nssi-13

kembali | lanjut >>

Laman: 1 2 3

Telah Terbit on 22 Mei 2011 at 22:01  Comments (50)  

The URI to TrackBack this entry is: https://pelangisingosari.wordpress.com/nssi-13/trackback/

RSS feed for comments on this post.

50 KomentarTinggalkan komentar

  1. Hem…heeemmm,

    • nomer SIJI oooiii….asik

      • mer Ro

        • me lu…eh..mer lu

          • me rat..eh..mer pat

  2. Sugêng dalu

    • wis awan kiai

      • Nuwun inggih Ki Pandanalas, lêrês sapunikå sampun siyang, nêmbé tindak pundi Ki.

        Sugêng siyang

        • nembe tindak tindak…

          Sugeng sonten

          • He he he he….
            tindak-tanduk Ki.???

            Taksih siyang Ki, mangké Ki PA dukhå lho, lha Tlatah Nuswantårå taksih awan padang jingglang kok, dèrèng sontên.

          • ..O..lha Ki Pa tindak tindak teng peken anyar..eh..baru je ..
            sanes wonten Padang…

          • pekan anyar

            pekan = pasar
            anyar = baru

            Pasar Baru????

          • Ha..ha..haaa !

            punopo Pakan baru Ki..
            Hayooo..sanes pakan iwak lhoo…xixixi

          • kulo niki disamping pengusaha, ugi kontraktor…

            pengusaha : usaha kanan-kiri
            kontraktor : ra tau netep…

  3. 10

  4. 11

  5. Sugeng senenan…

    • Sugeng selasa-an….

      • asiik, djvU wes metu….matur nuwun

        • Sugeng reboan…

          • pak Rebo koq lahire dino kemis
            yen setu dodol neng pasar minggu
            dino senen pindah neng pasar rebo

          • Sloso jumat setor neng bu rebo

  6. Sugeng dalu,

    asyik ….bentar lagi Ki Puna pasang cantholan.

  7. Sugeng dalu.

  8. Monggo-monggo sami antri ngisi daftar hadir.
    Sugeng Enjang.

  9. Matur nuwun P. Satpam, sampun ngunduh pertempuranipun Rara Wilis kaliyan Ibu tirinipun

  10. matur nuwun Ki Ajar pak Satpam,
    disini sudah terundhuh.

  11. Menunggu…
    barangkali Ki dalang, “njejer” wayang lagi
    he he he …
    monggo Ki

    • eh.., kliru gandok
      he he he …

  12. Nuwun
    Sugêng énjang

    ciptaning kidung ing madyå ratri
    laksitaning subråtå tan nyiptå marang pringgå bayaning lampah
    mèpêr hardaning påncådriyâ
    hânèng haning hanung

    perjalanan menggapai harapan,
    tak usah takut akan segala bentuk halangan, tantangan, ancaman, gangguan, dan cobaan
    haruslah selalu menahan dan menekan gelora nafsu
    ada dalam diam bertemu dalam hening mencapai cita-cita luhur

    DONGENG ARKEOLOGI & ANTROPOLOGI SERI NSSI

    Wedaran kaping-1: Sumunaring Abhayagiri ring Ratu Boko. On 18 April 2011 at 09:51 – NSSI 01
    Wedaran kaping-2: Glagahwangi Kesultanan Dêmak Bintårå (Bagian ke-1) On 28 April 2011 at 00:14 – NSSI 04
    Wedaran kaping-3: Glagahwangi Kesultanan Dêmak Bintårå (Bagian ke-2) On 2 Mei 2011 at 01:26 – NSSI 06
    Wedaran kaping-4: Glagahwangi Kesultanan Dêmak Bintårå (Bagian ke-3) On 7 Mei 2011 at 09:47 – NSSI 08
    Wedaran kaping-5: Keris, Dhuwung atau Tosan Aji (Bagian ke-1) On 11 Mei 2011 at 11:13 – NSSI 09
    Wedaran kaping-6: Keris, Dhuwung atau Tosan Aji (Bagian ke-2) On 11 Mei 2011 at 11:27 – NSSI 09
    Wedaran kaping-7: Keris, Dhuwung atau Tosan Aji (Bagian ke-3) On 18 Mei 2011 at 07:40 – NSSI 11

    Wêdaran kaping-8:
    KERIS, DHUWUNG atau TOSAN AJI] (Bagian ke-4)

    Dalam sejarah Jawa sampai Bali, seorang tokoh besar masa lalu tak lepas dari kisah pusaka-pusaka yang konon mempunyai dåyå linuwih yang sangat hebat. Kita ambil contoh, Ken Angrok dengan Keris Mpu Gandring, Sutåwijåyå dengan tombak Kyai Plèrèd, Adipati Aryå Pênangsang dengan Sétan Kobêr, Djåkå Tingkir dipercaya memiliki Keris Kyai Sêngkêlat, demikian juga keberadaan keris itu sendiri yang dipercaya penyebab huru-hara dan malapetaka seperti kita kenal dalam mitos atau folklore keris Kyai Condong Campur.

    Kanjêng Sunan Kalijågå yang memiliki keris Kanjeng Kyai Kopèk, yang diberikan kepada kepada penguasa Pajang Sultan Hadiwijåyå yang akhirnya sampai ke Kraton Yogyakartå. Secara estafet pula kekuasaan di Kraton Yogyakartå Hadiningrat selalu ditandai dengan penyerahan sebuah keris dapur Jalak Dinding, yang terkenal dengan nama Kanjeng Kiai Agêng Djåkå Piturun. Dalam legitimasi kekuasan Raja-raja Jawa tak lepas dari keberadaan sebuah pusaka, trutama keris.

    DONGENG KERIS JAWA

    Keris sebagai benda pusaka, tetapi sebenarnya adalah alat pembunuh. Telah banyak cerita yang ditembangkan dalam bentuk kidung, macapat, dongeng tutur lisan, atau yang ditulis dalam kitab kidung, kitab babad, bahkan laporan tertulis “jurnalis” kumpeni Belanda tentang keris.

