NSSI-01

kembali | lanjut >>

Laman: 1 2 3

Telah Terbit on 10 April 2011 at 22:43  Comments (104)  

The URI to TrackBack this entry is: https://pelangisingosari.wordpress.com/nssi-01/trackback/

RSS feed for comments on this post.

104 KomentarTinggalkan komentar

  1. Assalamu’alaikum, wah numero uno nech…
    Harusnya ada Ki Arema, tutuge…
    Aku sech, alhamdulillah dah baca cerita ini tapi kalau baca ulang ndak papa thok

    • Waalaikumsalam.WrWb….mero !

      • Sugang enjang, Ki Sanak

    • waalaikumsalam wr wb …. banyak yg nungguin loh mba 🙂 … met bergojeg kembali 🙂

  2. horeeee vettel menang lagi 🙂
    eh mobilna vettel ama kudana danang kencengan mana yach ? 🙂 🙂

  3. Sugêng rawuh Ki Rånggå Tohjåyå Mahesa Jenar

  4. Assalamu alaikum wr.wb,
    Ndherek mangayubagyo.

    • Waalaikumsalam wrwb…weh Ki Saba Lintang..koq dangu Ki…pripun khabaripun Blitar….

      • Waalikum Salam,
        Alhamdulillah, taksih kondusif Ki,
        Tebih saking Teror Bom Buku

  5. Sik, gandhok anyar

  6. melu…

  7. teLAT mampiR,

  8. Matur nuwun sanget katur Ki Arema soho Pak Satpam. Bapak saya pernah punya NSSI seingat saya edisi 3 yang katanya sudah banyak diubah dan diperbaiki oleh pengarangnya sendiri. Meskipun buku tersebut sudah hilang (dipinjam tidak kembali) saya masih ingat betul ceritanya karena pernah baca berulang-ulang. Wah ….. jadi ingin tahu seperti apa aslinya. Kalau boleh usul…..medarnya pelan-pelan saja….. supaya tidak cepat habis. Sugeng dalu.

  9. ndeprok dulu ach……istirohat (aksen khas ASMUNI)

  10. Sugêng ing madyå ratri

    Syukur mangayubagyå, ada gandhok baru NSSI.
    Biar rame, mohon izin untuk selanjutnya dongeng arkeologi & antropologi diwedar di Gandhok NSSI, agar sanak kadang tidak kêponthal-ponthal, mblayu kesana kemari. Cukup di satu gandhok saja.

    Insya Allah Dongeng Surya Majapahit akan terus diwedar, dan mohon doa restunya, dongeng akan berlajut ke Demak (latar belakang NSSI), Jepara, Pajang hingga Mataram Islam.
    Mekatên Ki Panji Satriå Pamêdar

    Nuwun
    untuk Ki Bayuaji

    punåkawan

  11. Nderek mangayubagyo peresmian Gandok NSSI, mugi karahayon ingkang tansah pinanggih.

  12. koq ra’ ono woro-wor…
    wis soft opening…!!!
    yeach ta’ mampir disit…..

  13. Ikut meramaikan …

  14. Sugeng Siang Para Sanak Kadang…
    Nderek Sowan onten Ing Gandok Enggal…

  15. di cerita ini ntar ada pandan alas ya? …. kerjaanna ngapain ya? 🙂 … suka nggodain cewe ga? 🙂

  16. test

  17. Hadir…..
    Ndherek antri NSSI kaliyan dongengipun Ki Bayuaji.

  18. Matur nuwun Ki Senopati Arema,
    matur nuwun Ki Ajar pak Satpam,

    Sugeng dalu ADBMers
    sugeng dalu PDLSers
    sugeng dalu GSeTAers
    sugeng dalu BAYUAJIers.

  19. Nuwun
    Sugêng énjang

    DONGENG ARKEOLOGI & ANTROPOLOGI
    SURYA MAJAPAHIT

    Dongeng sebelumnya:
    Waosan kaping-19. Gajah Mada. (Parwa ka-3). [On 25 Maret 2011 at 08:02 cantrik bayuaji said: Surya Majapahit]

    Wedaran terakhir yang sudah diunggah di seri-surya-majapahit adalah:
    Waosan kaping-19:
    GAJAH MADA [Parwa Ka-4], Pengabdian Dan Kehidupan Gajah Mada: Kaidah-Kaidah Utama Pengabdian Gajah Mada

    Berikut lanjutannya:

    Waosan kaping-20:
    BHRE JIWANA HAYAM WURUK MAHARAJA SRI RAJASANEGARA (1350-1389) [Parwa ka-1]

    Hayam Wuruk adalah putera Tribhuwana Wijayatunggadewi, dilahirkan pada tahun 1334, yang konon bertepatan dengan gempa bumi di Pabanyupindah. Nama Hayam Wuruk berarti “ayam yang masih muda“.

    Hayam Wuruk naik takhta ketika berusia 16 tahun. Ia menikah dengan Paduka Sori (Parameswari).

    Pada 1350 M, Dyah Hayam Wuruk naik tahta Majapahit menggantikan ibunya, yaitu Ratu Tribuwanottunggadewi Jayawisnuwarddhani.
    Sebelumnya, Hayam Wuruk berkedudukan sebagai rajakumara (raja muda) di Jiwana (Kahuripan).

    Kitab Pararaton menyebut tokoh ini setelah meninggal dengan sebutan Bhra Hyang Wekasing Sukha, sedangkan nama Hayam Wuruk waktu kecil menurut Pararaton ialah Raden Tetep.

    Cacatan:

    —. Tokoh yang berbeda yang menggunakan gelar Hyang Wekasing Sukha adalah putra mahkota Wikramawardhana (dalam Pararaton bergelar Bhra Hyang Wisesa Aji Wikrama. Nama aslinya adalah Raden Gagak Sali. Ibunya bernama Dyah Nertaja, adik Hayam Wuruk, yang menjabat sebagai Bhre Pajang. Sedangkan ayahnya bernama Raden Sumana yang menjabat sebagai Bhre Paguhan, bergelar Singhawardhana).

    Ibunda Hyang Wekasing Sukha adalah Kusumawardhani putri Hayam Wuruk yang lahir dari Padukasori. Dalam Nāgarakṛtāgama, Kusumawardhani dan Wikramawardhana diberitakan sudah menikah.

    Padahal waktu itu Hayam Wuruk baru berusia 31 tahun. Maka, dapat dipastikan kalau kedua sepupu tersebut telah dijodohkan sejak kecil.

    Dari perkawinan itulah, lahir putra mahkota bernama Rajasakusuma bergelar Hyang Wekasing Sukha, yang meninggal sebelum sempat menjadi raja.

    Hayam Wuruk mempunyai dua orang anak yaitu Nagarawardani/Bhre Lasem yang lahir dari Paduka Sori dan Bhre Wirabumi yang lahir dari selir. Perkawinan Hayam Wuruk dengan Paduka Sori yang masih saudara sepupu putri dari Bhre Prameswara yaitu Raja Wijayarajasa dari Wengker terjadi tahun saka 1279 yaitu setelah kegagalan perkawinannya dengan Dyah Pitaloka yaitu Putri Raja Linggabuana dari kerajaan Pasundan.

    Pada tahun (1350-1389) Majapahit mencapai masa keemasannya yang berlangsung dalam masa pemerintahan Hayam Wuruk yang bergelar Sri Rajasanagara didampingi oleh Mahapatih Gajah Mada, Arya Wangsadhiraja Adityawarman dan Senapati Sarwajala Sang Arya Wira Mandalika Pu Nala atau Mpu Nala, kelak Tumenggung Amancanagara Nala, seorang perwira tinggi Angkatan Laut Kerajaan Majapahit sehingga pada masa tersebut Majapahit mencapai masa kejayannya, karena daerah kekuasaannya hampir meliputi seluruh Nusantara. Majapahit pun berkembang sebagai kerajaan maritim sekaligus kerajaan agraris.

    Masa sebelumnya, kejayaan Majapahit baru mulai mendaki ke arah puncaknya. Pada masa pemerintahan Ratu Tribhuwanattunggadewi (1328-1350 M), ibunda Hayam Wuruk, Majapatih Gajah Mada mulai melebarkan pengaruhnya ke luar Jawa, antara lain ke Bali.

    Penyerangan ke Bali dipimpin oleh Mahapatih Gajah Mada dan saudara sang ratu dari daerah Minangkabau, yaitu Arya Wangsadhiraja Adityawarman. Pada waktu itu, Bali diperintah oleh Sri Asta Asura Ratna Bhumi Banten.

    Dia menurut uraian Nāgarakṛtāgama Pupuh XLIX (49) : 4 bertingkah laku jahat dan nista sehingga perlu dihancurkan.

    muwah ring sakabdesu-masaksi-nabhi
    ikang bali nathanya dussila nica
    dinon ing bala bhrasta sakweh winasa
    ares salwir ing dusta mangdoh wisata.

    (Tahun sakabdesu-masaksi-nabhi (1265),
    Raja Bali yang alpa dan rendah budi,
    Diperangi, tewas bersama balanya,
    Menjauh segala yang jahat, tenteram.)

    Menurut Pararaton, Gajah Mada mengucapkan sumpahnya yang terkenal pada masa pemerintahan Tribhuwanattunggadewi. Sumpah tersebut mampu dibuktikan dalam masa pemerintahan Hayam Wuruk yang berada di puncak kemegahan Wilwatikta.

    Masa pemerintahan Hayam Wuruk dianggap masa kejayaan Majapahit karena tidak ada konflik internal ataupun eksternal dengan daerah-daerah lainnya, kecuali peristiwa Pasundan-Bubat (jika peristiwa ini pernah dianggap ada) di tahun 1357 M.

    Daerah-daerah di luar Pulau Jawa (Nusantara) banyak yang mengakui kebesaran Majapahit. Hal ini terlihat dengan dikirimkannya utusan setiap tahun ke istana Hayam Wuruk. Pengiriman utusan atau upeti ke Majapahit bukan akibat penyerangan atas daerah-daerah tersebut, melainkan karena perjalanan muhibah armada dagang Majapahit yang megah ke daerah-daerah.
    Mereka lalu mengagumi kebesaran Majapahit sehingga daerah-daerah rela mengirimkan upetinya.

    Pada jaman pemerintahan Prabu Hayam Wuruk, keraton Majapahit diperkirakan telah dipindahkan ke Trowulan (sekarang masuk wilayah Mojokerto). Trowulan adalah sebuah kecamatan di Kabupaten Mojokerto, Jawa Timur. Kecamatan ini terletak di bagian barat Kabupaten Mojokerto, berbatasan dengan wilayah Kabupaten Jombang.

    Trowulan terletak di jalan negara yang menghubungkan Surabaya-Surakarta. Di kecamatan ini terdapat puluhan situs bangunan, arca, gerabah, dan pemakaman peninggalan Kerajaan Majapahit. Diduga kuat, pusat kerajaan berada di wilayah ini yang ditulis oleh Mpu Prapanca dalam kitab Kakawin Nāgarakṛtāgama dan dalam sebuah sumber Tionghoa dari abad ke-15.

    Pejabat-pejabat pada Masa Pemerintahan Hayam Wuruk

    Tahun 1360 Gayatri wafat, maka Tribhuwanattunggadewi pun turun tahta, dan menyerahkan kepada anaknya yaitu Hayam Wuruk, yang dilahirkan di tahun 1334 atas perkawinannya dengan Kertawardddhana. Hayam Wuruk memerintah dengan gelar Rajasanagara (1360-1369), dengan Gajah Mada sebagai patihnya.
    Nama-nama pejabat pemerintahan Majapahit pada zaman pemerintahan Raja Kertarajasa sesuai piagam Bendasari.

    1. Mahamentri Katrini
    •Rakryan Menteri i Hino: Dyah Iswara
    •Rakryan Menteri i Halu: Dyah Ipo
    •Rakryan Menteri i Sirikan: Dyah Kancing

    2. Sang Panca Wilwatika
    •Rakryan Patih Majapahit: Pu Gajah Mada
    •Rakryan Demung: Pu Alus
    •Rakryan Kanuruhan: Pu Bajil
    •Rakryan Rangga: Pu Roda
    •Rakryan Tumenggung: Pu Lembi Nata

    Dalam Rakryan Mantri ri Pakirakiran terdapat seorang pejabat yang terpenting yaitu Rakryan Mapatih atau Patih Amangkubhumi. Pejabat ini dapat dikatakan sebagai perdana menteri yang bersama-sama raja dapat ikut melaksanakan kebijaksanaan pemerintahan. Selain itu, terdapat pula semacam dewan pertimbangan kerajaan yang anggotanya para sanak saudara raja, yang disebut Bhattara Saptaprabhu.

    Majapahit memiliki struktur pemerintahan dan susunan birokrasi yang teratur pada masa pemerintahan Hayam Wuruk, dan tampaknya struktur dan birokrasi tersebut tidak banyak berubah selama perkembangan sejarahnya.

    Raja dianggap sebagai penjelmaan dewa di dunia dan ia memegang otoritas politik tertinggi. Sebagai kepala pemerintahan, raja atau ratu Majapahit bergelar Bhatara Prabhu (Bhre Prabhu) atau Sri Maharaja.

