PKPM-15

<< kembali | lanjut >>

PKPM-15

Laman: 1 2 3 4

Telah Terbit on 25 Juli 2015 at 00:01  Comments (276)  

The URI to TrackBack this entry is: https://pelangisingosari.wordpress.com/pkpm-15/trackback/

RSS feed for comments on this post.

276 KomentarTinggalkan komentar

  1. ..kamsiaaaa ki dalang..

    • sami-sami Ki Gultom

      • Hadu… Pak Dhalang sudah “mbeber wayang”, telat aku, he he he ….
        baru sempat sambang padepokan lagi ni

      • ssstt…. Pak Dhalang, saya juga punya rahasia
        tetapi, jangan bilang siapa-siapa ya…
        janji…..
        delapan rontal lagi sepertinya sudah bisa menutup PKPM-15
        jadi…, hari ini tambah 4 rontal, dan besok 4 rontal lagi, awal bulan (1 September) sudah bisa buka gandok baru
        he …..he ……….he ………………. he ……………………………….. he ………………………………………………… (semakin lirih dan tidak terdengar, karen alri menjauh)

  2. Mahapatih Arya Tadah tidak segera menjawab pertanyaan Patih Gajahmada, terlihat menarik nafas dalam-dalam seprti ingin mengumpulkan kejernihan pikirannya.

    “Aku pernah di tugaskan oleh Baginda raja Sanggrama Wijaya menjadi seorang perusuh di berbagai tempat di daerah kekuasaan Raja jayakatwang, tujuannya agar semua orang berpikir bahwa Raja Jayakatwang tidak dapat menjaga keamanan buminya”, berkata Mahapatih Arya Tadah kepada Patih Gajahmada.

    Ternyata Patih Gajahmada seorang yang punya kecerdasan yang sangat tinggi, mampu memaknai perkataan Mahapatih Arya Tadah.

    “Sebuah cara penyelesaian yang tepat, aku akan melakukan sebuah kelompok tandingan di jalur Lamajang dan Bandar pelabuhan Banyuwangi, membuat keresahan hingga terdengar di pusat kerajaan ini dan memutuskan untuk mengamankan jalur itu”, berkata patih Gajahmada yang dapat membaca kemana arah pikiran Mahapatih Arya Tadah.

    “Ternyata aku tengah berhadapan dengan anak muda yang sangat cerdas, lakukanlah apa yang harus kamu lakukan, aku akan merestuinya”, berkata Mahapatih Arya Tadah sambil tersenyum penuh kebanggaan hati. “Dan kita tidak hanya menangkap seorang Ki Sadeng, tapi juga kelompoknya para bajak laut yang memang sudah lama kudengar meresahkan para nelayan di sekitar pulau Sadeng”, berkata kembali Mahapatih Arya Tadah.

    “Terima kasih untuk restu pamanda”, berkata Patih Gajahmada sambil menundukkan tubuhnya sebagai rasa penghormatannya.

    “Patih Gajahmada”, berkata Mahapatih Arya Tadah menyebut nama Gajahmada lengkap tidak seperti biasanya.

    Dan Patih Gajahmada menatap pandangan mata Mahapatih yang selalu penuh dengan senyum kasih seorang ayah kepada putranya.

    “Beberapa hari ini aku merasakan wadag ditubuhku ini sudah sangat rapuh, semakin hari banyak sekali yang kurasakan, aku sering merasakan letih dan ngilu di beberapa bagian tubuhku”, berkata kembali Mahapatih Arya Tadah.

    Terlihat Patih Gajahmada terdiam, mengetahui ada sesuatu hal yang ingin disampaikan oleh orang tua yang sangat bijaksana itu.

    “Tugas di kepatihan ini sungguh sangat berat, dibutuhkan seorang yang kuat dan segar untuk dapat berpikir jernih membuat berbagai kebijakan dan keputusan. Sementara kurasakan usiaku ini sudah tidak layak lagi menangani tugas-tugasku ini, aku bermaksud mengundurkan diri dari istana ini”, berkata Mahapatih Arya Tadah.

    Tersentak Patih Gajahmada mendengar penuturan Mahapatih Arya Tadah.

    “Paman bermaksud mengundurkan diri ?”, berkata Patih Gajahmada dengan wajah dan kening berkerut.