    Aji Såkå . Dongeng tentang keris Jawa yang paling tua diduga adalah Sêrat Aji Såkå, walaupun ini dongeng tutur lisan yang bersifat legenda tetapi menghadirkan keterangan tentang keris.

    Jaman dulu, di Pulau Majêthi, hidup seorang satria tampan bernama Aji Såkå. Sang Satriå ini mempunya ilmu tinggi dan sangat sakti. Diceritakan bahwa Sang Aji Såkå mempunyai dua orang abdi bernama Dorå dan Sêmbådå. Dua orang abdi itu sangat setia kepada Sang Aji Såkå.

    Sampailah pada suatu ketika Sang Aji Såkå ingin pergi berkelana, bertualang meninggalkan Pulau Majêthi. Dorå diajak pergi menemani Sang Aji Såkå sedangkan Sêmbådå tetap tinggal di Pulau Majêthi, dan diperintahkan untuk menjaga pusaka Aji Såkå berupa keris yang sakti.

    Aji Såkå berpesan pada Sêmbådå bahwa Sêmbådå tidak boleh menyerahkan pusaka itu kepada siapapun kecuali kepada Sang Aji Såkå sendiri.

    Diceritakan bahwa pada waktu itu di Pulau Jawa terdapat kerajaan yang terkenal makmur, aman, dan damai, Kerajaan Mêdhangkamulan. Negara itu dipimpin oleh Prabu Déwåtåcêngkar, raja yang berbudi luhur dan bijaksana.

    Suatu hari, sang juru masak kerajaan dengan tidak sengaja telah memotong jarinya ketika sedang meracik bumbu menyiapkan santapan sang raja. Tanpa disadarinya potongan jarinya masuk ke hidangan yang akan disuguhkan kepada Sang Raja.

    Tanpa sengaja, potongan jari itu termakan oleh Sang Prabu Déwåtåcêngkar. Sang Prabu Déwåtåcêngkar merasa daging yang dia makan sangat lezat, kemudian ia mengutus patihnya menanyai juru masak kerajaan.

    Ternyata kemudian diketahui bahwa yang dimakan oleh Sang Prabu Déwåtåcêngkar adalah potongan jari daging manusia, ia memerintahkan sang juru masak untuk memasak daging manusia setiap harinya.

    Sejak itu Prabu Déwåtåcêngkar punya kegemaran baru, yaitu memakan danging manusia. Wataknya berubah jadi jahat dan senang melihat orang menderita.

    Negara itu berubah menjadi negara ‘hantu’ dan sepi karena satu per satu rakyatnya dibunuh dan dimakan oleh rajanya, tetapi ada juga rakyat yang lari menyelamatkan diri.

    Ketika satu demi satu rakyat Mêdhangkamulan habis dimakan oleh Sang Raja, Mahapatih menjadi bingung, karena sudah tidak ada lagi rakyat yang bisa disuguhkan kepada rajanya.

    Saat itulah Aji Såkå bersama Dorå sampai di Kerajaan Mêdhangkamulan. Aji Såkå heran melihat keadaan negara yang sunyi dan menyeramkan itu, kemudian ia mencari tahu sebabnya. Setelah ia tahu apa yang terjadi di Mêdhangkamulan.

    Sang Aji Såkå lalu menghadap Patih, menyatakan bahwa dia sanggup menjadi santapan Sang Raja.
    Awalnya Sang Patih tidak mengijinkan Aji Såkå yang masih muda menjadi santapan Prabu Déwåtåcêngkar, tapi Aji Såkå tetap memaksanya, dan sampai akhirnya Sang Aji Såkå dibawa juga untuk menghadap Prabu Déwåtåcêngkar.
    Sang Prabu juga heran, kenapa orang yang masih muda dan tampan mau-maunya jadi santapannya.

    Aji Såkå mengajukan syarat, dia rela dimakan Sang Prabu asal dia dihadiahi tanah seluas ikat kepalanya. Selain itu, Aji Såkå juga minta Prabu Déwåtåcêngkar sendiri yang mengukur tanah tersebut.

    Permintaan itu dikabulkan oleh Sang Prabu. Aji Såkå kemudian meminta Prabu Déwåtåcêngkar menarik salah satu ujung ikat kepalanya. Ajaibnya, ikat kepala itu mulur terus tak putus-putusnya.

    Prabu Déwåtåcêngkar terpaksa mundur dan mundur terus mengikuti ikat kepala itu sampai di tepi laut selatan. Aji Såkå mengibaskan ikat kepala tersebut, hal ini membuat Prabu Déwåtåcêngkar terlempar ke laut.

    Wujud Prabu Déwåtåcêngkar lalu berubah menjadi buaya putih. Singkat cerita Sang Aji Såkå menjadi raja di Mêdhangkamulan.

    Setelah menjadi raja, Aji Såkå teringat akan abdinya yang satu Sêmbådå, maka diperintahkanlah Dorå pergi ke Pulau Majêthi untuk mengambil keris pusaka yang dijaga oleh Sêmbådå.

    Sesampainya di Pulau Majêthi, Dorå menjelaskan pada Sêmbådå bahwa dia datang atas perintah Aji Såkå untuk mengambil keris pusaka yang dijaga Sêmbådå. Tentu saja Sêmbådå yang patuh pada pesan junjungannya Sang Aji Såkå tidak mau memberikan keris pusaka itu ke Dorå.

    Dorå memaksa agar keris pusaka itu diserahkan ke dia. Akhirnya dua orang itu berkelahi. karena keduanya sama-sama sakti, pertarungan berlangsung seru sampai akhirnya mereka berdua tewas.
    Sampyuh.

    Prabu Aji Såkå mendengar kabar kematian Dorå san Sêmbådå. Dia menyesal mengingat kelalaiannya dan kesetiaan Dorå dan Sêmbådå. Untuk mengabadikan dua punggawanya itu Aji Såkå menciptakan sebuah aksara yang bunyinya:

    — hå — nå — cå — rå — kå —
    ånå utusan — ada utusan —

    — då — tå — så — wå — lå —b>
    pådhå padu atukaran — saling berdebat berselisih pendapat —

    — på — dhå — jå — yå — nyå —
    pådhå digdayané — sama-sama sakti —

    — må — gå — bå — thå — ngå —
    pådhå dadi bathangé — sama-sama menjadi mayat —

    Walaupun serat Aji Såkå ini merupakan legenda atau ceritera tutur, tetapi cerita ini sampai masa sekarang masih menjadi dasar pandangan masyarakat Jawa atau Bali, yang masih hidup dalam kehidupan masyarakat sampai masa sekarang.