    Para anggota keluarga kerajaan diberi gelar Bhatara (Bhre) dari mandala tertentu, misalnya Bhre Kahuripan, Bhre Daha, Bhre Tumapel, dan sebagainya.
    Sesuai dengan keseimbangan gender, gelar Bhre Tumapel, Bhre Paguhan dan Bhre Wengker dijabat oleh pria, sedangkan gelar Bhre Lasem, Bhre Pajang dan Bhre Kabalan jatah untuk wanita. Adapun gelar Bhre Kahuripan dan Bhre Daha, sebagai daerah poros (axis region), boleh disandang pria atau wanita asalkan hubungan kerabatnya dekat dengan sang prabhu.

    Wilayah Kekuasaan Majapahit Jaman Pemerintahan Hayam Wuruk

    Di zaman pemerintahan Prabu Hayam Wuruk (1350-1389) yang menggantikan Tribhuwanatunggadewi, Patih Gajah Mada terus mengembangkan perluasan ke wilayah timur seperti Logajah, Gurun, Sukun, Taliwung, Sapi, Gunungapi, Seram, Hutankadali, Sasak, Bantayan, Luwuk, Makassar, Buton, Banggai, Kunir, Galiyan, Salayar, Sumba, Muar (Saparua), Solor, Bima, Wandan (Banda), Ambon, Wanin, Seran, Timor, dan Dompo.

    Menurut Kakawin Nāgarakṛtāgama pupuh XIII-XV, daerah kekuasaan Majapahit meliputi hampir seluas wilayah Indonesia modern, termasuk daerah-daerah Sumatra di bagian barat dan di bagian timur Maluku serta sebagian Papua (Wanin), dan beberapa negara Asia Tenggara. Namun demikian, batasan alam dan ekonomi menunjukkan bahwa daerah-daerah kekuasaan tersebut tampaknya tidaklah berada di bawah kekuasaan terpusat Majapahit, tetapi terhubungkan satu sama lain oleh perdagangan yang mungkin berupa monopoli oleh raja.

    Majapahit juga memiliki hubungan dengan Campa, Kamboja, Siam, Birma bagian selatan, dan Vietnam, dan bahkan mengirim duta-dutanya ke Cina. Daerah-daerah diluar jawa yang dikuasai Majapahit pada jaman pemerintahan Raja Hayam Wuruk seperti diuraikan dalam Nāgarakṛtāgama pupuh XIII (13) dan XIV (14):

    Pupuh XIII (13)

    [1].
    lwir ning nusa pranusa pramuka sakahawat ksoni ri malayu
    ning jambi mwang palembang karitang i teba len dharmasraya tumut
    kandis kahwas manangkabwa ri siyak i rokan kampar mwang i pane
    kampe harwathawe mandahiling i tumihang parlak muang i barat.

    (Terinci demi pulau negara bawahan, paling dulu Melayu:
    Jambi, Palembang, Toba dan Darmasraya pun ikut
    juga disebut Daerah Kandis, Kahwas, Minangkabau, Siak, Rokan, Kampar dan Pane Kampe, Haru serta Mandailing, Tamihang, negara Perlak dan Padang.)

    [2].
    i lwas lawan samudra mwang i lamuri batan lampung mwang i barus
    yakadhinyang watek bhumi malayu satanan kapwamateh anut
    len tekang nusa tanjungnagara ri kapuhas lawan ri katingan
    sampit mwang kutalingga mwang i kuta waringin sambas mwang i lawai.

    (Lwas dengan Samudra serta Lamuri, Batan, Lampung dan juga Barus
    Itulah terutama negara-negara Melayu yang telah tunduk,
    Negara-negara di pulau Tanjungnegara: Kapuas-Katingan
    Sampit, Kota Lingga, Kota Waringin, Sambas, Lawai ikut tersebut.)

    Pupuh XIV (14)

    [1].
    kadangdangan i landa len ei samedang tirem tan kasah
    ri sedu baruneng ri kalka saludung ri solot pasir
    baritw i sawaku muwah ri tabalung ri tanjung kute
    lawan ri malano makapramuka ta(ng) ri tanjungpuri.

    (Kadandangan, Landa Samadang dan Tirem tak terlupakan
    Sedu, Barune (ng), Kalka, Saludung, Solot dan juga Pasir,
    Barito, Sawaku, Tabalung, ikut juga Tanjung Kutei,
    Malano tetap yang terpenting di pulau Tanjungpura.)

    [2].
    ikang sakahawan pahang pramuka tang hujungmedhini
    ri lengkasuka len ri saimwang i kalantan i trenggano
    nasor pakamuwar dungun ri tumasik ri sanghyang hujung
    kelang keda jere ri kanjapiniran sanusapupul.

    (Di Hujung Medini Pahang yang disebut paling dahulu,
    Berikut Langkasuka, Saimwang, Kelantan serta Trengganu,
    Johor (Malaysia), Paka, Muar, Dungun, Tumasik di ujung semenanjung,
    Kelang serta Kedah, Jerai, Kanjapiniran, semua sudah lama terhimpun.)

    [3].
    sawetan ikanang tanah jawa muwah ya warnnanen
    ri balli makamukya tang badahulu mwang i lwagajah
    gurun makamuka sukun ri taliwang ri dompo sapi
    ri sanghyang api bhima seran i hutan kadalyapupul.

    (Di sebelah timur Jawa seperti yang berikut:
    Bali dengan negara yang penting Badahulu dan Lo Gajah,
    Gurun serta Sukun, Taliwang, pulau Sapi dan Dompo,
    Sang Hyang Api, Bima, Seran, Hutan Kendali sekaligus.)

    [4].
    muwah tang i gurun sanusa mangaran ri lombok mirah
    lawan tikang i saksakadi nikalun kahajyan kabeh
    muwah tanah i bantayan pramuka bantayan len luwuk
    tekeng udamakatrayadhi nikanang sanusapupul.

    (Pulau Gurun, yang juga biasa disebut Lombok Merah,
    Dengan daerah makmur Sasak diperintah seluruhnya,
    Bantayan di wilayah Bantayan beserta kota Luwuk,
    Sampai Udamakatraya dan pulau lain-lainnya tunduk.)

    [5].
    ikang sakasanusanusa makasar butun banggawi
    kunir ggaliyao mwang i salaya sumba solot muar
    muwah tikang i wandan ambwan athawa maloko wwanin
    ri seran i timur makadi ning angeka nusatutur.

    (Tersebut pula pulau-pulau Makasar, Buton, Banggawi,
    Kunir, Galian serta Salayar, Sumba, Solot, Muar,
    Lagi pula Wanda(n), Ambon atau pulau Maluku, Wanin,
    Seran (Seram), Timor, dan beberapa lagi pulau-pulau lain.)

    1.Di Sumatra: Jambi, Palembang, Dharmasraya, Kandis, Kahwas, Siak, Rokan, Mandailing, Panai, Kampe, Haru, Temiang, Parlak, Samudra, Lamuri, Barus, Batan dan Lampung.

    2. Di Kalimantan: Kapuas, Katingan, Sampit, Kota Lingga, Kota Waringin, Sambas, Lawai, Kandangan, Singkawang, Tirem, Landa, Sedu, Barune, Sukadana, Seludung, Solot, Pasir, Barito, Sawaku, Tabalung, Tanjung Kutei dan Malano.

    3. Di Semenanjung Tanah Melayu: Pahang, Langkasuka, Kalantan, Saiwang, Nagir, Paka, Muar, Dungun, Tumasik (Singapura), Kelang, Kedah dan Jerai.

    4. Sebelah Timur Jawa : Bali, Badahulu, Lo Gajah, Gurun, Sukun, Taliwung, Dompo, Sapi, Gunung api, Seram, Hutan kadali, Sasak, Bantayan, Luwuk, Makasar, Buton, Banggawi, Kunir, Galian, Salayar, Sumba, Muar (Saparua), Solor, Bima, Wandan (Banda), Ambon, Wanin (Irian/Papua), Seram dan Timor.

    Setelah menyimak data tersebut, Gajah Mada berhasil mewujudkan sumpahnya. Wilayah kekuasaan Majapahit hampir meliputi seluruh wilayah nusantara, bahkan Semenanjung Malaya juga berhasil dikuasai Majapahit kecuali kerajaan Pajajaran (Sunda) yang belum dikuasainya.

    Gajah Mada, seorang patih dan bupati Majapahit dari 1331 ke 1364, memperluas kekuasaan kekaisaran ke pulau sekitarnya. Pada tahun 1377, yaitu beberapa tahun sesudah kematian Gajah Mada, angkatan laut Majapahit menduduki Palembang, menaklukkan daerah terakhir kerajaan Sriwijaya.

    Sebagaimana ditegaskan oleh Prof. Bertram Johannes Otto Schrieke, “Kahuripan and Daha were the regions assigned to the most highly placed members of the royal family” (Ruler and Realm in Early Java, 1957). Jika anggota keluarga kerajaan cukup banyak, mandala diperluas menurut kebutuhan, misalnya Bhre Mataram, Bhre Matahun, Bhre Wirabhumi, dan sebagainya.

    Pejabat pemerintahan dibawah Raja yaitu Patih Amangkubumi bertugas memberi perintah dan arahan tentang jalannya pemerintahan di Negara bawahan atau daerah. Dalam Nāgarakṛtāgama disebutkan bahwa para patih Negara bawahan dan para pembesar lainnya berkumpul di Kepatihan Majapahit yang dipimpin oleh Patih Gajah Mada.

    Di bawah raja Majapahit terdapat pula sejumlah raja daerah, yang disebut Paduka Bhattara. Mereka biasanya merupakan saudara atau kerabat dekat raja dan bertugas dalam mengumpulkan penghasilan kerajaan, penyerahan upeti, dan pertahanan kerajaan di wilayahnya masing-masing. Dalam Prasasti Waringin Pitu (1447 M) disebutkan bahwa pemerintahan Majapahit dibagi menjadi 14 daerah bawahan, yang dipimpin oleh seseorang yang bergelar Bhre.

    Daerah-daerah bawahan tersebut yaitu:

    1. Daha oleh Bhre Daha yaitu Dyah Wijat Sri Rajadewi yang merupakan adik kandung dari Tribhuwana Tunggadewi ibu dari Raja Hayam Wuruk.
    2. Wengher oleh Raja Wijayarajasa
    3. Matahun oleh Raja Rajasawardhana
    4. Lasem oleh Bhre Lasem
    5. Pajang oleh Bhre Pajang Paguhan oleh Raja Singawardhana
    6. Kahuripan oleh Tribhuwana Tunggadewi yaitu ibu dari Raja Hayam Wuruk.
    7. Singasari oleh Raja Kertawardhana yaitu ayah dari Raja Hayam Wuruk.
    8. Mataram oleh Bhre Mataram yaitu Wikramawardhana yaitu keponakan dari Raja Hayam Wuruk.
    9. Wirabhumi oleh bhre Wirabhumi yaitu anak Raja Hayam Wuruk dari selir.
    10. Pawanuhan oleh puteri Surawardhani.
    11. Jagaraga.
    12. Kabalan.
    13. Singhapura.

    Lima daerah atau Propinsi menurut kiblat yaitu Utara, Timur, Selatan , Barat dan Pusat yang disebut Mancanegara masing masing diperintah oleh Juru Pangalasan atau Adipati yang bergelar Rakryan.

    Raja dan Juru Pengalasan adalah pembesar yang bertanggung jawab namun dalam pemerintahanya dikuasakan kepada Patih. Dalam pemerintahan dipusat segala urusan pemerintahan menjadi tanggung jawab Patih Amangkubumi yaitu Gajah Mada, Demung, Kanuruhan, Rangga dan Tumenggung.

    Lain halnya dengan pemerintahan di seberang lautan yang merupakan wilayah Majapahit, Raja-raja dan pembesar daerah bawahan berdaulat penuh, kewajiban utama daerah bawahan kepada Majapahit yaitu menyerahkan upeti tahunan dan menghadap Raja pada waktu yang ditetapkan sebagai tanda kesetiaan dan pengakuan terhadap kekuasaan Majapahit.

    Untuk mengawasi wilayah Majapahit yang begitu luas maka Majapahit memiliki armada lautan yang sangat besar dan ditakuti oleh negara Negara lainnya. Armada ini ditempatkan di Lautan Teduh (Pasifik) dan dipantai utara pulau Jawa. Dan juga berusaha menjalin persahabatan dengan negara-negara tetangga yang yang disebut Mitreka Satata, yang secara harafiah berarti “mitra dengan tatanan (aturan) yang sama“, yakni negara independen luar negeri yang dianggap setara oleh Majapahit, bukan sebagai bawahan dalam kekuatan Majapahit, namun sebagai negara sahabat atau sahabat sehaluan yang hidup berdampingan secara damai.

    Dalam Bilang Ekonomi & Perdagangan

    Dalam kehidupan ekonomi, kerajaan Majapahi masih mencerminkan sebagai negara agraris, karena aspek agraria lebih menonjol dibandingkan perdagangan antar pulau.

    Pemerintahan Majapahit selalu berusaha meningkatkan pertaniannya dengan memperbaiki atau memelihara tanggul sepanjang sungai untuk mencegah banjir dan di samping itu juga memperbaiki jalan-jalan jembatan untuk mempelancar lalu lintas perdagangan.

