NSSI-02

kembali | lanjut >>

Laman: 1 2 3

Telah Terbit on 18 April 2011 at 00:01  Comments (84)  

The URI to TrackBack this entry is: https://pelangisingosari.wordpress.com/nssi-02/trackback/

RSS feed for comments on this post.

84 KomentarTinggalkan komentar

  1. Wah nomor siji ………….

    • Wah nomor loro ………….

      • Wah nomor telu ………….

        • Wah nomor papat ………….

          • Wah nomor limo ………….

  2. Nuwun
    Sugêng siyang

    DONGENG ARKEOLOGI & ANTROPOLOGI
    SURYA MAJAPAHIT

    Dongeng sebelumnya: Lihat Seri-Surya-Majapahit atau Surya Majapahit [On 8 April 2011 at 13:31 cantrik bayuaji said:]
    Waosan kaping-21: Bhre Jiwana Hayam Wuruk Sri Rajasanegara (1350-1389) [Parwa ka-2]
    Masa Kejayaan Majapahit.
    [1]. Perekonomian Kerajaan Majapahit [Bagian Pertama]

    Waosan kaping-22
    BHRE JIWANA HAYAM WURUK MAHARAJA SRI RAJASANEGARA (1350-1389) [Parwa ka-3]

    MASA KEJAYAAN MAJAPAHIT

    [1]. PEREKONOMIAN KERAJAAN MAJAPAHIT [Bagian kedua]

    Perdagangan

    Sumber Cina banyak menyebutkan mengenai hubungan perdagangan dengan mjapahit. Sumber Cuna menyebutkan adanya dua jalur perjalanan yang ditempuh, yaitu jalur barat dan jalur timur.

    Jalur sebelah barat menghubungkan Negara Majapahit dengan Negara-negara tetangga yang lain seperti Vietnam, Muangtai, Malaya, dan seterusnya menyusuri Sumatra dan pantai Utara Jawa.

    Dari Jawa perdagangan dilanjutkan ke timur yakni Bali, dan Timor, sementara jaringan yang lain menuju ke daerah Indonesia Timur, Kalimantan, Filipina dan terus ke Cina.

    Inti kerajaan Majapahit terletak di daerah Trik (Tarik). Kota tesebut menurut pengamatan beberapa ahli purbakala berada di lembah sungai Brantas yang subur, kira-kira di sebelah timur kota Mojokerto sekarang.

    Di dekatnya terdapat pelabuhan Canggu, sedangkan di muara terdapat pelabuhan lain yakni Ujung Galuh. Kedua pelabuhan itu memegang peranan penting dalam pelayaran perdagangan waktu itu.

    Melihat posisi geografisnya letak Majapahit cukup strategi. Adanya lembah yang luas, bertanah vulkanis muda yang subur, ditambah aliran sungai berantas dan bengawan solo dengan anak-anak sungainya yang dapat dilayari hingga ke hulu, merupakan kondisi ideal yan memungkinkan kerajaan itu mengembangkan diri.

    Pada masa itu Kali Brantas dan Bengawan Solo memiliki fungsi ganda. Sebagai sarana irigasi pertanian dan di lain pihak sebagai sarana transportasi yang menunjang ekonomi perdagangan yang menunjang kemajuan ekonomi kerajaan Majapahit.

    Mengenai sektor perdagangan perluasannya sejalan dengan bertambah luasnya jaringan jalan waktu itu. Yang jelas dari ibukota kerajaan Majapahit telah terdapat jaringan jalan kedaeah Blitar, Silaharut, Polaman, Daha, Jenggala, Pajang, Lasem, Lodaya, Teto, Sideman, Lumajang, Gresik, Tuban dll.

    Masyarakat pedagang dari desa-desa mengangkut dagangan dan bekal perjalanan dengan pkulan, seperti digambarkan pada relief candi Tigawangi, dan Penataran. Mereka membawa hasil bumi seperti beras, lada, kesumba, kapas, kelapa, buah pinang, asam, wijen, dan buah-buahan, juga barang dagangan laian seperti ternak, unggas, unggas, dan alat-alat dapur seperti nyiru, kerucut, tempayang, dulang, periuk, dan sebagainya.

    Alat angkutan barang dagangan yang lebih besar adalah kuda. Malahan kelompok pedagang kelontong ada yang menjelajah hingga ke pedalaman dengan menempuh jarak yang cukup jauh. Dengan demikian terbentuklah pasar-pasar di daerah pedalaman meski dalam skala terbatas.

    Selain itu para pedagang juga memanfaatkan air sebagai sarana penghubungnya, alat angkut air pun beragam jenisnya. Untuk penyeberangan dari tepi yang satu ke tepi yang lain cukup dengan rakit atau sampan.

    Dalam prasasti Trowulan, disebutkan adanya 44 tempat penyeberangan di Bengawan Solo dan 34 tempat penyebaran di Sungai Brantas. Sedangkan perahu di pakai untuk hilir mudik mengangkut dari pedalaman ke tempat penimbunan barang (pemugahan).

    Dalam prasasti prasasti Trowulan I berangka tahun 1358M atau 1280Ç. tertulis Çhurabhaya (Surabaya) termasuk kelompok desa di tepian sungai Brantas sebagai tempat penambangan atau penyeberangan yang sudah ada sejak dahulu (nadira pradeca nguni kalanyang ajnahaji praçasti).

    Dari pemugahan dagangan dibawa ke pelabuhan di pantai dengan perahu yang lebih besar. Sedangkan di pelabuhan terdapat kapal-kapal besar yang sanggup mengarungi lautan.

    Dari sekian banyak tempat penyeberangan ada beberapa tempat yang berfungsi sebagai tempat pamugahan, misalnya Surabaya, Terung, Canggu, dan Bubat. Dalam berita Cina disebutkan bahwa di jawa waktu itu terdapat empat kota pelabuhan besar yakni Tuban, Gresik, Surabaya dan Majapahit.

    Agaknya hubungan dagang dengan Majapahit dan Cina terjalin rapat. Disamping itu terdapat juga jaringan perdagangan antarpulau, di Indonesia.

    Nāgarakṛtāgama pupuh LXXXIII (83) : 4 juga mencatat bahwa banyak pedagang dari Jambudwipa, Kamboja, Campa, Yawana, Cina, Siam, Goda, Karnatas (Mysore di India) datang ke Majapahit.
    Boleh dipastikan bahwa sebaliknya pedagang-pedagang Jawa ke tempat-tempat tersebut.

    hetunyanantara sarwwajana teka sakeng anyadesa prakirnna
    nang jambudwipa kamboja cina yawana len cempa karnnatakadi
    goda mwang syangka tang sangkan ika makahawan potra milw ing wanik sok
    bhiksu mwang wipra mukyan hana teka sinungan bhoga tusta npanganti.

    (Itulah sebabnya berduyun-duyun tamu asing datang berkunjung,
    Dari Jambudwipa, Kamboja, Cina, Yamana, Campa dan Karnataka,
    Goda serta Siam mengarungi lautan bersama para pedagang,
    Resi dan pendeta, semua merasa puas, menetap dengan senang)

    Ramainya perdagangan Majapahit terbukti dari banyaknya pedagang asing yang ada di sana. Menurut Ma Huan dalam bukunya Ying-yai Sheng-lan, atau The Overall Survey of the Ocean’s Shores (Laporan Umum Tentang Pantai-pantai Lautan), yang diterbitkan dalam tahun 1416, disebutkan bahwa di Majapahit banyak bermukim orang-orang Cina dari Canton, Chang Chou, Ch’uan dan Fukien.

    Bahkan di Tuban dan Gresik terdapat kurang lebih 1000 keluarga Cina Canton, dan mereka menjadi orang kaya di sana. Tetapi tidak sedikit pula penduduk pribumi yang menjadi orang kaya dan terpandang. Ada juga di antaranya termasuk bangsa asing dari Jambudwipa (India), Kamboja, Campa (Laos), Yawana, Goda, dan Kanataka.

    Dalam hal ini Tuban adalah pelabuhan ekspor hasil bumi yang berasal dari Jawa atau pupau lainnya. Barang dagangan yang diekspor meliputi lada, garam, rempah-rempah, mutiara, kulit penyu, gula, pisang, kayu cendana, kelapa kapas, sutera, belerang, perak, emas, dan budak belian. Beras juga di ekspor dari Tuban untuk Indonesia Timur.

    Disana beras ditukar dengan rempah-rempah yang selanjutnya dikirik ke Cina. Pelabuhan yang tidak kalah pentingnya adalah Gresik yang mengekspor berasnya sampai ke Malaka.

    Adanya perdagangan budak belian, merupakan satu hal yang menarik disamping komoditi lain. Kitab Cina Ling-wai-tai-ta yang ditulis sekitar tahun 1178 ketika seorang penulis, dan juga seorang pengelana Cina bernama Chou Ku Fei, ketika melakukan perjalanan muhibah ke She Po (Tanah Jawa), dia seorang jurnalis, seperti Empu Prapanca dengan Nāgarakṛtāgamanya.

    Buku ini berisi gambaran kehidupan tata pemerintahan, keadaan istana raja, keadaan masyarakatnya dan kehidupan perekonomian di She Po.

    Chou Ku Fei menyebutkan budak-budak diangkut dengan kapal Campa dari Jawa. Agaknya budak itu didatangkan dari Blambangan. Seorang budak belian laki-laki harganya sama dengan 3 tael bahan wangi-wangian (1 tael Jawa sama dengan 0,056 kg). Sementara itu orang-orang Madura pun berdagang budak dengan orang-orang Indonesia Timur dengan menggunakan perahu kecil “lancaran”.

    Tentang barang dagangan yang lain, beras biasanya didatangkan dari seluruh negeri dan menjadi sandaran utamaperdangangan kerajaan. Sedang garam umunya dihasilkan dari pantai utara Jawa, Kulit penyu dari Jawa Timur bagian Selatan, mutiara dari Maluku, emas perak dari Jawa Barat.
    Sebaliknya orang-orang Cina membawa barang kelontong, seperti sutera, keramik, uang kepeng dan ciu (arak).