  3. “Kemenakanku, patih Gajahmada”, berkata Mahapatih Arya tadah dengan wajah penuh kesungguhan hati.
    Melihat kesungguhan hati di wajah Mahapatih Arya Tadah, terlihat

    Patih Gajahmada menarik nafas panjang seperti menunggu apa yang akan disampaikan oleh orang tua itu.

    “Kutahu bahwa Baginda Raja Sanggrama Wijaya begitu sangat menyayangimu layaknya putranya sendiri. Keris Nagsasra yang dititipkan kepadamu bermakna bahwa beliau begitu percaya menitipkan kerajaan ini kepadamu. Aku sendiri telah melihat kecerdasan dan kemampuanmu. Sebagaimana baginda raja Sanggrama Wijaya, aku begitu yakin bahwa kamu memang terlahir untuk berdiri diatas jung Singgasana kerajaan Majapahit ini, sebagai seorang pengendali yang dapat membawanya jauh mencapai impian kami, mengarungi samudra raya, membangun nusa damai di tiap dermaga yang kamu singgahi. Itulah impian leluhur kita di bumi ini, Raja perkasa Erlangga”, berkata Mahapatih Arya Tadah dengan suara penuh kesungguhan hati.

    “Aku merasa belum punya pengalaman yang cukup untuk mejadi seorang Mahapatih di istana Majapahit ini”, berkata Patih Gajahmada merasa ragu.

    “Diawal aku juga merasakan hal yang sama sebagaimana dirimu, ragu atas kemampuan diri sendiri. Namun tekad yang kuat telah menghilangkan segala keraguan itu”, berkata Mahapatih Arya Tadah.

    “Terima kasih atas segala kepercayaan pamanda kepada diriku, namun ijinkan aku untuk menyelesaikan masalahku dengan Ki Sadeng, agar tidak ada lagi ganjalan di dalam hati ini”, berkata Patih Gajahmada.

    “Menuntaskan kelompok Sadeng akan mengangkat pencitraanmu, laksanakanlah dengan sebaik-baiknya”, berkata Mahapatih Arya Tadah.

    “Terima kasih untuk restu Pamanda, aku selalu berdoa untuk kesehatan Pamanda”, berkata Patih Gajahmada sambil berpamit diri.

    “Aku juga selalu berdoa untuk keselamatanmu, wahai kemenakanku”, berkata Mahapatih Arya Tadah melepas kepergian Patih Gajahmada.

    Demikianlah, Patih Gajahmada terlihat telah keluar dari istana Majapahit menuju arah barak prajurit khusus, nampaknya ingin menjumpai ibundanya untuk berpamit diri.

    “Aku akan selalu merindukanmu, wahai putraku”, berkata Nyi Nariratih kepada Patih Gajahmada yang berpamit diri untuk kembali ke kotaraja Kediri.

    Dan siang itu terlihat tiga orang penunggang kuda meninggalkan Kotaraja Majapahit, mereka adalah Patih Gajahmada bersama dua orang prajurit pengawalnya.

    “maaf, aku telah menahan kalian cukup lama di Kotaraja Majapahit”, berkata Patih Gajahmada kepada kedua prajurit pengawalnya.

    “Kami prajurit, siap melayani tuan”, berkata salah seorang prajurit pengawal kepada patih Gajahmada.

    • Matur nuwun ki Sandhikala

      • …selamat ultah ki HRG…..

        • Terimakasih ki Gul

    • Lumayan… dapat dua
      kurang enam, he he he ….

      kamsiaaaaa………………..!!!

    • Kamsia Pak Dhalang…….
      kurang enam lagi bisa nutup gandhok…..
      kalau saya sih sabar2 saja menunggu, namun kasihan tuh Pak Satpam yang sudah pengen cepet2 nutup pintu gandhok ke-15

    • Matur nuwun ki dalang…

  4. Tambah berliku dan seru ki dalang, bikin sakaw…. Suwun

    • Suwun ki Dalang

  5. Tidak ada kendala apapun dalam perjalanan Patih Gajahmada, seperti dalam keberangkatannya mereka singgah di barak prajurit khusus yang ada di Kademangan Simpang untuk bermalam disana. Hingga ketika pagi harinya mereka melanjutkan perjalanan kembali.