    Komoditi perdagangan Majapahit adalah beras dan rempah-rempah. Daerah-daerah pelabuhan seperti Canggu, Surabaya, Gresik, Sedayu, dan Tuban menjadi pusat perdagangan karena menampung barang dagangan berupa hasil bumi dari daerah pedalaman.

    Menurut catatan Wang Ta-yuan, pedagang Tiongkok, komoditas ekspor Jawa pada saat itu ialah lada, garam, kain, dan burung kakak tua, sedangkan komoditas impornya adalah mutiara, emas, perak, sutra, barang keramik, dan barang dari besi. Mata uangnya dibuat dari campuran perak, timah putih, timah hitam, dan tembaga.

    Selain itu, catatan Odorico da Pordenone, biarawan Katolik Roma dari Italia yang mengunjungi Jawa pada tahun 1321, menyebutkan bahwa istana raja Jawa penuh dengan perhiasan emas, perak, dan permata. Di bidang perdagangan walaupun tidak semenonjol kerajaan Sriwijaya, banyak pedagang Majapahit berperan sebagai pedagang perantara.

    Menurut berita dari Cina, Majapahit telah memperdagangkan garam, beras, lada, intan, cengkeh, pala, kayu cendana dan gading. Banyak pedagang Cina yang membeli barang-barang tersebut dari pedagang Majapahit. Majapahit selalu menjalankan politik bertetangga yang baik dengan kerajaan asing, seperti Kerajaan Cina, Ayodya (Siam), Champa, dan Kamboja.
    Hal itu terbukti sekitar tahun 1370-1381 Majapahit telah beberapa kali mengirim utusan persahabatan ke Cina.

    Hal itu diketahui dari berita kronik Cina dari Dinasti Ming. Hubungan persahabatan yang dijalin dengan negara tetangga itu sangat penting artinya bagi Kerajaan Majapahit. Khususnya dalam bidang perekonomian (pelayaran dan perdagangan) karena wilayah kekuasaan Kerajaan Majapahit terdiri atas pulau dan daerah kepulauan serta sebagai sumber barang dagangan yang sangat laku di pasaran pada saat itu.

    Barang dagangan yang dipasarkan antara lain beras, lada, gading, timah, besi, intan, ikan, cengkeh, pala, kapas dan kayu cendana. Dalam dunia perdagangan Kerajaan Majapahit memegang dua peranan yang sangat penting, yaitu sebagai kerajaan produsen dan sebagai kerajaan perantara.

    Dalam Bidang Keagamaan

    Sebagai kerajaan Hindu terbesar di Nusantara keamanan rakyat terjamin, dimana hukum serta keadilan ditegakkan dengan tidak pandang bulu. Dalam kehidupan beragama raja membentuk dewan khusus yaitu Dharmadhyaksa kasaiwan yang mengurus agama Syiwa Budha dan Dharmadhyaksa Kasogatan yang mengurus agama Budha keduanya dibantu oleh pejabat keagamaan yang disebut Dharma Upapatti yang jumlahnya disesuaikan dengan kebutuhan.

    Banyaknya pejabat tersebut menunjukan keompleksnya permasalahan agama yang harus diatur. Dengan adanya pejabat keagamaan tersebut, kehidupan keagamaan Majapahit berjalan dengan baik, bahkan tercipta toleransi. Hal ini seperti apa yang diceritakan oleh Ma-Huan tahun 1413, bahwa masyarakat Majapahit di samping beragama Hindu, Budha juga ada yang beragama Islam, semuanya hidup dengan rukun.

    Dari berita Ma-Huan tersebut dapat diketahui bahwa pengaruh Islam sudah ada di kerajaan Majapahit.
    Kehidupan sosial yang penuh dengan toleransi juga dibuktikan melalui kitab Sutasoma yang ditulis oleh Mpu Tantular yang di dalamnya ditemukan kalimat
    BHINNEKA TUNGGAL IKA, TAN HANA DHARMA MANGRUA”.

    Dalam Nāgarakṛtāgama pupuh LXXXV (85) : 1, diuraikan bahwa tiap bulan Caitra (Maret-April) atau bulan pertama setiap tahun Raja Hayam Wuruk mengadakan pertemuan dengan para Menteri, perwira, pembantu baginda, kepala daerah, kepala desa dari luar kota untuk membahas tanggung jawab pemerintahan didaerahnya masing-masing.

    Nāgarakṛtāgama Pupuh LXXXV (85): 1

    tanggal ning caitra tekang balagana mapulung rahy ahem apupul
    mantri mwang tanda len gusti sahana nguniweh wadwa haji tumut
    milw ang mantry akuwu mwang juru buyut athawa wwang ring parapuri
    astam sang ksatriya mwang wiku haji karuhun sakweh dwijawara.

    (Tanggal satu bulan Caitra bala tentara berkumpul bertemu muka,
    Menteri, perwira, para arya dan pembantu raja semua hadir,
    Kepala daerah, ketua desa, para tamu dari luar kota,
    Begitu pula para kesatria, pendeta dan brahmana utama.)

    Beberapa hasil karya semasa Prabu Hayam Wuruk bertahta di Majapahit:

    Beberapa hasil karya semasa Hayam Wuruk lainnya antara lain:

    • Pemeliharaan tempat-tempat penyeberangan melintasi sungai-sungai Solo dan Brantas;
    • Perbaikan bendungan Kali Konto (sebelah timur Kadiri);
    • Memperindah Candi untuk Tribhuwanattunggadewi di Panggih;
    • Perbaikan dan perluasan tempat suci Palah (Panataran);
    • Penyempurnaan Candi Jabung dekat Kraksaan (1354);
    • Membuat Candi Surawana dan Candi Tigawangi di dekat Kadiri (1365);
    • Membuat Candi Pari (dekat Porong) bercorak dari Campa di tahun 1371.

    Perjalanan Prabu Hayam Wuruk ke Daerah Daerah

    Menurut uraian Nāgarakṛtāgama, pada masa pemerintahan Hayam Wuruk terdapat tahun-tahun penting yang berkenaan dengan kegiatan perjalanannya ke beberapa daerah di tlatah Jawa bagian timur.

    Dalam Negara Kertagama dikisahkan Hayam Wuruk sebagai Raja Majapahit melakukan ziarah ke tempat pendharmaan leluhurnya di Singasari yang berada disekitar daerah Malang sekarang, salah satunya di dekat tempat pendharmaan Ken Arok.

    Ini menunjukkan bahwa walaupun bukan pusat pemerintahan namun Malang adalah kawasan yang disucikan karena merupakan tanah tempat pendharmaan para leluhur yang dipuja sebagai Dewa. Kunjungan ke Singasari merupakan puncak kunjungan Raja Hayam Wuruk.

    Kunjungannya merupakan wujud penghargaan Hayam Wuruk terhadap pendahulunya, yaitu Kertanegara, sebagai raja terakhir Singasari yang erat kaitannya dengan cikal bakal berdirinya kerajaan Majapahit.

    Dari pusat Majapahit (kini Trowulan) iringan berjalan ke timur hingga Baremi (dusun Bremi, Probolinggo). Dari Baremi iringan membelok ke selatan hingga Kamirahan yang diperkirakan ada di muara Kali Mujur, Lumajang.

    Selanjutnya mereka menyisir pantai selatan dan berhenti di Kutha Bacok. Di sana Hayam Wuruk sempat terpana melihat “karang kinasut ing ryyak asirasirat anghirib jawuh” (karang tersiram ombak yang berpancar seperti hujan).

    Gampang diduga, Kutha Bacok memang pantai Watu Ulo di selatan Jember. Sampai sekarang masih ada tempat bernama Gunung Bacok yang letaknya 3,5 km dari laut. Mengapa demikian jauh? Nampaknya garis pantai di desa pantai selatan itu maju 500 m dalam 100 tahun terakhir!

    Rombongan kemudian berjalan ke utara. Tiba di Patukangan mereka berkemah beberapa hari sebelum meneruskan perjalanan ke arah barat. Tempat perkemahannya diduga di sebelah barat dusun Tokengan, desa Peleyan, kurang lebih 4 km di sebelah barat Situbondo.
    Mereka menyisir pantai utara dan selewat Pasuruan membelok ke arah barat daya menuju Singasari. Di Singasari Hayam Wuruk mengambil jalan memutar melawan arah jarum jam.

    Ini bisa dimaklumi mengingat raja Majapahit itu penganut Siwa dan bukan pengikut Buddha. Raja melakukan ziarah ke makan para leluhurnya di Singasari (candi Singasari), Kagenengan (pendharmaan pendiri wangsa Rajasa), Jajagu (candi
    Jago, pendharmaan Wishnuwardhana) dan Kidhal (candi Kidal, pendharmaan Anusanatha/Anusapati).

    Di perjalanan kembali ke kraton, raja sempat mampir berziarah ke Jajawi (candi Jawi).
    Jarak tempuh iringan kerajaan kira-kira 700 km dan waktu yang mereka perlukan antara 2-3 bulan. Di medan datar diperkirakan kelajuan mereka sekira 30 km per hari! Pernah rombongan melewati medan yang sulit (saat dari Bondowoso menuruni lembah Sungai Sampean) sehingga dalam sehari hanya mampu melangkah belasan kilo.
    Pernah pula rombongan ngebut dan bisa melahap 40an kilometer sehari.

    Menurut uraian Nāgarakṛtāgama Hayam Wuruk dan rombongannya melakukan muhibah saebagai berikut:
    1. tahun 1353 mengadakan perjalanan ke daerah Pajang,
    2. tahun 1354 perjalanan ke pantai Lasem.
    3. tahun 1357 Hayam Wuruk mengadakan perjalanan menuju ke pantai selatan, dan di tahun yang sama terjadi peristiwa Pasundan-Bubat. Pada tahun itu juga, Laksmana Mpu Nala memimpin kunjungan muhibah armada Majapahit ke daerah Dompo.
    4. tahun 1359 Hayam Wuruk melakukan perjalanan ke Lamajang yang merupakan jelajahnya yang paling panjang. Perjalanan ke Lamajang inilah yang diuraikan secara panjang lebar dalam Nāgarakṛtāgama.
    5. tahun 1360 perjalanan ke Tarib dan Sampur.
    6. tahun 1361 perjalanan ke Rabut Palah (kompleks Candi Panataran), merupakan candi kerajaan Majapahit.
    7. tahun 1362 Hayam Wuruk memenuhi titah ibunya untuk mengadakan upacara sraddha bagi neneknya Rajapatni Gayatri. Merupakan upacara yang meriah dan diakhiri dengan meletakkan arca Prajñaparamita di Candi Prajñaparamitapuri di Bhayanglango.
    8. tahun 1363 Hayam Wuruk mengadakan perjalanan ke Simping (Sumberjati), meresmikan bangunan candi yang konon baru dipindahkan ke lokasi baru. Candi tersebut dibangun untuk memuliakan eyang Hayam Wuruk, yaitu Raden Wijaya (Krtarajasa Jayawarddhana).

    Catatan:
    Upacara sraddha:

    Upacara sraddha adalah upacara mengenang arwah seseorang yang meninggal, yang diduga dilakukan pertama kali oleh umat penganut agama asli Tanah Jawa yang kemudian diadaptasi oleh penganut Hindu semasa kerajaan Majapahit.

    Bentuk reminisensi upacara ini, masih ada sekarang dan disebut sadran atau sering kita sebut nyadran, yang lazim dilakukan oleh beberapa sumat Islam menjelang pelaksanaan ibadah puasa di bulan Ramadhan.

    Pada setiap perjalanan tersebut Hayam Wuruk selalu dinyatakan oleh Mpu Prapanca melewati kampung-kampung, dan pesawahan penduduk. Dalam Nāgarakṛtāgama mengesankan bahwa kehidupan masyarakat Majapahit pada waktu itu sangat sejahtera, rakyat di desa-desa berdesak-desak di tepi jalan untuk menonton rombongan rajanya lewat.

    Di tempat-tempat penghentian dalam perjalanan tersebut Hayam Wuruk dan rombongannya selalu disambut dengan suka cita oleh penduduk setempat, makanan disediakan cukup berlimpah, dan bermacam hiburan yang ada dipertunjukkan kepada rombongan raja Hayam Wuruk.

    Rombongan sempat singgah di Madakaripura, tanah perdikan milik patih Gadjah Mada, dan Kambang Rawi, tanah perdikan milik Mpu Nala. Madakaripura di sini bukan air terjun di selatan Probolinggo yang kita kenal sekarang ini, tetapi sebuah desa yang kini diperkirakan di sekitar desa Rejosokidul, Pasuruan.

    Sedang kambang Rawi diduga terletak di sekitar dusun Rawan, Kecamatan Krenjengan, Probolinggo. Yang tidak kalah menarik, sejumlah belasan dari desa-desa yang didata Prapanca menjelma jadi makam keramat yang kerap diziarahi.

    Sisi-sisi Peradaban Masyarakat Majapahit

    Berdasarkan catatan musafir Cina bernama Ma Huan dapat diketahui bahwa kehidupan masyarakat dan perekonomian Majapahit masa itu relatif maju. Dia berkunjung ke Majapahit dalam masa akhir pemerintahan Hayam Wuruk.