    Antara tahun 1343 dan 1347 Mpu Adityawarman meninggalkan Jawa untuk mendirikan kerajaan Malayapura di Minangkabau, Sumatra, seperti diberitakan dalam piagam Sansekerta pada arca Amoghapasa, 1347.

    Pada piagam itu Adityawarman bergelar Tuhan Patih, gelar sebutan Tuhan Patih dalam sebutan Amoghapasa tersebut menunjukan bahwa Adityawarman menjalankan pemerintahan di Malaya Pura untuk dan atas nama Raja Majapahit Maharani Sri Tribhuwanatunggadewi Maharajasa Jayawisnuwardhani.

    Mengenai hubungan antara Majapahit dan Tanjung Pura atau Kalimantan terdapat dalam berita dinasti Ming:

    Kaisar mengeluarkan pengumuman tentang pengangkatan Hyawang sebagai raja Pu-ni untuk menggantikan ayahnya. Hyawang dan pamannya konon memberitahukan bahwa kerajaannya setiap tahun membayar upeti sebanyak 40 kati kapur barus kepada raja Jawa mereka mohon agar kisar mengeluarkan pengumuman tentang pembatalan upeti itu agar upeti itu dapat dikirim ke Negara kaisar.

    Pu-ni biasa disamakan dengan Brunei. Demikianlah Brunei itu menjadi bawahan Majaphit pada pertengahan kedua abad 14. Hal ini sesuai dengan pemberitaan Nāgarakṛtāgama yang menyebut Barune.

    Penyebutan Kutai Bagian Timur Kalimantan dalam pupuh XIII/1 sebagai Tanjung Kutai, hubungan antara Kutai dan Majapahit diberitakan dalam silsilah Kutai.

    Nāgarakṛtāgama, pupuh XIII (13):

    [1]. lwir ning nusa pranusa pramuka sakahawat ksoni ri malayu
    ning jambi mwang palembang karitang i teba len dharmasraya tumut
    kandis kahwas manangkabwa ri siyak i rokan kampar mwang i pane
    kampe harwathawe mandahiling i tumihang parlak muang i barat.

    (Terinci dalam Negara bawahan, paling dulu Malayu: Jambi, Palembang, Toba dan Darmasraya pun ikun juga disebut daerah Kandis, Khawas, Minangkabau, Siak, Rokan, Kampar dan Pane Kampe, Haru serta Madailing, Tamihang, Negara Perlak dan Padang.)

    [2].i lwas lawan samudra mwang i lamuri batan lampung mwang i barus
    yakadhinyang watek bhumi malayu satanan kapwamateh anut
    len tekang nusa tanjungnagara ri kapuhas lawan ri katingan
    sampit mwang kutalingga mwang i kuta waringin sambas mwang i lawai.

    (Lwas dengan samudra serta lamuri, Batan, Lampung dan juga Barus
    itulah terutama Negara-negara melayu yang telah tunduk.
    Negara-negara di pulau tanjung Negara: Kapuas-Katingan
    Sampit Kota Lingga Kota Waringin, Sambas, Lawai ikut tersebut.)

    Silsilah Kutai:

    Kemudian maharaja Sultan dan maharaja sakti berangkat ke Majapahit untuk mempelajari tata negara Majapahit. Ikut bersama mereka adalah maharaja Indra Mulia dari Mataram. Tersebut perkataan maharaja sultan dua bersudara di Majapahit. Mereka diajarkan tatacara di keraton dan adat yang dipakai oleh semua menteri. Hatta beberapa lama mereka pun kembali ke Kutai. Sebuah keraton yang berbau tata cara Jawa pun didirikan. Sebuah pintu gerbang yang dibawa pulang dari Majapahit dijadikan hiasan Keraton itu.”

    Dongeng di atas jelas mengingatkan hubungan Kutai dan Majapahit yang mungkin bertarikh dari pertengahan abad ke 14 masa kejayaan Majapahit.

    Mengenai pulau-pulau disebelah timur Jawa pertama disebut pulau Bali yang ditundukan pada tahun 1343, berikut pulau Lombok dan Gurun yang dihuni oleh suku Sasak. Kedua pulau ini hingga sekarang menunjukan adanya pengaruh kuat dari Majapahit, sehingga penguasaan Bali dan Lombok tidak diragukan.

    Kota Dompo yang terletak di pulau Sumbawa menurut Nāgarakṛtāgama pupuh LXXII (72) : 3 dan Pararaton ditundukan oleh Majapahit yang dipimpin oleh Mpu Nala pada tahun 1357.

    tus ning adhiguna wira susatya
    nityasadhipati ning bala mangdon
    nang digantara manama ri dompo
    bhrasta de nira sek alwang i satru.

    (Keturunan orang cerdik dan setia,
    Selalu memangku pangkat pahlawan,
    Pernah menundukkan negara Dompo,
    Serba ulet menanggulangi musuh.)

    Penemuan piagam Jawa dari abad 14 di pulau Sumbawa memperkuat pemberitaan Nāgarakṛtāgama dan Pararaton di atas, sehingga penguasaan Jawa atas Sumbawa tidak dapat diragukan lagi.

    Piagam ini ialah satu-satunya yang pernah ditemukan diluar pulau Jawa. Rupanya Dompo dijadikan batu loncatan bagi Majapahit untuk menguasai pulau-pulau kecil lainnya disebelah Timur sampai Wanin di pantai Barat Irian.

    Berbeda dengan di Sumatra dan Kalimantan disebelah timur Jawa, kecuali di Bali dan di Lombok tidak ada hikayat-hikayat daerah, oleh karena itu juga tidak ada dongengan tertulis tentang hubungan Majapahit dengan daerah-daerah tersebut.

    Mata Uang

    Trowulan, sebagai salah satu kota kuno masa klasik yang ditemukan di Indonesia, memiliki peninggalan mata uang yang merupakan salah satu bukti adanya sistem moneter dan hubungan perdagangan dengan bangsa lain.

    Sekitar tahun 1300, pada masa pemerintahan raja pertama Majapahit, sebuah perubahan moneter penting terjadi: keping uang dalam negeri diganti dengan uang “(kepeng)” yaitu keping uang tembaga impor dari Cina.

    Pada November 2008 sekitar 10.388 keping koin Cina kuno seberat sekitar 40 kilogram digali dari halaman belakang seorang penduduk di Sidoarjo. Mata uang yang ditemukan selain dari mata uang lokal (kepeng) juga mata uang Cina.

    Hingga saat ini temuan mata uang Cina yang berhasil diselamatkan di Balai Pelestarian Purbakala Trowulan sebanyak 34.175 keping, baik dalam kondisi utuh maupun pecah atau telah mengalami patinasi.

    Pada tahun 2009, Tim Evaluasi Neo Pusat Informasi Majapahit (Neo PIM) menemukan peninggalan-peninggalan kerajaan Majapahit di situs Trowulan. Hampir semua benda kuno yang dimiliki masyarakat pada masa itu ditemukan.

    Keris, mata tombak serta alat pembuat mata tombak juga ditemukan tim eskavasi. Dari temuan-temuan itu, menandakan jika lokasi yang digali merupakan wilayah padat penduduk. Sejumlah alat rumah tangga kuno juga ditemukan. Berikut sisa-sisa lantai dan dinding rumah.

    Temuan-temuan ini sekaligus memberikan penilaian dari tim evaluasi jika masyarakat Majapahit memiliki peradaban yang tinggi. Benda-benda ini menandakan jika masyarakat Majapahit bisa menyalip seniman dan arsitektur jaman sekarang.

    Hampir-hampir semua benda masa Majapahit sudah ditemukan. Temuan paling mencengangkan adalah ribuan mata uang kuno yang berasal dari Cina Tiongkok. Mata uang tersebut bertuliskan huruf Tiongkok, dan jumlahnya sekitar 60 ribu keping.
    Bahannya terbuat dari perunggu dan berlubang di bagian tengahnya,

    Mata uang bertuliskan huruf Cina dalam jumlah yang banyak itu menandakan jika Majapahit pernah menjalin hubungan dagang dengan kerajaan di Cina. Itu juga diperkuat dengan sejumlah keramik asal Cina yang ditemukan dalam kondisi yang sudah terpecah belah.

    Badan Pelestarian Peninggalan Purbakala Jawa Timur memastikan bahwa koin tersebut berasal dari era Majapahit. Alasan penggunaan uang logam atau koin asing ini tidak disebutkan dalam catatan sejarah, akan tetapi kebanyakan ahli menduga bahwa dengan semakin kompleksnya ekonomi Jawa, maka diperlukan uang pecahan kecil atau uang receh dalam sistem mata uang Majapahit agar dapat digunakan dalam aktivitas ekonomi sehari-hari di pasar Majapahit. Peran ini tidak cocok dan tidak dapat dipenuhi oleh uang emas dan perak yang mahal.

    Penelitian mengenai mata uang Cina di Trowulan sampai pada kesimpulan bahwa mata uang sebagai alat tukar yang beredar di Kota Majapahit ternyata berasal dari beberapa zaman. Diperkirakan hubungan antara Indonesia dan Cina telah terjadi sejak abad V dan mengalami peningkatan pada abad XIII ketika Majapahit mengalami kejayaannya.

    Lajunya pertumbuhan perdagangan tersebut selain karena Majapahit mampu menyediakan bermacam-macam komoditi yang dibutuhkan, antara lain cengkeh, pala, merica, kayu cendana, gaharu, kapur barus, kapas, garam, gula, gading gajah, cula badak, dan lain-lain.
    Adapun barang impor untuk konsumsi di Jawa yang utama adalah sutera, kain brokat warna-warni, dan keramik.