    “Terima kasih untuk semua pelayanan kalian”, berkata Patih Gajahmada kepada Lurah Prajurit di barak pasukan khusus Kademangan Simpang.

    “Sebuah kehormatan untuk kami melayani tuan”, berkata Lurah Prajurit itu melepas keberangkatan Patih Gajahmada dan dua orang prajurit pengawalnya.

    Semilir angin pagi yang masih segar mengiringi keberangkatan Patih Gajahmada dan dua orang pengawalnya yang terlihat telah keluar dari regol gapura Kademangan Simpang.

    Terlihat juga beberapa pedati para pedagang telah merayap di jalan yang masih sepi itu searah jalan dengan mereka bertiga.

    “sampai bertemu kembali di Kotaraja Kediri”, berkata salah seorang pedagang melambaikan tangannya kepada Patih Gajahmada dan kedua orang prajurit pengawalnya.

    “maaf, kami mendahului kalian”, berkata Patih Gajahmada membalas lambaian tangan mereka.

    “Para prajurit di Kademangan Simpang ini nampaknya telah menanamkan kecintaan yang tulus di hati para pedagang dan warga disini”, berkata Patih Gajahmada kepada kedua orang prajuritnya.

    Demikianlah, tidak ada kendala apapun dalam perjalanan mereka. Hingga manakala matahari terlihat bergeser jauh dari puncaknya mereka telah mendekati batas kotaraja Kediri.

    Tiba di istana Daha, Patih Majapahit hanya sebentar beristirahat di pasanggrahannya.

    “Bila ada yang bertanya tentang diriku, katakan bahwa aku ada di rumah Ki Rangga Gajah Biru”, berkata Patih Gajahmada kepada seorang pelayan di pasanggrahannya.

    Sebagaimana yang dikatakan kepada pelayannya, Patih Gajahmada memang terlihat telah keluar dari Istana seorang diri menuju arah rumah Ki Rangga Gajah Biru.

    “Selamat datang wahai sahabat mudaku”, berkata Ki Rangga Gajah Biru menyambut kedatangan Patih Gajahmada.

    Setelah duduk bersama di pendapa Ki Rangga Gajah Biru, mereka saling bercerita tentang beberapa hal selama perpisahan mereka.

    “Jadi Kuda Jenar telah mengakui di hadapan Tuan Patih bahwa dirinya dalang dari pembunuhan raja jayanagara ?”, berkata Ki Rangga Biru setelah mendengar cerita Patih Gajahmada.

    “Cerita Nyi Ra Tanca tentang suaminya ternyata benar, Ra Tanca tidak bersalah”, berkata Patih Gajahmada.

  6. Pembicaraan Patih Gajahmada dan Ki Rangga Gajah Biru terhenti manakala pintu pringgitan terbuka lebar.

    Terlihat seorang wanita muda muncul dari pintu pringgitan itu sambil membawa minuman hangat.

    “Sialahkan dinikmati tuanku”, berkata wanita muda itu sambil mengangguk penuh hormat kepada Patih Gajahmada.

    “Terima kasih”, berkata Patih Gajahmada kepada wanita muda itu yang ternyata adalah Nyi Ra Tanca.

    “Nyi Rangga tengah menyiapkan makanan di belakang”, berkata Nyi Ra Tanca berpamit diri untuk kembali ke dalam.

    Manakala Nyi Ra Tanca sudah berlalu menghilang di pintu pringgitan, Patih Gajahmada dan Ki Rangga melanjutkan percakapan mereka.

    “Tuan patih telah berlaku sangat bijaksana, demi kemapanan dan ketentraman di bumi Majapahit, rahasia besar ini memang harus tertutup rapat-rapat”, berkata Ki rangga Gajah Biru.

    “Sayang, ada seseorang yang mencuri dengar pembicaraanku dengan Kuda jenar dan bermaksud memperalatnya”, berkata Patih Gajahmada bercerita tentang seseorang bernama Ki Sadeng kepada Ki Rangga Gajah Biru.

    “Apa yang di minta orang itu kepada tuan Patih”, bertanya Ki Rangga Gajah Biru.

    “Orang itu meminta jalur antara Lamajang dan Bandar pelabuhan Banyuwangi untuk kepentingan dan keuntungan kelompoknya”, berkata Patih Gajahmada.