    Catatan Ma Huan menguraikan antara lain sebagai berikut:

    Di Majapahit udaranya terus menerus panas, seperti musim panas di kita (Cina), panen padi dua kali setahun, padinya kecilkecil, berasnya berwarna putih. Di sana juga ada buah jarak dan karapodang (kuning), tetapi tidak ada tanaman gandum. Kerajaan itu menghasilkan kayu sepang, kayu cendana, intan, besi, buah pala, cabe merah panjang, tempurung penyu baik yang masih mentah ataupun yang sudah dimasak.

    Burungnya aneh-aneh, ada nun sebesar ayam dengan aneka wama merah, hijau dan sebagainya. Beo yang semuanya dapat diajari berbicara seperti orang, kakaktua, merak dan lainnya lagi.

    Hewan yang mengagumkan adalah kijang dan kera putih, ternaknya adalah babi, kambing, sapi, kuda, ayam, itik, keledai dan angsa. Buah-buahannya adalah bermacam-macam pisang, kelapa, tebu, delima, manggis, langsap, semangka dan sebagainya. Bunga penting adalah teratai.”

    Penduduk di pantai utara di kotakota pelabuhan, seperti Gresik, Tuban, Surabaya, dan Canggu kebanyakan menjadi pedagang. Kota-kota pelabuhan tersebut banyak dikunjungi oleh pedagang asing yang berasal dari Arab, India, Asia Tenggara dan Cina.

    Ma Huan memberitakan bahwa di kota-kota pelabuhan tersebut banyak orang Cina dan Arab menetap dan berdagang di kota-kota tersebut.

    Selanjutnya, laporan Ma Huan menyatakan bahwa:

    Ibukota Majapahit berpenduduk sekitar 200-300 keluarga. Suatu angka cukup besar untuk zaman itu. Penduduk telah memakai kain dan baju. Kaum lelaki berambut panjang yang diuraikan, sedangkan perempuannya bersanggul.

    Setiap laki-laki, mulai dari yang berumur tiga tahun ke atas, baik orang berada atau orang kebanyakan, mengenakan keris dengan pegangannya yang diukir indah-indah dan terbuat dan emas, cula badak, atau gading. Apabila bertengkar, mereka dengan cepat menyiapkan kerisnya.

    Pantangan bagi penduduk Jawa adalah memegang kepala orang lain karena merupakan penghinaan yang akan menimbulkan perkelahian berdarah.

    Mereka duduk di rumahnya tdak menggunakan bangku, tidur tanpa ranjang dan makan tanpa memakai sumpit. Baik laki-laki atau pun perempuan senang memakan sirih sepanjang hari. Jadi, kalau ada tamu yang datang disuguhkan bukannya teh, melainkan sinih dan pinang.

    Atas titah raja, orang Majapahit juga senang mengadakan pertandingan dengan menggunakan tombak bambu. Tetapi, apabila ada yang meninggal karena tertusuk tombak bambu itu, si pemenang wajib memberikan uang kepada keluar korban.

    Namun, kalau bulan terang terutama purnama, mereka senang bermain bersama dengan disertai nyanyian bergiliran antara kelompok-kelompok laki-laki dan perempuan.

    Kesenian yang populer adalah bentuk cerita Wayang Bêbêr, yaitu kisah wayang yang dilukiskan pada kai1i yang direntangkan (beber) oleh sang dalang dan menceritakan adegan-adegan yang digambarkan tersebut.
    Para pedagang pribumi umumnya sangat kaya.

    Mereka suka membeli batu-batu perhiasan yang bermutu, seperti barang pecah belah dan porselin Cina dengan gambar bunga-bunga berwarna hijau. Mereka juga membeli minyak wangi, kain sutra dan kain yang berkualitas baik dengan motif hiasan ataupun yang polos. Pembayaran dilakukan dengan uang tembaga Cina dari dinasti apapun laku di Kerajaan Majapahit.

    Beberapa prasasti dan arca peninggalan Majapahit di kawasan puncak Gunung Semeru (Telaga Ranu Gumbolo) dan juga di Gunung Arjuna menunjukkan bahwa kawasan Gunung Bromo – Tengger – Semeru serta Gunung Arjuna adalah tempat bersemayam para Dewa dan hanya keturunan Raja yang boleh menginjakkan kaki di wilayah tersebut.

    Bisa disimpulkan bahwa berbagai peninggalan tersebut merupakan rangkaian yang saling berhubungan walaupun terpisah oleh masa yang berbeda sepanjang 7 abad.

    ånå toêtoêgé

    Nuwun

    cantrik bayuaji.

    • Terimakasih Ki Bayu
      nanti malam dimasukkan di gandoknya
      sekarang masih di kebun

      • Digantung di memean .. disit ben garing …

    • Aku nek ora djvu emoh maca Pak Lek! Bhe he he, ….

      • Injih Ki
        Ki Arema mencari yang edisi pertama, sudah didapat, tetapi saat ini amsih di kediamnnya.
        rencananya, rontal baru berangkat ke Malang akhir minggu ini
        mudah-mudahan lancar di perjalanannya
        sehingga masih harus menunggu beberapa waktu lagi.
        mohon bersabar nggih.

        • matur nuwun sak derengipun
          Ki Ajar pak Satpam.

    • Matur nuwun Ki Bayu,

      kok dereng dumugi dongeng ingkang wonten
      tokohipun :
      Ratu Ayu Kencono Wungu,
      Damarwulan
      Menakjingga
      Patih Logender
      Layang Seta lan Kumitir
      Ugi ingkang kula tengga2,
      Sabda Palon saha Nayo Genggong.

      he….he….he…..Nagih Janji.
      Sugeng dalu Ki Bayu.

      • ki gm nagihke sapa hayooooo ? 🙂

        • lha mbak Mita merasa punya utang gak?

          • yeeee bukan mita, tp mba padmi 🙂

        • Lho, kamangka nalika jaman
          ana sing (melu-2) ngarep-arep SPNG
          cucunda Mita durung lahir je…!!!

          wah jan jeng Mita iki
          ndrawasi tenan lho…!!!!!!!!!!!

          • udah dunk 😦 … itu lom gitu lama kok, menjelang angslupnya mba padmi 🙂 … coba dicek lagi 🙂

          • ga tau klo jaman dulu mba padmi dah minta trus menjelang keangslupannya minta lagi 🙂

          • He..he..mita minta terus ya…

          • udah tak priksa ki gm, ada di hlhlp 114, awal maret kmrn, … so lom lama kan? 🙂 🙂

  20. sabar…nunggu wedaran…pengen baca versi lama NSSI…

  21. Wah jan huebat tenan dongenge Ki Bayu Aji aku nganti mrinding tenan , nganti semono apike tata prajane ing jaman Mojopahit ,Matur nuwun Ki dongengane keno nggo nngenteni NSSI wedhar .

    • Nuwun
      Sugeng pinanggih ing madya ratri

      Ngaturakên kasugêngan lan patêpangan Ki Haryo Mangkubumi, Matur nuwun kawigatosaipun.

      Dongeng Arkeologi & Antropologi ditulis berdasarkan data fakta sejarah (tamla prasasti, kidung, kakawin, rontal, epik, dan sejenisnya), ditulis dengan gaya “mendongeng” dengan maksud tidak untuk menggurui, semata-mata hanya bertujuan bertukar kawruh menambah wawasan sanak kadang padepokan pelangisingosari tercinta.

      Berkat ketekunan berupaya, jasa baik dan perkenan Rakryan Ki Mahesa Arema dan Arya Ki Panji Satriå Pamêdar, juga tidak lupa dukungan sanak kadang semua, Dongeng Arkeologi & Antropologi sudah dibuatkan gandhok khusus:

      DONGENG ARKEOLOGI & ANTROPOLOGI

      Adapun Dongeng Arkeologi & Antropologi Surya Majapahit sd hari ini Rabu, 13 April 2011 dari:
      Waosan pertama: Gampingrowo Alas Trik. Buah Maja Yang Pahit (Parwa-1)
      sampai dengan:
      Waosan kesembilan belas: GAJAH MADA [Parwa Ka-4], Pengabdian Dan Kehidupan Gajah Mada: Kaidah-Kaidah Utama Pengabdian Gajah Mada.
      juga sudah tersedia di gandhok:
      https://pelangisingosari.wordpress.com/seri-surya-majapahit/

      Sumånggå Ki Haryo kaaturan pinarak.

      Nuwun

      Dhuh Pangéran! Padukå mugi nyampurnakakên cahyå kawulå, såhå mugi kêrså paring pangapurå dhumatêng kawulå, Padukå punikå Panguwaos samukawis.

      “[Ya Tuhan kami, sempurnakanlah bagi kami cahaya kami dan ampunilah kami; Sesungguhnya Engkau Maha Kuasa atas segala sesuatu].”

      Kêparêng

      cantrik bayuaji

      Ngapunten Ki Bayu
      kena moderasi karena ada dua tautan.
      waosan ka-20 nggih sampun wonten gandok ki
      nuwun
      p.satpam

    • lho….!?

      • lho…!?, salah tempat.
        mau reply komen Ki Punakawan kok masuk sini, ngapunten.

        • iiiih masih kecil kok dah pelupa ? 😦

  22. Wé jêbulé Ki Bayu kênå moderasi. Hiks

    Sugêng énjang sanak kadang

  23. 31

  24. Nuwun,
    Sugêng siyang.
    Dongeng menjelang istirahat dan makan siang:

    On 13 April 2011 at 20:14 gembleh said: …..Ratu Ayu Kêncånå Wungu, Damarwulan, Ménak Jinggå, Patih Logêndèr, Layang Sétå dan Layang Kumitir……

    Katur kadang kulå Ki Ki Gembleh ingkang dahat kinurmatan,

    Sisipan DONGENG ARKEOLOGI & ANTROPOLOGI

    DAMARWULAN

    Berawal dari fakta sejarah perang saudara yakni Perang Parêgrêg pada 1404. Parêgrêg artinya “perang setahap demi setahap dalam tempo lambat” [perang alon-alon(?)]. Pihak yang menang pun silih berganti. Kadang pertempuran dimenangkan pihak timur, kadang dimenangkan oleh pihak barat.

    Perang Parêgrêg diawali dengan pemberontakan Bhre Wirabumi atau Urubisma, Adipati Blambangan, yang masih putra Prabu Hayam Wuruk dari selir.

    Pemberontakan Urubisma ini melahirkan legenda Damarwulan yang sangat terkenal sebagai salah satu lakon ketoprak.

    Damarwulan ternyata tokoh fiksi, karena kisahnya tidak sesuai dengan bukti-bukti sejarah, serta tidak memiliki prasasti pendukung. Demikian halnya Patih Logêndèr, Layang Sétå dan Layang Kumitir.

    Insya Allah, Dongeng Arkeologi & Antropologi Perang Parêgrêg (berdasarkan fakta sejarah) akan diwedar di gandhok ini, pada episode menjelang keruntuhan kerajaan besar Majapahit.

    Peristiwa Parêgrêg inilah yang tercatat dalam ingatan masyarakat Jawa yang dikisahkan secara turun temurun, dan pada zaman berkembangnya kerajaan-kerajaan Islam di Jawa, kisah Perang Parêgrêg dimunculkan kembali dalam Sêrat Kåndå, Sêrat Damarwulan, dan Sêrat Blambangan.

    Dalam Sêrat Kåndå, dikisahkan terjadi perang antara Ratu Kêncånåwungu (Kêncånå Wungu) penguasa Majapahit di barat (Kêdhaton Kilèn) melawan Ménak Jinggå penguasa Blambangan di timur (Kêdhaton Wétan).

    Ménak Jinggå akhirnya mati di tangan Damarwulan (Damar Wulan) utusan yang dikirim Ratu Kêncånåwungu.

    Berikut dua bait tembang Jawa Asmåråndånå dan Sinom:
    Asmåråndånå.

    Bait tembang Asmåråndånå ini mengisahkan pamitnya sang pahlawan Damarwulan kepada istrinya Anjasmårå putri Patih Logêndèr, yang sedang melaksanakan titah Sang Maharani Ratu Kêncånåwungu untuk melenyapkan Ménak Jinggå.

    Anjasmårå ari mami
    masmirah kulakå wartå
    dasihmu tan wurung layon
    anèng kuthå Probolinggo
    prang tandhing lan Urubismå
    kariyå mukti wong ayu
    pun kakang pamit palastrå

    Selajutnya adalah tembang Sinom. Bait tembang Sinom ini menceritakan ketika Damarwulan sedang menantang Ménak Jinggå, mereka berdua saling berbantahan, akhirnya terjadilah perselisihan berlajut dengan perkelahian, yang pada akhirnya Ménak Jinggå tewas dibunuh Damarwulan.

    Sun iki dutaning nåtå
    Prabu Kênyå Måjåpahit
    kêkasih Damarsasångkå
    atmå mantuné ki patih
    magang anyar wak mami
    lahtå Bismå praptaningsun
    ingutus sang Narpéndyah
    kinèn mocok murdantaji
    marmå Ménakjinggå haywå mindho karyå

    Kisah pendek Damarwulan Ngarit dalam bahasa Jawa, pada Langêndriyan (cerita kethopak atau drama tradisional), yang menceritakan peperangan Damarwulan melawan Minakjingga, akan diwedar kemudian.