    Pedagang-pedagang asing ketika mengadakan transaksi dengan penduduk lokal menggunakan mata uang yang dibawa dari negerinya masing-masing, sehingga lambat laun mendatangkan inspirasi bagi penduduk lokal atau penguasa kerajaan di Jawa untuk membuat mata uang sendiri.

    Bagi kebanyakan orang, mata uang logam lokal dikenal dengan istilah uang gobog, dibuat buka hanya dari tembaga melainkan juga logam timah, kuningan, dan perunggu. Berdasarkan jenis bahan, mata uang lokal yang berkembang sejak abad IX dapat dibagi menjadi 4 kelompok, yaitu: mata uang emas, perak, tembaga, dan mata uang besi.

    Satuan mata uang Jawa dari bahan emas diurutkan dari satuan yang terbesar hingga terkecil, yaitu:
    i. kati (disingkat ka),
    ii. suwarna (su),
    iii. masa (ma),
    iv. kupang (ku), dan
    v. satak (sa).
    Semua mata uang tersebut menunjukkan ukuran berat benda (nilai intrinsik).

    Mata uang gobog memiliki satuan nilai yang amat rendah dibandingkan dengan uang perak atau emas, tetapi nilainya masih lebih tinggi dari pada uang timah.

    Perbandingan antara uang gobog dengan uang yang beredar di Jawa lainnya antara lain: 1 gobog = 5 keteg; 1 dirham perak = 400 gobog; dan 1 dirham emas = 4000 gobog. Pada kedua sisi mata uang gobog terdapat relief manusia yang umumnya adalah tokoh-tokoh dalam dunia pewayangan.

    Mata uang logam Cina disebut pisis atau kepeng, di negeri asalnya disebut Qian, yang terbuat dari campuran tembaga dan timah putih, juga unsur tambahan yaitu timah hitam, seng dan besi.

    Terdapat dua cara pembacaan legenda pada koin Cina, yaitu:
    (1). atas – kanan – bawah – kiri atau searah jarum jam;
    (2). atas – bawah – kanan – kiri.

    Sementara gaya tulisan yang telah dikenali adalah:
    (1). Zhuan Shu yaitu gaya tulisan melengkung;
    (2). Li Shu yaitu gaya tulisan persegi;
    (3). Kai Shu yaitu gaya tulisan baku;
    (4). Hsing Shu yaitu gaya tulisan sambung; dan
    (5). Ts ’ao Shu yaitu gaya tulisan miring.

    Dari penelitian mata uang logam yang ditemukan di Trowulan sebagian besar berasal dari Song Utara (960 – 1127) dengan legenda Yuan-feng Tongbao (1078 – 1085) yang diterbitkan oleh Kaisar Shen Tsung (1067 – 1085).

    Selain sebagai alat pembayaran dalam jual beli barang, mata uang kepeng juga digunakan untuk membayar utang-piutang, gadai tebus tanah, denda akibat pelanggaran hukum, serta digunakan sebagai benda sesaji, bekal kubur, dan amulet atau jimat.

    Dalam transaksi perdagangan, penduduk pribumi menggunakan kepeng Cina dari berbagai dinasti. Artinya bahwa penduduk pribumi tidak mengerti tulisan Cina yang tertera pada kepeng itu sehingga mau menerima uang Cina dari dinasti manapun (Tang, Song, Yuan) yang mungkin sudah tidak berlaku lagi di negeri asalnya.

    Satuan-satuan Ukuran pada Masa Kerajaan-kerajaan di Nusantara

    Menurut jenisnya, sistem satuan hidup dapat dikelompokkan ke dalam dua kategori, yakni satuan ukuran yang terkait dengan pengukuran lahan pertanian yang di dalamnya termasuk satuan hitung (perdagangan), pajak, dan persembahan; dan satuan ukuran yang terkait dengan sistem moneter.

    Satuan-satuan pengukur lahan pertanian

    Terdapat dua jenis satuan ukuran yang berkaitan dengan lahan pertanian, yakni satuan ukuran jarak (panjang dan lebar) dan satuan ukuran luas. Data mengenai satuan ukuran ini biasanya berkaitan dengan penetapan tanah sima yang akan digunakan untuk membiayai bangunan suci dan besarnya pajak yang harus dibayar untuk tanah dengan luas tertentu.

    Satuan Ukuran Jarak (Panjang dan Lebar)

    Termasuk dalam kategori ini adalah istilah-istilah dpa, dpa sihwa, dan hasta. Ukuran satu dpa adalah panjang dari rentang kedua tangan atau sekitar 1,6 sd 2 meter. Ukuran ini dikenal sejak abad ke-9. Di samping itu dikenal juga istilah dpa sihwa yang mulai diperkenalkan pada abad ke-10, yakni pada masa pemerintahan Balitung.

    Satuan ukuran ini menjadi ukuran baku sehingga tanah-tanah diukur ulang dengan dpa sihwa ini.
    Ukuran dpa sihwa sama dengan istilah dpa agung di Bali. Dpa agung adalah jarak antara telapak kaki sampai ke ujung jari tangan yang direntangkan ke atas.
    Dengan demikian dpa sihwa diperkirakan sama dengan 1,5 dpa.

    Perubahan ukuran ini menjadikan beban pajak hasil bumi yang ditanggung rakyat menjadi lebih ringan. Hasta juga merupakan satuan ukuran jarak (panjang/lebar) yang biasanya digunakan untuk mengukur luas tanah/lahan (pemukiman, kebun, tegal, tanah sima, atau tanah yang tidak digarap).

    Ukuran hasta adalah jarak antara siku dengan ujung jari (kurang lebih 40-50 cm). Konsep ukuran ini telah dikenal sejak abad ke-9 (Prasasti Taragal).
    Satuan Ukuran Luas

    Termasuk dalam kategorinya adalah istilah-istilah barih, latir, tu, tampah, tampah haji, suku, hamat, blah, jong, kikil, lirih, kunci, dan pecal. Istilah barih dan latir hanya dijumpai dalam prasasti awal abad ke-9 yang ditemukan di daerah Temanggung (Sang Hyang Wintang, 803 M).

    Sesuai dengan bahasa yang digunakan dalam prasasti, maka kedua istilah tersebut mungkin merupakan kata yang berasal dari bahasa Melayu Kuno.

    Perlu dikemukakan lebih dulu bahwa pada masa ini ukuran luas tanah biasanya dihitung berdasarkan jumlah benih yang dapat ditanam di lahan tertentu. Oleh karena itu, satuan ukuran luas selalu didahului dengan “banyaknya benih” (kwaih winihnya).

    Berdasarkan rincian jumlah benihnya maka dapat dihitung bahwa satu barih= enam latir.
    Satuan ukuran yang paling umum dijumpai dalam prasasti-prasasti masa Jawa Tengah hingga abad ke-10 adalah lamwit dan tampah.

    Kedua istilah tersebut biasanya disebut secara berurutan yang mengindikasikan bahwa yang disebut pertama memilki ukuran lebih besar. Prasati Taragal, misalnya, menyebutkan luas tanah yang diterapkan sebagai sima adalah satu lamwit dua tampah.

    Sementara itu, untuk keperluan membayar pajak disebutkan adanya sawah di Palepengan yang luasnya satu lamwit tujuh tampah, dan satu belah dengan keterangan tambahan bahwa jumlah pajak yang harus dibayar untuk setiap tampah adalah enam dharana perak.

    Menurut perhitungan, luas satu lamwit = 20 tampah, dan luas satu tampah = dua blah (satu blah = 0,5 tampah). Pajak dihitung menurut satuan tampah luasnya sekitar 6.750 m² sd 7.680 m².

    Luas satuan blah atau wlah adalah setengah tampah, karena kata wlah berarti “setengah”. Di samping istilah tampah, sebagai satuan ukuran dasar dijumpai juga istilah tampah haji.

    Satuan ukuran ini nampaknya digunakan pada masa Balitung, ukuran yang lebih besar dari pada tampah yang biasanya digunakan oleh para penarik pajak yang curang sehingga sering menimbulkan kerugian bagi pembayar pajak.

    Menurut perhitungan dari istilah Prasasti Palepangan, luas satuan tampah haji sekitar 9.818 sd 11.170 m².

    Untuk memeroleh gambaran yang lebih jelas tentang nilai tanah pada periode abad ke-9 sampai ke-10, dapat diambil contoh dari dua prasasti, yaitu Sumpit (tahun 878) dan Hering (934 M).

    Prasasti yang pertama menyebutkan peristiwa jual beli tanah sawah seluas 3 tampah dengan harga emas senilai satu kati (mas kati satu) atau sekitar 750 gram (hitungan terendah).

    Jika luas satu tampah ditetapkan sekitar 6.750 m² (dihitung terendah), maka tiga tampah sama dengan 20.250 m². Dengan demikian, satu tampah tanah harganya 250 gram emas.

    Prasasti kedua menyebutkan seorang samget bernama Marganung yang membeli tanah penduduk desa seluas enam tampah satu suku (satu suku = seperempat tampah) seharga lima kali sembilan emas (ma lima ka sembilan su) atau sekitar 3.773,36 gram.

    Jika dihitung dalam satuan sekarang, maka luas seluruh sawah tersebut 42.187,5 m². Dengan demikian, harga jual tanah bagi setiap tampahnya adalah 603,75 gram emas.

    Di samping istilah-istilah di atas, terdapat dua istilah lain, yaitu tu dan hamat (ha). Penyebutan istilah tu diduga merupakan kata-kata singkatan yang biasa digunakan dalam prasasti-prasasti, tetapi tidak diketahui secara jelas istilah lengkapnya.

    Prasasti Mantyasih menyebutkan tanah dengan luas tu 18 hamat. Penyebutan tu mendahului hamat menunjukan bahwa satuan tu lebih besar daripada hamat. Diduga satu tu sekurang-kurangnya 20 hamat.