    Ciung Wanårå. Ceritera dari Babad Tanah Jawi menyebutkan bahwa Ciung Wanårå setelah dewasa diserahkan oleh Ki Buyut untuk mengabdi pada pandai besi istana, setelah tahu cara kerja pandai besi kemudian membuat banyak senjata keris, pedang, kudi, kujang.

    Kemudian Ciung Wanårå membuat tempat tidur kantil yang dibuat dengan terali besi, yang dinamakan Balai Sawo. Setelah itu Ciung Wanårå mengabdi pada raja Pajajaran Arya Bangah.

    Karena banyak berjasa Ciung Wanårå dianugerahi nama Banyak Wide. Kelak dengan tempat tidur berterali besi ini dapat membalas dendamnya kepada raja Pajajaran Arya Bangah, yang kemudian dihanyutkan kesungai Karawang.

    Ciung Wanårå menjadi raja besar di Pajajaran, begelar Harya Banyak Wide. Kemudian berperang dengan adik Arya Bangah yang bernama Djåkå Sêsuruh. Djåkå Sêsuruh yang kalah melarikan diri dari Pajajaran menuju ke Jawa Timur. [Babad Tanah Jawi (XXIV) Cariyos Prabu Brawijåyå lan têdhak turunipun]

    Panji Inu Kêrtapati. Dalam serat-serat Panji yang terdiri atas beberapa versi, Panji Inu Kertapati Pangeran dari Kerajaan Jenggala yang kemudian menjadi raja dan menyatukan kerajaan Jenggala dan kerajaan Kadiri, setelah menjadi raja bergelar Kameswara, adalah seorang yang pandai mengolah curigå, atau bermain silat dengan keris.

    Walaupun ceritera ini sekedar hanya sastra sejarah atau ceritera tutur lisan, ceritera Panji, pangeran dari Panjalu ini masa lampau menjadi suri tauladan dan menjiwai kehidupan masyarakat Jawa yang agraris feodal.
    Ceritera Panji ini bahkan tersiar sampai Vietnam dan Kamboja.

    Kadiri, Singasari. Dalam masa kerajaan di Jawa Timur dari masa Kediri sampai Singasari sejarah keris tampak kelam, tetapi diketahui bahwa akibat adanya kepercayaan baru yaitu Tantrayana, keris pada masa itu berkembang mencapai bentuknya.

    Keris yang tadinya berbentuk gemuk pendek berbadan lebar cenderung seperti keris Budha atau Katga pada masa ini berubah ramping walaupun uga masih tampak dêmpak dan sangkuk. Contohnya keris-keris Jenggala dan Singasari, dalam relief di Candi Panataran, keris sudah lebih ramping bentuknya.

    Baru dalam kitab Pararaton didapatkan keterangan yang luar biasa tentang keris. Kemelut Tumapel dengan tokoh Ken Angrok seorang rakyat jelata anak Ken Endog yang dipercaya titisan Dewa Brahma, membuat sejarah besar.

    Kitab Pararaton memberi keterangan yang banyak tentang keris. Dalam peristiwa ini keris yang merupakan senjata penusuk berperan serta dalam penentuan sejarah Singasari.

    Selanjutnya dapat dibaca pada Dongeng Arkeologi & Antropologi Seri NSSI Keris Mpu Gandring.

    Ra Tanca. Peristiwa-peristiwa besar yang melibatkan peran keris dalam masa kerajaan Majapahit apabila dikaji dari sejarah formal maupun ceritera tutur akan banyak ditemukan.

    Raja Jayanegara dibunuh oleh keris oleh Ra Tanca, salah satu pangalasan wineh suka Dharmaputra. Ra Tanca kemudian ditangkap dan dibunuh oleh Gajah Mada. Peristiwa ini selanjutnya Hayam Wuruk mewarisi takhta Majapahit.

    Bondan Kêjawan, Lêmbu Pêtêng. Begitu juga dalam ceritera tutur atau babad, banyak peran keris dalam sejarah yang hadir. Ceritera Bondan Kejawan atau Pangeran Lembu Peteng, yang diperintahkan oleh Prabu Brawijaya untuk belajar dan mengabdi pada ki Gede Tarub.

    Sang Prabu memberikan dua keris pusaka. Setelah berkelahi dengan perampok salah satu kerisnya patah tetapi mengalami kemenangan. Bondan Kejawan ini kemudian dikawinkan dengan putri ki Gede satu-satunya yang benama Nawangsih.

    Selanjutnya Bondan Kejawan menurunkan sederetan nama besar dalam sejarah masa kerajaan Dêmak. Cerita ini banyak ditulis dalam Babad Tanah Jawi, Babad Pajang, dan Babad Para Wali.

    Para Empu Keris. Dalam Babad terdapat sebuah bagian khusus yang memuat banyak keterangan tentang keris yaitu riwayat hidup dari empu-empu pande keris.

    Dalam babad diceriterakan riwayat para empu/mpu: Mpu Supå Gati, Mpu Supå Jigjå, Mpu Supå Driyå, Mpu Supå Pangeran Sendang, Mpu Pitrang, Mpu Surå, dan Mpu Supå Anom.

    Dalam Babad Tanah Jawi itu diceriterakan tentang raja Majapahit, yang memesan keris pada para empu, begitu juga para Wali yang membuat keris dapur-dapur yang baru.

    Muncul nama nama keris Pusaka seperti Condong Campur, Någåsåsrå, Sabuk Intên, Sêngkêlat, Carubuk, Kålåmunyêng, pedang Kyai Lawang, kêndali Rangah Macan Guguh, dan lain sebagainya yang kelak menjadi pusaka raja-raja Jawa selanjutnya.
    Pusaka tersebut sedikit banyak ikut berperan dalam sejarah.

