KDNP-06

<< kembali | TAMAT >>

KDNP-06

Laman: 1 2 3 4

Telah Terbit on 25 April 2014 at 20:02  Comments (155)  

The URI to TrackBack this entry is: https://pelangisingosari.wordpress.com/kdnp-06/trackback/

RSS feed for comments on this post.

155 KomentarTinggalkan komentar

  1. Sebagaimana yang di lihat oleh kedua lelaki itu, penjagaan di gardu jaga gardu depan istana pada malam itu memang tidak menjadi istimewa. Situasi dan suasana seperti itu memang telah menjadi sebuah siasat dari Raja Pulau Api, agar pihak musuh menganggap sebuah kelengahan.

    Sementara itu di sebuah simpangan jalan menuju pasar, dibawah sebuah pohon suren tua yang rindang di bawah kegelapan malam terlihat dua orang pengemis tengah duduk bersandar. Ternyata mereka berdua adalah salah seorang prajurit Rakata yang tengah menyamar.

    “Hampir saja penyamaranku terbongkar, istri dan anakku lewat didepanku tadi siang. Naluri anakku ternyata begitu kuat, beberapa kali menoleh kepadaku”, berkata salah seorang diantara mereka.

    “Beruntung keluargaku jauh di kampung”, berkata kawanya menanggapi.

    “Upacara besok di istana hanya sebuah pancingan agar pihak musuh keluar dari persembunyiannya”, berkata kembali salah seorang diantara mereka.

    “Lebih cepat lebih baik, tidak tahan aku sepanjang malam berada menggelandang sebagai pengemis jalanan”, berkata kawan prajurit itu.

    “Aku juga berharap yang sama”, berkata prajurit itu kepada kawannya.
    Sebagaimana yang dikatakan oleh mereka, udara malam di Kotaraja Rakata memang cukup dingin, karena berada di lembah gunung Rakata, sebuah gunung berapi di ukung barat Jawadwipa yang tinggi menjulang keangkasa.

    Sementara itu di pihak musuh pada malam itu memang telah bersiap diri, beberapa pasukan yang bersembunyi di beberapa rumah yang jauh dari keramaian penduduk sepertinya tidak sabar menunggu datangnya pagi.

    “Malam ini bergerak seperti lambat, pagi masih begitu jauh”, berkata salah seorang diantara mereka bersungut masam tidak sabaran menunggu datangnya pagi.

    “Kenapa kamu tidak tidur saja ?”, berkata kawannya merasa terganggu dengan keluh kesah orang itu.

    “Aku tidak dapat tidur”, berkata kembali orang itu.

    “Salahmu sendiri, mengapa kamu makan terlalu banyak”, berkata kawannya sambil berbaring menutup dirinya dengan kain sarung.

    Demikianlah, kedua belah pihak kekuatan itu seperti menunggu sebuah ledakan guntur besok pagi, memecahkan kebosanan yang sudah membengkak terasa di rongga dada mereka.

    Dan malam perlahan berlalu bersama dingin dan suara sepinya. Diatas langit sang bulan purnama terang menggelantung seperti tersenyum menunggui bumi malam sambil merajut waktu.

    Semilir angin dingin kadang berhembus lembut di jalan Kotaraja Rakata yang sudah terlihat begitu sepi. Namun dibalik kesepian itu tersembunyi suasana mencekam di hati para pasukan yang besok akan turun memerahkan suasana pagi dalam sebuah kancah peperangan yang hebat.

    • Berarti besok pagi rontal peperangan akan berguguran.

  2. Ups…., komen sudah masuk ke dalaman 6
    bagus…bagus…bagus…

  3. sendiko dawuh

  4. Kok belum ada aliran rontal ya……?????
    Mesti disimpen Pk Satpam……..!!!!!!
    Lha wong Pak Dhalange wis nggrojogi.
    Tak bold campur lali nutup lha kapok.

    • Wah……, Lho….#$@^$#@&(%$@)
      Suuuuweerrrr…………!!! gak nyimpen aku
      hadu……, ngarani wae
      lha wong Pak Dhalange lagi piket di LA kok
      he he he …..

      ngapunten komen ini kok nylempit di kotak sampah ya, hampir saja tak uang, he he he …
      ki mbleh nempelnya gak jatu sih, mabur digondol,angin mlebu kotak sampah.

  5. Pag-pagi harus tugas nganglang, nggladi cantrik baru di Gunung Arjuna.

    Pamit nggih, hari ini Satpam tidak hadir di padepokan

    • selamat jalan pak satpam, jangan lupa jalan pulang, hehehe

      • Hadir menunggu ledakan.

  6. Gerak ombak di pantai Rakata seperti tarian abadi di pagi itu. Pasir-pasir putih kadang dikejutkan air laut basah. Dua ekor elang muda terbang rendah mencari mangsa.

    Tanah Rakata yang terdiri dari pantai dan dataran tinggi pegunungan di pagi itu nampak begitu cerah. Jalan di Kotaraja telah mulai dipenuhi para pejalan kaki dan para penarik pedati yang datang dan pergi dari arah pasar Rakata yang sudah mulai ramai itu.

    Dari arah jalan Kotaraja, pintu gerbang istana terlihat dihiasi janur kuning dan umbul-umbul warna warni. Jauh lebih kedalam lagi terlihat bangsal penobatan yang menghadap arah pintu gerbang istana terlihat sudah dipenuhi para tamu undangan.

    Raja Pulau api telah ada terlihat duduk di batu keling menyaksikan jalannya sebuah upacara penobatan Gajahmada sebagai seorang Panglima perang Kerajaan Rakata. Wajah orang tua itu terlihat begitu cerah, tidak terlihat sedikitpun rasa khawatir dimana dirinya telah mengetahui bahwa pihak musuh tengah mengamati dan siap mengganyang istana.

    Sebagaimana Raja Pulau Api, tidak terlihat juga kekhawatiran di wajah Pendeta Darmaraya yang hadir diantara para tetamu undangan. Wajah pendeta bermata sejuk itu terlihat begitu cerah, hanya sesekali matanya melihat kearah pintu gerbang istana.

    Dan semua mata di bangsal penobatan itu telah tertuju kepada seorang Mahapatih Kerajaan yang telah berdiri membacakan sebuah sabda Raja Pulau Api, sebuah kekancingan penobatan pejabat baru istana, seorang panglima perang baru.

    Puja dan puji kepada baginda Raja Pulau Api terdengar dari suara Mahapatih itu sebagai awal sambutannya. Semua orang yang hadir di bangsal penobatan itu terlihat begitu tenang mendengar sebuah kekancingan dari Mahapatih yang bersuara keras dan lantang itu.

    “Sabda Baginda Raja penguasa Bumi Api adalah suara para Dewa, hari ini menobatkan seorang putra terbaik di bumi ini sebagai seorang Panglima Perang Kerajaan. Sejak hari ini nama sang putra adalah Pangeran Adi Putra Darmaraya Gajahmada”, berkata Mahapatih kerajaan membacakan sebuah kekancingan.

    Riuh terdengar suara para tamu yang hadir di bangsal penobatan itu, terutama ketika Mahesa Muksa yang telah resmi berganti nama menjadi Adi putra Darmaraya Gajahmada telah datang berdiri di muka menghadap Raja Pulau Api dan para hadirin di bangsal penobatan itu.

