh idlafi, rohipun Mukhammad Rasul, tĂȘgĂȘsipun Rasul rĂ„sĂ„, wijilĂ© rasaning urip, mĂȘdal saking badan kang mĂȘngĂ„, lantĂ„rĂ„n ashadualla, manawi botĂȘn mĂȘngrĂȘtos tĂȘgĂȘsipun sahadat, botĂȘn sumĂȘrĂȘp rukun Islam, botĂȘn mangrĂȘtos purwaning dumadosâ.
Sunan KalijĂ„gĂ„ aturĂ© akĂšh-akĂšh, nganti Prabu BrĂ„wijĂ„yĂ„ karsĂ„ santun agĂ„mĂ„ Islam, sawisĂ© banjur mundhut paras marang Sunan KalijĂ„gĂ„ nanging rĂ©manĂ© ora tĂȘdhas digunting, mulanĂ© Sunan KalijĂ„gĂ„ banjur matur, Sang Prabu diaturi Islam lair batos, amargĂ„ yĂšn mung lair baĂ©, rĂ©manĂ© ora tĂȘdhas digunting. Sang Prabu banjur ngandikĂ„ yĂšn wis lair batos, mulanĂ© kĂȘnĂ„ diparasi.
***
Dikisahkan ketika Sunan KalijÄgÄ menjumpai Prabu Brawijaya di Blambangan untuk menyampaikan tugasnya. Dijelaskan pula oleh Sunan KalijÄgÄ, bahwa sebenarnya Sultan Demak merasa menyesal atas penyerbuannya ke Kerajaan Majapahit. Ia merasa berdosa melawan ayahnya.
Bahkan ia merasa pula bahwa pengangkatannya sebagai Sultan Demak itu juga dari ayahnya. Akan tetapi semuanya telah terjadi, maka Sultan Demak dengan bersedih hati kembali ke Demak.
Mendengar penuturan Sunan KalijÄgÄ, Sang Prabu luruh hatinya. karena sesungguhnya, Sang Prabu kini tengah menggalang kekuatan besar untuk merebut kembali tahta dari tentara Islam. Tidak bisa dibayangkan apabila itu terjadi, karena pendukung Sang Prabu Brawijaya masih banyak tersebar di seluruh Nusantara.
Pertumpahan darah yang lebih besar pasti akan terjadi. Putra-putra Prabu Brawijaya masih banyak yang berkuasa dan mempunyai kekuatan tentara yang besar, seperti Adipati Handayaningrat IV di Pengging, Lembu Peteng di Madura, Bondhan Kejawen di Tarub dan masih banyak lagi.
Dengan memberitahukan Adipati Palembang dan mertuanya Hongte di Cina serta memohon kesediaannya untuk mendatangkan balatentara Cina ke Bali untuk menggempur pasukan DĂȘmak BintĂ„rĂ„.
Mendengar rencana itu, KanjĂȘng Sunan KalijĂ„gĂ„ tertegun, dalam fikirnya akan terjadi perang besar, pertumpahan darah antar keluarga sendiri, ayah melawan anak. Untuk mencegah terjadinya peperangan yang pasti akan merugikan kedua belah pihak, bahkan rakyat Jawa pada waktu itu.
KanjĂȘng Sunan KalijĂ„gĂ„ meminta, agar pertikaian dan dendam dihentikan, dan sudilah kiranya Sang Prabu kembali memegang tampuk pemerintahan. Prabu Brawijaya menolak, karena jikalau itu terjadi, maka beliau akan merasa terhina oleh putra selirnya sediri, Raden Patah, yang lahir dari putri China Eng-Kian dan dibesarkan di Palembang dalam asuhan Adipati Arya Damar atau Swan Liong.
Bagaimana tidak, seorang ayah harus menerima tahta dari anaknya sendiri, sungguh sangat memalukan. Ketika perundingan menemui jalan buntu, maka Sunan KalijÄgÄ mengusulkan agar beliau dengan kebesaran jiwa, mau memeluk Islam. Dengan demikian, seluruh pendukung beliau pasti akan meninggalkan beliau satu persatu, dan pertumpahan darah yang lebih besar lagi akan terhindar.