    Diceritakan awalnya Damar Wulan mengabdi sebagai tukang rumput, tukang memelihara kuda, angon jaran (pêkathik) pada Patih Majapahit Loh Gêndèr (Logêndèr) ayah tiga kakak beradik Layang Sétå, Layang Kumitir dan Anjasmårå.

    Karena tutur kata dan sikapnya yang sopan dan santum serta pandai, Damar Wulan dapat menjadi abdi andalan Patih Loh Gender, dan Anjasmårå putri sang patih terpikat dan jatuh cinta kepadanya.

    Damar Wulan kemudian mendapat tugas dari raja putri Majapahit, yaitu Ratu Kêncånå Wungu, untuk menyamar dengan tujuan membantu mengalahkan Ménak Jinggå Adipati Blambangan yang bermaksud memberontak kepada Majapahit.

    Damar Wulan yang tampan dapat menarik perhatian selir-selir Ménak Jinggå, yaitu Waétå dan Puyêngan. Dengan bantuan mereka, Damar Wulan berhasil memperoleh senjata sakti gada Wêsi Kuning milik Ménak Jinggå.

    Ménak Jinggå kemudian berhasil dikalahkan dan Damar Wulan menjadi pahlawan. Ia memboyong kedua selir tersebut, serta pada akhirnya juga mempersunting sang raja putri Majapahit.

    Setelah itu, Damarwulan menjadi raja Majapahit bergelar Prabu Mêrtåwijåyå. Dari perkawinan tersebut kemudian lahir Bråwijåyå yang menjadi raja terakhir Majapahit.

    Sêrat Kåndå menyebut nama asli Bråwijåyå adalah Ångkåwijåyå, putra Prabu Mêrtåwijåyå dan Ratu Kêncånå Wungu.

    Tokoh paling mengemuka dalam cerita Damar Wulan, adalah sang antagonis Ménak Jinggå. Dia hadir sebagai tokoh mahaperkasa, raksasa, dan dikontraskan dengan dua istri yang subordinan dan punakawan klêmar-klêmêr kewanita-wanitaan, Dayun.

    Keperkasaannya dimanifestasikan dengan pusaka gada Wêsi Kuning –representasi lingga (kemaluan lelaki)– senjata mematikan, sekaligus bagi pemilik bila senjata itu berpindah majikan.

    Menarik sekali prosesi berpindahnya kepemilikan Wêsi Kuning dari Ménak Jinggå ke Damar Wulan. Simbol kelelakian itu dicuri dan dialihkan kedua istri Ménak Jinggå yang terpikat kehalusan budi Damar Wulan –semacam pemberontakan pada dominasi lelaki kasar dan urakan, semacam penolakan Sintå terhadap Rahwånå, dan penentangan Dèwi Supråbå pada Niwåtåkawåcå.

    Tampaknya di balik cerita Damar Wulan ini ada pendidikan perilaku halus, trapsilå, mriyayèni khas Jawa.

    Dengan kata lain, apa tidak mustahil tema sampingan –bila tidak cukup pantas diakui sebagai tema utama– Damar Wulan adalah upaya komparasi terhadap eksistensi lelaki ideal yang pantas dipertuan di Majapahit?

    Setidaknya lelaki tipe Arjuna, yang memuaskan di pembaringan dan dalam pergaulan sosial, karena secara trah penguasa Majapahit pada masa itu harus wanita bila mengikuti fakta Ratu Majapahit dalam cerita Damar Wulan, Prabu Kenyå Måjåpahit — dalam cerita biasanya disebut Ratu Kêncånå Wungu– dikaitkan dengan Suhita.

    Karena itu, Brandes (seorang sejarahwan Belanda) mengaitkan peperangan antara Majapahit dan Ménak Jinggå ini dengan Perang Parêgrêg. Sedangkan ilmuwan lain mengaitkan sosok Ratu Majapahit itu dengan Tribhuwana Tunggawijaya Wisynuwardhani, dan cerita tentang Perang Blambangan dikaitkan dengan peristiwa Perang Sadèng.

    Oleh karena itu, tidak terhindarkan kesan komparasi dan penonjolan keutamaan Damar Wulan yang asal-usulnya disembunyikan dan tetap tersembunyi sebelum akhirnya terbuka di puncak kemenangan.

    Bahwa Damar Wulan itu anak dari Patih Udårå, pemimpin Majapahit yang pergi bertapa sehingga kedudukannya diganti Patih Logêndèr. Sejak kecil Damar Wulan dididik hidup prihatin dan santun oleh kakeknya sehingga ketika nyantrik dan ngèngèr di rumah Patih Logêndèr, dia tidak kaget ketika diterima sebagai tukang kuda.

    Kontras dengan Layang Sétå dan Layang Kumitir yang cuma bisa hura-hura memanfaatkan fasilitas jabatan sang ayah. Di titik ini, sekaligus mereka berbeda dari Ménak Jinggå yang sewenang-wenang berdasarkan kekuatan sendiri.

    Komparasi dan kontras itu dimulai dari fakta Patih Udårå mundur, melepaskan diri dari kekuasaan maya dan masih tetap memegang wibawa pemimpin dan pamor kekuasaan. Setidaknya, kalau dibandingkan dengan Patih Logêndèr, tokoh yang ketiban pulung memegang kekuasaan, tetapi tidak memiliki wibawa pemimpin dan pamor kekuasaan, sehingga kraton dipenuhi pamong yang pandai menjilat dan cuma memperjuangkan kepentingan golongan dan pribadi.

    Puncaknya, terutama ketika ada ancaman aneksasi oleh Blambangan dengan kedok lamaran Ménak Jinggå. Jalan keluar dari krisis itu menggelikan, yaitu menyelenggarakan sayembara.

    Dengan kata lain, memberikan kerajaan dan dirinya kepada sembarang lelaki yang mampu mengalahkan Ménak Jinggå. Jalan keluar yang sangat merendahkan harga diri, apalagi bagi seorang wanita, sebagai Ratu dari suatu negara besar.

    Oleh karena itu, fakta sayembara berhadiah “takhta dan wanita” ini menunjukkan adanya sebuah fenomena besar di belakang layar. Bahwa Kêncånå Wungu tak bisa lagi mempercayai pamong dan prajuritnya, sekaligus menggarisbawahi sosok Kêncånå Wungu yang subordinan meski secara politik dia pemegang kekuasaan tertinggi.

    Karena itu dia membutuhkan jago lêlalaning jagad, sang Arjuna yang trapsilå mriyayèni, yang bisa mengayomi dirinya dan banyak wanita lainnya, bukan lelaki perkasa urakan semacam raksasa dalam diri Ménak Jinggå.

    Karena itu, seluruh keperkasaan kasar Ménak Jinggå –episode Ménak Jinggå gandrung yang interaktif komik dengan Dayun yang lanang dudu wadon ora selalu jadi adegan fragmen favorit lakon Damar Wulan– kontras dengan ketakberdayaan Kêncånå Wungu.

    Manifestasi dari pukau kelelakian Damar Wulan terbukti dengan terpukaunya Anjasmårå, putri Patih Logêndèr dan adik dari Layang Sétå dan Layang Kumitir, sehingga mereka terpaksa harus mengangkat derajat Damar Wulan agar adik mereka dan diri mereka tak terbenam ke dalam fakta bermenantukan dan beradik ipar pêkathik; luluh dan terpukaunya kedua istri Ménak Jinggå sehingga selain menghidupkan kembali Damar Wulan, mereka juga mencuri gada Wêsi Kuning Ménak Jinggå sehingga Ménak Jinggå bisa dikalahkan Damar Wulan dan Blambangan tetap di bawah kekuasaan Majapahit.

    Pengkhianatan kepada suami dengan jaminan mereka akan diperistri lelaki sejati yang tidak akan menyia-nyiakan mereka sebagai istri kedua dan ketiga, dengan Anjasmårå sebagai istri pertama.

    Bahkan, akhirnya, ketiga wanita itu cuma berstatus selir karena istri utama Damar Wulan adalah Kêncånå Wungu, si Ratu Majapahit.

    Dengan kata lain, puncak manifestasi pukau kelelakian Damar Wulan itu ada pada fakta dan fenomena terpanggilnya ia oleh situasi negara yang lemah dengan menerima tantangan (sayembara) mengalahkan Ménak Jinggå.

    Peperangan ini seharusnya beraras antarnegara dengan peserta negara taklukan Majapahit dan/atau negara merdeka yang mau berperang melawan Blambangan, bukan peperangan personal antarindividu Damar Wulan melawan Ménak Jinggå sehingga momen perpisahan kasmaran antara Damar Wulan dan Anjasmårå jadi fragmen sentimentil favorit juga dari lakon Damar Wulan.

    Damar Wulan terpanggil menjadi lelaki sejati Majapahit dan berbeda dengan lelaki Majapahit lainnya. Keutamaan semacam ini yang menyebabkan Damar Wulan dianggap pantas bersanding dengan Ratu Kêncånå Wungu, bahkan diakui dan disadari para wanitanya sehingga mereka ikhlas menjadi wanita pendamping, wanita yang menjadi pengantar ke gerbang kemuliaan, kalau kita memakai terminologi Ibu Inggit pada sosok Soekarno.

    Kelengkapan itu –satu wanita utama dan tiga wanita terpilih– menjadikan Damar Wulan lelaki Jawa utama. Sekaligus komparasinya dengan empat lelaki terpuruk-derajatnya kasar-perkasa-berkuasa, halus-kosong-berkuasa (memanfaatkan fasilitas jabatan orangtua), dan lemah-subordinan-mbanci-membuat kita tiba pada hipotesis tentang motif di balik “penggambaran” cerita Damar Wulan.

    Yakni, situasi Majapahit yang kacau karena kelemahan kepemimpinan ratu wanita yang mendorong kerinduan masyarakat pada kehadiran lelaki utama.

    Masyarakat muak dan jenuh dengan pamong lelaki yang oportunistik mementingkan keuntungan golongan dan pribadi, sekaligus masyarakat lelah dengan kepemimpinan ratu wanita yang lemah, yang hanya bisa menangis dan tersenyum. Padahal senyum bisa dimanifestasikan sebagai kelembutan di balik ketegasan mengamalkan kekuasaan.

    Penulis Sêrat Damarwulan atau Sêrat Kåndå, nampaknya mengenal adanya nama Ranggalawe namun tidak mengetahui dengan pasti bagaimana kisah hidupnya.

    Maka, ia pun menempatkan tokoh Ranggalawe hidup sezaman dengan Damarwulan dan Ménak Jinggå. Padahal dalam Kidung Ranggalawe kita tahu, Ranggalawe hidup sezaman dengan Raden Wijaya, pendiri dan raja pertama Majapahit, jauh sebelum peristiwa Blambangan.

    Dalam versi dongeng ini, Ranggalawe dikisahkan sebagai adipati Tuban yang juga merangkap sebagai panglima angkatan perang Majapahit pada masa pemerintahan Ratu Kêncånåwungu.

    Ketika Majapahit diserang oleh Ménak Jinggå adipati Blambangan, Ranggalawe ditugasi untuk menghadangnya. Dalam perang tersebut, Ménak Jinggå tidak mampu membunuh Ranggalawe karena selalu terlindung oleh payung pusakanya.

    Maka, Ménak Jinggåpun terlebih dulu membunuh abdi pemegang payung Ranggalawe yang bernama Wongsopati. Baru kemudian, Ranggalawe dapat ditewaskan oleh Ménak Jinggå.

    Tokoh Ranggalawe dalam kisah ini memiliki dua orang putra, bernama Siralawe dan Buntarlawe, yang masing-masing kemudian menjadi bupati di Tuban dan Bojonegoro.

    Dalam kesenian wayang Banyuwangi dan Jangèr, penggambaran Ménak Jinggå berlawanan dengan penggambaran dalam Serat Damarwulan.

    Ménak Jinggå digambarkan berwajah rupawan, disukai banyak wanita, arif bijaksana, dan pengayom rakyatnya.

    Ménak Jinggå memberontak karena Kêncånå Wungu tidak memenuhi janji menjadikannya suami, setelah Ménak Jinggå mampu menaklukkan pengacau Kêbo Marcuèt yang mengamuk di Majapahit.
    Meskipun akhirnya ia dikalahkan Damar Wulan, Ménak Jinggå tetaplah dianggap terhormat.

    Sanusi Pane, salah seorang sastrawan Pujangga Baru pernah menulis naskah drama Damar Wulan, yang diberinya judul Sandyakala Ning Majapahit.

    Meskipun demikian, akhir ceritanya sama sekali berbeda dengan Sêrat Damarwulan yang dijadikan dasar pembuatannya. Dalam versi Sanusi Pane, nasib Damar Wulan berakhir menyedihkan.

    Damar Wulan dituduh berkhianat dan tidak dinikahkan dengan sang raja putri. Ia pun akhirnya dihukum mati, dan setelahnya Majapahit ditumbangkan oleh pasukan dari Kerajaan Dêmak Bintårå.