    “Ijinkan dirku membawa sebuah pasukan untuk menghancurkan orang itu dan kelompoknya”, berkata Ki Rangga Gajah Biru penuh amarah.

    “jalur antara lamajang dan Bandar pelabuhan Banyuwangi bukan wilayah kerja kita, namun aku telah punya sebuah cara untuk menghancurkan mereka”, berkata Patih Gajahmada yang langsung bercerita apa yang harus mereka lakukan sesuai dengan saran Mahapatih Arya Tadah.

    “Aku juga pernah mendengar tentang sekelompok bajak laut yang bersembunyi di pulau Sadeng, nampaknya harta curian mereka sudah habis dan bermaksuk melakukan kejahatan mereka di darat”, berkata Ki Rangga Gajah Biru.

    “Aku perlu seorang delik sandi yang dapat mengamati gerak gerik serta kebiasaan mereka”, berkata Patih Gajahmada kepada Ki Rangga Gajah Biru.

    “Besok aku akan menugaskan seorang petugas delik sandi ke wilayah mereka”, berkata Ki Rangga Gajah Biru.

    “Terima kasih, aku akan menunggu hasil kerja petugasmu itu”, berkata Patih Gajahmada.

  7. Tidak terasa hari terlihat mulai merayap diujung senja, halaman muka kediaman Ki Rangga Gajah Biru sudah mulai redup tanpa cahaya sinar matahari. Dan percakapan mereka berdua terhenti manakala pintu pringgitan kembali terbuka.

    Ternyata Nyi Rangga dan Utami terlihat muncul dari pintu pringgitan sambil membawa baki makanan untuk mereka.

    “Semoga masakan orang Daha ini berkenan di lidah tuanku”, berkata Nyi Rangga Gajah Biru kepada Patih Gajahmada.

    “Terima kasih Nyi Rangga, aku datang kemari justru merindukan masakan orang Daha di rumah ini”, berkata Patih Gajahmada.

    Demikianlah, Patih Gajahmada menikmati kehangatan suasana di rumah keluarga Ki Rangga Gajah Biru hingga jauh malam.

    Di tengah pembicaraan yang tidak membosankan itu, Nyi Rangga Gajah Biru memulai sebuah pembicaraan baru, sebuah pembicaraan mengenai Utami yang telah mengandung muda.

    “Keluarga ini akan menjadi semakin ramai bila Utami akan melahirkan anaknya”, berkata Nyi Rangga Gajah Biru.

    “Semasa hidupnya, suamiku begitu sangat mengagumi tuanku. Atas nama suamiku, kami akan sangat bahagia bila kelak bayiku lahir tuanku berkenan memberi nama untuknya”, berkata Nyi Ra Tanca kepada Patih Gajahmada.

    Terlihat Patih Gajahmada tersenyum gembira menatap wajah tulus Nyi Ra Tanca. Rasa bersalahnya yang telah salah tangan membunuh suaminya seketika telah hilang sirna berganti sebuah kepeduliannya atas derita yang dialami oleh wanita itu.

    “Aku merasa terhormat di berikan kepercayaan ini, bila bayimu perempuan kuberi nama sebagai Naladhipa, sementara bila bayimu laki-laki, kuberi nama sebagai Nala. Ijinkan diriku menjadi ayah angkatnya, ijinkan diriku untuk membimbingnya sebagaimana putraku sendiri”, berkata Patih Gajahmada penuh kesungguhan hati.

    “Semoga Gusti yang Maha Agung memberkati tuanku”, berkata Nyi Ra Tanca penuh keharuan.

    “Semoga Gusti Yang maha Agung memberkati tuan Patih”, berkata Ki Rangga Gajah Biru dan istrinya bersamaan ikut merasa gembira mendengar perkataan Patih Gajahmada yang mereka hormati itu.

    Demikianlah, dalam suasana yang hangat penuh kegembiraan itu tidak terasa hari telah merambat semakin malam.

    “Pintu rumahku selalu terbuka untukmu, wahai sahabat mudaku”, berkata Ki Rangga Gajah Biru melepas Patih Gajahmada kembali ke istana Daha.

    “Aku akan sering singgah”, berkata Gajahmada melambaikan tangannya diujung anak tangga pendapa.