    Sedangkan satu hamat sama dengan 10 kati (satu kati = 0,617 kg). Perlu dikemukakan bahwa istilah tu dan hamat tergolong unik karena hanya dijumpai pada prasasti yang ditemukan di daerah Kedu (Kayumwangun, 824; Trui Tpusan, 842; dan Mantyasih I, 907).

    Masih terdapat istilah lain yang berhubungan dengan satuan ukuran luas, yakni suku. Istilah ini dijumpai pada Prasasti Landa (tak bertarikh). Menurut perhitungan, satu suku = 1,5 hamat.

    Sejak abad ke-11 dikenal istilah jong untuk menggantikan istilah tampah yang kemudian tidak digunakan lagi. Istilah jong ini terus digunakan pada masa Jawa Timur hingga abad ke-14.

    Satuan dasar lain yang dikenal pada abad ke 14 adalah kikil (setengah jong).
    Sistem satuan-satuan lain juga dijumpai pada abad ke-14, khususnya pada masa Hayam Wuruk, yakni lirih dan kunci.
    Memasuki abad ke-15 muncul lagi satuan ukuran yang dikenal dengan sebutan pecal.

    Satuan-Satuan dalam Perdagangan, Pajak, dan Persembahan

    Terdapat sejumlah istilah satuan ukuran yang terkait dengan masalah perdagangan dan pajak. Ukuran tersebut mencakup dua jenis. Jenis pertama adalah volume dan berat; sedangkan yang kedua adalah satuan hitung barang.

    Volume dan Berat

    Satuan-satuan yang berkait dengan volume adalah: catu, sukat/kulak, barang, nalih, pikul, bantal, dan kati. Satuan catu diukur dari batok kelapa yang dipotong bagian atasnya.

    Batok kelapa ini dapat digunakan untuk mengukur beras, remapah-rempah, garam, minyyak, dan bahan pewarna. Ukuran 1 catu berkisar 300-450 ml.

    Satuan ukuran ini digunakan pada abad ke-10. Satuan sukat baru digunakan pada abad ke-15. Ukuran 1 sukat (kemudian kulak) sama dengan 4 catu atau sekitar 1.200-1.800 ml.

    Istilah batang sebagai satuan ukuran mungkin diambil dari batang bambu dan dapat digunakan untuk menakar benda-benda cair.

    Pada awal abad ke-15 dikenal satuan nalih yang banyaknya sama dengan 8 kulak setiap nalih. Satuan ini rupanya tidak dikenal dalam sumber-sumber tertulis pada masa sebelumnya. Satuan ukuran ini agaknya digunakan dalam perdagangan internasional.

    Berita Cina dari awal abad ke-15 menyebutkan ukuran satuan in (nai-li) sebagai salah satu sistem pengukuran yang digunakan di Jawa. Mills menghitung satu nalih sama dengan 15,46 liter.

    Kati adalah satuan berat yang digunakan untuk mengukur berbagai barang, termasuk untuk menghitung uang dalam sistem moneter. Ukuran berat untuk untuk satu kati sekitar 750 gram. Sebagai satuan hitung dasar, kati digunakan tidak hanya di wilayah Indonesia, tetapi juga di Malaysia hingga abad ini.

    Satuan lainnya adalah tahil yang juga digunakan untuk menghitung nilai uang dalam dalam sistem moneter. Berat satu tahil diperkirakan 38 gram, atau kira-kira sama dengan seperduapuluh kati, jadi satu kati sama dengan 20 tahil.

    Sama seperti kati, tahil tidak hanya digunakan dalam sistem perhitungan mata uang (emas mau pun perak), tetapi juga yang lain.

    Satuan yang lebih besar dan biasanya digunakan untuk mengukur barang-barang yang dibebankan di atas pundak adalah bantal. Berat satu bantal sama dengan 20 kati.

    Satuan yang lebih berat lagi adalah pikul. Menurut perhitungan satu pikul sama dengan lima kali bantal, jasi sama dengan 100 kati, atau sekitar 75 kg.

    Satuan Hitung Barang

    Satuan-satuan hitung barang yang dikenal dalam sumber-sumber tertulis adalah blah/wlah, yuga, kujur, prana, wantayan, jamwangan, wakul, gagalah, tenah, kadut, agem, rakut, ubban, gusali, parean, dan tarub.

    Satuan hitung blah atau wlah digunakan untuk menyatakan banyaknya satuan pakaian perempuan yang disebut kain. Untuk pakaian laki-laki disebut wdihan, dinyatakan dengan satuan yuga atau yugala (pakaian yang terbuat dari dua potong kain) dan hlai (pakaian yang terbuat dari satu potong kain, hingga kini masih dipakai “helai”).

    Penggunaan istilah Sansekerta yuga ini diduga merupakan pengaruh India sebagai akibat dari perdagangan pakaian. Kujur mungkin digunakan untuk menyebut satuan jajanan (semacam kue) yang berbentuk batangan.

    Hewan berkaki empat (kerbau, sapi, kambing) dihitung dengan satuan prana, sedangkan hewan berkaki dua, misalnya ayam atau itik, disebut dalam satuan wantayan (keranjang?). Untuk tujuan pajak atau persembahan tenaga kerja, prana juga digunakan untuk menyebut jumlah orang.

    Sejumlah ikan tidak dihitung satu per satu, tetapi dalam satuan jamwangan (misalnya: iwak jamwangan dua) dan bunga dihitung dalam satuan wakul (bakul?). Gagalah mungkin digunakan untuk menyatakan barang tombak atau sejenisnya.

    Padi dihitung dalam satuan ikatan yang disebut dengan istilah tenah, sedangkan beras dihitung dalam satuan kadut (karung?).
    Barang lain yang dapat digenggam dinyatakan dalam satuan agem atau rakut.

    Satuan hitung lainnya yang menggambarkan adanya usaha kerajinan atau perdagangan dinyatakan dalam istilah-istilah tertentu yang tampaknya didasarkan atas pertimbangan keperakitan. Satuan tarub untuk menyatakan satuan usaha pandai logam, yakni pandai emas, besi, dan tembaga (higana kwaihahanya pandai mas wsi tamwaga gangsa tlung ububan).

    Satuan lain yang juga digunakan kepada pra pandai logam adalah gusali, parean, dan tarub.
    Satuan yang terkait dengan sistem moneter adalah kati, rahil, tahil, suwarna, dharana, masa, atak, kupang, saga, dan pisis. Di dalam prasasti, beberapa satuan hanya ditulis singkatannnya, misalnya kati dengan ka, tahil dengan ta, suwarna dengan su, dharana dengan dha, kupang dengan ku, dan saga dengan sa.

    Sebelumnya telah dikemukakan bahwa kati dan tahil, di samping untuk mengukur barang-barang secara umum, juga untuk mengukur nilai (intrinsik) mata uang, baik yang terbuat dari logam emas mau pun perak. Berat satuan kati sekitar 750-768 gram, dan berat satuan tahil sekitar 38 gram, jadi kira-kira seperduapuluh kati.

    Terdapat juga satuan lain yang memiliki berat sama dengan tahil (38 gram), yakni suwarna dan dharana. Satuan suwarna, sesuai denga arti katanya, digunakan untuk mengukur emas, sedangkan dharana untuk mengukur perak.

    Masing-masing memiliki satuan lain yang diambil dari bahasa Sansekerta, yakni masa. Satuan ini berlaku untuk ukuran emas dan perak dengan bobot 2,4 gram, jadi hanya seperenambelas tahil/suwarna/dharana. Satuan lain yang lebih kecil dari bahasa Jawa Kuno adalah atak (1,2 gram, jadi setengah masa), kupang (0,6 gram, jadi seperempat masa), dan saga (0,1 jadi seperempat kupang).

    Gambaran mengenai nilai tukar terhadap barang dari mata uang Jawa Kuno diperoleh dari keterangan prasasti-prasasti yang berasal dari abad ke-10. Seekor kerbau yang akan digunakan untuk pesta dalam penetapan sima diberi harga antara 22,257 gram hingga 39,569 gram.

    Prasasti yang lebih muda cenderung menyebut harga yang lebih tinggi. Hal ini menunjukkan dua kemungkinan, yakni harga kerbau meningkat atau nilai emas yang turun. Kemungkinan lain adalah bahwa kerbau yang dijual memiliki ukuran yang berbeda-beda.

    Satuan ukuran lain yang hanya dikenal pada masa Jawa Timur, khususnya pada masa Majapahit, yakni picis. Satuan ini khususnya digunakan untuk menyebut mata uang tembaga yang berasal dari atau mendapat pengaruh mata uang Cina. Satuan ini merupakan ukuran terendah dibandingkan dengan ukuran-ukuran satuan yang dikenal sebelumnya dan biasanya digunakan untuk pembayaran pajak dan denda-denda.

    Menurut keterangan tertulis dari periode ini, 100 picis sama dengan satu kupang (sakupang), 200 picis sama dengan satu atak (seatak), 400 picis sama dengan masa (samas), dan 800 picis sama dengan 2 masa (domas), 1.000 picis sama dengan satu tali, 10.000 picis sama dengan satu laksa (salaksa), dan 100.000 picis sama dengan satu keti (saketi).

    ånå toêtoêgé

    Nuwun

    cantrik bayuaji

    matur suwun
    wah…., nanti malam banyak PR mindahin dongeng Ki Bayu dan Ki Kompor.

    • Mutur nuwun KI, pengetahuan yang sama sekali baru belum pernah didapatkan di sekolah-sekolah. Dulu sekolah dimana Ki? SMAN PDLS 1 ya Ki 🙂

      ha ha ha
      Ki Sarip aya aya wae.
      Lendut benter-nya masih belum dingin Ki?

    • Wah makin lama makin kepingin pindah jurusan Arkeology nih, …… tapi kok udah terlanjur ke jurusan lain ya, ……. GROGOL GROGOL!

      • HIks…….
        Koridor 09 Trans Jakarta Pinang Ranti —- Pluit via GAROGOOOOLLLL Ki.

        Sugêng dalu.