Mendengar akan hal itu, Prabu Brawijaya tercenung, untuk menghindari peperangan lebih besar, setidaknya, usulan Sunan KalijÄgÄ memang masuk akal. Demi perdamaian, Sang Prabu mengesampingkan ego-nya. Maka dengan kebesaran hati, beliau menyatakan memeluk agama Islam, setelah mendapatkan penjelasan tentang Islam dari Kanjeng Sunan Kalijaga.
Tetapi terkejutlah seluruh yang hadir, terutama SabdĂ„palon dan NĂ„yĂ„gĂ©nggong. Hingga, terlontarlah sebuah janji seperti tercantum pada SĂȘrat SabdĂ„ Palon.
[2]. Sang-a Prabu BrÄwijÄyÄ
SabdanirÄ arum manis
Nuntun dhatĂȘng punĂ„kawan
SabdÄpalon paran karsi
JĂȘnĂȘngsun sapuniki
Wus ngrasuk agÄmÄ Rasul
Héh tÄ kakang manirÄ
MÚluwÄ agÄmÄ suci
Luwih bĂȘcik iki agĂ„mĂ„ kang mulyĂ„.
[Sang Prabu Brawijaya,
Bersabda dengan lemah lembut,
Mengharapkan kepada kedua punakawannya,
Tapi SabdÄpalon tetap menolak,
Diriku ini sekarang,
Sudah memeluk Agama Rasul,
Wahai kalian kakang berdua,
Ikutlah memeluk agama suci,
Lebih baik karena ini agama yang mulia.]
Karena kepandaian Sunan KalijÄgÄ maka bersedialah Prabu Brawijaya kembali ke Majapahit. Ia sangat tertarik atas keterangan Sunan sehingga prasangka buruk akan agama Islam sedikit banyak hilang.
Bahkan ia bermaksud untuk masuk agama Islam secara lahir maupun batin. Tawaran masuk agama Islam kepada penasehat Prabu Brawijaya, yakni SabdÄpalon dan NÄyÄgénggong, berakhir dengan penolakan. SabdÄpalon menilai bahwa Prabu Brawijaya telah menyimpang dari para pendahulunya yang melestarikan agama leluhur Jawa.
Menurut SabdÄpalon agama yang ada di Jawa lebih cocok bagi orang Jawa dan orang Jawa tidak selayaknya merasuk agama yang bukan berasal dari Jawa karena agama Jawa tidaklah lebih rendah daripada agama yang datang dari luar. Prabu Brawijaya tidak kuasa melawan bantahan dari Sabdopalon yang ternyata adalah jelmaan mahkluk halus penguasa tanah Jawa yang telah berumur 2300 tahun.
[3]. SabdÄpalon matur sugal
Yen kawulÄ boten arsi
NgrasukÄ agÄmÄ Islam
Wit kulĂ„ puniki yĂȘkti Ratuning Dang Hyang Jawi
Momong marang anak putu
Sagung kang pÄrÄ
NĂ„tĂ„ Kang jumĂȘnĂȘng ing tanah Jawi
Wus pinasthi sayĂȘkti kulĂ„ pisahan.
[SabdÄpalon menghaturkan kata-kata agak keras,
Hamba tidak mau,
Memeluk agama Islam,
Sebab hamba ini sesungguhnya, Raja Dahnyang Penguasa Gaib Tanah Jawa,
Memelihara kelestarian anak cucu penghuni tanah Jawa,
Serta semua
Para Raja, Yang memerintah di tanah Jawa,
Sudah menjadi suratan karma, wahai Sang Prabu, kita harus berpisah.]
[4]. Klawan PadukÄ sang NÄtÄ
Wangsul maring sunyÄ ruri
Mung kulÄ matur pétungnÄ
Ing bénjang sakpungkur mami
YÚn wus praptÄ kang wanci
JangkĂȘp gangsal atus taun
Wit ing dintĂȘn punikĂ„
KulÄ gantos agami
GĂ„mĂ„ Budi kulĂ„ sĂȘbar ing tanah JĂ„wĂ„.
[Dengan Paduka Wahai Sang Raja,
Kembali ke Sunyaruri Alam Kosong Alam Tiada Tepi,
Hanya saja saya menghaturkan sebuah pesan agar Paduka menghitung,
Kelak sepeninggal hamba,
Apabila sudah datang waktunya,
Genap lima ratus tahun,
Mulai hari ini,
Akan saya ganti agama di Jawa,
Agama Budi akan saya sebarkan ditanah Jawa.]
