SFBDBS-07

Bagian 2.

SFBDBS 07-181

Dan Mahesa Amping juga tidak memburu lawannya.

“Cukup, aku menyerah kalah”, berkata Empu Matren yang telah bangkit berdiri kembali.

“Kukira selama ini jurusku sudah begitu sempurna, terima kasih telah membuka mataku yang sudah lamur ini”, berkata Empu Matren sambil menjura penuh hormat kepada Mahesa Amping yang merasa berterima kasih dan gembira melihat sendiri jurusnya menjadi lebih sempurna dan begitu indah.

“Jarang sekali aku melihat seseorang yang mempunyai hati seluas samudera seperti Empu Matren, melihat dan menghargai setiap karsa, bukan dari siapa dan dari mana karsa itu berasal”, berkata Mahesa Amping sambil membalas penjuraan hormat dari Empu Matren.

“Mari kita kembali ke altar perjamuan”, berkata Empu Matren menggandeng bahu Mahesa Amping mengajaknya kembali ke Altar perjamuan yang diikuti Pranjaya di belakangnya.

Dengan penuh keramahan Empu Matren menjamu tamunya Mahesa Amping dan Pranjaya. Kepada seorang cantrik yang melayani perjamuan itu Empu Matren meminta untuk memanggil Dara Kencana.

“Sebagaimana yang pernah kukatakan, akan datang seorang utusan yang datang untuk membawamu kembali kepada orang tua kandungmu sendiri”, berkata Empu Matren kepada seorang gadis jelita yang datang bersimpuh dihadapannya. Ternyata gadis jelita itu adalah Dara Kencana, putri Tribhuwanaraja yang selama ini diasuh dan dibesarkan di Kuil Muaro.

“Hari sudah senja, bermalamlah di kuil ini,besok aku baru mengijinkan kalian kembali”, berkata Empu Matren kepada Mahesa Amping dan Pranjaya.

“Persiapkanlah dirimu, besok kamu akan melakukan sebuah perjalanan”, berkata Empu Matren kepada Dara Kencana yang berpamit mohon diri beristirahat.

Dan malam pun telah datang menyelimuti kuil Muaro, cahaya bulan temaram menaburkan sinarnya jatuh mencumbu rumput-rumput hijau yang manja menghias taman altar perjamuan.

Banyak hal yang mereka percakapkan, dan Empu Matran semakin mengenal Mahesa Amping sebagai sosok pemuda yang sangat tinggi pemahaman dan pengenalannya atas ilmu kejiwan. Dan mereka sepertinya telah menemukan kawan berbincang yang cocok satu dengan yang lainnya, seperti gayung bersambut, seperti seikat kacang diatas nampan jamuan, seperti keranjang menemukan kembali pikulannya yang lama hilang, membawa mereka kepasar rahasia makna yang ramai, mendulang keuntungan harta kekayaan samudera bathin kejiwaan yang begitu luas tak mungkin dapat dikeringkan hanya dalam percakapan semalam, bahkan sepanjang usia perjalanan diujung kematian.

Ketika bulan bulat penuh rebah dibawah bukit kecil pulau Muaro, sisa malam yang terasa dingin telah mengingatkan mereka untuk beristirahat.

“Hari sudah jauh malam, saatnya kalian untuk beristirahat”, berkata Empu Matren mempersilahkan Mahesa Amping dan Pranjaya beristirahat ditempat yang telah disediakan.

Dan sang waktu akhirnya datang mengubah warna cakrawala lengkung langit, mendatangkan pagi bersama sang fajar yang masih malu bersembunyi mengintip diujung bumi.

Kicau burung diatas kuil Muaro seperti nyanyian pagi yang merdu telah membangunkan penghuninya. Embun pagi di ujung rumput hijau seperti butiran mutiara menggeliat dibelai sang surya yang sudah merata meyirami cahayanya mengusir sisa-sisa dingin malam.