    Terlihat pula seorang pendeta datang mendekati Gajahmada dengan langsung memercikkan air suci dan membacakan mantra. Maka suara para hadirin di bangsal penobatan itu menjadi semakin riuh mengungkapkan kebahagiaan mereka menyambut kehadiran Panglima Perang yang baru di kerajaan itu, seorang anak muda yang perkasa yang telah dianugerahi sebuah nama baru, Adi Putra Darmaraya Gajahmada.

    Bersamaan dengan suara keriuhan di bangsal penobatan itu, terdengar suara yang lebih riuh seperti suara gemuruh ombak yang besar.

    Beberapa tamu undangan terlihat seperti terpaku menatap sekumpulan orang bersenjata telanjang di tangan masing-masing tengah menerobas memasuki pintu gerbang istana Rakata.

  7. Melihat sekumpulan orang liar telah memasuki Istana, beberapa prajurit yang memang telah disiapkan langsung datang menghadang banjir bandang pasukan liar itu.

    “Musuh kita telah menangkap kail pancingan”, berkata Pendeta Darmaraya kepada Pangeran Jayanagara sambil langsung melompat terbang melesat kearah para pasukan musuh yang terus menerjang hadangan para prajurit istana.

    Kehadiran Pendeta Darmaraya sedikit membantu menahan terjangan para musuh yang datang seperti air banjir bandang itu.
    Melihat Pendeta Darmaraya sudah bergerak, terlihat sepuluh orang Brahmana datang langsung terjun menahan laju gelombang terjangan para musuh.

    Kehadiran Pendeta Darmaraya dan kesepuluh Brahmana sahabat dekatnya itu memang telah dapat menahan terjangan para musuh, namun gelombang serangan para musuh menjadi terpecah melebar.

    “Hancurkan istana ini !!”, berteriak lantang seorang lelaki tua sambil menendang seorang prajurit istana yang kebetulan datang menghadangnya.

    “Kita bertemu kembali, wahai Pendeta Rakanata alias Guntur Geni atau siapapun namamu hari ini”, berkata seorang anak muda yang tiba-tiba saja telah datang menghadangnya.

    “Kamu lagi ?”, berkata orang tua itu menatap tajam anak muda di depannya yang ternyata adalah Gajahmada.

    “Ternyata kamu masih mengenaliku”, berkata Gajahmada kepada orang itu yang ternyata adalah tidak lain dari pendeta Rakanata atau yang di panggil Ki Guntur Geni oleh para pengikutnya itu.

    “Ternyata wajahmu adalah pertanda kesialanku, bersiaplah kamu untuk mati hari ini agar tidak ada lagi kesialan dalam hari-hariku”, berkata Ki Guntur Geni sambil langsung menerjang Gajahmada dengan sebuah serangan yang begitu cepat, kuat dan keras.

    Ternyata Ki Guntur Geni memang berniat menghabisi nyawa anak muda di depannya itu, seorang anak muda yang masih diingatnya telah menggagalkannya untuk menculik Andini di rumah Patih Anggajaya dan telah menggagalkannya menyerang istana Kawali.

    Melihat serangan awal yang begitu kuat itu tidak membuat panik seorang Gajahmada. Anak muda itu terlihat dengan tenang telah berkelit kesamping menghindari tendangan lawannya.

    “Tenaga orang ini sudah berlipat ganda”, berkata Gajahmada dalam hati merasakan angin tendangan lawannya yang jatuh di tempat kosong.

    Segera Gajahmada telah melambari dirinya dengan kesaktian tenaga jati dirinya, langsung membuat sebuah serangan balasan.

    Seperti angin topan tenaga Gajahmada menghempas pinggang tubuh lawannya telah membuat Ki Guntur Geni berkelit jauh, tidak menyangka pukulan anak muda itu begitu kuat dan keras dirasakan dalam angin pukulannya.

  8. Demikianlah, serang dan balas menyerang telah berlangsung dengan sangat kuat dan cepatnya antara Ki Guntur Geni dan Gajahmada.
    Mereka seperti berlomba terus meningkatkan tataran ilmu mereka setahap demi setahap agar dapat saling mengimbangi bahkan melampaui kekuatan dan kecepatan lawan masing-masing.

    Seperti dua raksasa kanuragan, pertempuran mereka menjadi terpisah dari yang lainnya. Semua orang seperti telah menghindar takut terkena sasaran terjangan mereka yang kadang terlihat seperti sebuah badai topan bergulung-gulung menerbangkan abu tanah mengepul diantara pertempuran mereka berdua.

    Sementara itu Pangeran Jayanagara telah menemui lawannya.
    “Kamu terlalu muda untuk menjadi lawanku”, berkata Ki Guntur Bumi menghardik seorang anak muda yang datang menghadangnya.

    “Jangan melihat umur lawanmu, kamu akan menyesal”, berkata Pangeran Jayanagara sambil tersenyum siap menghadapi serangan Ki Guntur Bumi yang terlihat sangat ganas penuh kebencian telah banyak merobahkan para prajurit Rakata yang datang menghadangnya.

    “Mampuslah kamu seperti mereka”, berkata Ki Guntur Bumi menganggap Pangeran Jayanagara seperti beberapa prajurit Rakata yang telah dirobohkannya itu.

    Ternyata Ki Guntur Bumi salah duga, anak muda lawannya itu telah dengan mudah menghalau serangan pukulan tangannya bahkan telah melakukan sebuah serangan balasan yang sangat kuat dan keras.

    “Gila !!”, berkata Ki Guntur Bumi sambil melompat menghindari terjangan tendangan Pangeran Jayanagara.

    “Jangan sombong !!”, berkata kembali Ki Guntur Bumi yang menganggap Pangeran Jayanagara mempunyai tingkat kanuragan lebih sedikit dari prajurit Rakata langsung meningkatkan tataran ilmunya menyerang lebih kuat dan ganas.

    Kembali Ki Guntur Bumi di buat kecewa, serangannya dengan mudah dielakkan oleh Pangeran Jayanagara bahkan kembali melakukan serangan balasan lebih kuat dan cepat lagi mengarah di tempat yang kosong dan terbuka dari tubuhnya.

    “Gila !!”, kembali kel uar sumpah serapah dari lelaki pemarah itu berusaha melompat jauh menghindari serangan kuat dari Pangeran Jayanagara.

    Terbukalah mata Ki Guntur Bumi bahwa anak muda yang menjadi lawannya itu bukanlah orang sembarangan. Maka telah meningkatkan tataran ilmunya dari sebelumnya.

    Melihat serangan Ki Guntur Bumi dengan tataran ilmunya yang lebih kuat dan cepat itu telah membuat Pangeran Jayanagara lebih berhati-hati lagi dengan melambari dirinya dengan kesaktian tenaga sejati, melindungi hawa panas yang dirasakan lewat angin serangan mantan patih Kawali itu.

    Bukan main kecewanya hati Ki Guntur Bumi melihat anak muda itu tidak kesulitan dengan serangan-serangannya. Hawa panas yang terpancar lewat angin pukulannya itu seperti pudar tenggelam.

    • Kaaammmmmssiiiiiaaaaaaaaaa…………!!!!!!!!!
      masih kurang meledak…….!!!!

