PKPM-05

<< kembali | lanjut >>

PKPM-05

Laman: 1 2 3 4

Telah Terbit on 21 November 2014 at 20:23  Comments (203)  

The URI to TrackBack this entry is: https://pelangisingosari.wordpress.com/pkpm-05/trackback/

RSS feed for comments on this post.

203 KomentarTinggalkan komentar

  1. Lanjut ki, suwun…

  2. Sentong anyar………….
    mbok ndang diisi rontal to Pak Dhalang…….

    • oce…lg nyiapin kupi sama rutinya buat maelm mingguannya, cihuiiiii

  3. lingak…linguk…
    belum ada rontal jatuh, he he he …
    sementara rontal yang berceceran telah dijepret di gandoknya.

  4. Gajahmada dan Supo Mandagri sama-sama mencoba mencerna perkataan orang tua pewaris tunggal dari leluhurnya sendiri, sang pencipta keris para dewa.

    “Banyak candi pernah kita lihat, namun hanya satu candi yang mampu dapat melahirkan mimpi-mimpi baru. Itulah candi pusaka leluhur kita,candi Borobudur yang tidak mudah lapuk tergerus oleh jaman”, berkata Ki Patih Mangkubumi.”Jadi setiap benda pusaka dalam bentuk apapun akan melahirkan ketentraman hati, ketenangan jiwa dan keluhuran budi sekaligus akan melahirkan mimpi-mimpi baru yang berguna di dalam kehidupan ini. Itulah benda pusaka yang sebenarnya”, berkata kembali Ki Patih mangkubumi sambil tersenyum memandang kedua anak muda di hadapannya itu.

    Nampaknya kedua anak muda dihadapan Ki Patih Mangkubumi seperti telah mulai dapat mengerti kemana alur pembicaraannya itu.

    Melihat kedua anak muda dihadapannya masih terdiam, terlihat Ki Patih mangkubumi menarik nafas panjang seperti tengah mengumpulkan semua ingatannya, dan mencoba memilih kata-kata yang tepat agar Gajahmada dan Supo Mandagri dapat mencerna penuturannya itu.

    “Maka seorang Empu adalah seorang guru yang mampu menciptakan sebuah pusaka yang disampaikan lewat setiap karyanya yang disampaikan lewat berbagai perlambang. Maka seorang Empu adalah seperti seorang yang kaya raya yang sangat berlimpah harta dan selalu ingin berbagi kepada siapapun”, berkata Ki Patih Mangkubumi dengan wajah penuh senyum mengakhiri kata-katanya.

    “Tutur Ki Patih Mangkubumi telah mencerahkan jiwa ini, ternyata masih banyak sekali yang harus hamba pelajari dalam hidup ini untuk menciptakan sebuah keris pusaka yang sebenarnya”, berkata Supo Mandagri seperti telah memahami dan mencerna semua tutur Ki Patih Mangkubumi.

    “Guru yang terbaik ada di dalam diri kita sendiri. Selama kita dapat menjaga hati ini agar senantiasa selalu bersih, maka selama itu pula kita akan berada dalam pengajarannya”, berkata Ki Patih Mangkubumi.

    “Perkataan Ki Patih Mangkubumi, akan kami pusakai”, berkata Gajahmada dan Supo Mandagri bersamaan.

    “Aku senang berbicara dengan orang-orang muda seperti kalian berdua”, berkata Ki Patih Mangkubumi dengan wajah dan senyum cerahnya.

    Sementara itu matahari pagi di atas Pura Pasanggrahan Ki Patih Mangkubumi terlihat semakin beranjak naik yang diiringi oleh suara kicau burung yang saling bersahutan diatas kerindangan dan keasrian taman disekitar Pura Pasanggrahan.

    Namun manakala Gajahmada bercerita tentang kecurigaannya atas para penghuni di Hutan kemiri, terlihat garis wajah di kening orang tua itu berkerut menunjukkan seperti begitu penuh kesungguhan perhatiannya.

    “Apakah kamu begitu yakin bahwa mereka berasal dari Lamajang ?”, berkata Ki Patih Mangkubumi.

    • Kamssiiiiiaaaaa……..!!!!!!!

  5. “Hamba merasa yakin bahwa hampir semua orang penghuni hutan kemiri itu menggunakan bahasa ibu yang sama, bahasa Lamajang”, berkata Gajahmada kepada Ki Patih Mangkubumi penuh keyakinan.

    “Yang sangat kuherankan, hingga saat ini tidak ada berita dan kabar apapun dari Tumenggung Lembu Weleng mengenai keadaan hutan Kemiri. Sebagai seorang pemimpin para prajurit delik sandi, sangat aneh bila mereka tidak mendengar atau mengetahuinya”, berkata Ki Patih Mangkubumi dengan wajah berkerut merasa curiga ada sesuatu yang kurang beres di kesatuan para prajurit delik sandi itu.

    “Hutan kemiri memang tidak begitu jauh dari Kotaraja Majapahit”, berkata Gajahmada ikut membenarkan dugaan Ki Patih Mangkubumi.

    “Hari ini juga aku akan menyampaikan perihal hutan kemiri kepada Baginda Raja Sanggrama Wijaya”, berkata Ki Patih Mangkubumi.
    Akhirnya menyadari banyak hal kesibukan yang akan di kerjakan oleh Ki Patih Mangkubumi di hari itu, terlihat Gajahmada dan Supo Mandagri pamit diri.

    “Aku akan memperkenalkan dirimu kepada ibuku”, berkata Gajahmada kepada Supo Mandagri ketika mereka telah berada di luar istana Majapahit.

    Maka terlihat kedua anak muda itu telah berjalan bersama di sekitar Kotaraja Majapahit yang sudah cukup ramai itu menuju kesebuah barak pasukan khusus prajurit wanita yang dipimpin oleh ibunda Gajahmada sendiri, Nyi Nariratih.

    “Nyi Rangga Nariratih ada di ruang para perwira”, berkata seorang prajurit wanita menunjukkan kepada Gajahmada ketika bertemu di Barak kesatuan pasukan khusus wanita itu.

    Dan manakala Gajahmada dan Supo Mandagri telah mendekati sebuah pintu tempat para perwira berkumpul, mereka berdua telah bersisipan jalan dengan seorang prajurit wanita yang baru saja keluar dari pintu dengan dua matanya terlihat baru saja banyak mengeluarkan air mata. Namun Gajahmada seperti tidak memperhatikannya, langsung menuju ke pintu ruang para perwira tinggi pasukan khusus itu.

    “Ibumu merasa gembira melihat kamu sudah kembali di Kotaraja Majapahit ini”, berkata Nyi Rangga Nariratih kepada putra kesayangannya itu.

    Maka setelah menyampaikan hal keselamatan masing-masing, Gajahmada segera memperkenalkan sahabat barunya itu kepada Nyi Rangga Nariratih.

    “Namuku Supo Mandagri”, berkata Supo Mandagri kepada ibunda Gajahmada.

    “Senang mengenalmu, wahai Supo Mandagri”, berkata Nyi Rangga Nariratih dengan penuh keramahan.

    Akhirnya dalam sebuah kesempatan, Gajahmada mencoba bertanya perihal seorang prajurit wanita yang dilihatnya begitu bersedih.

    “Suami dari wanita itu tengah menghadapi sebuah masalah besar”, berkata Nyi Rangga Nariratih

    • Suwun Ki

    • Masalah apakah gerangan yang menimpa suami prajurit wanita itu…..???
      Apakah tertangkap tangan oleh KPK atau tergoda tledek tayuban….???
      Lha jaman itu apa sudah ada KPK….???
      kalau tledek tentu sudah ada……!!!!

  6. “Semula aku mengira bahwa wanita itu telah melakukan sebuah kesalahan besar, dapat teguran dari ibunda”, berkata Gajahmada.

    “Wanita itu adalah seorang prajurit yang baik”, berkata Nyi Rangga Nariratih.

    “Ada masalah apa dengan suaminya ?”, bertanya Gajahmada kepada ibundanya.

    Lama Nyi Rangga Nariratih tidak langsung menjawab seperti tengah menimbang-nimbang apakah Gajahmada dan Supo Mandagri boleh mendengar rahasia itu. Namun akhirnya terlihat sebuah senyum tersungging dibibirnya.

    “Kedatangan kalian sungguh sebuah kebetulan”, berkata Nyi Rangga Nariratih kepada kedua anak muda itu.

    Mendengar perkataan Nyi Rangga Nariratih telah membuat kedua anak muda itu terheran-heran.

    “Kebetulan dengan apa gerangan, wahai ibundaku ?”, bertanya Gajahmada kepada ibundanya.

    “Wanita itu bersuamikan seorang prajurit delik sandi. Setelah beberapa hari bertugas telah kembali membawa sebuah berita rahasia. Namun manakala telah menyampaikan berita rahasia itu kepada Tumenggung Lembu Weleng yang menjadi atasannya, ada sebuah kabar bahwa jiwanya terancam. Untuk menyelamatkan dirinya, suaminya hingga kini telah menghilang entah kemana. Wanita yang menjadi istrinya itu telah menghadap kepadaku meminta perlindunganku untuk menyelamatkan suaminya.Maukah kamu berdua menolong wanita itu”, berkata Nyi Rangga Nariratih kepada Gajahmada dan Supo Mandagri.

    “Dengan segala senang hati, kami berdua siap membantu”, berkata Gajahmada mewakili kawannya, Supo Mandagri.

    “Bila demikian, aku akan manggil kembali wanita itu”, berkata Nyi Rangga Nariratih.

    Maka tidak lama kemudian, seorang prajurit wanita yang sedang dilanda kemalangan kehilangan suaminya itu telah datang kembali di ruang perwira pasukan khusus itu.