[5].SintĂȘn tan purun nganggĂ©yĂ„
YĂȘkti kulĂ„ rusak sami
Sun sajakkĂȘn putu kulĂ„
BĂȘrkasakan rupi-rupi
DĂšrĂšng lĂȘgĂ„ kang ati
YĂšn durung lĂȘbur atĂȘmpur
KulĂ„ damĂȘl pratĂ„ndhĂ„
PratĂ„ndhĂ„ tĂȘmbayan mami
Hardi MĂȘrapi yĂšn wus njĂȘblug mili lahar.
[Siapa saja yang tidak mau memakai,
Akan saya hancurkan,
Akan saya berikan kepada cucu saya sebagai tumbal,
Makhluk halus berwarna-warni,
Belum puas hati hamba,
Apabila belum hancur lebur,
Saya akan membuat penanda,
Pertanda sebagai janji serius saya,
Gunung Merapi apabila sudah meletus mengeluarkan lahar.]
[6]. Ngidul ngilÚn purugirÄ
NggĂ„dĂ„ bangĂȘr ingkang warih
Nggih punikĂ„ wĂȘdal kulĂ„
Wus nyĂȘbar agĂ„mĂ„ budi
MĂȘrapi janji mamai
AnggĂȘrĂȘng jagad satuhu
KarsanirÚng JawÄtÄ
SadÄyÄ gilir gumanti
BotĂȘn kĂ©nging kalamuntĂ„ kaowahan.
[Kearah selatan barat mengalirnya,
Berbau anyir air laharnya,
Itulah waktunya,
Sudah mulai menyebarkan agama Budi,
Merapi janji saya,
Menggelegar seluruh jagad,
Kehendak Penguasa Alam,
Karena segalanya pasti akan berganti,
Tidak mungkin untuk diubah lagi.]
[7].SangĂȘt-sangĂȘting sangsĂ„rĂ„
Kang tuwuh ing tanah Jawi
SinĂȘngkalan tahunirĂ„
Lawon SaptÄ NgÚsthi Aji
Upami nyabarang kali
PraptĂšng tĂȘngah-tĂȘngahipun
Kaliné banjir bandhang
JĂȘronnĂ© ngĂȘlĂȘbnĂ„ jalmi
Kathah sirnÄ manungsÄ praptÚng pralÄyÄ.
[Sangat sangat sengsara,
Yang hidup ditanah Jawa,
Perlambang tahun kedatangannya,
Lawon SaptÄ NgÚsthi Aji
Seandainya menyeberangi sebuah sungai,
Ketika masih berada ditengah-tengah,
Banjir bandhang akan datang tiba-tiba,
Tingginya air mampu menenggelamkan manusia,
Banyak manusia sirna karena mati.]
[8].BĂȘbĂ„yĂ„ ingkang tumĂȘkĂ„
WarÄtÄ sa Tanah Jawi
GinawĂ© Kang Paring GĂȘsang
Tan kénging dipun singgahi
Wit ing donya puniki
WontĂȘn ing sakwasanipun
SĂȘdĂ„yĂ„ prĂ„ JawĂ„tĂ„
KinaryĂ„ amĂȘrtandhani
Jagad iki yĂȘkti Ă„nĂ„ kang akaryĂ„.
[Bahaya yang datang,
Merata diseluruh tanah Jawa,
Diciptakan oleh Yang Memberikan Hidup,
Tidak bisa untuk ditolak,
Sebab didunia ini,
Dibawah kekuasaan,
Penguasa para penguasa,
Sebagai bukti,
Jagad ini ada yang menciptakan.]
[9].WarnĂ„-warnĂ„ kang bĂȘbĂ„yĂ„
AngrusakĂȘn Tanah Jawi
Sagung tiyang nambut karyÄ
PamĂȘdal botĂȘn nyĂȘkapi
Priyayi kĂšh bĂȘranti
Sudagar tunÄ sadarum
Wong glidhik ora mingsrÄ
Wong tani ora nyukupi
PamĂȘtunĂ© akĂšh sirnĂ„ anĂšng wĂ„nĂ„.
[Bermacam-macam mara bahaya,
Merusak tanah Jawa,
Semua yang bekerja,
Hasilnya tidak mencukupi,
Pejabat banyak yang lupa daratan,
Pedagang mengalami kerugian,
Yang berkelakuan jahat semakin banyak,
Yang bertani tidak mengahasilkan apa-apa,
Hasilnya banyak terbuang percuma di rimba.]