  9. hajar bleh

  10. Suwun Ki DALANG

  11. Ternyata Pangeran Jayanagara telah menghentakkan tenaga sakti diri sejati dirinya meredam hawa panas serangan Ki Guntur Bumi dengan hawa dingin tandingan yang tidak kalah kuatnya kadang menyengat menggigilkan tubuh Ki Guntur Bumi manakala angin serangan pukulan Pangeran Jayanagara berhasil menyentuh kulitnya.

    Sebagaimana Gajahmada dan Ki Guntur Geni, terlihat Pangeran Jayanagara dan Ki Guntur Bumi itupun seperti berlomba meningkatkan tataran ilmu masing-masing.

    Seketika itu juga mereka berdua telah terpisahkan dari arena pertempuran lainnya, orang-orang terlihat menjauhi pertempuran mereka karena takut terkena sasaran angin sambaran mereka berdua yang dahsyat itu. Hawa panas dan hawa dingin seperti silih berganti terhempas disekitar pertempuran mereka.

    Sementara itu Pendeta Darmaraya bersama prajurit Rakata serta sepuluh Brahmana telah mampu menahan laju serangan para pemberontak yang berjumlah sekitar seratus orang itu.

    Meskipun tidak dengan kesaktian ilmunya yang sudah begitu tinggi menjulang tidak diketahui puncaknya itu, terlihat Pendeta Darmaraya seperti tengah bermain-main, berlompat kesana kemari kadang merobohkan pihak lawan satu persatu.

    Dan bantuan yang ditunggupun akhirnya datang juga.

    Diawali dengan suara gaung panah sanderan membelah udara Kotaraja Rakata. Dan tidak lama berselang terlihat sebuah pasukan prajurit Rakata datang langsung menyerang para pemberontak yang tengah menyerang istana.

    Bukan main paniknya para pemberontak itu menghadapi pasukan tambahan yang datang dari arah belakang mereka.
    “Habisi mereka semua !!”, berteriak lantang seorang pimpinan dari pasukan yang baru datang itu yang tidak lain adalah Ki Rangga Sujiwa adanya.

    Bayangkan, seratus orang pasukan Rakata telah menyerang para pemberontak itu dari arah belakang mereka. Sudah dapat dipastikan, puluhan orang para pemberontak dengan mudahnya mereka robohkan dalam waktu yang begitu singkat.

    “Sial !!”, berteriak penuh kekesalan Ki Guntur Geni melihat pasukannya telah terkepung dari dua arah berbeda.

    “Penipu ulung !!”, berteriak juga Ki Guntur Bumi menyadari bahwa mereka ternyata sudah terjebak dalam sebuah siasat perang Raja Pulau Api.

    “Sebentar lagi mereka pasti dapat di lumpuhkan”, berkata Raja Pulau Api yang masih tetap duduk di batu keling di bangsal penobatan menyaksikan peperangan di pintu gerbang istana itu.

    Nampaknya Raja Pulau Api yang sudah tua itu merasa yakin dengan kekuatan pasukannya yang baru datang itu.

    Sebagaimana yang diperkirakan oleh Raja Pulau Api, terlihat dengan kedatangan pasukan Ki Rangga Sujiwa jumlah para pemberontak seketika langsung menyusut tajam.

  12. Matahari diatas Istana Rakata terlihat sudah naik sepenggalan, pertempuran dua kekuatan itu masih terus berlangsung meski sudah hampir dapat dipastikan bahwa pihak istana berada diatas angin.

    Terlihat mayat bergelimpangan di sekitar muka gerbang istana, juga beberapa orang yang terluka parah tidak dapat bangkit untuk mengangkat senjata lagi. Mereka para korban itu sebagian besar dari para pemberontak yang berhasil di lumpuhkan oleh para prajurit Rakata yang baru datang.

    Dan akhirnya jumlah para pemberontak memang semakin berkurang tinggal beberapa gelintir orang yang masih terus bertahan.
    Terlihat Pendeta Darmaraya dan sepuluh brahmana sudah tidak punya lawan lagi, membiarkan sisa para pemberontak di kepung oleh para prajurit Rakata.

    “Menyerahlah kamu”, berkata seorang prajurit Rakata merasa jengkel kepada seorang pemberontak yang masih terus bertahan meski terlihat luka darah ditubuhnya sudah begitu banyak.
    Plokk !!

    Sebuah tangan yang kuat telah menghantam wajah orang itu yang langsung jatuh terpelanting.

    “Dasar keras kepala”, berkata seorang prajurit Rakata sambil menendang senjata orang yang sudah tergeletak itu dari genggamannya.

    Sementara itu Gajahmada dan Pangeran Jayanagara masih sibuk menghadapi lawan-lawan mereka. Dua orang pentolan para pemberontak yang juga menjadi buronan mereka.

    Terlihat dua pertempuran terpisah di istana Rakata disaksikan hampir semua orang dimana para pemberontak sudah dapat dilumpuhkan semuanya.

    “Ajian Muncang kuning akan menyerap habis hawa murni anak setan ini”, berkata Ki Guntur Geni dalam hati merasa kesal tidak juga dapat menundukkan Gajahmada.

    Ternyata pikiran yang sama juga ada dalam hati Ki Guntur Bumi.
    Namun pikiran kedua orang itu nampaknya sudah diperhitungkan oleh kedua anak muda itu yang juga telah menyiapkan ajian yang sama, ajian Muncang Kuning secara terbalik.

    “Ilmu apa yang dimiliki anak setan ini”, berkata dalam hati Ki Guntur Geni manakala tangan mereka beradu namun ajian Muncang Kuningnya tidak berhasil menyerap hawa murni lawannya itu.

    “Ajianku menjadi mandul”, berkata pula Ki Guntur Bumi dalam hati manakala telah menerapkan ajian Muncang Kuning menghadapi Pangeran Jayanagara.

    Melihat ajian mereka tidak bergeming menghadapi kedua anak muda itu, mereka telah meningkatkan tataran puncak mereka masing-masing.

    Luar biasa memang tenaga sakti Ki Guntur Geni dan Ki Guntur Bumi yang telah mencuri banyak hawa murni orang-orang sakti selama ini.
    Angin serangan hawa panas dari Ki Guntur Geni dan Ki Guntur Bumi sudah seperti air mendidih menyengat kulit kedua anak muda itu.

  13. Tidak ada jalan lain yang dipikirkan oleh kedua anak muda itu selain mengeluarkan ajian andalan mereka yang telah diwariskan oleh Prabu Guru Darmasiksa.

    “Ajian sakti Muncang Kuning”, berkata pendeta Darmaraya dalam hati menakala melihat kedua anak muda itu telah melakukan sebuah gerak yang sama.

    Pada saat itu Pendeta Darmaraya telah melihat kedua anak muda itu melompat menjauhi lawan masing-masing sekitar sepuluh langkah. Ketika kaki mereka menginjak tanah, langsung keduanya meregangkan kedua kaki serta merangkapkan kedua tangan mereka didepan dada.

    Terlihat sebuah tangan dari kedua anak muda itu telah menjulur kedepan.

    Gerakan kedua anak muda itu begitu cepat, tiba-tiba saja seleret cahaya warna kuning seperti lidah api menjulur keluar dari telapak tangan yang terbuka dari kedua anak muda itu.