    • Tripel ki Sandhikala, terimakasih

      • Suwun Ki Dalang, adakah yg akan lahir Panglima Nala? Yg menjadi peryanyaan saya itu adalah sedemikian saktikah Ki Sadeng shg bisa mencuri dengar pembicaraan GM dg KJ tanpa diketahui GM, bahkan bisa membuntuti sampai pesanggrahan.

        • Iya yak e.
          Tentu..,, he he he …..,

        • Pak Dalang…kamsiaaaaaaa….

    • Tiga….,.,
      Tiga lagi,..,.,
      Kamsiaaaaa…….

    • Kamsiaaaa Pak Dhalang…….
      kurang tiga lagi lho ya……..

  8. Dan sang mentari datang terbit dan terbenam silih berganti menyapa sang kala menunggu rembulan bersinar sempurna di malam purnama.

    Sementara pohon asam yang kering mulai tumbuh tunas-tunas daun mudanya, burung-burung kecil telah tumbuh dewasa mulai mencari pasangan dan tempat sarang untuk menetaskan telur-telur mereka.

    Dan diujung senja itu, Patih Gajahmada terlihat duduk di serambi pasanggrahannya setelah seharian berada di kepatihan.

    “Ada seorang tamu yang ingin bertemu tuanku”, berkata seorang pelayan lelaki kepada Patih Gajahmada.

    “Apakah kamu mengenalnya ?”, bertanya Patih Gajahmada kepada pelayan itu.

    “Ki Rangga Gajah Biru”, berkata pelayan itu kepada Patih Gajahmada menyebut sebuah nama.

    Mendengar yang datang bertamu itu adalah Ki Rangga Gajah Biru, segera patih Gajahmada meminta pelayannya itu untuk menjemput tamunya.

    Tidak lama kemudian pelayan itu telah datang kembali bersama seorang lelaki tua yang tidak lain adalah Ki Rangga Gajah Biru.

    “Senang sekali mendapat kunjungan dirimu, wahai Ki Rangga Gajah Biru”, berkata Patih Gajahmada kepada Ki Gajah Biru di serambi pasanggrahannya.

    “Sekali-kali orang tua mendatangi orang muda”, berkata Ki Rangga Gajah Biru penuh senyum cerah.

    “Lama aku tidak singgah kerumahmu, bagaimana kabar keadaan keluargamu ?”, berkata Patih Gajahmada.

    “ Istriku sering menanyakan tentang dirimu, sementara Utami umur kehamilannya sudah semakin tua”, berkata Ki Rangga Gajah Biru.

    “bagaimana dengan petugas delik sandi yang kita tugaskan mengamati Ki sadeng dan kelompoknya ?”, bertanya Patih Gajahmada.

    “Untuk itulah aku datang menemuimu”, berkata Ki Rangga Gajah Biru berbisik perlahan.

    Langsung Ki Rangga Gajah Biru bercerita bahwa petugas delik sandi itu telah kembali dan telah menyampaikan kepadanya semua hasil pengamatannya.

    “jalur antara Lamajang dan Blambangan adalah sebuah jalur perdagangan yang cukup ramai saat ini, sayangnya jalur itu sepertinya sebuah jalur tak bertuan. Ki Sadeng dan kelompoknya telah menjadi penguasa baru yang memungut upeti dari para pedagang yang melewati jalur itu”, berkata Ki Rangga Gajah Biru menuturkan hasil pengamatan petugas delik sandinya.

    “Berapa kira-kira jumlah kelompok mereka itu ?”, bertanya Patih Gajahmada.

    • menunggu pak satpam berhitung dengan benar, perhitungan ane sudah cukup untuk masuk ke gandok 16, hehehe

      kamsia…!!!! mendahului Ki BP

      ciatttttttttttttt……!!

      • Kamsia ngikutin ki dhalang

        • Matur suwun Ki Dalang. Reffooooot kalau dalangnya ikut main, kalah semua.