[10].Bumi ilang bĂȘrkatirĂ„
Ă mĂ„ kathah kang ndhatĂȘngi
Kayu kathah ingkang ilang
Cinolong déning sujanmi
Pan risaknyÄ nglangkungi
KarĂ„nĂ„ rĂȘbut rinĂȘbut
Risak tataning janmÄ
YĂšn dalu grimis kĂšh maling
YĂšn rinĂ„-wĂ„ kathah tĂȘtiyang ambĂ©gal.
[Bumi hilang berkahnya,
Banyak hama mendatangi,
Pepohonan banyak yang hilang,
Dicuri manusia,
Kerusakannya sangat parah,
Sebab saling berebut,
Rusak tatanan moral,
Apabila malam hujan banyak pencuri,
Pabila siang banyak perampok.]
[11].Huru hÄrÄ sakÚh janmÄ
RĂȘbutan ngupĂ„yĂ„ anggĂȘring prĂ„jĂ„
Tan tahan pĂȘrihing ati
KatungkÄ praptÄnÚki
PagĂȘblug ingkang linangkung
LĂȘlĂ„rĂ„ ngĂ„mbrĂ„-Ă„mbrĂ„
Warading saktanah Jawi
Ănjing sakit sorĂȘnyĂ„ sampun pralĂ„yĂ„.
[Huru hara seluruh manusia,
Berebut kekuasan kerajaan,
Tidak tahan perdihnya hati,
Disusul datangnya,
Wabah yang sangat mengerikan,
Penyakit berjangkit kemana-mana,
Merata seluruh tanah Jawa,
Pagi sakit sorenya mati.]
[12].KĂȘsandhung wohing pralĂ„yĂ„
KasĂȘlak banjir ngĂȘmasi
Udan barat salah mÄngsÄ
Angin gung nggĂȘgirisi
Kayu gung brastÄ sami
TinĂȘmpuhing angin agung
Kathah rĂȘbah amblasah
LÚpÚn-lÚpÚn samyÄ banjir
Lamun tinon pan kados samodrĂ„ bĂȘnĂ„.
[Belum selesai wabah kematian,
Ditambah banjir bandhang semakin menggenapi,
Hujan besar salah waktu,
Angin besar mengerikan,
Pohon-pohon besar bertumbangan,
Disapu angin yang besar,
Banyak yang roboh berserakan,
Sungai-sungai banyak yang banjir,
Apabila dilihat bagaikan lautan.]
[13].Alun minggah ing daratan
KaryĂ„ rusak tĂȘpis wiring
Kang dumunung kéring kanan
KajĂȘng akĂšh ingkang kĂšli
Kang tumuwuh apinggir
SamyÄ kéntir trusing laut
SĂȘlĂ„ gĂȘng sami brastĂ„
KabalĂȘbĂȘg katut kĂšli
Gumalundhung gumludhug suwarÄnirÄ.
[Ombak naik kedaratan,
Membuat rusak pesisir pantai,
Yang berada dikiri kanannya,
Pohon banyak yang hanyut,
Yang tumbuh dipesisir,
Hanyut ketengah lautan,
Bebatuan besar hancur berantakan,
Tersapu ikut hanyut,
Bergemuruh nyaring suaranya.]
[14].Hardi agung-agung samyÄ
Huru-hĂ„rĂ„ nggĂȘgirisi
GumlĂȘgĂȘr swarĂ„nirĂ„
Lahar wutah kanan kéring
AmblĂȘbĂȘr angĂȘlĂȘbi
Nrajang wĂ„nĂ„ lan dĂȘsagung
ManungsÄnyÄ kÚh brastÄ
KĂȘbo sapi samyĂ„ gusis
SirnĂ„ gĂȘmpang tan wontĂȘn manggĂ„ pulihĂ„.
[Gunung berapi semua,
Huru hara mengerikan,
Menggelegar suaranya,
Lahar tumpah kekanan dan kekirinya,
Menenggelamkan,
Menerjang hutan dan perkotaan,
Manusia banyak yang tewas,
Kerbau dan Sapi habis,
Sirna hilang tak bisa dipulihkan lagi.]