    Ki Guntur Geni dan Ki Guntur Bumi tidak sempat bergerak sedikitpun, gerakan kedua anak muda itu begitu cepat tak terlihat oleh kasat mata.
    Ki Guntur Geni dan Ki Guntur Bumi tidak dapat mengelak ketika seleret cahaya kuning tiba-tiba saja telah menghantam tubuh mereka.

    Orang-orang disekitar pertempuran seperti terpaku tidak mampu bersuara sedikitpun manakala melihat tubuh Ki Guntur Geni dan Ki Guntur Bumi tersambar cahaya kuning langsung terbakar hangus.

    Gajahmada yang melihat korban akibat ajian Muncang Kuning ikut menjadi terpana dan terpaku ditempatnya, tidak menyangka ajian Muncang Kuning begitu dahsyat telah dilontarkannya. Dihadapannya tubuh Ki Guntur Geni sudah berubah menjadi setumpuk abu.

    “Tenaga sakti orang ini telah begitu hebat, tidak ada jalan lain untuk menyelamatkan diriku sendiri”, berkata Pangeran Jayanagara manakala melihat tubuh Ki Guntur Bumi telah menjadi gosong seperti kayu kering hangus terbakar akibat hawa panas ajian Muncang Kuning yang telah dihentakkannya itu.

    “Mereka berdua telah memiliki ajian sakti leluhur Raja Pasundan”, berkata Pendeta Darmaraya yang punya pengetahuan luas mengenal ajian sakti Muncang Kuning itu kepada salah seorang Brahmana sahabatnya.

    Ternyata, tewasnya dua pentolan pemberontak itu menjadi akhir dari pertempuran itu. Terlihat mayat-mayat bergelimpangan tergeletak di tanah bersama beberapa orang lagi yang terdengar mengerang menahan rasa sakit yang sangat akibat luka bacokan dan sayatan senjata tajam.

    Beberapa orang prajurit terlihat telah mengumpulkan mayat-mayat korban pertempuran itu. Sebagian lagi mengumpulkan orang-orang yang terluka.

    Tidak ada banyak korban di pihak prajurit Rakata, mereka yang tewas dalam pertempuran itu dapat dihitung jari.

    “Terima kasih telah menyelamatkan istanaku”, berkata Raja Pulau Api yang datang menghampiri Gajahmada dan Pangeran Jayanagara.

  14. Sementara itu Matahari diatas istana Rakata terlihat telah merayap mendekati puncak singgasananya. Dua ekor elang tua terlihat terbang tinggi menuju tebing tinggi menghilang diujung batas penglihatan.

    “Telah banyak korban di tangan kedua orang itu. Petualangan hitam mereka telah berakhir di ujung barat Jawadwipa ini. Di bumi tempat mereka dilahirkan”, berkata Pendeta Darmaraya sambil menarik nafas panjang dan mengeluarkannya lagi seperti merasa lega bahwa tunggul kejahatan, Ki Guntur Geni dan Ki Guntur Bumi akhirnya dapat di papas habis dan telah berakhir dengan kematian yang sangat tragis di tangan kedua anak muda itu, dimana salah seorangnya adalah putranya sendiri, Gajahmada.

    Terlihat Gajahmada, Pangeran Jayanagara, Pendeta Darmaraya dan sepuluh orang Brahmana bersama Raja Pulau Api masih berdiri di bangsal penobatan menyaksikan para prajurit Rakata membersihkan halaman sekitar gerbang istana dari para korban.

    Diam-diam Gajahmada memuji sikap kakeknya, Raja Pulau Api yang masih tetap ditempatnya menyaksikan para prajurit Rakata yang tengah bekerja membawa para korban, yang telah tewas maupun yang terluka, sebagai tanda kebersamaan sikap seorang Raja kepada bawahannya.

    “Aku akan masuk beristirahat setelah melihat para prajurit menyelesaikan semua tugasnya di halaman gerbang istana”, berkata Raja Pulau Api kepada putranya Pendeta Darmaraya yang memintanya untuk masuk kembali ke tempat peristirahatannya.

    Akhirnya terlihat halaman gerbang istana sudah seperti sedia kala, para prajurit Rakata telah menempatkan korban tewas dan orang yang terluka di sebuah tempat di istana itu.

    “Nampaknya sudah saatnya kami berpamit diri”, berkata salah seorang dari kesepuluh Brahmana bermaksud pamit diri kembali ke kuil mereka masing-masing.

    “Apakah tidak sebaiknya kalian beristirahat sehari dua hari ini di istana ini ?”, berkata Pendeta Darmaraya kepada mereka para Brahmana.
    “Kami sudah cukup menikmati suguhan di istana ini kemarin dan hari ini”, berkata salah seorang dari para Brahmana itu.

    “Kalau begiitu, kami memang tidak dapat menolak tuan-tuan lagi”, berkata Pendeta Darmaraya kepada para Brahmana sahabat dekatnya itu.

    Demikianlah, kesepuluh para Brahmana itu telah berpamit diri meninggalkan istana Rakata.

    “Tinggallah di istana ini sepanjang kamu inginkan”, berkata Raja Pulau Api kepada Pangeran Jayanagara.

    “Kebahagianmu adalah kebahagianku, wahai saudaraku”, berkata Pangeran Jayanagara kepada Gajahmada, melihat kebahagiaan di wajah sahabatnya itu yang telah berkumpul dan dipertemukan kembali dengan Ayah dan Kakek kandungnya sendiri.

    Namun manakala mereka berempat tengah beranjak dari bangsal penobatan itu untuk beristirahat, terlihat seorang prajurit datang menghampiri mereka.

    • Prajurit yg datang kira2 mau ngapain ya……???
      Bahkan rumput2 yang bergoyang pun tidak akan bisa menjawab,karena hanya Ki Dhalang yang bisa menjawabnya.
      Cepetan dong njawabnya Ki Dhalang.

  15. muncang kuning >< lancang kuning?

  16. “Pasti ada sebuah berita penting yang akan kamu sampaikan”, berkata Raja Pulau Api kepada prajurit itu yang telah datang bersujud di hadapannya itu.

    Nampaknya Raja Pulau Api telah mengenal betul siapa gerangan prajurit itu yang ternyata adalah seorang petugas delik sandi kepercayaannya.

    “Ampun tuanku Baginda, ada berita sangat penting sekali. Hamba telah mendapat kabar bahwa saat ini ada sebuah pasukan besar dari tanah Pasundan tengah menuju ke Kotaraja Rakata”, berkata prajurit itu kepada Raja Pulau Api.

    “Pasti mereka datang untuk meminta pertanggung jawaban atas perbuatan Pangeran Rhawidu bersama pasukannya menyerang Kotaraja Kawali”, berkata Raja Pulau Api sambil menarik nafas panjang.

    “Haruskah kita mempertanggung jawabkan sebuah perbuatan orang lain ?”, berkata Pendeta Darmaraya.

    “Apapun alasan kita, pihak Pasundan tidak akan menerimanya. Mereka pasti menyangka pasukan Rakata yang telah datang menyerang itu atas restu dariku”, berkata Raja Pulau Api sambil memandang ke arah gerbang istana dengan pandang mata kosong, entah apa gerangan yang dipikirkannya saat itu.

    Gajahmada dapat membaca suasana perasaan kakeknya itu, ikut menjadi kasihan dan prihatin.