    Rujukan:

    1. Abdoel Moeis, Hikajat Damar Wulan. G. Kolff, Bandung, 1950.
    2. Berg, C.C., Penulisan Sejarah Jawa, (terjemahan), Bhratara. Jakarta 1985.
    3. Koesoemawardhani, Goesti Raden Adjeng Siti Noeroel Kamaril Ngasarati. Damar Woelan Ngarit. Toneelstuk van de Langendrija-Klitik (lakon wayang klitik). Soerakarta, 1930.
    4. Mas Sastradiredja, Wawatjan Damarwoelan. Balai Poestaka, Batavia, 1931.
    5. Ricklefs, Merle Calvin. Sejarah Indonesia Modern. Terjemahan Dharmono Hardjowidjono. Gadjah Mada University Press. Yogyakarta 1995.
    6. Sanoesi Pane, Sandyakala Ning Majapahit. Balai Poestaka, Batavia, 1933.
    7. Slamet Muljana, Prof. Dr, Nagara Kertagama, Tafsir Sejarahnya. LkiS Yogyakarta 2006.
    8. Slamet Muljana, Prof. Dr. Runtuhnya Kerajaan Hindu-Jawa dan Timbulnya Negara-negara Islam di Nusantara. LkiS Yogyakarta 2008.
    9. Tjakraningrat, Kangdjeng Pangéran Harja. Serat Damarwulan. R. Soemodidjojo, Ngajogjakarta Hadiningrat, 1953.

    ånå candhaké

    Demikian Ki Gembleh, salah satu episode sejarah Majapahit yang “ruwét”. Pencampuradukan antara tokoh nyata (Suhita atau Tribhuwana Tunggawijaya, dan juga masih diperdebatkan, apakah pada Perang Sadèng atau Perang Paréêgrêg), dan tokoh fiktif (Damarwulan); kehadiran tokoh pada rentang waktu yang panjang dengan kisah yang berbeda (Ranggalawe di zaman Raden Wijaya atau Ranggalawe di zaman terjadinya Perang Parêgrêg).

    Sengaja saya “mendahulukan” dongeng Damarwulan, sebagai “pengobat rindu” Ki Gembleh terhadap dongeng
    Ki Gembleh Menagih Janji…… éh nyuwun pangapuntén
    Sabdo Palon Nåyå Géngggong Menagih Janji, yang masih harus menunggu. Mohon kesabarannya.

    Nuwun

    cantrik bayuaji

    • Ngaturaken agunging samudra nuwun Ki Bayu,

      Membaca untaian kalimat penjelasan Ki Bayu benar2 membuat angan melayang ke masa lalu, kala kesenian Kethoprak masih berjaya.

      Terngiang kembali kesyahduan tembang ” pun kakang pamit palastra ” dan rasa percaya diri seta keyakinan akan tugas yang diemban dalam tembang ” sun iki dutaning nata ”

      Kadang saya susah membedakan tingkat kenikmatan yang saya rasakan ketika membaca novel “The God Father” dibandingkan pada waktu menonton filmnya.
      Pun sewaktu melahap habis “The silent of the lamb”
      apakah lebih nikmat dibandingkan selagi menonton Clarice Starling dan Doctor Hannibal Lecter di layar lebar.
      Ternyata keduanya, novel dan film, saling melengkapi.
      Demikian pula yang saya rasakan saat ini, dejavu yang melambung tinggi, membaca penjelasan Ki Beghawan Bayuaji tentang dongeng (legenda ?) yang sudah saya kenal sejak masa kecil disertai dengan analisa situasi dan olah nalar yang mumpuni.

      Namun seperti Tumenggung Prabandaru dan Kakang Panji yang tidak pernah bisa menembus kabut tipis yang muncul kala Kiai Gringsing mengetrapkan ilmunya, sayapun tetap tidak bisa menguak misteri mengapa (sebagian) generasi sebelum saya (yang beretnis/berkebudayaan Djawa) mempunyai harapan dan penantian 500 tahun setelah kejadian (dongeng ?) ini terjadi.

      Jadi, bagaimanapun juga, tetap NAGIH JANJI.

      Sugeng dalu Ki Bayu.

      • menawi mboten klentu, nyerat ‘godfather’ menika dipun gandeng, mboten dipisah, .. trus ‘silence’ sanes silent … trus ‘lambs’ sanes lamb …. ( ajar dadi bu guru, ajar teliti 🙂 ) …. eh niku napa pelem2 ‘jamannya papa’ ingkang marahi mumet ingkang nonton njih ? 🙂

        • he…..he…..he……
          terpancing juga,
          tapi matur nuwun yang banyak,
          memang nulise kleru kok.

        • IDEM DITO, matur nuwun Ki Panembahan Bayuaji.

  25. membaca wedaran dari ki cantrik bayuaji.
    seakan belajar mata pelajaran sejarah semakin menyenangkan….!!!
    nantinya jadi belajar arkeologi….

    suwun ki..

  26. tengok kanan tengok kiri….
    wis soft opening, koq belum grand louncing….!!!!

    • launching ki 🙂

      • MANcing NI…. 🙂

        • klo mlencing apaan ? 🙂

          • kayaknya mo..kencing

          • iiih jor sek 😦

          • klo mlencing tu bhs indnya ‘jakun’ 🙂 🙂 🙂

          • Lho mangsud-e..mlencing2 kan seperti kebelet gitu…bis apa donk hayoooo…

          • He…yang “punya” jakun kan cuma lelaki…..hayooooo mita…..

          • klo mlencing …kolo menjing 🙂 🙂

          • ..O..iya lupa..Mita bener kalo kolo ngencing..itu jebul jakun….he..he

      • Kata Mita : “wish” dudu “wis”! 😛

  27. matur nuwun, monggo dipun lajengaken, ingkang sami silaturahim

  28. Mohon beri komentar bagi informasi yang ada di halaman 2.

  29. Seperti jargon di gandhok HLHLP,
    apapun yang terjadi, ku tetap suka yang ASLI.

    Vote for DJVU.
    (leres mBoten Ni KP, eh Mita…????)

    • seperti SLOGAN di gandhok HLHLP-45,
      apapun yang terjadi, ku TETEP antri
      diSINI….!!??

      kurang jelAS sitik, cantrik reKO-2
      diWI….

      • leres mBoten ki Gembleh….!!??

        • apa gak sebaik-nya diLEPAS dulu
          nanti selesai SCAN rontal dijilid
          kembali… 🙂

        • Ssst, jaman ki MAHESA JENAR belom
          ada emPU penJILIDan ki GUn…??

          yang ADA cuma EMPU perKERISan.. 🙂
          ngapunten cuma berGUYON ki SENO

  30. Setuju untuk dibuka jilidnya & discan. Tentunya seijin pemilik & dijilid ulang lagi (he.. he.. ). Hitung-hitung melestarikan naskah kuno.

    • he he …
      menunggu ijin bongkar dari yang empunya.

  31. Sugêng énjang sanak kadang

  32. Nuwun

    Komen untuk informasi hal 2 gandhok ini:
    Untuk mendapatkan hasil yang terbaik, enak dan nyaman untuk dibaca, memang sebaiknya “diprètèli” terlebih dahulu, kemudian discan, dan dijilid ulang, sebagaimana disarankan Ki Gundul, Ki Mahesa dan sanak kadang lainnya.

    Cuplikan pitutur éndah dari pårå pinisêpuh pagi hari ini:

    Sing såpå handarbèni watak lan tumindak kabêcikan nyênêngaké liyan, bakal antuk pangarêm-arêm lan kanugrahaning Gusti Ingkang Måhå Pamaring Rêjêki (Ar Razzaaq) ingkang kalangkung-langkung, tanpå wilangan.

    Nuwun

    punåkawan

    • Akan dicoba diprètèli, paling tidak satu bendel.
      Seberapa jauh kerusakannya.
      Masalahnya, dalam penjilidan terdahulu sudah dipotong ulang, sehingga beberapa buku halamannya sudah hampir mèpèt dengan tulisan, kalau dijilid ulang dan dirapikan lagi dengan dipotong tentu akan semakin habis.
      mudah-mudaha besok jilid pertama sudah bisa diwedar.

  33. hup, mo liat Mahesa Jenar, goantengnye kaya siapa ya ???

    • hiks, kayak AKoe….AKoe ki !!!

      LANANGe,

  34. gantengnya sama dengan cantrik yang hadir

  35. Perawatan naskah kuno

    Menyimak kegundahan Ki Arema & Ki Panji Satria Pamedar tentang naskah NSSI yang sudah dibundel, bila discan akan menghasilkan tampilan yang sebagian tulisan tidak/sulit terbaca.

    Bila dipreteli maka akan timbul masalah karena penjilidan terdahulu sudah dipotong ulang, sehingga beberapa buku halamannya sudah hampir mèpèt dengan tulisan, kalau dijilid ulang dan dirapikan lagi dengan dipotong tentu akan semakin habis. Demikian “keluhan” Ki Panji.

    Berikut ini mungkin dapat dijadikan referensi dalam penyelamatan suatu naskah. Namun tentunya sangat berbeda.

    Bila naskah yang dimasalahkan oleh Ki Panji adalah NSSI yang berbahan dasar kertas, dan masih tergolong naskah sangat baru, maka pengalaman cantrik bayuaji adalah berupa penyelamatan naskah kuno yang terbuat dari berbagai macam media penulisan antara lain kulit kayu (Naskah dari Tanah Batak banyak menggunakan media ini), yang kemudian diberi tali pengikat dan ditutup dengan kayu berukir, daluwang (sejenis kertas tapi bukan), bambu, tulang binatang, kulit binatang (antara lain Al Qur’an Kuno), labu hutan, rotan, dan daun nipah (rontal).

    Adalah merupakan “seni” tersendiri dan ada rasa bangga bila dapat ikut serta menyelamatkan suatu naskah kuno. Bukankah dari naskah-naskah tersebut kita dapat membaca sejarah masa lalu.

    Kegiatan untuk mengetahui kandungan dan seluk beluk tentang naskah disebut analisis kodikologi.

    Kodikologi adalah ilmu mengenai naskah-naskah dan bukan mempelajari apa yang tertulis di dalam naskah. Tugas dan “daerah” kodikologi antara lain ialah sejarah naskah, sejarah koleksi naskah, penelitian mengenai tempat naskah-naskah yang sebenarnya, masalah penyusunan katalog, penyusunan daftar katalog, dan penggunaan-penggunaan naskah itu.

    Kodikologi, atau biasa disebut ilmu pernaskahan bertujuan mengetahui segala aspek naskah yang diteliti. Aspek-aspek tersebut adalah aspek di luar isi kandungan naskah tentunya, selanjutnya juga memberi perhatian pada fisik naskah.

    Kenapa? Karena dalam katalog, biasanya terdapat juga deskripsi fisik naskah selain informasi di mana naskah itu berada. Pendeskripsian ini berguna untuk membantu para peneliti mengetahui ketersediaan naskah itu sehingga memudahkan penelitian.

    Maka selain mencari asal-usul dan kejelasan mengenai kapan, bagaimana, dan dari mana naskah tersebut dihasilkan, analisis kodikologi juga berkembang juga pada ada/tidaknya illuminasi dan ilustrasi, jumlah kuras naskah, bentuk jilidannya, sejauh mana kerusakan naskah (robek, terbakar, terpotong, rusak karena pernah terkena cairan, dimakan binatang, berjamur, hancur/patah, dll), pendeknya segala hal yang bisa diketahui mengenai naskah itu.

    Satu pengalaman cantrik bayuaji adalah pada waktu ditugaskan membongkar (mempreteli) naskah Al Qur’an Kuno (Penanggalan pada naskah menunjukkan ± tahun 596H, yang dikeonversi ketahun masehi adalah tahun 1196M (masa sebelum kerajaan Singosari).

    Pemilik naskah adalah seorang pedagang minyak wangi di satu masjid di daerah Gresik, yang diperoleh secara turun-temurun dari generasi sebelumnya, dan diberikan untuk koleksi museum, kepada saya pada tahun 1975).

    Media tulisan dari kulit kambing, tulisan masih dapat dibaca dengan jelas, sebagian besar keadaannya masih utuh, tetapi masih tersusun rapi seperti naskah Al Quran Mushab Usmani yang kita kenal selama ini, tepi kanan dilubangi kemudian diberi tali pengikat dari bahan yang sama dan ditutup dengan kayu berukir, bertuliskan angka tahun 596H dan kalimat sahadat.

    Pada tepi kanan inilah sebagian besar sudah hancur, bila dipreteli dan setelah itu dilakukan diperbaiki kemudian disusun ulang akan mepet seperti yang dialami Ki Panji.

    Upaya yang kami lakukan kemudian adalah memotong tepi kanan yang rusak, kemudian menyambung tepi kanan naskah tersebut dengan bahan yang sama (kulit kambing) dengan lem perekat khusus.

    Terhadap keseluruhan naskah, dibersihkan secara perlahn-lahan, meskipun naskahnya sebagian masih utuh tapi beberapa bagian sudah rapuh, dengan tepian yang gripis dan dengan teknik tertentu dirawat dengan cairan khusus (lupa namanya), kemudian diangin-anginkan (tidak boleh terkena sinar matahari secara langsung), maka pada hasil akhirnya permukaan naskah nampak seperti dilaminating.