    “Sukemi, anakku dan kawannya ini telah bersedia membantumu, ceritakanlah dengan jelas hingga suamimu itu menghilang”, berkata Nyi Rangga Nariratih kepada seorang anak buahnya yang bernama Sukemi.

    Maka wanita itupun telah bercerita yang didengar oleh Gajahmada dan Supo Mandagri sama persis dengan yang diceritakan oleh Nyi Rangga Nariratih sebelumnya.

    “Apakah kamu tahu rahasia apa yang diketahui oleh sumimu itu ?”, bertanya Gajahmada kepada wanita itu.

    “Suamiku tidak bercerita apapun kepadaku, hanya mengatakan akan segera meyampaikan langsung sebuah rahasia besar kepada Tumenggung Lembu Weleng”, berkata wanita itu.

  7. “Apakah suamimu mempunyai sorang sahabat dekat di kesatuannya itu ?”, bertanya Gajahmada kepada wanita itu.

    “Sahabatnya itulah yang telah mengabarkan bahwa suamiku jiwanya terancam”, berkata wanita itu sambil menyebut sebuah nama.

    “Baiklah, hari ini juga kami akan menemui sahabat suamimu itu”, berkata Gajahmada kepada wanita itu.

    “Bersabarlah Sukemi, semoga kita dapat melewati cobaan ini”, berkata Nyi Rangga Nariratih kepada anak buahnya itu.

    “Terima kasih untuk perhatian Nyi Rangga kepada kami”, berkata wanita prajurit itu sambil berpamit diri.

    Manakala wanita itu telah meninggalkan ruang perwira pasukan khusus itu, ternyata Gajahmada dan Supo Mandagri ikut berpamit diri.

    “Berhati-hatilah kalian, yang kalian hadapi ini adalah seorang pembesar istana”, berkata Nyi Rangga Nariratih memberikan nasihat kepada Gajahmada dan Supo Mandagri yang bermaksud pamit diri untuk segera mencari tahu keberadaan suami anak buahnya itu yang telah pergi menyembunyikan diri karena telah mendapat sebuah ancaman jiwanya akan dihilangkan oleh seseorang berhubungan denga berita rahasia yang dimilikinya itu.

    Maka sebagai seorang pemimpin pasukan khusus Bhayangkara, tidaklah sulit untuk mencari sebuah nama prajurit dari kesatuan delik sandi yang disebut oleh prajurit anak buah ibundanya itu sebagai seorang sahabat dekat suaminya itu.

    “Danta saat ini berada di rumah orang tuanya di Padukuhan Sempur tengah menyiapkan rencana perkawinan adiknya”, berkata seorang prajurit yang mengenal orang yang sedang dicari oleh Gajahmada itu.

    Akhirnya setelah menemui beberapa orang anak buahnya di kesatuan Bhayangkara untuk mewakilinya karena ada keperluan yang sangat penting, terlihat Gajahmada dan Supo Mandagri telah berjalan kearah Padukuhan Sempur yang tidak begitu jauh dari Kotaraja Majapahit.

    Sementara itu langit masih terang dimana matahari masih menggantung rebah sedikit di awal sore manakala Gajahmada dan Supo Mandagri telah memasuki wilayah padukuhan Sempur.

    Sangat mudah untuk mencari orang yang bernama Danta itu, karena hampir semua warga mengenalnya sebagai seorang prajurit Majapahit.

    Ternyata keluarga prajurit yang bernama Danta itu memang akan melaksanakan sebuah hajatan besar, terlihat di halaman depan rumahnya beberapa orang tengah membangun sebuah tajuk.

    “Sungguh sebuah kehormatan besar mendapat kunjungan tuan pemimpin pasukan Bahayangkara”, berkata seorang pemuda berdada bidang yang nampaknya sudah mengenal Gajahmada.

    • Kamsiiiiaaaaa………..
      semua tebakan gembleh salah……….
      he…he…he….salah dua, masih dapat ponten delapan…..!!!

      • Itu kalau soalnya 10, kalau soalnya cuma 2, salah dua ya dpt nool puthul.

        • Nampaknya Ki BP belum mengetahui rencana Pak Dhalang yang akan menggrojogi 10 rontal……..
          Harak memang begitu kan Pak Dhalang……???

    • hups…..

      terlihat jejak Ki mBleh, ternyata menuju ke sini dan “mendisiki” Satpam.

      hadu…..

      Untung masih tersisa rontal dari Pak Dhalangnya, he he he …..
      takutnya rontal tersebut disembunyiken oleh Ki mBleh

      Harak cotho to

      • he…he…he….kalah selangkahan……

  8. Ternyata pemuda berdada bidang itu adalah Danta sendiri.
    Terlihat mereka bertiga duduk diatas pendapa rumah Danta dimana di halaman rumahnya terlihat beberapa orang tengah menyiapkan sebuah tajuk.

    Gajahmada tidak langsung menyampaikan tujuannya, mengawalinya dengan beberapa pembicaraan lain. Namun ketika Danta mendesak da keperluan apakah gerangan dirinya datang mengunjungi rumahnya. Maka akhirnya Gajahmada maksud tujuannya yang sebenarnya.

    “Aku datang untuk menanyakan perihal Sumijan, kawanmu”, berkata Gajahmada kepada Danta.

    Terlihat Danta tidak langsung menjawab, seperti tengah berpikir baik dan buruknya menyampaikan hal yang sebenarnya kepada Gajahmada. Namun rasa kesetia kawannya timbul, merasa kasihan dan ingin dapat membantu masalah yang dihadapi oleh kawannya itu, Sumijan. Ditambah lagi bahwa dihadapannya adalah seorang pemimpin pasukan Bhayangkara yang sangat dipercaya oleh Sri Baginda Raja Majapahit.

    “Hamba sendiri yang telah menyampaikan kepada Sumijan bahwa jiwanya terancam”, berkata Danta setelah berpikir cukup lama kepada Gajahmada.

    “Siapa gerangan yang akan mengancam keselamatan dirinya itu ?”, bertanya Gajahmada kepada Danta.

    Kembali terlihat Danta terdiam seperti merasa bimbang untuk mengatakan yang sebenarnya kepada Gajahmada.
    Nampaknya Gajahmada memaklumi apa yang dipikirkan oleh Danta.

    “Janganlah kamu merasa takut untuk menceritakan hal yang sebanrnya kepadaku, aku akan menjamin seutuhnya keselamatan dirimu dan keluargamu”, berkata Gajahmada mencoba meyakinkan perasaan Danta.

    Mendengar perkataan Gajahmada serta rasa kesetia kawannya kepada Sumijan, terlihat Danta seperti menarik nafas panjang menguatkan hatinya sendiri dan merasa yakin bahwa Gajahmada dapat dipegang janjinya.

    “Tumenggung Lembu Weleng sendiri yang telah berencana menghabisi nyawa Sumijan”, berkata Danta kepada Gajahmada dengan suara bergetar karena masih ada perasaan takut dihatinya sendiri.

    “Apakah Sumijan sempat bercerita kepadamu tentang sebuah berita yang telah disampaikan sendiri olehnya kepada Tumenggung Lembu Weleng ?”, bertanya kembali Gajahmada kepada Danta.

    “Sebelum pergi menghilang, Sumijan telah menyampaikannya berita itu kepada hamba”, berkata Danta masih dengan suara bergetar.

    “Percayalah kepadaku, aku akan menyelesaikan permasalahan kawanmu itu hingga tuntas. Ceritakanlah kepada kami apa yang telah kamu dengar dari Sumijan”, berkata Gajahmada mencoba kembali memberikan rasa keyakinan kepada Danta.

  9. Nampaknya Danta mulai mempercayai Gajahmada yang mempunyai jabatan dan wewenang cukup tinggi di istana Majapahit sebagai seorang yang sangat dekat dengan Sribaginda Raja Sanggrama Wijaya.

    “Danta telah mendapat sebuah tugas ke Kotaraja Kediri, namun manakala telah meyelesaikan tugasnya di Kediri, diperjalanan pulangnya telah melihat sesuatu yang mencurigakan berada di hutan Kemiri. Jiwa ke prajuritannya sebagai seorang petugas delik sandi telah mendorong dirinya untuk menyelidiki siapa gerangan para penghuni hutan Kemiri yang sangat mencurigakan itu. Bukan main terkejutnya Sumijan manakala mengetahui bahwa para penghuni hutan Kemiri itu adalah sebuah kekuatan yang sengaja disiapkan untuk membunuh seorang pembesar dari istana Kediri yang dipastikan akan melewati hutan Kemiri dalam waktu dekat ini”, berkata Danta dengan suara kali ini begitu penuh kepercayaan yang tinggi, merasa dihadapannya adalah seorang yang punya wewenang cukup disegani di istana Majapahit melebihi Tumenggung lembu weleng atasannya itu.

    “Kepercayaanmu dan keberanianmu menjelaskan tentang berita ini sungguh aku hargai, Kerajaan Majapahit berhutang budi kepadamu”, berkata Gajahmada kepada Danta

    “Semua hamba lakukan demi rasa kesetian kepada Sumijan, juga kepercayaan hamba kepada tuanku”, berkata Danta kepada Gajahmada.

    Demikianlah, Gajahmada dan Supo Mandagri segera pamit diri merasa telah mendapatkan penjelasan yang cukup gamblang mengenai persoalan yang telah terjadi atas diri Sumijan, suami salah seorang prajurit pasukan khusus Nyi Rangga Nariratih.

    “Aku akan menyempatkan diri datang di hari perkawinan adikmu”, berkata Gajahmada kepada Danta ketika telah berada di bawah tangga pendapanya.

    “Kami sekeluarga akan menjadi tersanjung bila saja tuanku datang di hari perkawinan adik kami”, berkata Danta dengan wajah cerah kepada Gajahmada.