    “Bila saja aku dapat mendatangi mereka, mungkin perkataanku dapat mereka dengar”, berkata Gajahmada menawarkan dirinya untuk menemui pemimpin pasukan Pasundan itu.

    Terlihat Raja Pulau Api dan Pendeta Darmaraya memandang kearah Gajahmada, mereka merasa ragu apakah pemimpin pasukan Pasundan mau mendengar perkataan Gajahmada.

    “Kami pernah membantu prajurit tanah Pasundan menghadapi pasukan Pangeran Rhawidu”, berkata Pangeran Jayanagara ikut bicara meyakinkan Raja Pulau Api dan Pendeta Darmaraya atas keinginan Gajahmada mendatangi pemimpin Pasukan dari Tanah Pasundan itu.

    “Kebetulan sekali kami sangat dekat dengan keluarga istana Kawali, mudah-mudahan kami juga mengenal pemimpin pasukan dari Tanah Pasundan itu”, berkata Gajahmada kepada kakek dan ayahandanya itu.

    “Gajahmada dan Pangeran Jayanagara telah mewarisi ajian leluhur para Raja Pasundan, pastilah mereka berdua memang begitu dekat dengan keluarga istana Kawali”, berkata Pendeta Darmaraya dalam hati mempercayai perkataan Gajahmada dan Pangeran Jayanagara.

    “Tidak semua masalah harus diselesaikan dengan sebuah pedang. Tidak ada salahnya bila kita menempuh jalan damai, dan tidak ada salahnya bila kita mencoba berbicara dengan hati dan perasaan”, berkata Pendeta Darmaraya sepertinya menyetujui usulan Gajahmada menemui pemimpin pasukan dari tanah Pasundan itu.

    “Lurah Jatayu, apakah kamu mengetahui dimana pasukan dari Tanah Pasundan itu saat ini”, berkata Raja Pulau Api kepada seorang prajurit yang masih bersama mereka itu.

    • Nah sudah terjawab…….
      Kamsiaaaa……………..!!!!!!!!!!!

  17. di kasih tahu gak ya ??, berkata Lurah Jatayu, qiqiqiqqqq

    “Kalo elo enggak kasih tahu, gue pecat loe”, berkata penuh amarah Raja Pulau Api

    “Laper nich”, berkata pangeran Jayanagara angkat bicara sambil memegangi perutnya

    hehehe

  18. “Hamba mendapat berita bahwa saat ini pasukan dari Tanah Pasundan itu masih berada di sekitar tanah Rumpin”, berkata prajurit itu yang dipanggil sebagai lurah Jatayu oleh Raja Pulau Api.

    “Ijinkan ananda bersama Pangeran Jayanagara datang menemui mereka”, berkata Gajahmada kepada Raja Pulau Api.

    “Restuku ada bersama kalian berdua”, berkata Raja Pulau Api merestui permintaan Gajahmada.

    Demikianlah, Gajahmada dan Pangeran Jayanagara telah diijinkan oleh Raja Pulau Api untuk berangkat membicarakan sebuah perdamaian kepada pemimpin pasukan dari Tanah Pasundan yang diperkirakan saat itu masih berada disekitar Tanah Rumpin.

    Maka ketika langit telah mulai meredup dengan sedikit cahaya matahari yang sudah mulai tenggelam di ujung barat belahan bumi, terlihat sebuah sampan kecil meluncur perlahan membelah air muara Cisadane.

    Mereka diatas sampan kecil itu adalah Gajahmada, Pangeran Jayanagara ditemani seorang prajurit Rakata bernama Lurah Jatayu.

    Sangat berat memang mendayung sampan melawan arus sungai Cisadane. Namun dengan tenaga yang kuat kedua anak muda itu terlihat begitu mudahnya mendayung sampan itu terus melaju.

    “Tenaga kedua anak muda ini sangat luar biasa”, berkata Lurah jatayu dalam hati memuji kekuatan tenaga kedua anak muda yang terus mendayung seperti tidak merasa lelah sedikitpun.

    Terlihat perahu sampan kecil itu sudah semakin jauh meninggalkan muara sungai Cisadane, masuk semakin menjauh menyusuri sungai malam yang sudah mulai gelap hanya diterangi cahaya rembulan diatas langit yang seperti setia terus mengikuti mereka sepanjang perjalanan malam itu.

    Dan sampan kecil itu memang terus melaju di sungai Cisadane melawan arus aliran sungai sepanjang malam itu. Di kiri kanan sungai itu pemandangan hanya berupa kegelapan malam manakala mereka melewati hutan belukar yang lebat.

    Perlahan sang malam berjalan menyusuri sungai waktu menuju sisi hulu sumber mata air di ujung pagi manakala matahari abadi terbangun mengintip tirai langit merah.

    Melenggut sayup suara ayam jantan terdengar dari sebuah tempat yang jauh bersahut sahutan.

    Perlahan, warna langitpun terlihat telah terbuka terang mengusir sisa embun pagi bening. Suara kicau burung-burung kecil begitu merdu memenuhi udara di atas sungai pagi itu.

    “Kita beristirahat diujung sana”, berkata Gajahmada sambil menunjuk sebuah tanah datar disebuah tepian sungai Cisadane.
    Terlihat sampan kecil itu telah menepi di sebuah tanah datar di tepian sungai itu.

    “Pangkalan Jati sudah tidak begitu jauh lagi”, berkata Lurah Jatayu sepertinya sangat mengenali setiap jengkal tepian sungai Cisadane itu.

    “Kita pulihkan tenaga kita dulu”, berkata Gajahmada sambil bersandar di batang pohon besar.

    • Kamsia

  19. rumpin di ciampea bogor ya Ki?

    • betul, hehehe

  20. Tidak beberapa lama beristirahat, mereka akhirnya telah melanjutkan perjalanan kembali.

    Matahari terlihat sudah mulai merangkak naik ketika mereka akhirnya sampai di Pangkalan Jati, sebuah jalan terakhir dari sungai Cisadane yang dapat dialiri dengan perahu, selebihnya masih banyak jalan air yang terjal berbahaya.

    Terlihat Lurah Jatayu tengah berbicara dengan seorang kenalannya di Pangkalan Jati itu, ternyata Lurah Jatuyu meminta bantuan orang itu untuk menitipkan sampan kecil mereka.

    Untuk mencapai hutan Rumpin, mereka harus mendaki sebuah jalan yang cukup terjal.

    “Kita sudah berada di hutan rumpin”, berkata Lurh Jatayu sambil menoleh kebawah melihat sungai Cisadane seperti seekor naga besar berliku dan berkelok panjang jauh sampai batas mata memandang.

    “Berhati-hatilah”, berkata Gajahmada yang sudah peka naluri dan ketajaman panca inderanya, telah merasakan bahwa ada begitu banyak mata tengah mengintai mereka.

    Masih basah perkataan Gajahmada, tiba-tiba saja dari semak belukar telah keluar beberapa orang yang langsung mengepung mereka.

    “Berhenti dan katakana siapa kalian !!”, berkata salah seorang diantara mereka.

    “Sejak kapan di hutan Rumpin setiap orang harus mengatakan jati dirinya ?”, berkata Gajahmada tersenyum setelah mengetahui bahwa yang tengah mengepung mereka itu adalah para prajurit dari tanah Pasundan.