    Demikian, sekedar pengalaman saya. Mudah-mudahn bermanfaat.

    Nuwun

    cantrik bayuaji

    • he he he …
      entah bagaimana nanti cara renovasinya kembali, setelah mendapat restu dari yang punya, rontal sudah dipreteli.

      Nanti malam discan dan editing. Saya belum bisa buat hasil putih bersih seperti Ki Ismoyo, tetapi akan diupayakan agar tetap bisa dibaca.
      Paling lambat rontal pertama besok sudah bisa dinikmati.
      siang ini masih banyak tugas yang harus dikerjakan.

      hadu…., libur tapi PR nya kok ya sak ambreg…

    • Lha ternyata Pak Lek penugh perjuangan menyajikan nssi djvu-nya ya? Matur nuwun sepisan lagi Pak Lek!

  36. Semoga Ki Ajar pak Satpam TETAP SEMANGAT,

    seperti Hamilton, walaupun sudah dua kali dikalahkan oleh Vettel, juga tetap semangat membalap.
    Waduuh….duh….. neng Cino yo start no.3.

    • akhirnya, Lewis bisa mbalap Sebastian.

  37. tapi pak satpam belum terkalahkan

  38. Nuwun
    Sugeng pinanggih ing madya ratri

    Toêtoêgé tjêtjitran Damarwulan:
    LANGÊNDRIYAN DAMARWULAN NGARIT

    Langêndriyan critå kêtoprak (drama tradisional), sing nyritakaké paprangané Damarwulan lawan Ménak Jinggå.

    Adêgan I. Hing padhépokané Damarwulan.

    Nalikå samånå Damarwulan ngadhêp ingkang ibu Nyai Patih Udårå. Damarwulan pamit suwitå mênyang pråjå Måjåpait. Gêndhing: Puspanjånå.

    Pangandikané Nyai Patih Udårå marang Damarwulan: Dhuh kulup putraningsun, Sirèku wis wanci, Pisah lan jênêngingwang, Ywå kulinêng ardi, Bêcik sirå nèng pråjå, Suwitèng narpati, Nanging tå wêkasingwang, Ywå pêgat têtèki.

    Adêgan II. Hing pråjå Måjåpait.

    Ratu Ayu Kêncånåwungu diadhêp Patih Logêndèr, nyaritakaké kahanané nêgårå kang nandhang prihatin jalaran disêrang mungsuh såkå Blambangan yaiku Prabu Ménak Jinggå. Ratu Ayu nyupênå sing biså ngêntasi gawé yaiku Damarwulan, banjur dhawuh supåyå Patih Logêndèr ngupadi Damarwulan. Wawan sabdå antarané Ratu Ayu Kêncånåwungu karo Patih Logêndèr. Dhandhanggula.

    Siwå Patih marmå sun timbali, ingsun paring wêruh marang sirå, yèn ingsung antuk wangsité, såkå déwå kang linuhung, saranané paprangan iki, kang biså mbêngkas karyå, bocah såkå gunung, kêkasih Damarsasångkå, siwå patih upayanên nuli, ywå kångsi tan kapanggyå. Lamun sirå tan biså ngulari, paman patih åjå takon dosa, mêsthi gêdhé pidanané,

    Patih Logêndèr matur: “Dhuh gusti jwitå prabu, bathårå gung sak tanah Jawi, dhawuh padukå nåtå, sêndikå pukulun, karsêndrå kapasang yogyå, kaningånå ingkang kacêthèng wangsit, nåmå pun Damarwulan.
    Sutånipun sang Udårå patih, mångkå sampun wontên kêpatihan, kang minångkå saranané, kawulå pundhut mantu, kapan sampun sawatawis lami, dhaup lan Anjasmårå, kapanggih nak dulur,

    iyå patih sung tarimå, mårå gagé iritên ing ngarså mami,

    nuwun inggih sêndikå.

    Adêgan III. Jêjêr ing têngah alas.

    Damarwulan kèlingan Dèwi Anjasmårå, bangêt anggoné karåntå-råntå nandang kingkin. Ngayahi dhawuhé Ratu Ayu Kêncånåwungu diutus matèni Prabu Ménak Jinggå ing Blambangan. Ora wurung bakal nêmahi pati. Sambaté Damarwulan marang Anjasmårå mangkéné: Asmarådånå:

    Anjasmårå ari mami, masmirah kulakå wartå, dasihmu tan wurung layon, anèng kithå Pråbålinggå, prang tandhing lan Wurubismå, kariyå mukti wong ayu, pun kakang pamit palastrå.

    Adêgan IV. Jêjêr ing kêputrèn Blambangan.

    Garwané Prabu Ménak Jinggå loro kang aran Waitå lan Puyêngan. Sakaroné putri kang pinunjul ing warnå. Nanging ora rênå pênggalihé kalamun dadi garwané Prabu Ménak Jinggå. Waitå lan Puyêngan lagi wawan rêmbug. Ing nalika iku Damarwulan mlêbu ing kêputrèn. Dicritakaké: Asmarådånå:

    Panêngah dèwi Ulupi, atmajånirå pandhitå, bêgawan Kanwå asmané, dhêpok wukir Yåsåråtå, êndah rêspati warnå, liringé anunjung biru, sumorot kadi kartikå.
    Dêmês luwês mêrak ati, kadyå pratimå rinênggå, sarèntèng mbambang awaké, mawèh bråntå kang tumingal, liringé apindhå wulan, tan kêndhat maèsmu ngguyu, kèngis kang wåjå gumêbyar.

    Pangkur:

    Yayi paran karsanira, ingsun uwis datan bisa anglakoni, suwé ing diwêngku prabu, payo anis kéwålå, dhuh kakang mbok sampun anuruti ing tyas dur, Padukå dutaning nåtå, manirå pados utami,
    Pukulun ulun tatanyå, lah punåpå déwå punåpå rêsi, sang dyah yèn andikå ndangu, dhatêng jasad kawulå, kulå dutaning sri kênyå Måjålêngkå, nami Damarwulan, praptå kawulå ing ngriki,
    Kadênangan jêngandikå, mbotên langkung amung jiwanggå mami, pinêjahånå wus patut, marang sang rêtnaning dyah, anjêjuwing ngêjur marang raganingsun, paråntå amborong karså, yêkti lamun maling julig,
    Lah kowé paran ing karså, lah kok ribêt yèn kongsi konangan yêkti, kaladuk dukå sang Prabu, palastrå siyå-siyå, mêsakakén utusané ratu ayu, luwung kulå alingånå, mbok mênawi kulå manggih.

    Adêgan V. Ménak Jinggå lan abdiné Dayun.

    ing sajêroné kraton Blambangan. Nalikå samånå Prabu Ménak Jinggå krungu wong rêrasanan ing sajroning gêdhong kêputrèn. Banjur dhawuh marang Dayun supåyå nêlêngaké såpå satêmêné sing lagi sapajagongan ing kêputrèn. Sinom.

    Héh pindèn Dayun têlêngnå, swarané wong ndongèng iki, wijang wijiling ukårå, muncar carêming alungit, lamun ngucapkên èstri, yå kåyå èstri satuhu, lamun ngucapkên priyå, ya kåyå priyå sayêkti, wigih têmên agawé gawoking driyå.
    Suwé-suwé såyå cêthå, yèn dudu wong ndongèng iki, têtélå jalu wanitå, gunêm manuhårå manis, mårå Dayun dèn aglis, intipên gêdhong lor iku, unggyanên sawêtårå, tamatnå ingkang sayêkti,

    Nuwun inggih sêndikå rèh padukå ndrå.
    Dhuh gusti sampun kawulå, lampahing dutå narpati, ngintip gêdhong lèr punikå, sayêkti wus kapiyarsi, jalu kalawan èstri, wujudipun tan kadulu, saking adrênging driyå, lumancang karså narpati, kulå mènèk ing sokå, praptanèng kang lêluhuran,
    Kulå thèthèl sirapannyå, waspådå ingsun ningali, tuhu lamun duratmåkå, pangkoné dipun turoni, garwå padukå kalih, dhahat rum riningrum rum rum, priyå kang tanpå somå, garwantå cinidrèng rêsmi,

    mårå Dayun paranånå, obormu énggal sêblaknå.

    Adêgan VI. Damarwulan konangan Prabu Ménak Jinggå.

    Banjur takon-tankon, tantang tinantang. Wasånå dadi pancåkårå ramé. Sinom.

    Ménak Jinggå: “Lah sirå iku wong åpå, wani malbèng taman sari, rupamu bagus tarunå, pinangkanirå ing ngêndi, lan såpå kang wêwangi, angakuå mumpung durung, sirèku ndhêpani bumi, têkèng lénå palastrå tan siyå-siyå.

    Damarwulan: “Sun iki dutaning nåtå Prabu Kênyå Måjåpahit kêkasih Damarsasångkå
    atmå mantuné ki patih magang anyar wak mami lahtå Bismå praptaningsun ingutus sang Narpéndyah kinèn mocok murdantaji marmå Ménakjinggå haywå mindho karyå

    Wasånå Ménak Jinggå tumêkå ing pati, jalaran aji-ajiné gådå wêsi kuning oncat såkå awaké Ménak Jinggå dicolong Waitå lan Puyêngan banjur diwénéhaké Damarwulan.

    Nuwun

    cantrik bayuaji

    • Matur nuwun Ki Bayu,

      sore hari yang membahagiakan.

      1. Diparingi dongen Ki Bayu,
      2. Ngunduh rontal NSSI-01,
      3. Hamilton menang.

      he….he….he…..
      sugeng sonten.

  39. ngunduh RONTAL nssi-01…by SATPAMpelangi,

    matur nuwun, tapi KOK wektu cantrik buka
    hasil sCANe….!!?? hem-hem-heeeeemmmmmm

    BAik puuuuooolll,

    • ha-lah tiwas ndredek….tak pikir protes
      hasil sCAN pak SATPAMpelangi,

      tiba’e arep ngeLEM…heheheheee

      • matur suwun Ki Yudha “GundUL” Pramana.

        hadu….
        ternyata berat lho scanning itu, mulai siang baru selesai tengah malam.
        masih belajar, coba ini-itu, potong sini-situ, copy-paste sini-situ, mengatur kecerahan, dll sampai mau muntah rasanya.

        jan…, salut untuk Ki Ismoyo yang seminggu dapat tiga-empat rontal.
        Ini dapat satu rontal saja sudah mau muntah.

        dag-dig-dug, waktu sudah jadi djvu ternyata lumayan (dielem dewe), tetapi masih kalah dibanding hasil Ki Ismoyo.

        • ternyata…(gaya bang haji)

        • di-empet mawon Ki Ajar,
          itung2 latihan pendadaran.

          Matur nuwun sanget.

          • Mengetahui kesulitan yang
            sedang dihadapi oleh
            Ki Ajar pak Satpam,

            saya berjanji :
            tidak akan mengogrok..!!

            (kecuali kalau diminta’i
            tolong oleh Ki Menggung)

  40. Sugêng dalu

  41. senangnya udah wedar… nuwun…scan emang melelahkan kok… jadi ingat jaman kuliah…scan 200 halaman..mumet…

  42. Alhamdulillah, tambah lagi koleksinya.
    Dan saluut buat Ki Satpam atas keberhasilannya melakukan scan.
    Matur nuwun.

  43. Matur nuwun P. Satpam.
    Aku ambil DJVU nya (buat koleksi)
    tanks.

  44. Terima kasih Ki Satpam, ternyata Mahesa Jenar sudah mulai beraksi …

  45. Nuwun
    Sugêng énjang

    Mengiringi “perjalanan” Ki Rånggå Tohjåyå Mahésa Djênar, seorang perwira tinggi Panglima Tentara Pasukan Pengawal Sri Baginda Sultan Trenggånå di Kraton Dêmak Bintårå.

    Dia yang mêlèngsérkan dirinya sendiri dari jabatan tinggi itu karena keadaan yang sangat memaksa, Mahesa Jenar pergi meninggalkan kampung halaman, sawah, ladang, serta wajah-wajah yang dicintainya.

    Ia merantau, untuk menghindarkan diri dari hal-hal yang tak diinginkan. Tapi dipundak Sang Pecinta Melati Hutan ini terpikul tugas berat, mencari dan mengembalikan pusaka kraton yang jêngkar dari walangkan kraton Dêmak Bintårå. Kyai Någå Såsrå dan Kyai Sabuk Intên.

    Telah bertahun-tahun Mahesa Jenar mengabdikan dirinya kepada Negara sebagai seorang prajurit. Tetapi karena masalah perbedaan ajaran tentang kepercayaan, yang telah menimbulkan beberapa korban, ia terpaksa mengundurkan diri, meskipun kesetiannya kepada Demak tidak juga susut.

    Cantrik Bayuaji kembali merajut dan menyajikan Dongeng Arkeologi & Antropologi seri NSSI, khususnya situs-situs sejarah yang “dikunjungi” Sang Pahlawan Pemilik Aji-aji Såsrå Biråwå.

    Semoga berkenan. Sumånggå.