    Dêmak, Pajang. Pada masa kerajaan Islam di Dêmak begitu banyak keterangan tentang keris, dan keris merupakan benda sebagai penentu sejarah, banyak ceritera tutur, serat, babad, bahkan sejarah modern tulisan H.J de Graaf menulis tentang peristiwa pembunuhan, perebutan takhta, dan balas dendam di masa kerajaan Dêmak.

    Pembunuhan dengan keris pada masa ini ternyata merajalela. Raja Dêmak pertama adalah Raden Patah atau Sultan Jim Bun putra Bra Wijaya raja Majapahit, yang dipelihara oleh Aryå Damar, adipati Palembang.
    Lihat dongeng selengkapnya tentang Raden Patah NSSI 04 — On 28 April 2011 at 00:14 cantrik bayuaji said: Wêdaran kaping-2: Glagahwangi Kesultanan Dêmak Bintårå (Bagian ke-1) —

    Setelah Sultan Fatah meninggal digantikan oleh Puteranya yang tertua yaitu Pangéran Sabrang Lor, tetapi pangeran ini meninggal pada masa mudanya, belum menikah dan belum mempunyai putera. Seharusnya yang menggantikan adalah putra yang kedua yaitu Raden Kikin.

    Tetapi Raden Kikin dibunuh ditusuk dengan sebilah keris dari belakang, sewaktu pulang dari sholat Jumat di masjid Dêmak. Raden Kikin meninggal di tepian sungai, oleh sebab disebut Pangéran Sêkar Sédå Lèpèn.

    Pembunuhan itu dilakukan oleh seorang prajurit pêjinêman atau prajurit sandi bernama Suråwiyåtå, orang suruhan atau abdi dari Raden Mukmin, yaitu nama muda Sunan Prawåtå.

    Putera laki laki Sêkar Sédå Lèpèn bernama Aryå Pênangsang, yang masih kecil diangkat menjadi murid terkasih Sunan Kudus. Aryå Pênangsang kelak kemudian setelah menjadi Adipati di Jipang akan membalas dendam.

    Kerajaan Dêmak jatuh ke tangan putra ketiga bernama Sultan Trenggånå. Tetapi Sultan Trenggånå gugur waktu berperang melawan Kerajaan Brang Wetan atau Blambangan di Beteng Panarukan.

    Yang menggantikan menjadi raja kemudian adalah putra Sultan Trenggånå yaitu Sunan Prawåtå.
    Tetapi masa pemerintahanya dipenuhi oleh kemelut persaingan kekuatan dan perebutan takhta.

    Aryå Pênangsang, putra Sêkar Sédå Lèpèn mulai membalas dendam. Pertama kali yang menjadi korban adalah Sunan Prawåtå sendiri, sewaktu Sunan Prawåtå sedang sakit tiduran duduk di pangku atau di ”sundang“ oleh Permaisurinya, datanglah dua orang Prajurit Surèng yang berhasil menyelinap ke tempat tidurnya.

    Prajurit Surèng suruhan Aryå Pênangsang ini segera menusuk Sunan Prawåtå, tusukan begitu kuat sehingga menembus dada sampai ke punggung, permaisuri yang memangkunya ikut tertusuk dan langsung mati.

    Sunan Prawåtå yang sakti walaupun terluka belum juga mati. Sunan Prawåtå meraih kerisnya Kyai Bêthok, dilemparkan kearah Prajurit Surèng. Prajurit Surèng itu hanya tersentuh keris sedikit pada kakinya luka tergores, Prajurit Surèng itu kemudian segera mati.

    Sunan Prawåtå. Kemudian mati menebus dosanya karena telah membunuh Raden Kikin Pangêran Sêkar Sédå Lèpèn.

    Aryå Pênangsang belum puas membalas dendam, maka terjadilah pembunuhan selanjutnya terhadap Sunan Hadiri. Sewaktu Sunan Hadiri dengan isterinya Ratu Kalinyamat melaporkan peristiwa itu dan minta pengadilan pada Sunan Kudus, kepulanganya ke Kalinyamat dihadang oleh Prajurit Surèng utusan Aryå Pênangsang.
    Sunan Hadiri terbunuh di jalan ditikam dengan keris namun untungnya Ratu Kalinyamat berhasil selamat.

    Balas dendam Aryå Pênangsang juga belum berhenti ingin menumpas habis keturunan Trenggånå, anak-anaknya dan menantu-menantunya.

    Sasaran ketiga adalah Adipati Pajang Hadiwijåyå Djåkå Tingkir, yang merupakan menantu Sultan Trenggånå paling muda. Hadiwijåyå pada masa itu telah menjadi Adipati di Pajang.

    Aryå Pênangsang kembali mengutus dua orang Prajurit Surèng untuk membunuh Hadiwijåyå. Para Prajurit Surèng berhasil masuk ke tempat tidur menemukan Hadiwijåyå yang baru tidur.

    Kemudian Prajurit Surèng itu menusuk dengan keris. Hadiwijåyå memang sakti, tidak mempan ditusuk dengan keris, bahkan kedua Prajurit Surèng terjengkang pingsan karena kibasan kain dodot selimut sakti Hadiwijåyå.

    Para Prajurit Surèng kemudian diampuni disuruh kembali ke Jipang, bahkan diberi uang yang banyak. Para Prajurit Surèng kemudian melapor kepada Aryå Pênangsang.

    Aryå Pênangsang marah besar, dan membunuh dua Prajurit Surèng dengan kerisnya Kyai Brongot Sétan Kobêr. Kedua Prajurit Surèng telah mempermalukan Pênangsang dan gagal dalam melakukan tugas.

    Aryå Pênangsang kemudian gugur di tangan kerabat Sélå. Ki Gêdé Pêmanahan, Ki Gêdé Pênjawi, dan putra Pêmanahan, Danang Sutåwijåyå, yang berperang dengan segala taktik dan tipu daya.

    Akhirnya Adipati Jipang Aryå Pênangsang gugur. Maka tinggallah hanya satu orang terkuat pewaris kerajaan Dêmak. Djåkå Tingkir atau Adipati Hadiwijåyå kemudian menjadi Sultan di Pajang bergelar Sultan Hadiwijåyå.