    • matur nuwun piwulang bab moneter jaman Majapahit,

      lha kira-2 pada masa itu sudah ada bibit-2 per-bank-an apa belum ya….???
      Kalau sudah ada apakah ada acara “penggangsiran” juga nggih….???

      Sugeng dalu Ki Bayu,
      matur sembah nuwun.

    • Tertarik dengan dongeng Ki Bayuaji mengenai budak belian. Nyuwun pirso Ki Bayu, para pedagang budak belian bisa mendapatkan dagangannya dari mana ya? Apa ada orang yang suka rela dijual sebagai budak? Apa dari hasil menculik? Atau mungkin sengaja dijual oleh keluarganya? Maturnuwun, sugeng dalu.

      • Lha cara mendapatkannya dapat dengan berbagai cara to Ki, …… bisa karena utang piutang, bisa dengan penipuan, bisa dengan pemaksaan/perampokan, bisa karena tekanan ekonomi, ……. sebagaimana sekarang juga ada perbudakan modern, berupa penjualan wanita dan anak-anak. Adakah orang tua yang rela anaknya dijual? Jawabnya tidak. Tapi kok ada ya jual beli wanita dan anak2.
        Nuwun

        • Leres sedoyo pangandikan panjenengan Ki Truno, matur nuwun.

  3. kulo hadir ki

    • “Ki Bancakkk…!!”,obat ajaib ketulangan……

      • “Ki Bancakkk…!!”,obat ajaib rasa lapaR……

        • lha pak MODINe sinten..?

  4. Kangen kaliyan Ki Arga,
    ugi Ki Sukasrana,

    sami wilujeng to Kisanak kekalih…???

    • ugi Anakmas Si Tole,
      sami wilujeng to Nakmas….??

      • pangestunipun ki

        eh…, sapa iku mau sing di dangu eyang gembleh

    • Sugeng pinanggih malih Ki Gembleh. Gangsal dinten ngayahi tugas wonten Jambi “Angso Duo”, nembe wangsul wingi sonten. Rikolo mlampah-mlampah wonten mriko salah satunggaling rencang alok : ”ternyata mobil Jambi porno semua“, kulo mlenggong mboten dong, apanya yang porno? “Itu lho nomor platnya” wangsulanipun rencang kulo. Sanaliko kulo kemutan panjenengan rikolo gegujengan kaliyan Diajeng Ken Padmi ngendikaaken nomor plat mobil Jambi. Dumugi nginggil Kreteg Batanghari kulo sak konco mandhap ningali kapal-kapal ingkang sliwar-sliwer wonten ngandhap, nanging radi mrinding, sauger wonten mobil langkung Jembatan ingkang panjangipun wetawis 500 meter kraos mentul-mentul, lha mongko lepen wau lebetipun kirang langkung 70 meter. Bibar saking jembatan Batanghari sopir taxi ngajak ningali enam rumah adat. Sareng dumugi ngajeng masjid kaki seribu (sopir nyebat mekaten) kulo sumerep lare-lare alit kinten-kinten umur 6 tahunan nembe bal-balan mawi bola api, taxi kulo ken mandheg. Sedoyo gumun ningali bangunan masjid ingkang dipun songgo soko (tiang) ingkang cacahipun atusan ugi ningali lare-lare ingkang nembe bal-balan wau, lajeng kemutan Ki Punakawan ingkang sering ngendikaaken bal-balan bola api. Kulo gumun sanget, kok mboten sami keslomot njih? Kulo taken lare-lare wau : “panas tidak?”. “ Tidak” wangsulanipun lare-lare wau sinambi nedahaken sukunipun ingkang mboten gosong sinaosa gluprut awu cemeng. Cekap semanten angsal-angsal saking Jambi Ki Gembleh, matur nuwun.

  5. hadu….
    mau pindahin dongeng Ki Bayu kok dalane macet (internet lemot)
    besok pagi saja ah..

    sugeng dalu

  6. Wedaran 2 rontal NSSI versi djvu saja setiap minggunya, setuju sekali Pak Satpam. Ternyata membaca NSSI berulang-ulang tidak bosan-bosan juga, matur nuwun sanget atas jerih payahnya.

  7. Selamat Pagi Mas Satpam,
    Ya ndak pa2 to seminggu 2 rontal sudah cukup. Wong nyatanya sebenarnya sudah pernah baca kok.
    Lha terus kalau Malem minggu melakukan scaning, terus Mita gimana? Apa nggak malem mingguan?

    • lho..!?!?

      • oo…pak lik ketahuan…pacaran lagi..sama si MITA…

  8. Sugeng enjang poro kadang.
    Mbaleni moco NSSI ternyata cerita Ki SHM, ini yang paling oye. muantab tenan.

  9. Sugeng enjang.
    Monggo sinambi nenggo wedaran NSSI 02, puniko wonten artikel saking Kompas tanggal kesupen, masalah: “sepatu”.
    Narasi Diri Sepasang Sepatu
    OLEH M ABDULLAH BADRI
    Sepatu sepertinya sebuah perangkat biasa, kebutuhan dasar yang tak begitu istimewa dalam hidup kita sehari-hari. Namun, di tempat-tempat ramai, sepatu juga menjadi identitas kelas dan status sosial pemakainya, seperti yang kita rasakan dan jumpai di kantor- kantor, mal, kampus, pesta-pesta, bahkan di sekolah dasar.
    Dan ”kutukan” pun muncul ketika sepatu tak lagi dijadikan alas kaki atau pelindung kaki dari panas terik, udara dingin, virus, serangan binatang, atau berbagai gangguan kulit. Sepatu ternyata juga bekerja dalam ruang modern dalam narasi yang politis bahkan ideologis. Lebih jauh lagi, catatan historis sepatu di berbagai bangsa ada dalam kisah-kisah agama, politik, ekonomi, sosial, kultur pop juga olahraga.
    Pada masa kolonial, sepatu hanya boleh dipakai oleh para bangsawan. Warga Nusantara mengenal sepatu seiring kehadiran penjajah Belanda. Jarak antara warga Belanda dan pribumi dipisah oleh sepatu, sebagai pengakuan identitas. Perbedaan kelas lahir dari sepatu. Anak-anak keturunan kulit putih dilarang tampil di arena publik tanpa alas kaki bernama sepatu itu. Di Batavia abad ke-17, keturunan bekas budak, kaum Mardijker pun, dilarang menggunakan sepatu meski boleh mengenakan pakaian ala colonial: kemeja sutra, topi berbulu, dan celana panjang.
    Pada masa itu, sepatu tentu saja bagian dari hak individual kaum pribumi. Maka kepemilikan sepatu pun diperebutkan oleh pribumi sebagai raihan prestasi dan kenaikan martabat. Alas kaki yang lazim terdiri atas sol, hak, kap, tali dan ”lidah” itu merasuki setiap gedung dengan kemampuan melakukan separasi sosial dengan cara yang tak terduga. Sampai hari ini, sebagai narasi identitas, sepatu hadir di pasar, toko, atau distro sebagai sebuah simbol kelas dan kedudukan pembelinya. Begitupun saat ia masuk dan keluar di ruang penjara, persidangan, media massa, olahraga, bahkan istana.
    Mochtar Lubis (1977) pernah mencatat riwayat Bung Hatta yang tak pernah mencapai mimpinya memiliki merek sepatu berkelas, Bally. Bahkan seorang intelektual ternama, seorang wakil presiden, tetap mendambakan sepatu bermerek dan berharga mahal di era 50-an. Status sosial dan kedudukan politik rasanya belum lengkap bila tidak ditandai oleh kehadiran sepasang sepatu. Mimpi Hatta, seperti menjadi paradoks dengan gaya hidupnya sederhana, kekayaan tak seberapa sebagai pejabat tinggi.
    Menghancurkan wibawa
    Kebutuhan tinggi pada sepatu, pada titik tertentu mencapai tingkat sakralitas tertentu, walau tanpa mitos-mitos yang biasa mengiringinya. Kaum jet set, termasuk para istri penguasa, bangsawan dan raja-raja, memperlihatkan fanatisme yang terbuka pada label-label sepatu tertentu seperti Hermes, Gucci, Caovilla, Ferragamo, Blahnik, atau Laboutin. Marie Antoniette, Ratu Perancis di perempat akhir abad ke-18, tercatat pernah memiliki lusinan pelayan yang khusus ditugasi mengurus 500 koleksi sepatunya. Imelda Marcos bahkan memiliki 3.000 pasang sepatu, yang hingga kini masih tersimpan di Museum Bata, Kanada.
    Kisah lain datang dari bintang Hollywood, Maryl Streep, yang pernah mengutuk luka kakinya akibat sepatu yang dikenakan tak sesuai ukuran panjang-lebar kaki. Begitu segannya pada merek atau (pembuat) sepatunya, artis peraih beberapa Oscar itu tidak menyalahkan perangkat hidup sederhana. Ia malah menyesali kakinya yang besar seperti ukuran kaki ibunya. Demi sepatu, martabat keluarga pun dibawa-bawa oleh Streep.
    Gara-gara tendangan sebuah sepatu, konflik jadi kondisi yang tak terelakkan antara David Beckham dengan pelatihnya, Sir Alex Ferguson. Beckham menderita 13 jahitan di pelipis wajah oleh tendangan sepatu Ferguson yang marah setelah Manchester United kalah dari Arsenal pada tahun 2002. Banyak yang menyebut insiden ”sepatu terbang” itu sebagai latar historis utama Beckham pindah ke Real Madrid. Sepatu pun menjadi elegi romantis sepak bola.
    Kita tentu masih terkenang bagaimana seorang wartawan Timur Tengah menggunakan sepatu untuk menghancurkan moral dan menjatuhkan wibawa seorang Presiden Amerika Serikat, George W Bush, dengan melemparnya secara spontan ke wajah arsitek Perang Irak itu. Sebuah peristiwa yang ternyata menjadi ilham bagi banyak orang di berbagai bangsa untuk menyatakan protes atau merendahkan moral serta wibawa seorang penguasa.
    Agaknya, benar pula komentar June Swann, sejarawan asal Inggris, yang menyatakan, sepatu bisa menjadi salah satu indikator yang baik menunjuk perasaan dan emosi seseorang.
    Jejak sepatu
    Dalam tradisi militer, sepatu juga berposisi tidak sekadar aksesori atau pelengkap busana belaka, tetapi juga simbol dari eksistensi keprajuritan, kekuatan, kemandirian, tanggung jawab, bahkan arsenal vital dalam pertempuran. Sanksi dan hukuman akan segera diterima oleh seorang prajurit jika sepatu boot yang dikenakannya dilepas dalam sebuah tugas militer.
    Adalah Viktor E Frankl (2003), yang pernah merasakan kegelisahan, ketakutan, dan ketegangan-ketegangan psikologis dari jejak dan suara sepatu militer saat bersama teman-temannya, dipenjara di kamp konsentrasi Auschwitz, Jerman, sepanjang 1944-1945. Anak buah Adolf Hitler bisa dikenali melalui jejak dan suara sepatu lars. Jejak sepatu diwaspadai karena menginjak dan meninggalkan luka dalam ingatan.
    Agus TF mengingatkan jejak sepatu yang membuat luka dalam cerpen ”Jejak yang Kekal”. Cerpen itu berkisah, ”Dengarlah sepatu berderap, dan waktu melenguh. Jejak melesak ke tubuh-tubuh. Menggasak leher, rusuk. Kau dengar pulakah suara seperti mengerang? Lapat-lapat, timbul-hilang, begitu jauh. Menembus ruang, melipat waktu, menjalar lirih ke telingamu.” Tragedi kerap terjadi karena sepatu.
    Pada momen dan kalangan tertentu, sepatu telah menjadi sumber dan modus eksistensial, pilihan identitas seseorang. Seperti pada masa perjuangan, sebagian ulama pernah berfatwa haram bagi pribumi yang menggunakan sepatu. Pelarangan bukan pada aspek material sepatu, tetapi lekatan ideologisnya. Sepatu kala itu diidentifikasi sebagai pakaian kaum penjajah dan penindas Belanda. Prinsip yang menyatakan man tasyabbaha bi qaumin fa huwa minhum (sesiapa yang menyerupai kelompok, dia bagian darinya) dijadikan landasan teologis-politis menentang keberlangsungan jejak-jejak sepatu para penjajah. Sepatu dijadikan jarak politis antara penindas dan tertindas.
    WS Rendra melambung namanya lewat kumpulan ”Sajak-sajak Sepatu Tua”. Lewat sepatunya ia mengidentifikasi manusia dari sejumlah kota dan bangsa. Begitupun Sapardi Djoko Damono, dalam sajak ”Sepasang Sepatu Tua” (1994), berkisah bagaimana sepasang sepatu mencoba memahami diri dan posisinya pada manusia yang menggunakannya. ”Sepasang sepatu tua saling membisikkan sesuatu yang hanya/bisa mereka pahami berdua”.
    Sepatu menciptakan dunianya sendiri dan memaksa kita mengikutinya. Sepatu adalah narasi tersendiri yang juga menentukan “siapa” manusia yang mengenakannya.