[15].Lindhu ping pitu sĂȘdinĂ„
KaryÄ sisahing sujanmi
Sitinipun samyĂ„ nĂȘlĂ„
BrĂȘkasakan kang ngĂȘlĂšsi
AnyĂšrĂšt sagung janmi
ManungsÄ pating galuruh
Kathah kang nandhang rogÄ
WarnÄ-warnÄ ingkang sakit
Awis waras akÚh kang praptÚng pralÄyÄ.
[Gempa bumi sehari tujuh kali,
Membuat ketakutan manusia,
Tanah banyak yang retak-retak,
Makhluk halus yang ikut membantu amarah alam,
Menyeret semua manusia,
Manusia menjerit-jerit,
Banyak yang terkena penyakit,
Bermacam-macam sakitnya,
Jarang yang bisa sembuh malahan banyak yang menemui kematian.]
Sang Prabu ngandikĂ„ manĂšh: âĂ pĂ„ kowĂ© ora manut agĂ„mĂ„?â
SabdĂ„palon aturĂ© sĂȘndhu: âManut agami lami, dhatĂȘng agami Ă©nggal botĂȘn manut!
KĂ©nging punĂ„pĂ„ padukĂ„ gantos agami tĂȘkĂ„ botĂȘn nantun kulĂ„, padukĂ„ punĂ„pĂ„ kĂȘkilapan dhatĂȘng nĂ„mĂ„ kulĂ„ SabdĂ„palon?
SabdĂ„ tĂȘgĂȘsipun pamuwus, Palon atĂȘgĂȘs pikukuh kandhang.
NĂ„yĂ„ tĂȘgĂȘsipun ulat, GĂ©nggong, langgĂȘng botĂȘn Ă©wah.
Dados wicantĂȘn kulĂ„ punikĂ„, kĂ©nging kanggĂ© pikĂȘkah ulat pasĂȘmoning tanah Jawi, langgĂȘng salaminipun.â
Sang Prabu ngandikĂ„: âKĂȘpriyĂ© iki, aku wis kĂȘbacut mlĂȘbu agĂ„mĂ„ Islam, wis disĂȘksĂ©ni Sahid, aku ora kĂȘnĂ„ bali agĂ„mĂ„ BuddhĂ„ manĂšh, aku wirang yĂšn digĂȘguyu bumi langit.â
SabdĂ„palon matur manĂšh: âInggih sampun, lakar padukĂ„ lampahi piyambak, kulĂ„ botĂȘn tumut-tumut.â
SabdĂ„palon matur, angaturakĂ© lĂȘpiyan, yĂšn wiwit jaman kunĂ„ mulĂ„, yĂšn wong lanang manut wong wadon, mĂȘsthi nĂȘmu sangsĂ„rĂ„, amargĂ„ wong wadon iku utamanĂ© kanggo wadhah, ora wĂȘnang miwiti karĂȘp, SabdĂ„palon akĂ©h-akĂ©h ĂȘnggonĂ© nutuh marang Sang Prabu.
Sang Prabu ngandikĂ„: âKok-tutuhĂ„ iya tanpĂ„ gawĂ©, amargĂ„ barang wis kĂȘbacut, saiki mung kowĂ© kang tak-tari, kĂȘpriyĂ© kang dadi kĂȘkĂȘncĂȘnganing tĂ©kadmu? YĂšn aku mono ĂȘnggonku mlĂȘbu agĂ„mĂ„ Islam, wis disĂȘksĂ©ni dĂ©ning si Sahid, wis ora bisa bali mĂȘnyang BuddhĂ„ manĂ©hâ.
SabdĂ„palon matur yĂšn arĂȘp misah, barĂȘng didangu lunganĂ© mĂȘnyang ngĂȘndi, aturĂ© ora lungĂ„, nanging ora manggon ing kono, mung nĂȘtĂȘpi jĂȘnĂȘngĂ© SĂȘmar, nglimputi salirĂ© wujud, anglĂ©lĂ„ kalingan padhang. Sang Prabu diaturi ngyĂȘktosi, ing bĂ©suk yĂšn Ă„nĂ„ wong JĂ„wĂ„ ajĂȘnĂȘng tuwĂ„, agĂȘgaman kawruh, iya iku sing diĂȘmong SabdĂ„palon, wong jawan arĂȘp diwulang wĂȘruhĂ„ marang bĂȘnĂȘr luput.
SabdÄpalon juga memberitahukan bahwa kelak penguasa tanah Jawa akan beralih kepada orang yang menjadi asuhan SabdÄpalon. SabdÄpalon kemudian pergi meninggalkan Prabu Brawijaya, muksa.