      • Kamsiaaa pak dalang…

      • Ciattttttttttttttttt… brug! (jatuh sendiri)

        he he he …
        ngapunten Pak Dhalang, semalam Satpam tepar, sehingga jam 10 sudah masuk ke dunia mimpi.
        pagi-pagi harus sudah berangkat lagi (ngurusin cantrik baru di padepokan satpam).
        saat istirahat ini baru sempat tengok padepokan.

        komentar:
        kalau satu belum cukup Pak Dhalang, paling tidak satu lagi baru cukup untuk buku standar Satpam.

        Tetapi, kalau Pak Dhalang memerintahkan untuk menutup gandok, ya Satpam lakukan.

        Gandok sudah disiapkan, buka gandoknya menunggu istarat dari Pak Dhalang.

        • O ha hem….
          cuapeeekkk………, dan nguantuuuuuk menunggu Pak Dhalang,
          rudit dulu ah…
          mudah-mudahan tengah malam bisa bangun.

          • okelah kalau begitu, sesuai buku standar pak Satpam, hehehe

  9. “Ada sekitar enam ratus orang terdiri dari para bajak laut dari berbagai tempat. Kekuatan mereka dapat bertambah dengan menggunakan para penduduk yang tinggal di sekitar jalur itu”, berkata Ki Rangga Gajah Biru kepada Patih Gajahmada.

    “Hingga saat ini mereka memang tidak meresahkan warga setempat, mereka hanya meminta sedikit upeti dari para pedagang dengan alasan menjaga keamanan mereka”, berkata Patih Gajahmada.

    “Pada suatu saat, mereka dapat menggalang sebuah kekuatan yang besar”, berkata Ki Rangga Gajah Biru.
    “Itulah yang sangat di khawatirkan oleh Mahapatih Arya Tadah”, berkata Patih Gajahmada.

    “Apa rencana tuan Patih Gajahmada menghadapi mereka ?”, bertanya Ki Rangga Gajah Biru.

    “Menghancurkan mereka selagi belum memiliki kekekuatan yang besar”, berkata Patih Gajahmada.

    “Aku siap menugaskan para prajurit Kediri”, berkata Ki Rangga Gajah Biru.

    “Jalur Lamajang dan Blambangan itu bukan wilayah kerja kita, aku khawatir Rajadewi Maharajasa dan suaminya Raden Kudamerta tidak mengijinkannya, disamping aku juga tidak ingin rahasia besar kematian Raja Jayanagara diketahui oleh mereka”, berkata Patih Gajahmada.

    Terlihat keduanya terdiam, nampaknya keduanya tengah berpikir untuk mencoba mencari jalan.

    “Aku akan mencoba mendekati Adipati Menak Koncar di Lamajang, mudah-mudahan dirinya dapat membantu kita”, berkata Patih Gajahmada.

    “Tuan Patih benar, banyak para pedagang berasal dari Lamajang, mudah-mudahan Adipati Menak Koncar dapat membantu kita”, berkata Ki Rangga Gajah Biru menambahkan.

    “Adipati Menak Koncar masih punya pengaruh yang cukup besar dalam persekutuan perguruan Teratai Putih di Jawadwipa dan Balidwipa yang pernah di pimpin oleh Empu Nambi, aku berharap mendapat dukungan darinya”, berkata Patih Gajahmada.

    “Kapan tuan Patih Gajahmada akan berangkat ke Lamajang ?”, bertanya Ki Rangga Gajah Biru.

    “Bila Rajadewi mengijinkan, besok aku akan segera berangkat ke Lamajang”, berkata Patih Gajahmada.

    Sementara itu hari telah mulai larut malam, Ki Rangga Gajah Biru pamit untuk kembali ke rumahnya.

    “Aku selalu berdoa untuk keselamatan dirimu dan keluargamu”, berkata Patih Gajahmada melepas kepergian Ki Rangga Gajah Biru.
    Manakala Ki Gajah Biru telah lama pergi, Patih Gajahmada masih tetap berada di serambi pasangrahannya.

    “Aku belum mengenal siapa gerangan Ki Sadeng itu”, berkata Patih Gajahmada dalam mengingat kembali saat-saat berada di hutan Sastrawulan.

    • Okeylah kalau begitu,
      eng…ing …eng…….
      Gandok PKPM-16 sudah bisa dipakai untuk bergojeg

      monggo…
      satpam rudit dulu nggih

      • Kalah cepat dari Ki Pak Satpam


Tinggalkan Balasan ke sandikala Batalkan balasan