    Manakala di perjalanan kembali Ke Kotaraja Majapahit, terlihat Supo Mandagri hanya mengikuti langkah kaki Gajahmada dan tidak banyak bertanya. Nampaknya memaklumi sahabatnya itu nampaknya tengah berpikir keras mengungkap persoalan suami seorang prajurit anak buah ibundanya itu.

    Dugaan Supo Mandagri ternyata memang benar, ternyata Gajahmada sambil berjalan berusaha memecahkan siapa gerangan pembesar istana dari Daha yang sengaja telah disiapkan sebuah kekuatan untuk membunuhnya.

    Tiba-tiba saja pikiran Gajahmada melayang jauh ketika dirinya bertemu dengan Ki Aria Wiraraja beberapa waktu yang telah lewat di sekitar tempat yang tidak jauh dari Hutan Kemiri.

    “Apakah Ki Aria Wiraraja berada dibelakang semua ini ?”, berkata dalam hati Gajahmada berusaha memecahkan masalah yang masih sangat buram itu.

    “Siapa gerangan pembesar dari Daha yang akan dicelakai itu ?”, bertanya kembali Gajahmada dalam hati sambil terus berpikir memecahkan masalah yang sangat pelik itu.

  10. Danta telah mendapat sebuah tugas ke Kotaraja Kedir, hehe…maksudnya Sumijan gito rojer (mohon dipersori dech)

    • Risang sudah berpikiran begitu, he he he

      Kamsiaaaaa…….!!!!

      • tujune leh ku maca telat…………
        Kamsia ralatnya Pak Dhalang………

  11. Monggo dilanjut ki…

  12. Ketika Gajahmada dan Supo Mandagri tiba kembali di istana Majapahit, hari telah terlihat mendekati saat senja.

    “Kembalilah ke Pasanggrahanku sendiri, aku akan menghadap langsung Baginda Raja Sanggrama Wijaya di pura pasanggrahannya”, berkata Gajahmada kepada Supo Mandagri.

    Terlihat keduanya berpisah di sebuah persimpangan jalan di dalam istana Majapahit. Sebagaimana yang dikatakan oleh Gajahmada, anak muda itu memang telah melangkahkan kakinya menuju pura pasanggrahan penguasa tertinggi Majapahit.

    Salah seorang prajurit Bhayangkara yang tengah bertugas menyapa Gajahmada dan mengatakan bahwa Sri Baginda Raja Sanggrama Wijaya saat itu tengah bersama Ki Patih Mangkubumi di serambi.

    Terlihat dengan tergesa-gesa sekali Gajahmada tengah menuju kea rah serambi.

    Gajahmada memang telah melihat Baginda Raja tengah berbincang-bincang bersama Ki Sandikala dan langsung mengajak Gajahmada duduk bergabung bersama mereka.

    “Kebetulan sekali kamu datang, kami tengah membicarakan masalah hutan Kemiri dan Tumenggung Lembu Weleng”, berkata Ki Sandikala kepada Gajahmada.

    “Hamba telah menemukan keterkaitan diantara keduanya”, berkata Gajahmada sambil bercerita tentang apa yang telah ditemukannya yang dimulai kisah menghilangnya suami seorang prajurit pasukan khusus ibundanya, juga cerita dari Danta tentang sebuah berita rahasia.

    “Siapa gerangan pembesar dari Daha yang akan mereka celakai itu ?”, bertanya baginda Raja Sanggrama Wijaya.

    “Menurut hamba, Ki Aria Wiraraja berada di belakang ini semua”, berkata Gajahmada.

    “Bagaimana kamu merasa yakin bahwa Ki Aria Wiraraja ada dibelakang ini semua ?”, bertanya Ki Sandikala kepada Gajahmada.

    Gajahmada bercerita tentang pertemuannya dengan Ki Aria Wiraraja beberapa waktu yang telah lewat di sekitar hutan Kemiri.

    “Bila memang Ki Aria Wiraraja berada di belakang ini semua, apa yang diinginkannya dari semua ini ?”, bertanya kembali Baginda Raja Sanggrama Wijaya memaksa Ki Sandikala dan Gajahmada untuk terus berpikir.

    “Aku mengenal Ki Aria Wiraraja sebagai seorang pemburu yang ulung, sangat gigih dan pantang menyerah. Aku masih ingat perkataannya kepadaku bahwa kita harus mengenal watak dan prilaku binatang jenis apa yang akan kita buru sebagaimana seekor elang mengamati mangsanya, atau seperti seekor harimau besar yang menanti dengan sabar mangsanya menjadi lengah, atau seperti seekor ular yang berpura-pura mati agar ditinggalkan oleh musuhmu”, berkata Baginda Raja Sanggrama Wijaya kepada dua orang kepercayaannya itu yang masih saja terlihat tengah berpikir.

    • haduh,,,,nanggung banget nich, lagi asyik sang permaisuri mengingatkan bahwa besok harus bangun pagi-pagi bekerja, hehehe….dipersori dech

      • Dimaklumi Ki Dalang. Alhamdulillah Ki Dalang sdh kembali ke Top Performance.

  13. Gajahmada dan Ki Sandikala masih terlihat terus berpikir, sementara Baginda Raja Sanggrama Wijaya masih saja berkata-kata.

    “Di lain waktu, Ki Aria Wiraraja juga pernah berkata kepadaku bahwa untuk menghancurkan sebuah pura yang besar tidak harus mencari seekor gajah yang besar pula, tapi carilah telur-telur rayap agar kamu tanam di satu tiang penyangganya”, berkata kembali Baginda Raja Sanggrama Wijaya.
    Mendengar perkataan terakhir Baginda Raja Sanggrama Wijaya, terlihat Gajahmada dan Ki Sandikala saling beradu pandang.

    “Daha adalah tiang penyangga dari Majapahit yang besar ini”, berkata Gajahmada yang seperti dibenarkan oleh Ki Sandikala lewat tatapan mata dan anggukan kepalanya.

    Sementara itu Baginda Raja Sanggrama Wijaya terlihat mengerutkan keningnya.

    “Hamba merasa bahwa pembesar dari Daha yang akan dicelakai itu adalah ayah angkat hamba sendiri, Patih Mahesa Amping”, berkata Gajahmada dengan suara perlahan

    “Bagaimana kamu merasa bahwa Patih Mahesa Amping adalah orang yang akan dicelakai itu ?”, berkata Baginda Raja Sanggrama Wijaya kepada Gajahmada.

    “Bukankah Patih Mahesa Amping adalah sahabat tuanku ?, bukankah Patih Mahesa Amping telah mampu merangkul semua kekuatan yang ada di Daha menjadi bersatu di bawah kewibawaannya ?, bukankah Patih Mahesa Amping telah menjadi saudara angkat tuanku sendiri ?, dan bagi mereka mencelakai Mahesa Amping berarti telah menyakiti hati tuanku sendiri”, berkata Gajahmada menjawab pertanyaan Baginda Raja Sanggrama Wijaya.

    “Ki Aria Wiraraja akan berhadapan dengan batu karang besar memilih Patih Mahesa Amping yang perkasa. Satu laskar besar tidak mampu menggeser sedikitpun dari tempatnya berdiri. Hanya dengan satu hentakan cambuknya, ribuan orang dapat binasa seketika”, berkata baginda Raja Sanggrama Wijaya masih belum yakin bahwa Patih Mahesa Amping adalah orang yang akan di celakai oleh orang-orang di hutan Kemiri itu.

    “Ki Aria Wiraraja punya seribu cara untuk menghancurkan sebuah karang besar”, berkata Ki Sandikala seperti mengingatkan Baginda Raja Sanggrama Wijaya.

    Mendengar perkataan Ki sandikala terlihat Baginda Raja Sanggrama terdiam sejenak merasa bahwa ucapan Patihnya itu memang dapat dibenarkan bila saja Mantan Adipati Sunginep itu benar-benar berada dibelakang semua itu.

    Namun sayangnya, tidak semua orang dapat selalu menjernihkan suara hatinya, tidak semua orang baik terlepas dari bisikan jahat, tidak terkecuali seorang penguasa tertinggi Majapahit itu.

    “Wahai Wijaya, benarkah kejayaanmu yang maha tinggi itu ditopang oleh sebuah pilar kekuatan seorang Mahesa Amping ?”, terdengar suara bisikan jahat seperti menantang dan mempertanyakan kebesaran nama Baginda Raja Sanggrama Wijaya.

    • Kamsiaaaaa Pak Dhalang……..
      Keangkuhan dan kesombongan memang sudah melekat dalam sifat hakiki kita, tinggal bagaimana kita menekan sifat buruk itu. Orang dulu punya istilah “mesu diri”, suatu tahapan untuk menekan sifat adigang adigung adiguna sampai mencapai tahap “lembah manah”
      Haiyah……nulis apa to iki…..???

  14. Melihat Baginda Raja Sanggrama Wijaya diam membisu, Gajahmada dan Ki Sandikala tidak berani bersuara lagi, membiarkan penguasa tunggal Majapahit itu menentukan sendiri langkah apa yang terbaik dilakukan.

    Namun sebagai seorang yang telah terbuka mata hatinya, seorang yang telah dicerahkan alam bathinnya untuk melihat yang tidak kasat mata, ternyata Ki Sandikala dan Gajahmada sama-sama telah merasakan sebuah hal yang tidak wajar tengah memenuhi suasana di sekitar pura pasanggrahan Baginda Raja Sanggrama Wijaya.

    Ternyata panggraita kedua orang tokoh kepercayaan baginda Raja Sanggrama Wijaya itu memang tidak meleset jauh, karena nun jauh disana di sebuah rumah besar di pinggir sebuah hutan Randu Agung terlihat ada sepuluh orang datuk tengah membaca mantra-mantra yang ikut terbang mengudara bersama asap dupa yang terus terjaga oleh arang yang terus membara.