Sang Prabu karsanĂ© arĂȘp ngrangkul SabdĂ„palon lan NĂ„yĂ„gĂ©nggong, nanging sakaronĂ© mau banjur musnĂ„.
[16].SabdÄpalon nulyÄ mukswÄ
SakĂȘdhap botĂȘn kaĂšksi
Wangsul ing jaman limunan
Langkung ngungun Sri Bupati
NjĂȘgrĂȘg tan bisĂ„ angling
Ing manah langkung gĂȘgĂȘtun
KĂȘdhuwung lĂȘpatirĂ„
Mupus karsaning Déwadi
Kodrat iku sayĂȘkti tan kĂȘnĂ„ owah.
[SabdÄpalon kemudian menghilang,
Sekejap mata tidak terlihat sudah,
Kembali ke Alam misteri,
Sangat keheranan Sang Prabu,
Terpaku tidak bisa bergerak,
Dalam hati merasa menyesal,
Merasa telah berbuat salah,
Akhirnya hanya bisa berserah kepada Tuhan,
Janji yang telah terucapkan itu sesungguhnya tak akan bisa diubah lagi.]
Prabu Brawijaya menyesal bahwa telah terbujuk Sunan KalijÄgÄ untuk berpindah agama, namun karena semuanya telah terjadi, SabdÄpalon berpesan agar Prabu Brawijaya tetap menjalankan apa yang telah menjadi pilihannya tersebut.
Sunan KalijĂ„gĂ„ banjur matur marang Sang Prabu, kang surasanĂ© ora prĂȘlu manggalih kang akĂ©h-akĂ©h, amargĂ„ agĂ„mĂ„ Islam iku mulyĂ„ bangĂȘt, sartĂ„ matur yĂšn arĂȘp nyiptĂ„ banyu kang Ă„nĂ„ ing bĂ©ji, prĂȘlu kanggo tĂ„ndhĂ„ yĂȘkti, kĂȘpriyĂ© mungguh ing gandanĂ©.
YĂšn banyu diciptĂ„ bisĂ„ nggĂ„ndĂ„ wangi, iku tĂ„ndhĂ„ yĂšn Sang Prabu wis mantĂȘp marang agĂ„mĂ„ Rasul, nanging yĂšn gandanĂ© ora wangi, iku anandhakakĂ© yĂšn Sang Prabu isih panggalih BuddhĂ„. Sunan KalijĂ„gĂ„ banjur nyiptĂ„, pĂ„dhĂ„ sanalikĂ„ banyu sĂȘndhang banjur dadi wangi gandanĂ©, ing kono Sunan KalijĂ„gĂ„ matur marang Sang Prabu, kĂ„yĂ„ kang wis kathĂ„ndhĂ„, yĂšn Sang Prabu nyĂ„tĂ„ wis mantĂȘp marang agĂ„mĂ„ Rasul, amargĂ„ banyu sĂȘndhang gandanĂ© wangi.
Prabu Brawijaya sangat sedih sepeninggal penasehatnya tersebut namun Sunan KalijÄgÄ berusaha menghibur hati Prabu Brawijaya dgn mengatakan bahwa ajaran agama Islam itu baik. Sunan bersabda bahwa air telaga itu berbau wangi dan terjadilah demikian. Prabu Brawijaya memerintahkan agar mengambil bumbung untuk membawa air wangi tersebut sebagai bekal dalam perjalanan.
Perjalanan Prabu Brawijaya diiringi oleh Sunan KalijÄgÄ telah sampai di Sumberwaru dan bermalam disana. Pagi harinya air dalam bumbung tersebut masih berbau wangi. Perjalanan kemudian dilanjutkan ke Penarukan dan bermalam disana. Pagi harinya air dalam bumbung masih berbau wangi.
Sesampainya di Besuki bermalam pula disana, namun pada pagi harinya air dalam bumbung tidak lagi berbau wangi tetapi berbau banger, oleh karena itu Probolinggo juga dinamakan Bangerwarih. Probolinggo juga sebagai pertanda bahwa Prabu Brawijaya masuk agama Islam karena terpengaruh tangan orang lain.
Setelah selama seminggu dalam perjalanan yang melewati Panarukan, Besuki dan Prabolinggo akhirnya sampailah di NgampĂšldĂȘntĂ„. Sesampainya di NgampĂšldĂȘntĂ„ Prabu Brawijaya memerintahkan agar membuat surat yang ditujukan kepada Sultan Demak supaya datang ke NgampĂšl Gading.