    Pada jaman kerajaan Mataram Islam yang beribukota di Kotagede kemudian berpindah ke Plèrèd, sejak pemerintahan Panêmbahan Sênåpati sampai Amangkurat Agung, diketahui keterangan yang banyak tentang keris.

    Panêmbahan Sênåpati. Beberapa peristiwa penting terjadi masa Panêmbahan Sênåpati mulai berkuasa di Mataram. Pada awal pemerintahan Senapati mulai membangun istana Kotagede, telah membelokkan rombongan Mantri Pemajegan dari daerah Bagelen yang akan menyampaikan hasil pajak daerah Bagelen dan Banyumas ke Pajang.

    Di Istana Mataram mereka diundang mampir dan dijamu makan-makan besar dan melihat tari-tarian. Ada seorang mantri Pêmajêgan yang bernama Ki Bocor, yang membenci Senapati dan ingin mencoba kesaktiannya.

    Pada malam hari waktu Panêmbahan Sênåpati baru duduk di atas tikar di pendapa, bersantai menghadapi meja pendek, datanglah Ki Bocor dari belakang. Dengan cepat Ki Bocor menusuk punggung Panêmbahan Sênåpati dengan keris pusaka yang bernama Kyai Kêbo Dêngèn.

    Tetapi setelah ditusuk berkali-kali Panêmbahan Sênåpati sama sekali tidak terluka. Ki Bocor kehabisan tenaga dan jatuh duduk berlutut minta ampun.

    Panêmbahan Sênåpati membalik kebelakang dan memaafkan perilaku Ki Bocor. Ki Bocor segera pergi, meninggalkan kerisnya ang masih tertancap di tanah.

    Sejak saat itu para mantri dan pejabat dari Bagelen dan Banyumas sangat kagum dan menghormati Senapati. Peristiwa ini banyak ditulis dalam Babad Tanah Jawi, Babad Pajajaran, Babad Baron Sêkébêr, Dari Babad
    Pajajaran diketahui bahwa Mantri Pêmajêgan Ki Bocor adalah bebahu desa Bocor di Banyumas, keturunan Pangeran Tole yang membenci Mataram karena mulai berkembang menjadi kota yang ramai.

    Kadipaten Madiun dan Rêtnå Dumilah. Peristiwa yang besar sesudah itu menyusul lagi. Pangeran Alit, atau Pangeran Mas saudara ipar Sultan Hadiwijåyå yang menjabat Adipati Madiun, yang bernama Panembahan Madiun, memberontak terhadap kekuasaan Mataram.

    Setelah Panêmbahan Sênåpati memimpin perang ke Madiun, Adipati Madiun merasa takut karena perajuritnya selalu kalah. Adipati Madiun mundur dan melarikan diri.

    Kadipaten dipertahankan oleh para prajurit yang dipimpin oleh Rêtnå Dumilah, putri Adipati Madiun yang gagah berani. Panêmbahan Sênåpati berhasil menyeberangi bengawan Madiun, langsung memasuki Kadipaten.

    Kedatangan Senapati dihadapi oleh Rêtnå Dumilah, yang telah siaga dengan para prajuritnya. Rêtnå Dumilah membawa keris sakti pusaka Madiun yang bernama Kyai Gumarang (keris dapur Kålå Gumarang adalah keris berdapur sêpang dengan sogokan dan grênêngan pada kedua kèpèt ganjana).

    Panêmbahan Sênåpati menghentikan para prajurit pengawalnya di bawah pohon beringin, dan sendirian memasuki Pendapa Kadipaten. Kedatangan Senapati dihadapi oleh Rêtnå Dumilah sendiri.

    Rêtnå Dumilah menusuk-nusuk Senapati dengan keris Kyai Gumarang tetapi Panêmbahan Sênåpati tidak terluka sedikitpun. Kemudian Rêtnå Dumilah kehabisan tenaga, berlutut minta ampun.

    Panêmbahan Sênåpati mengampuni Rêtnå Dumilah, akhirnya Rêtnå Dumilah putri Madiun kemudian diperisteri Panêmbahan Sênåpati. Panêmbahan Sênåpati kagum pada kecantikan dan keberaniannya.

    Sejarah ini banyak ditulis dalam babad, terutama Babad Tanah Jawi, Babad Matawis, dan buku sejarah tulisan De Graaf. Peristiwa ini terjadi pada tahun 1590.

    Setelah Panêmbahan Sênåpati wafat, kemudian berkuasa Susuhunan Sédå Krapyak atau Radèn Mas Jolang bergelar Susuhunan Hadi Hanyåkråwati. Digantikan oleh Raden Mas Rangsang, yang kemudian menjadi raja besar di Jawa bergelar Sultan Agung Hanyåkråkusumå.

    Sultan Agung Hanyåkråkusumå. Pada masa awal pemerintahanya Sultan Agung mempersiapkan ekspansi ke Jawa Timur, atau daerah Brang Wétan, Sultan Agung mempersiapkan diri melengkapi peralatan perang.

    Sultan agung mengumpulkan empu-empu dan pande besi yang ada didaerah kekuasaan Mataram. Para empu diharuskan membuat senjara perang, tombak pedang, keris, bahkan sampai meriam Jawa.

    Ratusan empu dan pandai besi bekerja keras dibawah pengawasan tujuh orang empu ternama (tindih êmpu pitu). Peristiwa ini disebut sebagai peristiwa Pakelun.

    Pada masa itu banyak dibuat keris, keris-keris itu dinamakan tangguh Mataram Pakelun, sampai masa sekarang keris-keris itu masih banyak dijumpai.
    Sedangkan meriam yang dibuat masa itu masih dapat dijumpai di keraton Kasunanan Surakarta.

    Setelah berhasil menaklukkan Blambangan sampai Madura, maka terjadi pemberontakan kadipaten Pati, Adipati Pragola II, atau Adipati Pragolapati penguasa daerah Pati memberotak.