    (M ABDULLAH BADRI Aktivis di Idea Studies, Fakultas Ushuluddin IAINWalisongo Semarang)

  10. Asalamualaikum. Kulonuwun, sampun dangu tidak sowan. Kulo lelonojagad.

    Hadu (ikutan pak e Sat Pam, masih ingat aku….), isuk-isuk uthuk, udah dikhotbahin sual-sual sepatu, yang memang karena nasib sang sepatu, seberapa pun mahalnya tetap saja dia berada di bawah sebagai alas kaki. Meskipun kadang-kadang mampir juga ke jidat orang lain.

    Satu hal yang pasti dipunyai sang sepatu, tetapi bagi sebagian besar rakyat penduduk negeri ini nyaris hilang atau dihilangkan. Apakah itu? yaitu “hak” (Hak hidup layak sebagai manusia, hak hidup cukup lahir batin sebagai manusia hamba Tuhan).
    SEkedar contoh:
    Adakah orang miskin berhak sakit?
    Sebab kalau sakit, dia tidak mampu berobat ke dokter atau rumahsakit.
    Adakah orang miskin berhak bertempat tinggal di rumah yang layak huni, dan bukan “rumah kardus” di kolong-kolong jembatan atau bantaran kali?

    Heheh… selamat pagi dulu,
    Wassalamualaikum.

  11. Selamat pagi, jelang siang.

    • Selamat siang, jelang sore.

      • Selamat sore, jelang malam.

        • Selamat malam, jelang malam banget.

  12. —————————
    Sugêng sontên
    —————————

  13. Absen maneh ……..

    • Tembe tindakan pundi Ki Mangku?

      • wonten griyo kemawon sementara absen jalaran komputere risak amargi tegangan listrik mboten stabil ngapunten menawi telat wangsulanipun .

      • Komputer kulo keleresan risak ki Truno amargi tegangan listrik mboten stbil

  14. Hadir…..!!!
    Sugeng dalu poro kadang sedoyo.

    • Sugeng dalu ugi Ki Arga,

      matur nuwun oleh-2 saking tlatah Jambi sampun kula waos kanti remen.

      Lha sekarang Ki Arga percaya to kalau para pejabat teras di Jambi sukanya menaiki yang BH-nya kecil ?
      Kalau yang BH-nya besar biasanya yang menumpaki itu rakyat kecil.

      he….he….he…..
      100 % bergojeg.

      • Ha…ha…ha…
        benar kata kakak saya yang di Jakarta, kalau Ki Gembleh benar-benar lucu.

  15. Nyontreng daptar hadir, sreeeeeeeeeet.
    langsung njupuk kitir nomer antrian.

    Sugeng dalu Ki Ajar pak Satpam,
    kula mboten ngogrok-ogrok lho….!!!!
    (Ki Menggung langsung frotes, sanes MBOTEN nanging DERENG mulai)

  16. Nuwun
    Sugêng dalu

    Katur Ki Arga såhå Ki Truno Podang: [On 18 April 2011 at 23:46 arga said] [On 19 April 2011 at 20:20 Truno Podang said]: Dongeng para budak belian

    PELAYARAN & PERDAGANGAN BUDAK

    Sejarah pelayaran dan perniagaan Nusantara pada awal abad ke 13, dan semakin marak pada abad ke-16 hingga akhir abad ke-17, ternyata menyimpan masa lalu yang kelam.

    Nusantara, negara yang kaya akan hasil alam tidak hanya menjual rempah-rempah semata. Nusantara, melalui jalur pelayaran dan perniagaan menjadi negara pengekspor terbesar lada, pala, dan manusia sebagai budak belian.

    Lambung kapal, tidak sepenuhnya berisi benda mati seperti sutra, emas, kayu, dan berbagai rempah-rempah.

    Kapal-kapal yang dipakai sebagai alat transportasi perdagangan juga menyimpan puluhan manusia untuk dijual.

    Nusantara sudah dikenal sebagai negara yang rutin menjual lada, pala, dan budak belian.

    Masa kelam perdagangan melalui pelayaran dan perniagaan Nusantara diwarnai tentang teknologi dan pusat-pusat pelayaran, pola pelayaran dan perdagangan, serta pelabuhan Nusantara.

    Fakta sejarah perdagangan Nusantara memaparkan tiga barang terpenting untuk di antarpulaukan. Ketiga barang dagangan tersebut adalah lada, pala dan budak belian.

    Dari tiga barang dagangan, budak belian merupakan barang yang paling laris. Budak belian sangat diperlukan oleh para hartawan, bangsawan, dan pedagang besar. Di abad 17 Kompeni Belanda banyak memerlukan budak belian. Sepenuhnya, budak belian menggantungkan nasib kepada orang yang menjadi tuan mereka.

    Pada abad-abad itu, perdagangan bukan hanya dipenuhi dengan hasil rempah-rempah saja. Orang yang terjerat utang bisa diperdagangkan menjadi budak belian.

    Pada umumnya, budak belian dipekerjakan sebagai buruh kasar di pelabuhan atau pendayung kapal perang.

    Kebanyakan orang menjadi budak belian juga karena kalah perang atau tidak bisa membayar utang.

    Budak belian, kebanyakan berasal dari daerah pedalaman. Semisal, budak belian dari pedalaman Palembang diekspor ke pedagang kaya di Malaka.

    Biasanya, budak diekspor bersama dengan hasil alam daerah tersebut. Bahkan, demi budak belian, dua atau tiga pedagang dari Malaka sengaja datang ke Pelabuhan Jawa (?), khusus untuk membeli.

    (Pelabuhan Jawa diduga adalah Pelabuhan Jedung/Ujunggaluh, Tuban, atau Sunda Kelapa).

    Daerah lain yang dikenal sebagai penghasil budak belian, yakni Jawa bagian Timur. Budak yang ada di Madura, Jawa Timur berasal dari Nusa Tenggara ke Malaka.

    Tidak hanya masyarakat lokal, orang Portugis pun ikut serta dalam perdagangan budak. Diketahui, terdapat ekspor budak dari Panarukan ke Malaka. Budak belian laki-laki lebih digunakan untuk bekerja di kapal, perkebunan.

    Sementara budak belian perempuan, dipekerjakan di rumah sebagai pembantu atau simpanan.

    Rujukan:
    1. ________. Nusantara dalam Catatan Tionghoa. Terjemahan dari judul asli: Notes on The Malay Archipelago and Mallaca Compiled from Chinese Sources. Komunitas Bambu. Depok 2009.