    “Jawab pertanyaanku, bukan balas bertanya”, berkata kembali orang itu dengan suara membentak keras.

    “kami datang untuk menemui pemimpin kalian”, berkata Gajahmada dengan suara datar.

    Mendengar perkataan Gajahmada, orang yang membentak itu sedikit terkejut, langsung mengamati Gajahmada dari ujung kaki sampai keatas kepala.

    “Apa kepentinganmu menemui pemimpin kami ?”, bertanya orang itu penuh kecurigaan.

    “Bawalah kami ke pemimpinmu, kepadanyalah aku akan menyampaikan kepentingan kami”, berkata Gajahmada kepada orang itu masih dengan suara datar tanpa rasa takut sedikitpun.

    Terlihat orang itu seperti gemetaran, hatinya seperti berkerut kecut.
    Ternyata diam-diam Gajahmada telah mengerahkan tenaga sakti sejati dirinya lewat suara dan tatapan matanya.

    “Mari kuantar kalian menemui pimpinan kami”, berkata prajurit itu seketika untuk menutupi rasa kecut hatinya yang bergetar manakala menangkap kilatan cahaya mata Gajahmada yang begitu tajam langsung menciutkan perasaan jiwanya.

    Terlihat Gajahmada, Pangeran Jayanagara dan Lurah Jatayu telah mengikuti langkah kaki seorang prajurit di depan mereka diikuti beberapa prajurit yang berjalan di belakang mereka bertiga.

  21. “Selamat bertemu kembali Ki Rangga Kidang Telangkas”,berkata Gajahmada ketika mereka telah berada di sebuah barak besar di tengah hutan Rumpin itu.

    Terkejut orang yang dipanggil namanya sebagai Ki Rangga Kidang Telangkas itu oleh Gajahmada.

    “Ternyata Baginda Raja Ragasuci telah mengirim tuan berdua berjuang bersama pasukanku, sebuah kebanggaan hati ada bersama tuan-tuan”, berkata Ki Rangga Kidang Telangkas menyambut kedatangan mereka.

    “Terima kasih masih mengenal kami”, berkata Gajahmada kepada pemimpin pasukan itu.

    Terlihat beberapa orang prajurit saling berpandangan mata, tidak menyangka bahwa pemimpin mereka itu telah mengenal dua orang yang mereka bawa itu, bahkan terlihat begitu menghormatinya.

    “Maaf Ki Rangga, kami datang bukan sebagai utusan Baginda Raja Ragasuci. Namun kami datang kali ini sebagai utusan langsung Baginda Raja Rakata”, berkata Gajahmada sambil tersenyum.

    “Aku jadi tidak mengerti”, berkata Ki Rangga Kidang Telangkas dengan wajah penuh ketidak mengertian.

    Perlahan Gajahmada menjelaskan maksud kedatangannya di hutan Rumpin itu kepada Ki Rangga Kidang Telangkas.

    “Raja Pulau Api sampai saat ini masih mengakui kedaulatan dan kekuasaan Kerajaan Kawali. Pemberontakan Pangeran Rhawidu bukan menjadi tanggung jawabnya, karena beliau sendiri tidak merestuinya. Percayalah kepadaku, kedatangan Ki Rangga bersama pasukan besar ini akan disambut dengan perjamuan kehormatan agung, bukan dengan pedang dan lembing. Itulah tanda bahwa Raja Pulau Api masih setia menjunjung tinggi kedaulatan Kerajaan Tanah Pasundan Raya”, berkata Gajahmada meyakinkan Ki Rangga Kidang Telangkas.

    “Aku kagum dengan tuan berdua, masih muda dan mempunyai kemampuan tinggi. Aku melihat sendiri bagaimana tuan berdua memenangkan peperangan kami di hutan timur Kotaraja Kawali. Dan aku menjadi semakin mengagumi tuan berdua yang dengan penuh kerendahan hati mendatangi kami sebagai juru damai, mencegah peperangan yang menyakitkan. Bila saja tuan berdua berada di pihak musuh, pasukan kami tidak akan berarti menghadapi tuan berdua. Namun Tuan berdua tidak memilih kekerasan telah membuat diriku yang sudah banyak merasakan kepedihan sebuah peperangan merasa malu. Tuan berdua telah membukakan mata hatiku, bahwa peperangan bukan jalan terakhir menyelesaikan sebuah masalah”, berkata Ki Rangga Kidang Telangkas penuh rasa hormat dan kagum memandang Gajahmada dan Pangeran Jayanagara.

    “Terima kasih, Ki Rangga telah dapat mengerti dan menangkap arti kedatangan kami di hutan Rumpin ini”, berkata Gajahmada kepada Ki Rangga Kidang Telangkas.

    “Tidak sabar aku untuk segera mendatangi Kotaraja Rakata, ingin melihat pasukanku menari dalam perjamuan besar, bukan mengerang menahan perih di ujung pedang dan lembing”, berkata Ki Rangga Kidang Telangkas sambil tersenyum.”Besok kita berangkat, malam ini kita akan berpesta menghabiskan ransum, karena perang tidak akan pernah kita temui di Kotaraja Rakata”, berkata kembali Ki Rangga Kidang Telangkas.

  22. Demikianlah, Gajahmada telah dapat meyakinkan pemimpin pasukan dari Tanah Pasundan itu bahwa tiak akan terjadi perlawanan apapun dari Raja Pulau Api.

    Setelah bermalam di hutan Rumpin, Gajahmada, Pangeran Jayanagara dan Lurah Jatayu keesokan harinya kembali ke Kotaraja Rakata, tentunya bersama pasukan besar dari Tanah Pasundan itu.

    Ketika pasukan itu tiba di Kotaraja Rakata, Raja Pulau Api menyambut mereka dengan sebuah perjamuan besar, sebuah perjamuan persahabatan dari seorang Raja yang mengakui kedaulatan sebuah kerajaan besar Tanah Pasundan Raya.

    “Putraku, kembali kamu telah menyelamatkan kerajaan ini dari sebuah peperangan besar, sebuah peperangan yang hanya meninggalkan kesedihan dan kedukaan panjang”, berkata Pendeta Darmaraya kepada putranya, Gajahmada dengan penuh kegembiraan hati.

    Sebagaimana Pendeta Darmaraya, Raja Pulau Api juga merasa gembira bahwa Gajahmada telah dapat menyelamatkan kerajaannya dari sebuah peperangan. Gajahmada berhasil sebagai duta perdamaian bagi kedua kerajaan.

    “Apa artinya sebuah upeti, apa artinya sebuah kedaulatan bila kita harus mengorbankan begitu banyak nyawa, begitu banyak duka dan air mata”, berkata Raja Pulau Api kepada Gajahmada.

    Demikianlah, Ki Rangga Kidang Telangkas bersama pasukannya itu diterima di Kotaraja Rakata dengan penuh kehormatan sebagaimana menerima Raja Kawali penguasa yang berdaulat di Tanah Pasundan pada saat itu.

    “Sampaikan salam kami kepada keluarga istana Kawali, kami akan segera mengunjungi mereka dalam waktu dekat ini”, berkata Gajahmada manakala tengah mengantar Ki Rangga Kidang Telangkas bersama pasukannya setelah sekitar sepekan mereka bermalam di Kotaraja Rakata.