    Dalam ceritera tutur Jawa, dikatakan orang orang Pati kebal senjata. Kekebalan itu menjadi tidak ‘mandi’ [mandi (båså Jåwå) = akèh dayané, ampuh (wiså, tåmbå, dongå), (tuah)], kalau senjata orang-orang Mataram diberi salut susuk emas.

    Setelah rahasia itu diketahui, maka keris Mataram diberi tatahan emas untuk men”tawar”kan (membuat ‘kesaktian’nya menjadi hilang) kekebalan orang dari Pati, maka kadipaten Pati pun jatuh dan dikuasai Mataram.

    Setelah jatuhnya Blambangan dan Pati, Sultan Agung berkenan memberi pada para prajurit dan perwira yang berjasa dengan keris bertatah emas. Maka pada masa itu keris keris penghargaan banyak diberikan kepada para abdi dalem yang berjasa.

    Keris tanda penghargaan tersebut adalah keris bertatah emas Gajah Singå, Keris gånå Gajah Singå sebenarnya adalah cronogram (sengkalan) tahun jatuhnya Pati.

    Ukiran ganja kinatah Gajah Singa itu lengkapnya berbunyi Gajah Singa Keris Siji. Gajah berarti 8, Singa berarti 5, Keris berarti 5, dan Siji berarti 1. Deretan angka itu kemudian dibaca dari belakang menjadi 1558. Angka ini adalah angka tahun Jawa. Tahun kemenangan Sultan Agung Hanyåkråkusumå atas Kadipaten Pati yang hendak membangkang kepada Narendra Agung Mataram Hadiningrat, Sultan Agung.

    Sebagai pemberian, sebenarnya keris itu juga berfungsi sebagai tanda pernghargaan, semacam satya lencana kesetiaan yang diberikan kepada para perwira/prajurit Mataram yang telah berjasa menumpas pemberontakan kadipaten pati atas kerajaan Mataram (Sultan Agung).

    Dengan berbagai bentuk atau dapur dan pamornya, dengan sendirinya tercipta adanya ciri khas tersendiri. Ciri khas ini kemudian merujuk pada sebuah identitas.

    Keris pun lalu menjadi simbol identitas dinasti atau derajat kepangkatan seseorang. Tatahan emasnya disesuaikan dengan besarnya jabatan atau jasa dari para pahlawan yang ikut berperang menaklukkan Blambangan dan Pati. Tahun Keruntuhan Pati menurut catatan Belanda adalah tahun 1627.

    Amangkurat yang haus darah.

    Setelah Sultan Agung surut, maka raja yang menggantikannya adalah Susuhunan Amangkurat I atau Amangkurat Agung. Masa pemerintahan Amangkurat ini diliputi suasana yang mencekam, penuh kekerasan dan pembunuhan.
    Begitu banyak peristiwa sejarah yang melibatkan keris sebagai alat pembunuh.

    Pangeran Alit dan Demang Malaya, Cakraningrat I. Pertama kali adalah peristiwa Pangeran Alit, Pangeran Alit sebenarnya adalah adik Sunan Amangkurat Agung sendiri, yang dicurigai akan memberontak karena banyak menggalang para lurah yang mencintainya, yang menjadi bawahannya.

    Lurah dan pengikut Pangeran Alit dibunuh satu persatu dengan jalan pembunuhan keji yang sangat rahasia. Karena marah, Pangeran Alit memprotes dengan datang di Alun-alun Plered membawa para lurah yang hanya sedikit jumlahnya.

    Terjadilah perkelahian di alun-alun, para lurah banyak yang terbunuh, Pangeran Alit kemudian mengamuk di alun-alun dengan kerisnya yang sakti.
    Beberapa orang telah menjadi korban keris Pangeran Alit.

    Demang Malaya atau juga disebut Cakraningrat I dari Madura membujuk agar Pangeran Alit menghentikan pertumpahan darah, dia berlutut dihadapan Pangeran Alit dan memohon dengan menangis, karena kemarahannya yang tak tekendalikan, Demang Malaya ditusuk keris lehernya oleh Pangeran Alit, Demang Malaya meninggal seketika.

    Pengikut Demang Malaya kemudian mengeroyok Pangeran Alit, sampai Pangeran Alit gugur . Orang-oang Madura yang mengeroyok Pangeran Alit juga dibunuh dengan keris oleh Prajurit Amangkurat.
    Menurut catatan Belanda, peristiwa ini terjadi pada tahun 1647 Masehi

    Kaum Ulama. Peristiwa kedua adalah pembunuhan kaum ulama. Amangkurat Agung selalu curiga dan khawatir terhadap para ulama, yang masa itu jumlah dan pengaruhnya semakin besar di kerajaan Mataram, yang membuat Amangkurat Agung menugaskan empat orang terkemuka membentuk kesatuan prajurit rahasia khusus, yang menyelidiki kaum ulama terkemuka di wilayah Mataram.

    Setiap hari Jum’at para prajurit rahasia ini selalu berada dan mengikuti para ulama yang sedang sholat Jum’at. Setelah sholat Jumat dilaksanakan, dari arah alun-alun dibunyikan meriam Sapujagad sebagai tanda rahasia, tanda untuk menghabisi ratusan santri dan ulama oleh prajurit kraton.

    Meriam besar sebagai tanda itu sebenarnya bernama Kyai Påncåwårå dibuat semasa Sultan Agung, yang kemudian diganti nama dengan Kyahi Sapu Jagad.

    Meriam besar itu masih dapat dilihat sampai sekarang terdapat dimuka Pagelaran Alun-alun Lor Kraton Suråkartå. Peristiwa ini tidak tertulis pada ceritera tutur dan Babad Jawa, tetapi terdapat pada sejarah Banten, Cirebon dan Belanda. Peristiwa ini terjadi kira-kira tahun 1648.

    Ki Dalêm dan Ratu Mas Malang. Peristiwa ketiga adalah pembunuhan Ki Dalêm. Ki Wayah di Pajang adalah seorang dhalang Wayang Gedhog yang mempunyai anak yang amat cantik tapi sudah bersuami, Suami anak Ki Wayah benama Ki Dalêm.