    2. Adrian B. Prof. Dr. Lapian Pelayaran dan perniagaan Nusantara abad ke-16 dan 17 Komunitas Bambu, Depok 2008.

    3. Berita Cina Ling-wai-tai-ta yang ditulis sekitar tahun 1178, oleh Chou Ku Fei. Reprint. Tanpa Tahun.

    4. Ma Huan Ying-Yai Sheng-Lan (1433): The Overall Survey of the Ocean’s Shores atau Laporan Umum Tentang Pantai-pantai Lautan. Diterjemahkan ke dalam Bahasa Inggris dari teks China, diedit oleh Feng Chéng-Chun dengan catatan dan introduksi oleh J.V.G Mills. Publikasi Cambridge University Press. Cambridge 1970.

    5. Slamet Muljana, Prof. Dr, Nagara Kertagama, Tafsir Sejarahnya. LkiS. Yogyakarta 2006.

    Demikian.

    Nuwun

    cantrik bayuaji

    • Matur sembah nuwun Ki Bayuaji penjlentrehanipun, ngeri membayangkan jadi budak belian. Kulo tenggo dongeng lajengipun, sugeng dalu.

      • Gue kira selama ini cuma orang afrika aje yang diekspor jadi budak, artinye tenaga orang kite jaman dulu masih bisa sebanding sama orang afrika…..kalo sekarang mungkin beda…….buktinye maen bola masih sering keokkkkk !!

      • Lha itu saudara2 kita (wong jowo) yang ada di Suriname, terus yang ada di Madagaskar, ada lagi di Sumatera Utara (ada istilah Jawa Kontrak), …… itu kalo gak salah juga hasil nyata dari sistim perbudakan yang hidup di kala itu.
        Orang-orang miskin dikumpulin untuk daftar kerja, ….. gak taunya untuk dijual kepada calo budak ataupun juragan perkebunan.
        Adalagi yang dengan paksaan, begundal2 Kompeni memaksa dengan ancaman anak2 muda untuk diperjual belikan ataupun dipekerjakan di perkebunan tuannya.
        Betul gak Ki Bayu?
        Nuwun.

  17. Miris sanget njih ki , lha menungso kok dipadhaake karo sato iwen .
    Antri maneh .

    • Nek jaman seniki istilahe nopo traficking nggih. WOnten child traficking, wonten women traficking.
      Lha menawi child traficking pikantukipun saking tindak penculikan.

  18. Sugeng enjang.
    Selamat pagi
    dan paling afdol
    Assalamualaikum wr. wb.
    Semangat antri. la wong gratis.

    • Sugeng enjang Ki Hong.
      Selamat pagi Ki Honggo
      dan paling afdol
      Assalamualaikum wr. wb. Ki Honggopati!

  19. Nuwun
    Sugêng siyang

    Katur Ki Truno Podang.
    Demikianlah sebenarnya yang terjadjiKi. Berikut ini dongeng tentang:

    Wong Djowo dadi koeli kontrak ing Soeriname

    Jauh sebelum Pemerintah Republik Indonesia mengirimkan Tenaga Kerja Indonesia (TKI) ke Luar Negeri, Pemerintah Belanda pada tahun 1890 telah mengirimkan 32.986 orang TKI asal pulau Jawa ke Suriname, suatu Negara Jajahan Belanda di Amerika Selatan.

    Tujuan pengiriman TKI itu adalah untuk mengganti tugas para budak asal Afrika yang telah dibebaskan pada tanggal 1 Juli 1863. Setelah secara resmi para budak itu dibebaskan, mereka beralih profesi dan bebas memilih lapangan pekerjaan yang dikehendakinya.

    Dampak pembebasan para budak itu, banyak perkebunan didaerah itu tidak ada yang mengurus, terlantar dan mengakibatkan perekonomian yang selama itu sangat tergantung dari hasil perkebunan, turun drastis.

    Adapun dasar Pemerintah Belanda memilih para TKI dari pulau Jawa itu adalah, rendahnya tingkat perekonomian penduduk sebagai akibat bencana meletusnya gunung berapi dan padatnya penduduk di pulau Jawa jika dibandingkan dengan daerah lainnya.

    Berbagai cerita tentang meletusnya gunung berapi itu sering disampaikan para TKI pada saat itu kepada para anak cucunya di Suriname, karena mereka tahu betul, bahkan mengalami adanya udan awu akibat letusan gunung berapi sebelum mereka diberangkatkan untuk kerja kontrak ke Suriname.

    Pada umumnya para TKI itu berasal dari daerah Jawa Tengah dan Jawa Timur. Ada juga dari daerah Jawa Barat tetapi jumlahnya lebih sedikit.

    Pelayaran jarak jauh ini singgah di Negeri Belanda dan akhirnya tiba di Suriname pada tanggal 9 Agustus 1890. Oleh sebagian orang Jawa yang masih tinggal di Suriname dan yang sekarang masih tinggal di Negeri Belanda, tanggal 9 Agustus selalu dikenang dan diperingati sebagai suatu tanggal yang sangat bersejarah.

    Para tenaga kerja di Suriname pada waktu itu, termasuk para TKI itu dipekerjakan di perkebunan tebu, perkebunan cacao (coklat), perkebunan kopi dan tambang bauxit.

    Gerakan “mulih nDjowo”.

    Pada tahun 1950 diselenggarakan pemilihan umum. Setelah terbentuk lembaga legislatif hasil Pemilu, Suriname menjadi Daerah Otonom dibawah Kerajaan Belanda.

    Secara otomatis seluruh penduduk Suriname menjadi Warga Negara Belanda. Akan tetapi sekitar 75% orang-orang Jawa menolak menjadi warga negara Belanda dan ingin tetap menjadi Warga Negara Indopnesia.

    Sejak Suriname merdeka pada tanggal 25 Nopember 1975, telah muncul beberapa partai politik yang “berbau” Indonesia. Antara lain Pendawalima dan Pertjatjah Luhur yang telah berhasil “melahirkan” banyak Pemimpin orang Jawa generasi kedua antara lain Willy Soemita dan Paul Salam Somohardjo.

    Meskipun orang-orang Jawa ini telah lebih dari 100 tahun tinggal di Suriname, kenyataannya mereka masih memiliki adat dan kebiasaan seperti di Pulau Jawa. Antara lain masih ditemukan pesta tayuban, wayang kulit, wayang orang, ludruk, tarian jaran kepang, kenduren atau selametan.

    Di District tertentu yang sebagian besar penduduknya suku Jawa, “suasana Jawa” masih terasa kental. Sayangnya, bahasa Indonesia belum banyak dimengerti, karena memang belum diajarkan. Bahasa Jawa “ngoko” masih digunakan oleh kalangan terbatas, khususnya di “District” Jawa.

    Pada Pemilu tanggal 25 Mei 2005 telah berhasil memilih 8 orang Jawa menjadi anggota DPR dan sekaligus berhasil memilih Paul Salam Somohardjo sebagai Ketua Parlemen (DPR) Republik Suriname sampai sekarang ini.

    Kelihatannya orang-orang Jawa ini telah memilih Republik Suriname dan Negeri Belanda sebagai tanah-airnya yang baru. Ini terungkap dari pernyataan beberapa orang yang tinggal di Negeri Belanda.

    Mereka menyatakan lebih baik tinggal di Negeri Belanda atau pulang ke Suriname dari pada pulang ke Indonesia. Hal ini bisa dimengerti, karena mereka lebih banyak mengenal Negeri Belanda dan Suriname dari pada Indonesia.

    Berbeda dengan rekan-rekan mereka yang telah lebih dahulu pulang ke Indonesia. Mereka yang telah pulang ke Indonesia ini lebih suka tinggal di Indonesia dan telah menjadikan Indonesia sebagai tanah tumpah darahnya, meskipun diantara mereka banyak yang lahir di Suriname.

    Wong Jawa yang jadi ”Wong” di Suriname di antaranya:
    a. Paul Salam Sumohardjo Ketua DPR/Parlemen Suriname (30 Juni 2005 sd sekarang).
    b. Soewarto Moetadja Menteri Urusan Sosial dan Ekonnomi Kerakyatan, kemudian digantikan oleh Samuel Pawironadi.
    c. Ramdien Sardjo Ketua Majelis Nasional.

    Diberitakan kehidupan wong Jawa di Suriname sekarang ini jauh lebih baik daripada para pendahulunya, dan jauh lebih baik lagi dibandingkan yang mulih nJowo.

    Semula Pemerintah Republik Indonesia akan “menempatkan” Repatrian asal Suriname itu di Kabupaten Metro, Lampung. Tetapi, atas dasar pertimbangan lain akhirnya ditempatkan di Desa Lingkin Baru (Tongar), Kapupaten Pasaman, Sumatera Tengah yang lokasinya sekitar 180 km dari Kota Padang.

    Setelah berlayar selama satu bulan, sebelumnya singgah di Cape Town, Afrika Selatan, akhirnya pada tanggal 05 Februari 1954 rombongan tiba di pelabuhan Teluk Bayur, Padang dengan selamat.

    Telah disepakati bahwa tanggal 05 Februari ini selalu dikenang dan diperingati oleh para mantan Repatrian asal Suriname, khususnya mereka yang berdomisili di Jakarta dan Sekitarnya serta di Riau sebagai suatu tanggal yang bersejarah.

    Setelah istirahat beberapa hari di Padang, selanjutnya rombongan meneruskan perjalanan darat naik bis ke Desa Lingkin Baru (Tongar).

    Ditempat yang baru ini para mantan repatrian hidupnya bukan menajdi semakin baik, tapi justru semakin menyedihkan.

    Kepada para Repatrian ini, Pemerintah Republik Indonesia dan Pemerindah Daerah Setempat telah menyediakan dan memberikan tanah garapan sekaligus tanah untuk tempat tinggal seluas 2.500 HA.

    Diharapkan dengan pembagian tanah yang setiap keluarga akan memperoleh bagian sekitar 2 HA ini, mampu memberikan harapan masa depan yang lebih baik.

    Akan tetapi sampai dengan tahun 2000an ini, proses untuk mengurus kepemilikan tanah yang telah diberikan oleh Pemerintah kepara para Repatrian ini masih sulit.