    Pada hari itu, seorang tokoh ternama mantan pembesar istana Singasari, seorang yang pernah ikut andil dan berjasa membangun Kerajaan Majapahit yang telah melupakan nama besarnya sendiri berganti nama sebagai Ki Randu Agung, seorang yang punya pengaruh besar di Tanah Lamajang memang sengaja mengumpulkan sepuluh orang datuk besar untuk dapat merusak kejernihan hati Baginda Raja Sanggrama Wijaya.
    Mantra dan doa para datuk itu ternyata mampu menembus tirai-tirai kehalusan jiwa baginda Raja Sanggrama yang datang membisiki hatinya dengan menaburkan dan menumbuhkan kembali sifat-sifat angkara yang mengepung kesucian hatinya.

    “Wahai Wijaya, kamu telah membesarkan ular naga itu, suatu saat tahta dan kekuasaanmu akan tergilas oleh kekuatan ular naga itu, keagungan namamu dan segenap keturunannmu tidak tercatat lagi dalam tinta sejarah bumi suci ini, sebaliknya sang naga itulah yang akan menjadi agung di puja disetiap candi pura. Saatnya kamu memikirkan dirimu dan masa depan keturunanmu sendiri. Biarkanlah ada orang lain mengakhiri perjalanan sang naga di hutan kemiri, bukankah tanganmu akan terus terjaga kebersihannya ?”, berkata kembali bisikan didalam diri Baginda Raja Sanggrama Wijaya.

    “Temunggung Lembu Weleng telah berselingkuh dengan kita, aku ingin dirinya segera diamankan agar tidak melarikan diri. Sementara untuk masalah para penghuni hutan kemiri akan kita bicarakan kembali esok hari”, berkata Baginda Raja Sanggrama Wijaya sebagaimana layaknya seorang raja member titah kepada para punggawanya.

    Terlihat Gajahmada dan Ki Sandikala saling berpandangan seperti merasa kecewa atas sikap dan keputusan penguasa tunggal Kerajaan Majapahit itu yang hanya menghukum Temungung Lembu Weleng namun tidak membuat sebuah keputusan pada hari itu juga untuk menyelamatkan Patih Mahesa Amping, seorang pembesar Daha yang akan dicelakai oleh sebuah kekuatan yang telah disiapkan di hutan kemiri.

    Demikianlah, terlihat Ki Sandikala telah berpamit diri di hadapan Baginda Raja Sanggrama Wijaya, tentunya dengan sebuah pengharapan pikiran Baginda Raja akan menjadi lebih jernih lagi esok harinya.

    • Wuiiiihhhhhh……banjir bandang…….
      Kamsia Pak Dhalang………

  15. Sementara Gajahmada di malam itu juga telah membawa beberapa orang kepercayaannya untuk mengamankan Temunggung Lembu Weleng. Hukuman apa yang pantas untuk seseorang pejabat istana yang telah melakukan penghianatan adalah menjadi wewenang Baginda Raja Sanggrama Wijaya yang akan menentukannya.

    Setelah melaksanakan tugasnya, mengamankan Temunggung Lembu Weleng di tempat yang terjaga di istana Majapahit, terlihat anak muda pemimpin pasukan khusus Bhayangkara itu melangkahkan kakinya ke arah Pasanggrahannya sendiri. Sementara hati dan pikirannya masih saja terpaut kedalam suasana penuh kekhawatiran tentang rencana orang-orang hutan kemiri yang telah disiapkan untuk mencelakai ayah angkatnya, Patih Mahesa Amping.

    Di Pasanggrahan pribadinya Gajahmada tidak bertemu dengan Supo Mandagri, karena sudah lebih dulu beristirahat di peraduannya.

    Lama hingga datangnya warna merah tipis di atas langit saat sang malam mulai jenuh menjaga bumi, tidak juga ada perasaan mengantuk pada diri Gajahmada. Keterikatan bathin sebagai seorang putra angkat telah memenuhi debar-debar kalbunya memikirkan keselamatan Patih Mahesa Amping.

    Gajahmada tidak menyadari bahwa itulah getaran pranggaita yang harus disikapi. Sementara itu di sebuah yang jauh dari kotaraja Majapahit, disebuah alam suasana padukuhan yang aman dan tentram di bawah bintang gemintang langit malam, seorang lelaki tua telah merasakan hal yang sama sebagaimana tengah di rasakan oleh Gajahmada saat itu.

    “Besok pagi kita ke hutan kemiri”, berkata lelaki tua itu yang tidak lain adalah Ki Gede Bajra Seta kepada putranya Mahesa Darma.

    Ternyata lelaki tua yang masih terlihat gagah itu telah mampu dapat membaca sebuah pengabaran bahwa akan terjadi sebuah peristiwa besar berkaitan dengan seseorang yang sangat dicintainya itu, Patih Mahesa Amping. Seseorang yang pernah dibesarkan dan dibina lahir dan bathin di Padepokan Bajra Seta bersama Baginda Raja Sanggrama Wijaya sang penguasa Majapahit itu.

    Sebagai seorang putra dari Ki Gede Bajra Seta, Mahesa Dharma dapat mengerti bahwa ayahnya pasti telah mendapatkan sebuah panggraita sehingga tiba-tiba saja telah mengajaknya untuk pergi ke hutan kemiri besok pagi.

    “Masih ada waktu beristirahat, meski hanya merebahkan badan dan meluruskan kaki”, berkata Mahesa Dharma sambil bangkit berdiri pamit diri kepada ayahnya untuk masuk keperaduannya.

    Manakala putranya sudah masuk ke peraduannya, terlihat Ki Bajra Seta melangkahkan kakinya menuju ujung pagar pendapa halaman padepokan Bajra Seta. Dibenak orang tua yang sudah penuh dengan kerut-kerut diwajahnya itu adalah sebuah bayangan Mahesa Amping kecil yang tengah berlatih di depan halaman muka Padepokan Bajra Seta.

    “Kasihan Mahesa Amping, sejak lahir tidak mengenal wajah orang tuanya sendiri”, berkata Ki Gede Bajra Seta sambil mengenang masa-masa keberadaan Mahesa Amping di Padepokan Bajra Seta.

    • Kamsiaaaa,…. hari ini triple grojogan.
      Dan asal tau saja lho, untuk ketiga tiganya gembleh bisa mendhisiki Pak Satpam…………..

      • He he he … iya wis, kalah lagi gak apa-apa.
        hadiah bisa diambil sendiri ke warung terdekat.

  16. Namun sebagai seorang guru suci yang telah mengenal arti kebesaran dan kekuasaan tertinggi Gusti yang Maha Agung sebagai pemilik alam semesta jagad raya ini, dirinya telah menyadari bahwa tidak satupun makhluk yang dapat lepas dan lari dari takdirNya. Dan manakala hujan di pagi itu telah mengguyur bumi, terlihat Ki Gede Bajra Seta masih tersenyum memandang curah hujan yang cukup lebat di halaman depan Padepokan Bajra Seta.

    “Kita menunggu saat hujan menjadi reda, wahai putraku”, berkata Ki Bajra Seta kepada Mahesa Dharma yang telah bersiap-siap diri untuk berangkat menuju hutan kemiri.

    “Hujan yang turun cukup deras seperti ini biasanya tidak begitu lama”, berkata Mahesa Dharma kepada ayahnya sambil ikut memandang hujan yang masih turun cukup deras itu.

    Sementara itu di sebuah pagi yang sama dalam cuaca yang cukup cerah disebuah tempat yang berjarak sekitar setengah hari perjalanan dari hutan kemiri, terlihat sekumpulan prajurit tengah membongkar perkemahan darurat mereka. Nampaknya akan melanjutkan perjalanan kembali setelah bermalam di tempat itu.

    Ternyata mereka adalah para prajurit Daha yang tengah mengawal seorang pembesar istana Daha dan putranya yang tidak lain adalah Patih Mahesa Amping dan putranya bernama Adityawarman.

    Sosok sang Patih dari Daha itu terlihat begitu gagah perkasa berdiri diatas kudanya dengan janggut yang tebal dan terpelihara rapi telah menambah kewibawaannya. Sementara itu disampingnya adalah putranya sendiri, seorang pemuda yang cukup tampan yang dikenal bernama Adityawarman.

    Terlihat Patih Mahesa Amping dan putranya itu telah bersiap-siap diatas kudanya untuk melanjutkan perjalanan mereka sebagai utusan kerajaan Daha untuk menyaksikan sebuah wisuda Rajamuda Tumapel dan Rajamuda Kahuripan yang dilakukan secara bersamaan di istana Majapahit.

    Nampaknya sang Patih telah memilih bermalam di tempat itu dengan perhitungan tidak menjadi perhatian banyak orang dibandingkan bila mereka bermalam di sebuah Kademangan. Sebagaimana diketahui bahwa sebuah rombongan utusan kerajaan biasanya membawa banyak barang berharga sebagai upeti dan hadiah, dan Patih Mahesa Amping nampaknya menghindari hal-hal yang tidak diinginkan terjadi dalam perjalanan mereka.

    “Kita sudah siap melanjutkan perjalanan, wahai tuanku”, berkata seorang pemimpin prajurit pengawal itu kepada Patih Mahesa Amping.

    “Mari kita berangkat”, berkata Patih Mahesa Amping kepada putranya sambil menghentakkan perut kudanya.

    Terlihat rombongan pasukan berkuda mengiringi dibelakang sang patih yang sangat berwibawa diatas kudanya itu telah berjalan perlahan diatas jalan keras, sebuah jalan tanah yang biasa digunakan oleh banyak pedagang untuk datang dan pergi ke Kotaraja Kediri.