    Sunan Amangkurat menginginkan wanita tersebut menjadi isterinya, sekonyong konyong Ki Dalêm meninggal terbunuh oleh keris, tetapi tidak ketahuan pembunuhnya.

    Wanita istri Ki Dalêm kemudian diboyong ke kraton dan dinikahi Sunan Amangkurat walaupun telah hamil dua bulan. Wanita cantik ini kemudian terkenal sebagai Ratu Mas Malang yang kemudian meninggal dunia, dan diduga telah diracun.

    Setelah kematian Ratu Malang, Sunan Amangkurat menjadi tertekan jiwanya. Untuk melampiaskannya maka bersama kematian Ratu Malang telah dihukum mati 43 orang wanita dayang, pelayan, para emban dari keputren, sebagai hukuman karena kematian Ratu Mas Malang dianggap sebagai keteledoran mereka dalam melayani Ratu Malang.

    Raden Wiråmanggålå. Peristiwa besar terjadi lagi, gudang mesiu Mataram meledak secara tiba-tiba menimbulkan malapetaka dan kematian yang banyak. Raden Wiramenggala atau Riya Manggala dan Raden Tanureksa dituduh bertanggung jawab atas meledaknya gudang peluru tersebut.

    Bersama kerabat mereka sejumlah 27 orang mereka dihukum mati dengan ditusuk keris.
    Lebih menyedihkan lagi, Raden Purbaya kakak Raden Wiramenggala diperintah Sunan Amangkurat untuk membunuh Raden Wiramenggala.

    Peristiwa ini terjadi pada pertengahan tahun 1670. Beberapa babad telah menuliskan peristiwa itu, yaitu Babad Tanah Jawi, Babad Momana, dan Raporten Belanda (Laporan dari Tanah Jajahan).

    Pangéran Sêlarong. Peristiwa lain adalah pembunuhan Pangeran Selarong, Pangeran Selarong adalah putra Sunan Sêdå Krapyak dengan Putri Lungayu dari Ponorogo.

    Karena Pangeran Selarong dituduh menggunakan racun Anglung Upas, maka Pangeran Selarong dihukum mati dengan ditusuk keris, peristiwa ini terjadi didesa Bareng, Kuwel dekat Delanggu pada tahun 1669.

    Peristiwa itu ditulis dalam Sedjarah Dalem, Babad Momana, Babad Tanah Jawi dan catatan atau laporan Van Goens kepada Gubernur Jendral di Batavia.

    Pangeran Pêkik dan Wiraraja. Peristiwa kekejaman dengan keris muncul lagi, raja mempunyai simpanan gadis kecil yang sangat cantik, bernama Rara Oyi, karena belum haid, maka gadis cantik itu dititipkan kepada Pangeran Pekik, Adipati Surabaya, sampai saatnya dewasa nanti akan dijadikan isteri.

    Pangeran Pekik kemudian menyuruh Ngabehi Wirareja dan keluarganya untuk mengasuh anak gadis itu. Setelah beranjak dewasa Rara Oyi yang sangat cantik kebetulan berjumpa dengan Pangeran Dipati Anom, putera raja.
    Pangeran Adipati Anom segera jatuh cinta pada Rara Oyi. Rara Oyi kemudian dilarikan Pangeran Dipati Anom.

    Amangkurat Agung sangat murka, memerintahkan membunuh Pangeran Pekik dengan seluruh keluarganya, sejumlah 40 orang, Mereka dihukum mati dengan ditusuk keris.

    Wirareja juga dihukum mati beserta keluarganya jumlah korban dalam peristiwa ini adalah 60 Orang. Peristiwa ini terjadi pada tahun 1670.

    Betapun pada masa pemerintahan Amangkurat I telah sering terjadi pembunuhan pembunuhan dengan keris.

    Ketidak puasan, ketakutan, dan keresahan menyelimuti Mataram, dan akhirnya terjadi Pemberontakan Trunåjåyå yang bersekutu dengan mertuanya Pangeran Kajoran, sehingga kerajaan Mataram menjadi runtuh dan Amangkurat melarikan diri, dan wafat di Tegalwangi.

    Trunåjåyå. Setelah wafatnya Amangkurat Agung di Tegalwangi, maka Pangeran Adipati Anom menjadi raja. Amangkurat II atau Amangkurat Amral (Admiral) memindahkan ibukota Mataram ke Wanakarta, kemudian diganti nama Kartasura.

    Amangkurat Amral berhasil mengalahkan Pemberontak Trunåjåyå dengan bantuan Kompeni dan para adipati. Trunåjåyå ditangkap di Gunung Antang Kediri.

    Trunåjåyå ditawan dibawa ke Surabaya, di alun-alun Amangkurat Admiral menghukum Trunåjåyå dengan keris Kyai Blabar, maka berakhirlah pemberontakan Trunåjåyå.

    Untung Suropati. Masih begitu banyak peran keris dalam sejarah, misalnya Untung Surapati yang selalu membawa keris kecil yang disembunyikan dalam cadik untaian daun sirih, apabila berjumpa dengan Belanda cadik itu disabetkan pada orang Belanda, karena kesaktian kerisnya orang Belanda itu mati.

    Paku Buwånå II. Begitu juga Paku Buwånå II telah memberikan keris Kyai Kopèk kepada Pangeran Mangkubumi yang kemudian menjadi Sultan Hamengku Buwånå I di Kasultanan Yogyakarta.

    Ini tertulis dengan jelas pada sejarah sesudah Perjanjian Gianti. Keris Kyai Kopek menjadi lambang pengakuan kedaulatan Kasultanan Yogyakarta oleh Paku Buwånå II.

    Pangeran Diponegoro. Pangeran Diponegoro yang mengorbankan Perang Jawa (1825-1830), selalu memakai dan membawa keris pusaka di pinggangnya.

    Dalam gambar kuno akan selalu tampak Sang Pangeran memakai keris warångkå gayaman gaya Yogyakarta.

    Bagaimanapun juga keris keris, tunggul, dan pusaka kraton Jawa tetunya mempunai karisma sendiri-sendiri, kedudukanya, dan sejarahnya masing-masing.