    “Salam tuan akan aku sampaikan”, berkata Ki Rangga Kidang Telangkas kepada Gajahmada.

    Terlihat Raja Pulau Api, Pangeran Jayanagara, Gajahmada dan Ayahnya Pendeta Darmaraya tengah mengantar pasukan besar dari Tanah Pasundan hingga sampai batas gerbang kota.

    “Alangkah indahnya bila sebuah perdamaian selalu menaungi bumi ini”, berkata Pendeta Darmaraya sambil menatap barisan panjang Pasukan Pasundang tengah menuju arah pantai sebelah timur gugusan perbukitan Rakata yang masih terlihat dari gerbang batas kota.

    “Sayangnya setiap hari terlahir manusia-manusia baru yang belum pernah merasakan kegetiran sebuah peperangan, kesedihan seorang anak, kepiluan seorang istri, juga rintih rindu membiru para kekasih hati yang ditinggal mati seorang ayah, suami dan kekasih hatinya dalam sebuah amuk peperangan”, berkata raja Pulau Api sambil masih memandang kearah barisan besar pasukanPasundan yang semakin menjauh menghilang di jalan menurun dan berliku.

    Sementara itu matahari diatas gerbang batas kota sudah mulai naik sepenggalan, terlihat dua ekor elang muda mengepakkan sayapnya menuju arah pantai.

    “Mari kita kembali ke istana”, berkata Raja Pulau Api.
    Dua ekor elang muda diatas langit terlihat sudah jauh terbang, jauh diujung batas pandang mata.

    • Wah mulai banjir……kamsia…….!!!!

      • bocor3….!

  23. Kisah dua naga di tanah pasundan, mungkin akan ditamatkan di jilid ke 6 ini.
    Akan dilanjutkan dengan kisah perjalanan Pangeran Jayanagara menuju tahta

    Gimana akhir kisah cinta Gajahmada ?
    dilema hati antara persahabatan dan cinta kadang membuat luka. Sementara Gajahmada muda lebih memilih terluka daripada menghancurkan hati sahabatnya, Pangeran Jayanagara

    kisah perjalanan menuju tahta Pangeran Jayanagara ini sedang dipelajari, diamati dan direnungi, hehehe

    sudah ada judul dikepala :

    KISAH DUA EKOR ELANG DI TANAH GERSANG

    ELANG PENGEMBARA DI TANAH GERSANG

    MENUJU PADANG PERBURUAN

    MENUJU TAHTA BERDARAH

    PARA PENJAGA SINGGASANA MAJAPAHIT

    atau para kadank punya judul lain ???, hehehe

    • share sinopsisnya dulu Ki, biar ada ide

  24. Namun ketika mereka berempat tengah beranjak untuk kembali ke istana, naluri seorang ayah kandung Raja Pulau Api memintanya berpaling menengok kembali kearah kebelakang.

    Raja Pulau Api telah melihat seorang berbaju compang camping tengah mendekati gerbang batas kota.
    Gajahmada, Pangeran Jayanagara dan Pendeta Darmaraya terheran-heran melihat Raja Pulau Api berhenti melangkah.

    Mata Raja Pulau Api terlihat tajam menatap orang berpakaian compang camping itu yang masih terus berjalan mendekatinya.
    “Pangeran Rhawidu”,berkata Gajahmada hati mengenali lelaki yang tengah berjalan itu terus melangkah mendekati Raja Pulau Api yang masih tetap berdiri ditempatnya.

    “Ampuni anakmu yang durhaka ini, wahai Ayahandaku”, berkata lelaki berpakaian compang-camping itu bersimpuh di kaki Raja Pulau Api yang ternyata adalah Pangeran Rhawidu.

    “Bangkitlah, pintu maafku seluas hamparan bumi ini wahai putraku”, berkata Raja Pulau Api.

    “Dosa putramu sudah begitu besar”, berkata Pangeran Rhawidu sambil bangkit tidak berani menatap wajah ayahnya.

    “Tataplah Gunung Rakata itu, asapnya masih selalu terbang keudara. Jangan sekali-kali membuat gunung itu marah karena seisi bumi ini akan menanggung derita. Sementara kita hidup diatas tanahnya. Setiap manusia pasti pernah menempuh jalan tersesat, namun Gusti yang Maha Agung telah memberikan akal kebenaran untuk dapat kembali mencari arah jalan pulang”, berkata Raja Pulau Api penuh kasih sayang kepada putranya itu.

    “Mari kita kembali ke istana, wahai adikku”, berkata Pendeta Darmaraya kepada Pangeran Rhawidu.

    Terlihat Pangeran Rhawidu memandang kearah Pendeta Darmaraya yang masih tersenyum memandangnya.

    “Jangan heran, dia ini memang kakak kandungmu”, berkata Raja Pulau Api sambil bercerita sedikit mengenai siapa Pendeta Darmaraya, sebuah cerita tentang kejahatan Pendeta Rakanata yang telah menukar bayinya.

    “Jadi sebenarnya aku mempunyai seorang kakak laki-laki”, berkata Pangeran Rhawidu menyalami Pendeta Darmaraya penuh dengan sikap kehangatan seorang adik kepada kakaknya.

    “kamu juga telah mempunyai seorang kemenakan”, berkata Raja Pulau Api memperkenalkan Gajahmada kepada Pangeran Rhawidu.

    “Kita pernah bertemu”, berkata Pengeran Rhawidu yang masih mengenali Gajahmada ketika mereka berdua berada di dua kubu pasukan yang berseberangan di hutan sebelah timur Kotaraja Kawali.

    “Kemenakanmu siap melanjutkan pertempuran kita yang belum selesai itu”, berkata Gajahmada sambil tersenyum kepada Pangeran Rhawidu.

  25. Sejuk semilir angin bertiup lembut mengiringi langkah kaki mereka dalam perjalanan pulang menuju istana Rakata.

    Terlhat wajah Pangeran Rhawidu begitu cerah menatap sekumpulan awan putih bergerak menutupi panas cahaya matahari. Pangeran Rhawidu merasa gembira telah diterima oleh ayahnya kembali berkumpul bersama keluarga istana.

    “Lihatlah, kerbau dan burung jalak itu telah di pertemukan dalam sebuah persahabatan alam”, berkata Raja Pulau Api sambil menunjuk kearah sebuah persawahan di sisi jalan mereka dimana terlihat tiga ekor burung jalak tengah berdiri diatas punggung seekor kerbau yang tengah merumput.”Harusnya kita sebagai manusia menjadi malu bila kita sesama manusia masih saling bertikai, menghancurkan satu dengan yang lainnya”,berkata kembali Raja Pulau Api.

    Terlihat Pangeran Rhawidu berjalan sambil menunduk, merasakan ungkapan Raja Pulau Api sebagai sebuah kebenaran hidup untuk dirinya.

    “Setiap manusia terlahir sebagai raja atas dirinya sendiri, Dan Gusti Yang Maha Tunggal telah menitip alam ini kepada manusia untuk menjaganya. Sebuah tugas yang tidak berani di pikul oleh gunung, laut bahkan langit sekalipun. Berbanggalah kita sebagai manusia telah menerima amanat ini”, berkata Raja Pulau Api sambil berjalan.