    Bahkan sekarang ini sebagian tanah-tanah itu telah diambil dan dijual oleh golongan tertentu untuk perkebunan kelapa sawit.

    Proyek Yayasan Tanah Air (YTA) di Lingkin Baru, Tongar, Kabupaten Pasaman, tidak berkembang bahkan dapat dikatakan telah berantakan. Hal ini terutama disebabkan oleh adanya perang saudara (PRRI) di Sumatera pada tahun 1958 dan tidak adanya lapangan kerja yang memadai di Kabupaten Pasaman dan sekitarnya.

    Akibatnya para generasi muda dan angkatan kerja asal Tongar banyak yang pindah dan mengadu nasib yang lebih baik ke Pekanbaru, Padang, Medan, Jambi, Palembang, Jakarta dan daerah lainnya.

    Di tempat-tempat yang baru ini kondisi dan keberadaan para Repatrian telah menyatu dengan masyarakat Indonesia lainnya. Kondisi sosial dan ekonominya lebih baik.

    Mereka bisa menyekolahkan anak dan keluarganya kesekolah-sekolah yang lebih tinggi, bisa berkembang, bisa memperoleh pekerjaan, bahkan banyak yang menempati jabatan-jabatan strategis baik di Perusahaan Swasta, di BUMN dan di Pemerintahan.

    Pengalaman masa lalu yang pernah dialami oleh para sesepuh, para saudara, para famili, para orangtua, perlu dijadikan pelajaran yang sangat berharga untuk mewujudkan suatu masa depan yang lebih baik, mengingat mereka telah tinggal di negera sendiri dan tidak numpang serta tidak dijajah oleh bangsa lain.

    Mungkin beliau-beliau menyimak pepatah lama:

    Daripada hujan emas di negeri orang, lebih baik hujan batu di negeri sendiri

    Bagaimanapun senangnya hidup di negeri orang, masih lebih senang hidup di negeri sendiri.

    Nuwun

    cantrik bayuaji

    • Mangan ra mangan asal ngumpul.

  20. kok belom diWEDAR versi DJVU-ne….!!??

    • he-eh….apa pakDE isih nunak-nunuk, belom lancar
      kaya ki ISMOYO…!!??

    • hadu…..
      lha wong wis tengak-tenguk ket mau ngono lho ki
      monggo dipun pirsani ingkang terwaca.

      • Matru nuwun tenguknya pak Lek.

        • NSSI-03-04-05 DJVU…pak SATPAM,

          haYoo…betol beLOM-kan,

  21. NSSI-02 DJVU sampun kulo undhuh.
    Matur sembah nuwun Pak Satpam, sugeng sonten.

  22. lha komen cantrik kok menDELEP kabeh…diSEDOT
    sopo iki…cek-cek-ceeek !!??

  23. Sugeng enjang,
    Matur nuwun sampun ngunduh NSSI-02 DJVU.

  24. kok belom diBUKA YAaaa….gandUK anyarE

    KENAPA ada APA…!!??

    • he he he …

  25. sugeng enjing….
    absen langsung ngunduh
    matur suwun pak satpam

  26. Nuwun
    Sugêng siyang

    Pukul 06.15, keluar dari padepokan Ki Bayuaji, menyusur jalanan depan Taman Kanak-kanak “Mutiara Bunda”, ramé bangêt, bocah-bocah putri cilik-cilik dianter ibunya atau pengasuhnya mungkin; si bocah putri paké kêbaya, bersanggul dan bèngèsan, lucu-lucu, ada yang pake pakaian adat Jawa (mayoritas), Sunda, Aceh, Padang (kasihan si bocah, kabotên sanggul), ada yang berseragam perawat, ibu polwan, bu dokter, bu guru, “mbok” tani (ngêndit sênik), macêm-macêm pokoké.

    Berseberangan dengan TK, salon “Cantik” nampak isuk-isuk sudah buka, lebih meriah, “kartini-kartini” masa kini, “wanita-karier” berlomba berndandan paké kebaya, seolah nggak mau kalah sama yunior-yuniornya.

    Sampailah di halte Jalur Busway Koridor 9 Pluit-Pinang Ranti. Lebih asyik lagi, senyum manis si mpok driver (båså Indonésiané adalah “pengemudi”, bahasa yang dibakukan konon katanya adalah “Pramudi” — nggak tahu dari asal kata apa si pencipta kata ini mendapatkan istilah “Pramudi” –)

    Para perempuan pengemudi yang biasanya mengenakan setelan jas dan berdasi itu tampak anggun dengan mengenakan kebaya berkebaya encim (pakaian tradisi dari kerabatnya Laksamana Cheng Ho), bersanggul, ada juga yang berkebaya biasa dan berjilbab, bervariasi warna-warni.

    Sampailah tujuan perjalanan pagi ini di salah satu bank; di pintu masuk lobby (Kenapa kok disebut lobby); seorang petugas satpam perempuan (saya tahu dia), yang hari-hari biasanya selalu pake seragam satpamnya, tapi hari ini “tampil beda”, berkebaya dan bersanggul. Hilang kesan satpamnya.

    Saya membayangkan bagaimana kalau P. Satpam padepokan PdLS sini harus “tampil beda”.

    Tak kalah dengan petugas satpamnya, di jajaran meja-pelayanan (istilah mereka “customer services desk”); para wanita karier “berdemontrasi” pake kebaya kartini juga.

    Pårå kadang,

    Itulah “perjalanan”ku hampir setengah hari ini, raun-raun ibukota nJakarta, menikmati “sajian khas kartinian”.

    Di perjalanan pulang, saya ngudåråså. Apakah Tanggal 21 April sudah berubah menjadi Hari Kebaya Nasional? Tapi bagaimana dengan Ibu Kita Kartini?.

    Antara setengah tidur (alhamdulillah di Bus Trans Jakarta saya dapet tempat duduk, kebetulan agak longgar), saya rêngêng-rêngêng:

    Ibu kita Kartini
    Putri sejati
    Putri Indonesia
    Harum namanya

    Ibu kita Kartini
    Pendekar bangsa
    Pendekar kaumnya
    Untuk merdeka

    Wahai ibu kita Kartini
    Putri yang mulia
    Sungguh besar cita-citanya
    Bagi Indonesia

    {Lagu Ibu KIta Kartini: Lirik Lagu W.R. Supratman}

    Nuwun

    punakawan bayuaji

    • mungkin gue kelewat bodo……
      dalam hati kenapa enggak ada hari CUT NYAK DIEN ??,
      atau hari DEWI SARTIKA ??
      mungkin gue kelewat bodo………….

    • Nuwun sewu, ini juga jawaban wong bodo Ki :
      Karena RA Kartini perjuangannya bukan fisik, tapi perjuangan moral dan kepribadian wanita. Wanita yang terjajah oleh adat istiadat jawa yang membelenggu. Oleh karena itu perjuangan ini dianggap universal bagi seluruh wanita umumnya dan wanita indonesia khususnya.
      Mudah2an kalo keliru ada yang bisa nglempengin, sampurasun.

    • Kalo Dewi Sartika bukannya diperingatin 22 Desember sebagai Hari Ibu Ki. Coba tanya Pak Google tentang Dewi Sartika. Dan Bunda Cut Nyak Dien juga dapat penghargaan di hati bangsa Indonesia dengan ditempakannya sebagai Pahlawan Nasional. Banyak lho pahlawan nasional seperti Jend Sudirman dkk yang tidak diperingati hari lahir atau wafatnya.

  27. di nssi 2 tu ada cewe muda n kece tu sapa yah? … kok pergi sendiri ? apa minggat krn dijodohin? … ki pandaaaaan tu ada cewe kece loh 🙂 🙂 … tp masalahnya berani ngga tu ma cowo cakep n sakti, jaka soka? 🙂 🙂

    • Roro Wilis itu keponakannya Ki Pandanalas, dadi yo Ki Pandan gak bisa komentar. Entar disankga pagar makan rayap, ,…….. bhe he he,…..

      • ooo makanya ga diisengin ki pandan 🙂 🙂 tapi napa ga ditolongin? … ponakan lg dlm bahaya kok didiemin ? 😦 😦 … terpaksa deh murid bude pandan wangi turun tangan niih … hiih hiaaaat ciaat sreet … ilang deh kumisna jaka soka 🙂

  28. ki gm tu pinter sekak ya ? 🙂 🙂

    • Kagak Non,

      Kalau Ki Menggung KartoJ sukanya Sisilian,
      Ki Menggung YuPram paling suka Karokan,
      Ki Rangga Widura suka banget Gambit Mentri,

      Kalau saya sukanya Gambit MENTRIK….!!!!

      • eh, kleru nding……..
        maksude NYAMBIT MENTRIK.

        • bilang ga, tp ngomongin istilah sekak buanyaaak 😦 …. tp memang pantes kok dengan gelarnya … gm … grand master sekak 🙂

          • klo mita, master internasional 🙂 … kan ada ‘mi’ nya 🙂

          • mba padmi juga 🙂

          • mbakmi juga..

        • nyambit mentrik? .. klo mentrikna marah gmn? 😦 …. mending nyambut mentrik aja lah 🙂

          • ki gm ni lg dmn sih? diajak gojeg kok malah ga ada, .. pa lagi sekak ya ? 😦 😦

            sik berseluncur di lendut benter 😛 😛 😛

          • Sedang topo…

  29. Nyambit mentrik sing pundi ki Gembleh ????????????

    • Kula menika namung sak derma lan nriman Ki,

      sak derma ingkang Sulistya kados Cinta Laura,
      menawi krenteg-ipun kados RA Kartini,
      inggih badhe kula trima.

      he…..he…..he…..
      sugeng dalu Ki Haryo.

      • Lha manawi makaten lha kulo njenengan padoske sisan ki .

  30. nyedhot nomer loro…


Tinggalkan Balasan ke Haryo Mangkubumi Batalkan balasan