    Sejarawan keris masih harus banyak menggali latar belakang dan sejarah tentang keris-keris pusaka seperti: Kyai Djåkå Piturun, Kyai Mahéså Nêmpuh, Kyai Mégå Mêndhung, Kyai Banjir, Kyai Babar Layar, Kanjêng Ki Agêng, Kyai Kêbo Nêngah, Kyai Kåråwêlang, dan masih banyak lagi keris pusaka yang harus dikaji sejarahnya lebih lanjut.

    Keris di Zaman Negara Kesatuan Republik Indonesia.

    Keris juga masih saja berperan, dan muncul dalam sejarah modern, sejak Perang Kemerdekaan hingga hari ini.

    Panglima Besar Jendral Soedirman. Pada masa revolusi fisik. Panglima Besar Soedirman memimpin perang gerilya melawan pendudukan Belanda.

    Jendral Soedirman tidak memakai seragam militer modern dengan pistol atau senapan. Jendral Soerdirman justru memakai udheng, blangkon ikat kepala, dan memakai jubah, dan di pinggang beliau terselip keris.

    Jendral Soedirman lebih suka memakai pakaian rakyat seperti kyai pedesaan, karena akan terasa lebih akrab berintegrasi dengan rakyat pedesaan.

    Bung Karno. Presiden pertama Republik Indonesia, pada masa keperesidenan beliau selalu membawa keris.

    Keris yang dibawa Bung Karno sebenarnya bukan keris melainkan pedang suduk yang memakai gånjå, atau keris dapur Cêngkrong yang diberi warångkå perak yang ditatah.

    Menurut ceritera pedang tangguh Belambangan itu pusaka dari ayah Bung Karno. Raden Mas Soekeni Sosrodihardjo yang priyaji Jawa, pemberian Sunan Paku Buwånå ke X.

    Menurut kepercayaan pada masa itu, Bung Karno menjadi sangat berani, berwibawa dan ditakuti, karena pusaka kerisnya. Keris atau pedang suduk ini sering terlihat pada foto-foto Bung Karno.

    Pak Harto, semasa menjadi Presiden Republik Indonesia, dalam hubungan diplomasi dengan negara-negara sahabat, beliau sering memberikan tanda mata untuk kepala negara atau wakil negara sahabat sebuah cideramata berupa keris.

    Keris yang diberikan adalah keris Bali dan ada juga keris Jawa. Peristiwa ini berlangsung berkali kali, dan pada masa itu sering ditayangkan oleh media masa.

    Begitu banyaknya peran keris dalam sejarah bangsa ini, Cantrik Bayuaji hanya menghadirkan serba sedikit peran keris dalam sejarah, dari bagian besar sejarah bangsa Indonesia.

    Untuk mengkajinya diperlukan perencanaan yang matang. Tentunya para ahli dan pecinta keris sangat memaklumi masalah itu. Terlebih lagi masa kini, keris yang menjadi milik Indonesia telah diakui oleh dunia/Unesco.

    Nuwun

    cantrik bayuaji
    diwedarkan oleh: punåkawan bayuaji

    • matur nuwun ki PUNA….

      • ki PUNA matur nuwun….

    • Prabu Dewata cengkar yang berbudi luhur dan bijaksana berubah menjadi bengis dan kejam setelah tanpa sengaja mencicipi lezatnya daging manusia.

      wah kok bagaikan cermin ya…????

      • yg bercermin sapa ta ? 🙂

  13. Tambah ilmu perkerisan maning.
    Lan tambah ngerti kelakuanne Raja Jawa sing bengis.
    Matur nuwun Ki Bayuaji lantaran Ki Punokawan.
    Sugeng siang.

  14. matur nuwun wedaran perkerisanipun

  15. Sugêng énjang

  16. Sugeng enjang,
    Ternyata cantrik yang sambang di NSSI, makin berkurang.
    MENGAPA?

    • kurang sajen mungkin kiai

  17. koperna kok berantem teyus ya? … malahan cewe2 pada ikutan berantem ? … itu dah pada masak belum kok dah berantem? 😦 😦

    • daripada berantem mbok lomba masak aja gmn ? 🙂

      • berani ga ama farah quin ? 🙂 🙂 🙂

        • walah…
          bagaimana klo diadu sama mbak Mita?

          • weeeh mita kadang nonton farah quin loh ….. eh ada tuh tmn co mita yg suka nonton farah quin, kirain suka masak… eh ternyata suka liat yg masak … uuuuuu 😦 😦 …. dik satpam gitu ga hayooo? 🙂

          • ya jelas menang mita dunk … kan mita klo masak pake pedang rangkap 🙂 🙂 jadi lbh cepet 🙂

  18. Tetap setia menunggu.

  19. di nssi 13

    looh widuri kok ga jadi larak lirik arya ya ? … na gitu dunk, jgn nyrobot2 pny org … 🙂

    tp widuri tnyt pinter silat juga ya? … kira2 menang mana ya klo diadu dgn jurus pedang rangkap mita? 🙂

    ki pa ternyata kurang hati2 ya, … lom nikah kok cucuna dah boleh ngikut cowona 😦

    haduuuu arya, cape ya abis duel ma ss?
    tak bikinin coffee mix mau ya? 🙂

    • yang 14 sudah ada tuh di serialshmintarja
      tapi ada dikit pornonya, gak boleh ngintip lho…

  20. boleh juga ulasan kerisnya …walaupun tingkat keakuratannya maksimal 60% saja ….karena masih banyak yang salah atau tidak sesuai dengan kejadian sebenarnya …..

    rapopo …sudah berusaha dengan sungguh sungguh

    terima kasih atas usahanya tsb.

    salam jempol

    • Di sini ruang untuk berbagi cerita, namanya dongeng mungkin ada yang salah, karena sumber pustaka memang terbatas, karena nenek moyang kita yang lebih suka bertutur, sehingga hanya menjadi sebuah dongeng daripada menuliskan cerita.

      Boleh di share kisanak
      mana yang salah dan/atau tidak sesuai dengan kejadiannya, sehingga kita bisa lebih memahami dongeng tersebut dengan lebih baik.


Tinggalkan Balasan ke gembleh Batalkan balasan