    Dalam perjalanan, sang surya pagi terlihat telah mulai merangkak menerangi wajah-wajah para prajurit.

    • lingak…linguk…
      mana Ki mBleh, kok gak ketok…
      “mendelik” maneh ah…

      • eh… lupa….
        kamsiaaaa……!!!!!

  17. Semakin penasaran ingin melihat bagaimana Ki Dalang meliuk-liuk di antara lekukan yg tertoreh dalam sejarah yang penuh subyektifitas.

  18. Rombongan berkuda para prajurit Daha yang mengawal Patih Mahesa Amping terlihat masih terus berjalan menyusuri jalan yang mendatar panjang, namun terkadang terjal dan berliku.

    “Seperti inilah kehidupan yang kita jalani, wahai putraku. Dimana tidak selamanya kita berjalan diatas tanah datar, terkadang didepan mata kita terbentang jalan terjal yang penuh berliku”, berkata Patih Mahesa penuh senyum kepada putranya, Adityawarman.

    “Aku menikmati perjalanan ini, wahai ayahku”, berkata Adityawarman dengan wajah cerah ceria.

    “Kamu benar wahai putraku, pahit getir asam dan manis kehidupan adalah sebuah racikan kenikmatan yang harus kita nikmati”, berkata Patih Mahesa Amping sambil menghirup nafas panjang menikmati harum daun hijau yang terbawa oleh hembusan angin disiang itu.

    Demikianlah, Patih Mahesa Amping dan rombongannya itu masih terus berrjalan dipayungi lagit yang cerah membelah padang dan perbukitan hijau.

    Hingga manakala cahaya matahari mulai menyengat kulit, Mahesa Amping telah memerintahkan rombongannya itu untuk beristirahat.
    Terlihat beberapa orang prajurit Daha yang mendengar peintah itu sudah langsung melompat dari kudanya mencari tempat teduh untuk bersandar dan mengeringkan peluh yang membasahi seluruh tubuh mereka.

    “Kita berteduh di dekat bebatuan besar itu”, berkata Mahesa Amping mengajak putranya kesebuah batu besar yang teduh dinaungi sebuah pohon besar yang sangat rindang.

    Desir angin berhembus lembut menyapu wajah Patih Mahesa Amping yang telah bersandar di sebuah bebatuan besar bersama putranya.

    “Ketika Raja Jayakatwang masih berkuasa, ayahmu bersama Baginda Raja Sanggrama Wijaya pernah duduk bersama di bebatuan ini sebagai dua orang pembegal sambil mengamati para pedagang yang lewat di jalan ini”, berkata Patih Mahesa Amping kepada Adityawarman.

    “Ayah bersama Baginda Raja pernah jadi seorang pembegal ?”, berkata Adityawarman seperti tidak percaya dengan apa yang didengar dari ayahnya sendiri.

    “Tidak selamanya kita harus berperang berhadapan dengan pedang ditangan, ayahmu terpaksa menjadi pembegal di berbagai tempat untuk sebuah pencitraan bahwa Raja jayakatwang tidak mampu mengamankan kerajaannya sendiri”, berkata Patih Mahesa Amping kepada Adityawarman sambil tersenyum.

    “Aku hanya pernah mendengar bahwa ayah dan Baginda Raja Sanggrama Wijaya telah memenangkan sebuah peperangan dengan gilang gemilang, baru hari ini kudengar cerita tentang perang sebagai seorang pembegal jalanan”, berkata Jayakatwang sambil tertawa membayangkan ayahnya yang sangat di hormati oleh banyak orang itu ternyata pernah menjadi seorang pembegal jalanan.

    • he he he … mana Ki mBleh

      • Score akhir masih 3-2…………

    • kAMSIAAAA……..Kisanak Dhalang…….

  19. Patih Mahesa Amping hanya tersenyum memandang putranya yang masih tertawa mendengar ceritanya tentang seorang pembegal jalanan.

    “Begitulah peperangan, adakalanya kita memenangkan sebuah pertempuran, namun kadangkala kita harus pulang membawa kegetiran hati menanggung kekalahan dalam sebuah pertempuran.

    Sementara yang paling sangat menyakitkan dalam sebuah peperangan manakala kawan-kawan dekat kita sudah tidak dapat kita jumpai di alam dunia ini, tewas disaat pertempuran. Pada saat itu, tidak ada obat apapun untuk menyembuhkan kepiluan hati ini”, berkata patih Mahesa Amping kepada putranya.

    “Ternyata sebuah peperangan banyak menimbulkan kepedihan hati, ternyata pula kemenangan gilang gemilang Baginda Raja Sanggrama Wijaya berada diatas darah dan air mata para sahabat setianya”, berkata Adityawarman dengan wajah seperti tengah merenungi dan membayangi sebuah pertempuran besar.

    “kamu benar wahai putraku, namun peperangan bukan hanya dibanjiri oleh darah dan air mata, juga penderitaan panjang manakala tidak ada lagi tempat berlindung dan bernaung karena hampir seluruh tempat dikuasai oleh pihak musuh, sementara pula tidak ada

    seorangpun yang berani menampung kami sebagai para pemberontak”, berkata Patih Mahesa Amping melukiskan penderitaan yang sangat di masa-masa penuh perjuangan menghadapi kekuasaan Raja Jayakatwang.

    “Tidak ada yang berani menerima kalian ?”, bertanya Adityawarman dengan penuh perhatian.

    “Tidak semuanya, masih ada seorang mantan pembesar Singasari yang merasa simpatik terhadap perjuangan kami yang ingin menghidupkan kembali kekuasaan Singasari ini di Jawadwipa ini. Dialah Adipati Sunginep yang diam-diam memberi kami naungan kepada kami untuk bersembunyi sementara waktu, juga telah menyumbang begitu banyak kuda serta membeli banyak budak untuk kami jadikan tambahan pasukan untuk kembali mengadakan perlawanan kepada kekuasaan Raja jayakatwang”, berkata Patih Mahesa Amping bercerita tentang kebaikan seorang Adipati Sunginep kepada Baginda Raja Sanggrama Wijaya di masa-masa perjuangannya.

    Mendengar penuturan ayahnya itu, terlihat Adityawarman tidak berkata apapun hanya terdiam membisu seperti tengah membayangkan ayahnya yang saat ini penuh bergelimang kehormatan dan berkecukupan itu ternyata punya sebuah kenangan yang begitu pahit dalam sisi kehidupannya di masa-masa perjuangan bersama Baginda Raja Sanggrama Wijaya.

    “Kita sudah cukup beristirahat, mari kita melanjutkan perjalanan kita”, berkata Patih mahesa Amping kepada putranya, Adityawarman.

    Demikianlah, rombongan Patih Mahesa Amping terlihat telah bergerak kembali.

    Angin lembut menyapu wajah para prajurit Daha yang tetap siaga mengawal dan menjaga junjungan mereka Patih Mahesa Amping yang terlihat berkuda berdampingan bersama putra tunggalnya, Adityawarman.

    Sementara sang mentari di langit terlihat terus bergeser kearah barat meneduhi bumi.

    • Score menjadi 4-2………
      tetap untuk keunggulan gembleh,
      harak inggih mekaten to Kisanak…….???

      • lagi dimana ya pak satpamnya, kok kecolongan terus, hehehe

    • Kamsiiiiaaaaa……..Pak Dhalang.

  20. Wajah bumi terlihat mulai suram di penghujung senja itu, seekor elang jantan terlihat melintas terbang dan menghilang di kerimbunan hutan kemiri.

    “Kita bermalam di muka hutan ini”, berkata Patih Mahesa Amping kepada seorang pemimpin prajurit.

    Tidak lama berselang, terlihat dua puluh orang prajurit Daha sudah sibuk untuk membangun perkemahan darurat di muka hutan kemiri, nampaknya mereka memang akan bermalam ditempat itu.

    “Berada di alam terbuka lebih baik dibandingkan berada di antara kerimbunan hutan lebat, kita tidak dapat melihat musuh yang datang”, berkata Patih Mahesa Amping menjelaskan kepada Adityawarman mengapa mimilih bermalam di muka hutan itu.

    “Bukankah kita tidak dalam suasana peperangan, wahai ayahku”, berkata Adityawarman kepada ayahnya.

    “Peperangan tidak akan pernah berakhir, wahai putraku”, berkata Patih Mahesa Amping dengan wajah bijaksananya memandang kearah Adityawarman.

    “Peperangan tidak akan pernah berakhir ?”, bertanya Adityawarman mengulangi perkataan ayahnya.

    Terlihat Mahesa Amping tidak langsung menjawab pertanyaan Adityawarman, hanya menarik nafas panjang sambil tersenyum menatap wajah putranya yang telah menjadi seorang pria dewasa itu, namun belum dapat memahami banyak hal asam garam peri kehidupan di dunia ini.

    “Peperangan adalah seperti sebuah dendam yang tidak akan pernah berkesudahan, peperangan kita kemarin adalah buah dari peperangan para orang terdahulu kita, sementara peperangan nanti adalah buah dari peperangan hari ini”, berkata Patih Mahesa Amping kepada Adityawarman.

    “Dimana kita mendapat kedamaian dan ketentraman hati bila merasa ada musuh dimana-mana ?”, bertanya Adityawarman kepada ayahnya.

    “Didalam dirimu telah mengalir darah ksatria, dan seorang ksatria terlahir hidup hanya mengenal tajamnya ujung pedang ditangan kita yang mengharuskan kita untuk siap siaga setiap waktu menghadapi ancaman tajamnya pedang musuh-musuh kita yang terlihat maupun dibalik kegelapan malam sekalipun”, berkata Patih Mahesa Amping seperti tengah memberi nasehat kepada putranya agar selalu siap siaga tidak pernah lengah sedikitpun.