    DONGENG ARKEOLOGI & ANTROPOLOGI SERI NSSI

    Wêdaran kaping-1:
    SUMUNARING ABHAYAGIRI DI RATU BOKO

    Setelah beberapa hari berjalan, sampailah Mahesa Jenar di suatu perbukitan yang terkenal sebagai bekas kerajaan seorang raksasa bernama Prabu Boko, sehingga perbukitan itu kemudian dikenal dengan nama Pegunungan Boko. [NSSI 01 halaman 7].

    Syahdan Rara Jonggrang, seorang putri Raja Boko mengajukan syarat kepada Bandung Bondowoso yang hendak meminangnya.

    Berikan aku seribu candi dalam semalam, maka kuberikan cintaku padamu”.

    Tentu saja Rara Jonggrang tak akan menduga kalau dengan kesaktian dan dibantu préwangan para jin, Bandung Bondowoso dengan mudah menciptakan candi-candi itu.

    Cemas karena mendekati candi keseribu, Rara Jonggrang mengatur siasat dengan membuat kegaduhan dan membangunkan hewan-hewan piaraan.

    Kokok ayam membuat Bandung Bondowoso mengira hari telah pagi dan gagal memenuhi tugasnya.

    Kelak setelah mengetahui bahwa ia diperdaya oleh sang putri. Bandung Bondowoso melepaskan kemarahannya dengan mengutuk Rara Jonggrang menjadi patung yang keseribu.

    Rara Jonggrang menjadi patung batu. Patung Btari Durgå yang kini berdiri tegak di pintu masuk Candi Sewu.

    Cinta yang sepertinya indah sebenarnya berpotensi menjadi letusan magma, sekaligus dendam.

    Situs Ratu Baka (Bahasa Jawa: Ratu Båkå) adalah situs purbakala yang merupakan kompleks sejumlah sisa bangunan yang menurut anggapan para ahli sejarah memiliki multi fungsi yang terdiri dari beberapa komponen, yakni benteng kraton dan gua.

    Situs Ratu Boko berada kira-kira 3 km di sebelah selatan dari komplek Candi Prambanan, 18 km sebelah timur Yogyakarta pada pertigaan Prambanan berbelok ke kanan sejauh + 3 Km, atau 50 km barat daya Surakarta. Luas keseluruhan komplek adalah sekitar 25 ha.

    Bangunan utama Situs Ratu Boko adalah peninggalan purbakala yang ditemukan kali pertama oleh arkeolog Belanda, HJ De Graaf pada abad ke-17.

    Wujudnya berupa bangunan seperti gapura utama, candi, kolam seluas 20 meter x 50 meter dengan kedalaman dua meter, gua, pagar dan alun-alun, candi pembakaran, serta paseban.

    Petilasan bangunan pendopo, balai-balai, tiga candi kecil, kolam, dan keputren terdapat di sebelah tenggara. Sedangkan gua Wadon, gua Lanang, dan beberapa gua lainnya, serta kolam dan arca Budha berada di sebelah timur.

    HJ De Graaf mencatat berdasarkan berita dari para musafir Eropa yang sedang mengadakan perjalanan, di sebelah selatan Candi Prambanan terdapat situs kepurbakalaan.

    Sementara cerita yang berkembang di masyarakat setempat, Situs itu dihubungkan dengan Prabu Boko yang berasal dari Bali.

    Tahun 1790 Van Boeckholtz menemukan reruntuhan kepurbakalaan di atas bukit Situs Ratu Boko. Penemuan itu langsung dipublikasikan.
    Rupanya, itu menarik minat ilmuwan Makenzic, Junghun, dan Brumun. Tahun 1814 mereka mengadakan kunjungan dan pencatatan.

    Seabad setelah penemuan Van Boeckholtz, yaitu sekitar tahun 1890, FDK Bosch mengadakan riset arkeologis tentang peninggalan kepurbakalaan di selatan Candi Prambanan dalam laporan yang berjudul Kraton Van Ratoe Boko.

    Situs ini menampilkan atribut yang diduga sebagai tempat berkegiatan atau situs pemukiman, namun fungsi tepatnya belum diketahui dengan jelas.

    Ratu Boko diperkirakan sudah dipergunakan orang pada abad ke-8 pada masa Wangsa Syailendra atau Rakai Panangkaran dari Kerajaan Mataram Hindu atau Kerajaan Medang.

    Dilihat dari pola peletakan sisa-sisa bangunan, diduga kuat situs ini merupakan bekas kraton.
    Pendapat ini berdasarkan pada kenyataan bahwa kompleks ini bukan candi atau bangunan dengan sifat religius, melainkan sebuah istana berbenteng dengan bukti adanya sisa dinding benteng dan parit kering sebagai struktur pertahanan.
    Sisa-sisa permukiman penduduk juga ditemukan di sekitar lokasi situs ini.

    Nama “Ratu Boko” berasal dari legenda masyarakat setempat. Kata kraton berasal dari kata Ke-Ratu-an yang artinya istana atau tempat tinggal ratu atau berarti juga raja, sedangkan Boko berarti burung bangau.

    Hal ini masih menjadi pertanyaan siapa sebenarnya Raja Bangau tersebut, apakah penguasa pada zaman itu atau nama burung dalam arti sebenarnya yang dahulu sering hinggap di kawasan perbukitan Ratu Boko?

    Diduga Ratu Boko “si Raja Bangau” adalah ayah dari Rara Jonggrang, yang juga menjadi menjadi nama candi utama pada komplek Candi Prambanan.

    Berbeda dengan kraton lain di Jawa yang umumnya didirikan di daerah yang relatif landai, situs Ratu Boko terletak di atas bukit yang lumayan tinggi. Ini membuat kompleks bangunan ini relatif lebih sulit dibangun dari sudut pengadaan tenaga kerja dan bahan bangunan.

    Terkecuali tentu apabila bahan bangunan utamanya, yaitu batu, diambil dari wilayah bukit ini sendiri. Ini tentunya mensyaratkan terlatihnya para pekerja di dalam mengolah bukit batu menjadi bongkahan yang bisa digunakan sebagai bahan bangunan.

    Kedudukan di atas bukit ini juga mensyaratkan adanya mata air dan adanya sistem pengaturan air yang bisa memenuhi kebutuhan sehari-hari. Kolam pemandian merupakan peninggalan dari sistem pengaturan ini; sisanya merupakan tantangan bagi para arkeolog untuk merekonstruksinya.

    Posisi di atas bukit juga memberikan udara sejuk dan pemandangan alam yang indah bagi para penghuninya, selain tentu saja membuat kompleks ini lebih sulit untuk diserang lawan.

    Keistimewaan lain dari situs ini adalah adanya tempat di sebelah kiri gapura yang sekarang biasa disebut “tempat kremasi”. Mengingat ukuran dan posisinya, tidak pelak lagi ini merupakan tempat untuk memperlihatkan sesuatu atau suatu kegiatan.
    Pemberian nama “tempat kremasi” menyiratkan harus adanya kegiatan kremasi rutin di tempat ini yang perlu diteliti lebih lanjut.

    Sangat boleh jadi perlu dipertimbangkan untuk menyelidiki tempat ini sebagai semacam altar pemujaan atau tempat sêsajèn.

    Sumber prasasti yang dikeluarkan oleh Rakai Panangkaran tahun 746-784 M, menyebutkan bahwa Kraton Ratu Buko merupakan Abhayagiri Vihara.

    Abhaya berarti tidak ada bahaya, Giri berarti bukit atau gunung, vihara berarti asrama atau tempat.

    Dengan demikian Abhayagiri Vihara berarti asrama tempat para Bihksu Agama Budha yang terletak di atas bukit yang penuh kedamaian atau vihara tempat para bihksu mencari kedamaian, tempat menyepi dan memfokuskan diri pada kehidupan spiritual.

    Pada periode berikutnya sekitar tahun 856M, kompleks Abhayagiri Vihara tersebut difungsikan sebagai Kraton Walaing oleh Rakai Walaing Pu Khumbayoni yang beragama Hindu.

    Oleh karena itu tidak mengherankan bila unsur Agama Hindu dan Budha tampak bercampur di bangunan ini.
    Dari situs itu sendiri ditemukan bukti tertua yang berangka tahun 792 M berupa Prasasti Abhayagirivihara.

    Prasasti itu menyebutkan seorang tokoh bernama Tejahpurnpane Panamkorono. Diperkirakan, dia adalah Rakai Panangkaran yang disebut-sebut dalam Prasasti Kalasan tahun 779 M, Prasati Mantyasih 907 M, dan Prasasti Wanua Tengah III tahun 908 M.

    Rakai Panangkaran lah yang membangun candi Borobudur, Candi Sewu, dan Candi Kalasan. Meski demikian Situs Ratu Boko masih diselimuti misteri. Belum diketahui kapan dibangun, oleh siapa, untuk apa, dan sebagainya. Orang hanya memperkirakan itu sebuah bangunan kraton.

    Menurut Prof. Buchari, seorang ahli sejarah, bangunan Kraton Boko merupakan benteng pertahanan Balaputradewa atau Rakai Kayuwangi, putera bungsu Rakai Pikatan.

    Konon Rakai Kayuwangi diserang oleh Rakai Walaing Puhuyaboni, cicit laki-laki Sanjaya yang merasa lebih berhak atas tahta daripada Rakai Pikatan, karena Rakai Pikatan hanyalah suami dari Pramodharwani, puteri mahkota Samarottungga yang beragama Budha.

    Dalam pertempuran tersbut Rakai Walaing berhasil dipukul mundur dan terpaksa mengungsi di atas perbukitan Ratu Boko dan membuat benteng pertahanan di sana.

    Namun pada akhirnya Kraton Boko dapat digempur dan diduduki Rakai Kayuwangi yang secara sengaja merusak prasasti yang memuat silsilah Rakai Walaing, dengan menghilangkan bagian yang memuat nama-nama ayah, kakek dan buyut Rakai Walaing.

    Berbeda pula dengan bangunan lain dari masa klasik Jawa Tengah, Situs Ratu Boko mempunyai karakter dan keistimewaan tersendiri.

    Tinggalan bangunan masa klasik Jawa Tengah pada umumnya berupa candi (bangunan suci/kuil), sedang peninggalan di Situs Ratu Boko menunjukkan tidak saja bangunan suci (candi), tetapi juga bangunan-bangunan lain yang bersifat profan, lengkap dengan gerbang masuk, pendopo, tempat tinggal, kolam pemandian, hingga pagar pelindung.

    Sifat keprofanan tersebut ditunjukkan oleh adanya tinggalan yang dahulunya merupakan bangunan hunian dengan tiang dan atap yang dibuat dari bahan kayu, tetapi sekarang hanya tinggal bagian batur-baturnya saja yang terbuat dari bahan batu.

    Di samping bangunan-bangunan yang menunjukkan sifat sakral dan profan, di dalam Situs Ratu Boko ini juga ditemukan jenis-jenis bangunan lain, yaitu berupa kolam dan gua.

    Ditinjau dari tata letaknya, bangunan-bangunan di Situs Ratu Boko dapat dikelompokkan menjadi 5 (lima) kelompok, yaitu: kelompok Gapura Utama, kelompok Paseban, kelompok Pendapa, kelompok Keputren, dan kelompok Gua.

    Kelompok Gapura Utama terletak di sebelah barat yang terdiri dari Gapura Utama I dan II, talud, pagar, candi Pembakaran dan sisa-sisa reruntuhan.

    Kelompok Paseban terdiri dari batur Paseban dua buah, talud dan pagar Paseban. Kelompok Pendapa terdiri dari batur Pendapa dan Pringgitan yang dikelilingi pagar batu dengan tiga gapura sebagai pintu masuk, candi miniatur, serta beberapa kolam penampung air berbentuk bulat yang dikelilingi pagar lengkap dengan gapuranya.

    Kelompok Keputren berada di sebelah tenggara, terletak pada halaman yang lebih rendah dan terdiri dari dua batur, kolam segi empat, pagar dan gapura. Adapun kelompok Gua terdiri dari Gua Lanang dan Gua Wadon.

    Månggå pårå kadang, silakan berwisata ke situs Ratu Boko, kasihan Dewi Roro Jonggrang berdiri sendirian di sana

    Catatan:

    1. Dongeng Arkeologi & Antropologi Surya Majapahit masih setia mengunjungi sanak kadang di gandhok NSSI ini hingga paripurna.

    2. Dongeng Arkeologi & Antropologi lainnya juga masih berkunjung di gandhok Gagak Seta.
    Insya Allah, mohon doa restu sanak kadang.

    Nuwun

    cantrik bayuaji

  46. hadir…

    napak tilas kebon jagung di kaki bukit telomoyo…

  47. Matur nuwun sanget dumateng ingkang sampun sami ngayahi wajib saenggo rontal NSSI saged kababar .

    Nuwun ………

  48. Matur nuwun Pak Lek, ….. jadi semangat mbaca neh!

  49. Sugeng enjang,
    Absen ngisi daftar hadir.

  50. oalah gendhuk…lha aku ketinggalan sepur ta ya…?
    ora apa-apa sing penting ngundhuh….


Tinggalkan Balasan ke gembleh Batalkan balasan