Prabu Brawijaya juga memerintahkan untuk membuat surat untuk anaknya yaitu Adipati Andayaningrat dan Adipati Ponorogo Bhatara Katong yang meminta kepada mereka tidak menuntut bela atas jatuhnya Kerajaan Majapahit.
Prabu Brawijaya sangat sedih atas jatuhnya Kerajaan Majapahit sehingga menderita sakit yang sangat parah. Menjelang kepergiannya Prabu Brawijaya meminta kepada Sunan KalijÄgÄ untuk menjaga keturunan Raja, dan terhadap Raden Patah yang belum juga datang memenuhi panggilan ayahnya Prabu Brawijaya hanya akan memberi ijin memerintah kepada Sultan Demak tersebut sampai dua keturunan saja.
Hal tersebut terbukti bahwa setalah Raden Parah memerintah maka pemerintahan tersebut hanya sampai di dua keturunannya saja yaitu:
1. Adipari Unus/ Pangeran Sabrang Lor (1518)
2. Pangeran TrĂȘnggĂ„nĂ„ (1548)
Setelah wafatnya Pangeran TrĂȘnggĂ„nĂ„ terjadi perebutan kekuasaan antara adiknya dan putranya bernama pangeran PrawĂ„tĂ„ yang bergelar Sunan PrawĂ„tĂ„ (1549). Sang adik pangeran SĂ©dĂ„ LĂšpĂšn terbunuh di tepi sungai dan PrawĂ„tĂ„ beserta keluarganya dihabisi oleh anak dari pangeran SĂ©dĂ„ LĂšpĂšn yang bernama AryĂ„ PĂȘnangsang.
Tahta Demak dikuasai AryĂ„ PĂȘnangsang yang terkenal kejam dan tidak disukai orang, sehingga timbul kekacauan dimana-mana. Apalagi ketika adipati Japara yang mempunyai pengaruh besar dibunuh pula, yang mengakibatkan si adik dari adipati Japara Ratu Kalinyamat bersama adipati-adipati lainnya menentang AryĂ„ PĂȘnangsang, yang salah satu dari adipati itu bernama HadiwijĂ„yĂ„ yang dikenal dengan nama DjĂ„kĂ„ Tingkir, yaitu putra dari KebokenĂ„ngĂ„ sekaligus menantu TrĂȘnggĂ„nĂ„.
DjĂ„kĂ„ Tingkir, yang berkuasa di Pajang Boyolali, dalam peperangan berhasil membunuh AryĂ„ PĂȘnangsang. Dan oleh karena itu ia memindahkan Keraton Demak ke Pajang dan ia menjadi raja pertama di Pajang. Dengan demikian, habislah riwayat kerajaan Islam Demak.
[Lihat selanjutnya Dongeng Arkeologi dan Antropologi Seri NSSI Keris Legendaris, di Gandhok Dongeng Arkeologi dan Antropologi]
ÄnÄ tjandhaké
Nuwun
cantrik bayuaji
matur suwun ki
sama-sama pak Satpam….nanti rontal yang ini di bundelke
sisan ning “Gandhok Dongeng Arkeologi dan Antropologi”
beres, jangan khawatir,
pak Satpam akan cancut taliwanda
membereskan masalah ini.
Nggih to pak Satpam….??????
Matur nuwun Ki Bayuaji,
tambah jelas sehingga bisa ngluwar teke-teki saya yang terpendam selama berpuluh-puluh tahun.
HELPâŠHELPâŠHELPâŠ
Saya tidak bisa membuat halaman baru di http://serialshmintardja.wordpress.com/ , pada saat akan buat halaman baru yang muncul hanya gambar demikian.
Saya tidak tahu mengapa demikian, adakah sanak kadang yang paham tentang hal per WordPress-an?
Saya sudah hubungi kontak WP, tetapi rupanya masih edang ada âmeetingâ sehingga support ditutup sampai dengan tanggal 29 Oktober 2011.
Tanya Ki Arema hanya angkat bahu, âsudah lupaâ katanya.
haduâŠâŠ. !!!
Help me âŠ!!! please
okey-lah nanti cantrik bantu “mem beres kan”, tunggu 2 minggu
lagi…..!!??