    Lama Adityawarman seperti tengah merenungi perkataan ayahnya itu.

    “Apakah kamu mengira seorang petani tidak pernah punya musuh dan ancaman ?, tikus-tikus di sawah, burung-burung kecil pencuri padi dan musim kemarau yang sangat panjang. Jalani dan nikmatilah hidup dan takdirmu sebagai anugerah dari yang Maha Agung dalam senang dan dalam susah, disitulah ada sebuah ketenteraman hati”, berkata kembali Patih Mahesa Amping seperti mengetahui apa yang tengah dipikirkan oleh putranya itu.

    Sementara itu lengkung langit malam telah bertaburan bintang gemintang memayungi hutan kemiri.

    • Menjadi 5 VS 2 ……….
      Kalau di bal2an bisa dituduh pengaturan skor…….

  21. Rupanya Pak Dhalang akan menyelesaikan rontal PKPM-05 sebelum pergantian wahun.
    Monggo Ki sanak Dhalang (tiru-tiru Ki mBleh, he he he …)
    delapan rontal lagi sepertinya sudah bisa menutup rontal 05.

  22. Malam itu di muka hutan kemiri yang sepi,terlihat empat orang prajurit Daha masih berjaga-jaga mendapatkan giliran ronda pertamanya.

    Dan malampun berlalu dengan begitu tenangnya seperti telah memberi kesempatan kepada rombongan Patih Daha itu dapat tidur beristirahat setelah setengah harian mereka berjalan cukup melelahkan.

    Tidak terjadi apapun dimalam itu kecuali gerimis yang datang diujung malam.

    Hingga manakala langit pagi terlihat masih memerah dan gerimis sudah lama berlalu menyisakan rumput-rumput yang basah disekitar perkemahan, beberapa prajurit sudah terbangun langsung membuat perapian dan sarapan pagi untuk mereka semua.

    “Mari kita melanjutkan perjalanan”, berkata Patih Mahesa Amping kepada seorang pemimpin prajurit Daha ketika warna pagi sudah terlihat mulai terang tanah.

    Terlihat iring-iringan prajurit Daha itu telah bergerak menyusuri jalan menuju arah hutan kemiri hingga akhirnya seperti hilang satu persatu menghilang ditelan kelebatan dan kegelapan hutan kemiri.

    Sang matahari pagi perlahan beranjak naik dan mulai menembusi cahayanya lewat diantara celah -celah dedaunan. Sementara itu iring-iringan prajurit daha itu telah semakin masuk lebih dalam lagi di hutan kemiri yang panjang dan lebat itu dipenuhi pohon-pohon kayu yang besar tinggi menjulang.

    Terlihat alis dan kening Patih Mahesa Amping berkerut tajam manakala mendengar suara burung yang seperti tengah terusik.

    Sebagai seorang yang mempunyai banyak pengalaman di berbagai tempat pertempuran, nampaknya Patih Mahesa Amping telah mulai dapat merasakan beberapa keganjilan yang perlu di curigai dan diwaspadai.

    “Berhati-hatilah”, berkata Patih Mahesa Amping kepada pemimpin prajurit yang berkuda didekatnya.

    Baru saja Patih Mahesa Amping berbicara kepada pemimpin prajuritnya, dikejauhan terdengar suara wanita tengah meminta pertolongan.

    Hampir seluruh prajurit Daha tanpa perintah apapun sudah bersiap diri siaga meraba gagang pedang panjangnya masing-masing.

    Suara teriakan wanita meminta pertolongan menjadi semakin jelas hingga akhirnya semua orang telah melihat seorang wanita tengah berlari kearah mereka sambil melolong meminta pertolongan.

    Terlihat Adityawarman dengan begitu sigapnya mendahului siapapun telah melompat dari kudanya.

    “jangan takut, kami akan menolongmu”, berkata Adityawarman kepada wanita yang tengah berlari semakin dekat kearahnya.

    “Tolonglah hamba tuan”, berteriak wanita itu sambil menggamit lengan Adityawarman.

  23. Ternyata dibelakang wanita itu terlihat sekitar sepuluh orang tengah berlari, nampaknya memang tengah mengejar wanita itu.

    “Serahkan wanita jalang itu kepada kami”, berkata seorang berkening lebar dan berambut sedikit hanya dibagian belakang kepalanya itu dengan suara sangat garang dan kasar sekali.

    “Kami prajurit Daha, tidak akan menyerahkan wanita itu kepada orang-orang kasar seperti kalian”, berkata seorang pemompin prajurit Daha tidak kalah kerasnya dengan orang berkening lebar itu.

    “Prajurit Daha ?”, berkata orang itu sambil tertawa panjang diikuti oleh hampir semua kawannya.

    Namun ternyata mata Patih Mahesa Amping yang sangat tajam itu tidak dapat tertipu,

    Tiba-tiba saja telah melompat dari kudanya langsung terbang begitu cepatnya dan entah dengan cara apa telah mencengkeram kuat-kuat pundak wanita yang masih menggamit tangan Adityawarman.

    Terperanjat wanita itu tidak mampu berbuat apapun, juga manakala Patih Mahesa Amping telah melemparnya jauh hingga terpelanting berguling-guling di tanah.

    Hampir semua orang terkejut melihat kecepatan Patih Mahesa Amping bergerak.

    Ternyata Patih Mahesa Amping yang mempunyai ketajaman penglihatan itu telah melihat wanita itu diam-diam telah menorehkan kukunya sedikit melukai lengan Adityawarman yang sama sekali tidak menyadari perlakuan wanita yang ingin ditolongnya itu.

    Namun secepat apapun Patih Mahesa Amping bergerak, tetap saja terlambat. Terlihat wajah Adityawarman telah berubah pucat dan langsung limbung jatuh ketanah.

    Seorang ayah mana yang tidak gusar melihat putra tunggalnya rebah pingsan tak berdaya. Terlihat gerakan Patih Mahesa Amping yang tidak memperdulikan orang-orang disekitarnya sudah langsung memeriksa keadaan putranya dan melihat sebuah goresen kecil di lengannya.

    Melihat junjungannya tengah memeriksa putranya, dua puluh orang prajurit Daha telah membentuk barisan yang melingkar melindungi Patih Mahesa Amping.

    “Putramu telah terkena bisa kelabang hijau yang dilarutkan dengan getah kayu upas”, berkata orang berkening lebar sambil tertawa panjang diikuti oleh kawan-kawannya yang lain.

    Mendengar perkataan orang itu, terlihat Patih mahesa Amping seperti bergetar seluruh tubuhnya menahan amarah yang begitu luar biasa.

    Sebagai seorang yang sangat ahli dalam bidang pengobatan, Patih Mahesa Amping sangat memahami bagaimana cara kerja racun itu didalam darah seorang yang dilukai oleh dua jenis racun itu, bisa kelabang hijau dan getah kayu apus. Patih Mahesa Amping telah mengetahui bahwa kedua racun itu akan merusak syaraf dikepala yang mengakibatkan kelumpuhan seluruh anggota badan.

    Terlihat Patih Mahesa Amping sudah duduk bersila sambil merapatkan tangannya diatas luka putranya.

    • ciattttt…..besok libur empat hari, hehehe

      • Kamsiaaa Kisanak Dhalang…..

    • dua…

  24. Hadu….
    wis singidan mulai wingi, kok Ki mBleh gak mecungul
    terpaksa deh

    • he….he….he….
      tamba ati, dua rontal dari delapan l……

  25. Ditunggu karya napak tilas sejarah di hari libur ki..

  26. Nampaknya Patih Mahesa Amping seperti tidak memperdulikan siapapun disekitarnya, telah mengendapkan seluruh akal budinya, menutup seluruh panca inderanya guna dapat mengungkapkan daya kekuatan sejati dirinya.

    Sementara itu para prajurit Daha telah semakin merapat melingkari junjungannya siap menghadapi siapapun yang mencoba berani mengganggu apa yang tengah di lakukan oleh Patih Mahesa Amping. Pedang ditangan para prajurit seperti berkilat terkena sinar cahaya matahari yang menembus lewat ranting dan dedaunan di hutan kemiri itu.

    Melihat sikap para prajurit Daha yang telah begitu siap menghadapi segala ancaman itu telah membuat kesepuluh orang menjadi gentar tidak berani mendekat.

    Sementara itu Patih Mahesa Amping yang berada di dalam lingkaran penjagaan para prajuritnya terlihat masih duduk bersila dengan tangan masih menempel di lengan Adityawarman yang tergores luka.

    Nampaknya Patih Mahesa Amping tengah mengerahkan segenap kekuatan sejatinya, peluh mulai terlihat mengalir keluar diwajahnya.

    Ternyata Patih Mahesa Amping yang konon mampu menghancurkan sebuah gunung karang lewat sorot matanya itu telah mengerahkan kesaktiannya menghisap seluruh racun yang telah masuk ke tubuh putranya lewat goresan kuku jari wanita yang berpura-pura meminta pertolongan itu.

    Peluh terlihat semakin deras mengucur di wajah Patih Mahesa Amping yang perkasa itu.

    Sementara itu para prajurit Daha masih tetap berdiri rapat ditempatnya dengan pedang tergenggam erat ditangan dan siap bergerak menjaga siapapun yang datang mendekat.

    “Anjing-anjing Daha, kami akan membunuh kalian semua”, berkata orang berjidat lebar itu kepada para prajurit yang masih terus rapat dan siap mengancam siapapun yang datang mendekat.

    Mendengar perkataan orang berjidat lebar itu seperti sebuah perintah untuk kawannya-kawannya, terlihat kesepuluh orang kawannya telah menyebar dan mengepung.