    Terlihat Pangeran Rhawidu berjalan masih sambil menunduk, nampaknya tengah merenungi makna perkataan kakanya itu.

    Demikialah mereka beriring terus melangkah menuju istana Rakata yang sudah tidak begitu jauh lagi. Dan akhirnya mereka telah sampai di muka pintu gerbang istana Rakata.

    Dan hari-haripun di lalui oleh Gajahmada sebagai seorang panglima perang kerajaan Rakata. Banyak peningkatan dan perubahan yang terjadi di istana Rakata, terutama kekuatan para prajurit Rakata.

    Gajahmada di bantu Pangeran Jayanagara telah mencoba meningkatkan tataran ilmu kanuragan dari masing-masing prajurit, sehingga cara bertempur mereka baik secara perorangan maupun secara berkelompok semakin dapat di andalkan.

    Kekuatan barisan angkatan perang Rakata telah dapat mengamankan perairan selat sunda, sebuah daerah perairan yang sebelumnya sangat dikuasai oleh para bajak laut.

    Jaminan keamanan di perairan selat sunda telah membawa para pedagang berani singgah di bandar pelabuhan tua Rakata. Sebuah bandar pelabuhan tua yang dulu pernah ramai disinggahi perahu para pedagang dari berbagai penjuru dunia.

    Geliat kemakmuran kerajaan Rakata, kian hari sudah mulai terlihat, dan Kotaraja Rakata semakin hari semakin ramai saja, bahkan lebih ramai dari sebelumnya.

    Terlihat di pagi dan senja, dua ekor elang muda terbang tinggi menjaga langit pantai Rakata.

    Bila kita berlayar di selat sunda, Gunung api Rakata yang tinggi menjulang menyentuh langit biru seperti berkata : “Wahai manusia, akulah pancer bumi yang menjaga kehidupanmu, menjadi saksi atas sikap dan tingkah lakumu. Sekali kamu ingkari amanat suci sebagai manusia, aku akan memuntahkan api membakar bumi dan lautmu”.(TAMAT DECH)

    • ..wah… 😦

    • kamsiaaaa….., hehehe

      Terlihat Ki Sandikala tengah merenung jauh ke belantara majapahit, melihat api peperangan yang terus berkobar membawa kepedihan dan duka, hemm,,,,,,,,

      hari libur genech, pada kamana ya ???? sepi

      • …mending nerusin cerita aja…….deh

  26. Terlihat Pangeran Rhawidu berjalan masih sambil menunduk, nampaknya tengah merenungi makna perkataan kakanya itu, hehehe…dikoreksi dech, maksudnya ayahnya getoch

    • …ato mencari……sesuatu

  27. hadu…..
    ampun, sulit sekali masuk padepokan.
    mulai rabu malam getbang padepokan tertutup rapat untuk risang.
    bekali-kali mencoba masuk sekedar memberirahu tetapi tidak bisa.
    Mulai rabu malam risang “diculik” untuk ikut membantu nganglang bersama cantrik baru di padepokan risang.
    perjalanan baru selesai nanti malam.
    ngapunten bila rontal.berceceran tidak terurus.

  28. SINOPSIS CERITA LANJUTAN KISAH GAJAHMADA

    Begini,
    Pangeran Jayanagara harus naik tahta mengantikan ayahnya disaat usianya masih begitu muda. Untungnya raja muda itu mendapat dukungan dari para sahabat ayahnya, orang-orang yang dulu pernah berjuang bersama ayahnya Raden Wijaya membangun Majapahit. Mereka adalah para ksatria penjaga Majapahit.

    Gejolak pemberontakan kadang datang melanda Raja muda ini, namun kembali para sahabat ayahnya, para ksatria penjaga Majapahit kembali turun tangan dengan penuh kesetiaan meredam dan memadamkan api pemberontakan itu.

    Namun perjalanan kesetiaan para penjaga Majapahit itu tertahan disebuah jalan simpang, manakala harus berhadapan dengan salah seorang diantara mereka sendiri.

    Dan Majapahit seperti terbakar oleh perang diantara para ksatria penjaganya.

    Dalam gejolak peperangan itu, lahirlah seorang ksatria penjaga Majapahit generasi kedua, dialah Gajahmada sang ksatria penjaga Majapahit itu.
    Gajahmada, sang ksatria tunggal penjaga Majapahit telah melepaskan segala kepentingan pribadinya untuk sebuah kesetiaan, juga cintanya.

    Dyah Gitarja atau Tribhuwana putri dan Gajahmada telah bersama memadamkan asmara cinta mereka, sebuah cinta asmara terlarang. Namun mereka terus bersama, bersatu dalam sebuah cita-cita mulia, menjaga Majapahit terus hidup sebagaimana cinta mereka yang terus hidup abadi sepanjang masa.

    BEGICU dech kira-kira ceritenye.

    Menimbang, dan seterusnya…..
    Mengingat dan seterusnya…..
    Memutusken, bahwa judul cerita lanjutannya berjudul :

    PARA KSATRIA PENJAGA MAJAPAHIT

  29. nunggu pak satpam buka layar baru, duduk lurusin kaki dulu dech didekat sinden sama tukang gendang, hehehe

    • Okelah kalau begitu

      Tapi…, nanti malam nggih
      Hari ini Risang masih harus membantu memeriksa laporan perjalanan para cantrik kamis-sabtu kemarin.

      Para Ksatria Penjaga Majapahit (PKPM)

      Jujur, sejak belajar sejarah, Meskipun kejayaan Majapahit dimulai dari Hayam Wuruk dan Gajahmada, tetapi Risang tidak suka sejarah Majapahit mulai bagian ini.

      Tidak tahu kenapa, mungkin karena adanya pemberontakan para “sahabat” Raden Wijaya seperti Ranggalawe, Nambi, Lembusora dan sebagainya.

      Tetapi, apa boleh buat, Risang sebagai Satpam padepokan tetap harus menjalankan tugas, he he he …

      • Ngapunten Pak Dhalange
        Satpam masih bingung buat sampul depannya, masih belum ketemu yang cocok.
        Pendapa baru belum bisa dibangun, masih mencari arsitek untuk membuat rancangan pendapa yang akan kita buat.

        • cuma ide, profil kangmas Gembleh (salah seorang cover boy tahun 80 an)di modif bawa kentongan, pasti keren tuch gambar, hehehe….namanya juga cuma ide, qiqiqiqqq

          • Hiksss………..
            baru absent 4 hari saja sudah langsung disanjung.
            Lanjut Pak Dhalang.

  30. lg santai di depan KPU, nunggu satria bergitar datang mencalonkan diri,jadi CAWAPRES, kok belum muncul juga ya ???

    Terlalu……

    • Darah muda jangan sering begadang……………
      yuk kita santai aja………..

  31. Hadir…………….!!!!!!!!!
    Ayo Pak Dhalang , PKPMe ndang diwedhar.
    PKPM = Partai Kebangkitan Pancasila Menang…???
    (kalau versi Ki PA mesti Partai Kelompok Pemburu Mentrik…)

    • Percuma nyentil Ki PA di sini Ki, Nggak pernah mampir karena tidak ada mentriknya.

      • Kasinggihan Ki BP…..

  32. Mlm semuanya lm gk dtng gk tauny dh rampung


Tinggalkan Balasan ke sandikala Batalkan balasan