    “Hancurkan siapapun yang datang mendekat, jumlah kita lebih banyak dari mereka”, berteriak pemimpin prajurit pengawal itu kepada kawan-kawannya memberikan semangat.

    Namun tiba-tiba saja orang berjidat lebar itu terlihat bersuit panjang seperti tengah memberikan sebuah pertanda isyarat

    Mendengar suitan panjang itu telah membuat para prajurit Daha itu menjadi lebih berhati-hati lagi, mereka semua berpikiran bahwa suitan panjang itu seperti tengah memanggil orang-orang mereka untuk datang membantu.

    Ternyata pikiran para prajurit itu tidak jauh melesat, tidak lama setelah terdengar suitan panjang itu terlihat beberapa bayangan bergerak keluar dari semak belukar dan kerapatan pohon-pohon di hutan kemiri itu.

    • Satu……….

    • tiga

  27. Ternyata bayangan yang bergerak keluar dari semak belukar hutan kemiri itu adalah orang-orang yang memang sudah lama menunggu panggilan lewat suitan panjang itu.

    Sepuluh orang, dua puluh orang dan akhirnya tidak bertambah lagi setelah jumlah orang-orang yang datang itu berjumlah sekitar seratus orang yang langsung memadati dan mengepung para prajurit Daha.

    Para prajurit Daha bukan orang yang tidak pandai berhitung, mereka telah menyadari bahwa kekuatan lawan berlipat-lipat ganda dari kekuatan mereka sendiri. Namun para prajurit Daha itu seperti tidak bergeming sedikitpun, jiwa dan perasaan mereka nampaknya telah ditempa untuk tidak gentar menghadapi ancaman apapun, sekalipun ancaman jiwa mereka sekalipun.

    “Wahai para prajurit Daha, kami memberi waktu kepada kalian untuk segera menyingkir melepaskan Patih Mahesa Amping kepada kami”, berkata salah seorang diantara mereka yang nampaknya menjadi pemimpin dari mereka, seorang lelaki yang terlihat sudah sangat begitu tua namun masih dapat berdiri kokoh yang ternyata tidak lain adalah Ki Ajar Pelandongan.

    “Kawan-kawan, kita tidak akan menyerahkan siapapun”, berkata pemimpin prajurit Daha dengan suara tidak kalah lantangnya dari suara Ki Ajar Pelandongan.

    “hancurkan mereka semua”, berkata Ki Ajar Pelandongan dengan suara mengguntur memberi perintah.

    Mendengar perintah Ki Ajar Pelandongan, orang-orangnya yang telah mengepung para prajurit Daha langsung seperti air bah bergerak kearah para prajurit Daha.

    “Gelar perang cakra”, berteriak lantang pemimpin prajurit Daha yang langsung diikuti oleh kawan-kawannya membentuk sebuah gelar perang yang memang diperuntukkan melindungi seseorang dalam keadaan genting, juga sebuah gelar perang perlawanan bilamana keadaan kekuatan musuh jauh lebih banyak dari kekuatan sendiri.

    Nampaknya para penghuni hutan kemiri yang terlihat sebagian besar berwajah kasar dan garang itu tidak sama sekali mengenal gelar perang apapun, mereka terlihat sudah bergerak siap meluluh lantakkan para prajurit Daha yang telah siap lahir dan bathinnya itu menghadapi serangan musuh yang berlipat ganda jumlahnya, siap mati berdarah-darah demi membela junjungannya yang sangat dihormati, Patih Mahesa Amping.

    Kedua puluh orang prajurit daha itu nampaknya sudah cukup terlatih dalam gelar perang cakra itu, terlihat beberapa orang penghuni hutan kemiri yang terdepan sudah terlempar dan terguling terkena sabetan pedang para prajurit yang telah bergerak melingkar dengan gelar perang cakranya.

    Sementara itu Patih Mahesa Amping yang masih berda di tengah lingkaran penjagaan para prajurit Daha terlihat telah membuka matanya. Dilihatnya Wajah Adityawarman yang pucat tak berdarah perlahan sudah mulai memerah pipinya sebagai pertanda racun ditubuhnya sudah keluar dan tidak mengancam jiwanya lagi.

    Bersamaan dengan itu, teriakan para penghuni hutan kemiri seperti bergemuruh penuh kemarahan.

    • empat, xixixixi

      • Msih kurang empat lho Kisanak Pak Dhalang……….

    • Dua…………

      • he he he …
        rupane wis nyanggong ket mau

    • empat

  28. Nampaknya kematian beberapa kawan mereka akibat sabetan pedang prajurit yang terus bergerak itu seperti air panas yang memicu kemarahan. Terlihat para penghuni hutan kemiri seperti berlomba berlari untuk menghancurkan para prajurit Daha yang jumlahnya hanya dua puluh orang itu.

    Kembali kemapanan gerak gelar perang cakra dari para prajurit sungguh dapat diandalkan, beberapa orang terlihat terlempar jatuh ketanah terkena sabetan dan bacokan pedang para prajurit Daha.

    Namun kejatuhan kawan-kawannya itu telah membuat para penghuni hutan kemiri semakin terbakar untuk meluluh tantakkan musuh mereka. Suara denting senjata terdengar saling beradu, para penghuni hutan kemiri terus bergerak mendesak, sementara para prajurit Daha masih terus bertahan.

    Kegigihan dan keserasian para prajurit Daha dalam memainkan gelar perang cakra memang perlu diacungkan jempol, orang-orang hutan kemiri tidak satupun yang dapat memecahkan gelar perang mereka.

    “Kita hancurkan gelar perang mereka”, berkata seorang lelaki disebelah Ki Ajar Pelandongan yang tidak lain adalah Ki Gagakpati.

    Ternyata kehadiran Ki Gagakpati dan Ki Ajar Pelandongan telah dapat memecahkan gelar perang para prajurit Daha, satu dua orang prajurit terlihat dengan mudahnya terlempar oleh tongkat-tongkat kayu mereka. Akibatnya gelar perang cakra mereka seperti sebuah roda pedati yang tersendat berhenti berputar.

    Dan kembali satu dua orang prajurit Daha terlempar, kali ini bukan oleh Ki Gagakpati atau oleh Ki Ajar Pelandongan sendiri, melainkan oleh para penghuni hutan kemiri yang berhasil mengeroyok para prajurit Daha.

    Melihat beberapa anak buahnya gugur tidaklah membuatnya menjadi gentar, namun yang telah membuat perasaannya menjadi penuh berdebar adalah manakala dilihatnya Patih Mahesa Amping telah tergeletak tidak bergerak disisi putranya sendiri, Adityawarman.

    Apa yang terjadi pada diri Patih Mahesa Amping yang sangat perkasa itu ?

    Ternyata Patih Mahesa Amping telah mengambil sebuah keputusan besar, mengetahui kejamnya daya racun yang tengah menyerang putranya telah memutuskan untuk memindahkannya kedalam dirinya sendiri. Racun itu telah menjalar ke syaraf di kepalanya yang mengakibatkan kelumpuhan seluruh otot-otot tubuh. Dan Patih Mahesa Amping tidak dapat lagi menggerakkan tangan dan kakinya sendiri, terbaring tak berdaya disisi Adityawarman yang belum juga siuman dari pingsannya.

    “Kita bertahan sampai darah penghabisan !!”, berteriak pemimpin prajurit Daha itu memberikan semangat kepada seluruh anak buahnya manakala dilihatnya dua tiga orang kembali terlempar jatuh kebumi dalam keadaan tidak bernyawa lagi.

    Setengah dari para prajurit Daha itu telah gugur dan terluka, namun mereka tetap bertahan untuk tetap melindungi junjungan mereka.

    • kurang tiga, prikitaww…..

    • nggih…
      lima ….

  29. Meski jumlah mereka hanya tinggal sepuluh orang, tapi tandang mereka sudah seperti seekor banteng yang terluka, mereka seperti tidak menghiraukan diri lagi, yang dipikirkan oleh kesepuluh prajurit itu adalah menjaga siapun tidak boleh mendekati tuan mereka.

    “Prajurit bodoh”, berkata Ki Ajar Pelandongan sambil menghajar kepala seorang prajurit dengan tongkat kayunya yang langsung roboh terkapar di bumi tidak bergerak lagi.

    Tiga orang prajurit bersamaan telah ikut menjadi korban amukan para penghuni hutan Kemiri itu yang ingin segera menyelesaikan urusan mereka hingga tuntas.

    Kini tinggal pemimpin mereka bersama tiga orang prajurit Daha yang masih tegak berdiri menjaga tuan mereka, Patih Mahesa Amping yang terbaring disisi Adiryawarman yang belum juga siuman dari pingsannya.

    “Habis mereka semua”, berkata Ki Ajar Pelandongan kepada orang-orangnya itu.

    Satu dua orang terdepan telah terkenan sabetan pedang prajurit yang masih tegak berdiri menjaga Patih Mahesa Amping.
    Namun apa artinya empat orang prajurit Daha dihadapan sekumpulan orang-orang hutan Kemiri itu ?

    Meski mereka masih tetap bertahan, tenaga mereka akhirnya semakin terkuras habis, hingga akhirnya tidak mampu hanya untuk mengangkat pedang mereka sendiri. Disaat seperti itu, terjangan dan bacokan senjata sudah tidak mungkin lagi dapat mereka hindari.

    Sungguh tragis sekali nasib keempat prajurit terakhir itu, puluhan senjata telah menggores hampir seluruh tubuh mereka yang langsung terkulai lemas kehabisan darah dan tenaga.

    Kini Patih Mahesa Amping terlihat masih terbaring disisi putranya tanpa penjagaan dari satupun prajurit Daha.

    “Wahai Patih Daha yang perkasa, tidak ada lagi yang dapat menjagamu dan melindungimu dari senjata kami”, berkata Ki Ajar Pelandongan kepada Patih Mahesa Amping yang masih berbaring tidak berdaya mengangkat tangan dan kakinya sendiri untuk berdiri. Hanya matanya masih terlihat sangat tajam penuh rasa percaya dir yang tinggi.

    “Hingga saat ini aku masih percaya bahwa selembar nyawaku ini adalah milik Gusti Yang Maha Agung, dialah yang Maha menentukan mati dan hidupku ini”, berkata Patih Mahesa Amping dengan sebuah senyuman dibibirnya.

    “Akulah yang menentukan mati hidupmu hari ini”, berkata Ki Ajar Pelandongan sambil mengangkat tongkat kayunya kearah kepala Patih Mahesa Amping.

    Sungguh gagah sikap Patih Mahesa Amping yang perkasa itu, matanya tidak berkedip sedikitpun melihat tongkat kayu Ki Ajar Pelandongan yang sudah terayun kearah batok kepalanya.

    Apa yang terjadi selanjutnya ?

    • kurang dua, hehehe

      • Nggih…
        enam ….

    • Ya tidak tahulah Pak Dhalang
      kok bertanya, he he he …

      mungkin datang Ki Ageng Bajraseta atau Gajahmada menolongnya.
      kados punti Ki sanak mBleh
      harak inggih mekaten to?

      • Ya sak karepe Pak Dhalang to……….
        sapa ngerti ujug2 menchungul Sinuwun Gembleh Hanyolowadi sing bar wae mentas saka lendhut benter menyentil tongkat Ki Ajar Pelandongan…….

    • Eh….
      lha njut lupa …

      kamssiiiiaaaaa………….!!!!!

  30. Ayo Kisanak Pak Dhalang, kurang dua rontal lho ya…..

  31. Tenaga dalam Mahisa Amping dialihkan ke Adtyawarman, nanti dia yang akan membereskan penyerang di hutan Kemiri..

  32. Yg muncul selanjutnya adalah Mahisa Murti alias Ki Bajraseta Seto dg Mahisa Dharma, Selanjutnya peristiwa penyerangan Mahisa Amping inilah yg menyebabkan rasa bersalah dan penyesalan yg amat dalam R Wijaya shg beliau sakit dan akhirnya meninggal. Begitukah sinopsisnya Ki Dalang?

    • seratus buat Ki BP, hehehe

      • Hadiahnya Ki, satu rontal cukuplah, dua rontal matur suwun.

  33. Terkejut tiba-tiba Ki Ajar Pelandongan dengan mata yang terbuka lebar, tiga buah batu kecil telah membuat patah tiga tongkat kayunya dimana dirinya sendiri merasakan telapak tangannya panas bergetar hingga harus melepaskan sisa potongan tongkatnya.

    Belum habis rasa terkejut dari Ki Ajar Pelandongan, tiba-tiba saja melesat dua bayangan hitam dan langsung menyambar tubuh Patih Mahesa Amping dan Adityawarman yang masih tergeletak di tanah.

    Ternyata bayangan itu adalah sosok dua orang lelaki, seorang lelaki yang lebih tua terlihat telah memikul Patih Mahesa Amping di pundaknya, sementara lelaki yang satunya adalah seorang pemuda juga telah memikul tubuh Adityawarman di pundaknya.

    Sungguh keduanya seperti sengaja menunjukkan ilmu meringankan tubuh yang sangat tinggi, sambil memikul beban mereka terlihat sudah melesat diatas kepala orang-orang hutan Kemiri.

    “Kejar mereka !!”, berteriak Ki Ajar Pelandongan seperti baru tersadar dari sebuah mimpi.

    Namun teriakan Ki Ajar Pelandongan sungguh terlambat, karena keduanya seperti punya sepasang Sayap telah terbang keatas cabang pohon dan menghilang diantara kerimbunan hutan Kemiri.

    “Meski kita tidak berhasil membunuh pembesar Daha itu, tapi racun kita nampaknya telah melumpuhkannya”, berkata Ki Gagakpati kepada Ki Ajar Pelandongan.

    “Ki Gagakpati benar, apa artinya hidup bila seluruh anggota badan telah menjadi lumpuh seumur hidupnya”, berkata Ki Ajar Pelandongan penuh perasaan gembira kepada Ki Gagakpati.

    “Apakah Ki Ajar Pelandongan mengenal kedua orang itu ?”, bertanya Ki Gagakpati kepada Ki Ajar Pelandongan.

    Terlihat Ki Ajar Pelandongan berdiam sejenak mencoba mengingat-ingat apakah dirinya pernah mengenal kedua orang yang datang dan pergi secara tiba-tiba itu.

    “Nampaknya aku belum mengenal kedua orang itu”, berkata Ki Ajar Pelandongan kepada Ki Gagakpati sambil menggeleng-gelengkan kepalanya.

    Sementara dua orang sosok bayangan yang telah membawa Patih Mahesaping dan Adityawarma telah jauh meninggalkan hutan Kemiri.

    Disebuah tempat yang menurut mereka cukup aman, terlihat keduanya telah berhenti dan meletakkan tubuh Patih Mahesa Amping dan Adityawarman.

    “Terima kasih telah menolong kami, wahai Kakang Mahesa Murti”, berkata Patih Mahesa Amping kepada leleki tua yang telah menolongnya yang ternyata adalah Ki Gede Bajra Seta. Sementara pemuda yang bersamanya adalah Mahesa Dharma, putra tunggalnya.

    “Maafkan kami berdua telah terlambat menyelamatkan kalian”, berkata Ki Gede Bajra Seta dengan suara penuh haru dan rasa penyesalan yang sangat telah datang terlambat.

    • hadiah buat Ki BP, hehe

    • tujuh…

      kurang satu lagi, please ….

  34. “Tidak ada yang perlu disesalkan dan tidak ada yang terlambat, wahai Kakang Mahesa Murti. Bukankah Kakang sendiri yang selalu mengajarkan kepada para cantrik bahwa tidak ada satupun makhluk di alam semesta ini yang tidak luput dari penjagaannya, dan tidak ada satupun makhluk di alam semesta ini yang luput dari takdirnya”, berkata Patih Mahesa Amping masih dengan wajah yang terlihat begitu tabah.

    “Ceritakanlah kepada kami apa yang telah terjadi atas diri kalian, wahai saudaraku”, berkata Ki gede Bajra Seta kepada Patih Mahesa Amping.

    Dengan keadaan masih berbaring diatas sebuah tanah berumput, Patih Mahesa Amping segera bercerita apa yang telah terjadi atas diri mereka di hutan Kemiri, juga tentang keputusannya untuk memindahkan racun yang sangat ganas itu dari tubuh Adityawarman ke dalam dirinya.

    “Nampaknya kamu telah memilih sebuah keputusan yang sangat rumit, wahai saudaraku”, berkata Ki Gede Bajra Seta penuh rasa haru mendengar semua cerita Patih Mahesa Amping.

    “Aku merasa telah memilih sebuah keputusan yang benar, wahai kakang. Bukankah kita pernah mengalaminya sebagai seorang ayah yang penuh rasa haru melihat putra kita yang masih bayi merintih di tengah malam buta ?, kita akan selalu berkata bila saja dapat menanggung sakit bayi kita itu. Dan dalam pandanganku, masa depan Adityawarman masih sangat begitu panjang dibandingkan dengan waktuku ini yang hanya tinggal dua tiga kali tikungan saja”, berkata Patih Mahesa Amping dengan bibir tersenyum dan suara yang begitu tabah kepada Ki Gede Bajra Seta yang mendengarnya masih dengan perasaan terharu.

    “Kamu memang tidak pernah berubah, wahai saudaraku”, berkata Ki Gede bajra Seta yang telah mengenal Patih Mahesa Amping sejak kecil sebagai seorang yang tidak pernah berkeluh kesah apapun yang telah dialami atas dirinya.

    “Apakah Kakang telah memeriksa keadaan putraku ?”, berkata patih Mahesa Amping kepada Ki Gede Bajra Seta.

    “Aku telah memeriksanya, tidak ada yang perlu di risaukan tentang keadaannya meski saat ini belum juga terjaga dari pingsannya”, berkata Ki Gede bajra Seta memberitahukan tentang keadaan Adityawarman kepada Patih Mahesa Amping.

    “Ayah, langit terlihat mulai mendung”, berkata Mahesa Dharma kepada ayahnya.

    “Saudaraku, kami akan membawamu ke Padepokan Bajra Seta”, berkata Ki Gede Bajra Seta sambil mengangkat tubuh Patih Mahesa Amping yang telah lumpuh itu keatas pundaknya.

    Sementara itu Mahesa Dharma telah meletakkan tubuh Adiryawarman diatas pundaknya.

    Demikianlah, Ki Gede Bajra Seta dan Mahesa Dharma telah membawa tubuh Patih Mahesa Amping dan Adityawarman ke Padepokan Bajra Seta yang berjarak sekitar setengah hari perjalanan berkuda. Namun keduanya seperti tidak membawa benda yang berat, mereka berdua terlihat telah berlari dengan ringannya, bahkan terkadang kaki-kaki mereka seperti tidak menyentuh tanah lagi, melesat terbang.

    • berharap di tahun 2015, kita bertemu di gandhok anyer, hehehe

  35. Matur suwun Ki Dalang, tapi kalau ketemu lagi tahun 2015 kelamaan.

  36. PKPM-05 sudah dibundel, bundelan bisa didownload di https://pelangisingosari.wordpress.com/Para%20Ksatria%20Penjaga%20Majapahit/2/

  37. Kamsiiiiiaaaaaaa Pak Dhalang……….


Tinggalkan Balasan ke Putut Risang Batalkan balasan