“Perbaktian kepada Sang Hyiang Tunggal tak terbatas tempat dan waktu, dimanapun wajahmu berpaling, dimanapun dirimu berdiri, kamu dapat melakukan persembahan dalam bhakti”, berkata Empu Matren kepada Dara Kencana yang sudah dianggapnya sebagai anaknya sendiri.

“Semoga kesejahteran selalu membimbing perjalanan kalian”, berkata Empu Matren ketika Mahesa Amping, Dara Kencana dan Pranjaya telah bersiap diatas jukungnya.

Dan sebuah jukung telah meluncur membelakangi kuil Muaro diiringi puluhan mata yang terus mengikutinya hingga akhirnya telah menghilang tidak dapat terlihat lagi dipersimpangan cabang sungai yang berkelok.

Dua orang pemuda tengah mengayuh jukungnya menyusuri anak sungai Musi yang berkelok-kelok dilindungi hutan kayu yang rimbun. Seorang Dara Cantik duduk diantaranya menatap kedepan, membiarkan angin pagi meniup rambutnya yang terbang terurai.

Mahesa Amping, Pranjaya dan Dara Kencana tengah melakukan perjalanannya diatas sebuah jukung di pedalaman sungai hutan belantara yang kelam. Baru ketika matahari sudah merayap tinggi mengintip di sela-sela daun dan batang pohon kayu hutan yang kerap, jukung mereka telah keluar dari anak sungai Musi, masuk dalam perairan sungai Musi yang luas dan panjang.Terlihat dua buah jung besar beriringan melawan arus sungai purbakala itu.

“Mereka telah kembali”, berkata Ratu Anggabhaya dari anjungan melihat sebuah jung merapat didermaga.

“Seorang putri yang cantik luar biasa”, berkata Lembu Tal yang melihat seorang gadis bersama Pranjaya dan Mahesa Amping berdiri diatas jukung tengah melangkah menjejakkan kakinya di ujung bibir dermaga.

Sementara itu Raden Wijaya dan Lawe sudah turun lebih dahulu langsung menyongsong kedatangan sahabatnya itu dan menggiringnya dengan berbagai pertanyaan.

“Berkat doa kalian semua, perjalanan kami diberikan banyak kemudahan”, berkata Mahesa Amping sambil menjawab beberapa pertanyaan Lawe.

“Akan lebih baik bila ceritamu disimpan dulu, mungkin akan terasa nikmat bila ceritamu mengalir bersama minuman segar dan sepiring lemang berkuah gulai”, berkata Raden Wijaya yang memaklumi kelelahan dua orang sahabatnya serta Dara Kencana yang baru tiba dari perjalanan panjangnya.

Dan merekapun terlihat menuju kesebuah kedai langganan mereka di simpang jalan yang ramai.

———-oOo———-

SFBDBS 07-182

“Mudah-mudahan kami tidak ketinggalan alur cerita”, berkata Ratu Anggabhaya yang menyusul kemudian bersama Lembu Tal dan Kebo Arema.

“Cerita belum dimulai, menunggu datangnya nasi lemang berkuah gulai”, berkata Lawe dengan warna garis wajahnya yang selalu penuh keceriaan.

Akhirnya sambil menikmati hidangan yang disediakan di kedai itu, Mahesa Amping bercerita sekitar perjalanannya ke kuil Muaro dan perjumpaannya dengan Empu Matren. Sebelum memulai ceritanya, Mahesa Amping memperkenalkan Dara Kencana kepada semua yang ada di kedai itu.

“Jadi kalian semua berasal dari Tanah Singasari?”, berkata Dara Kencana yang sudah mulai tidak merasa canggung lagi.
Sementara itu mentari diatas Bandar Sebukit telah bergeser surut, angin membawa pergi awan hitam berkabut jauh kehilir sungai.

Seiring perjalanan waktu yang terus berlalu, sebuah iring-iringan kecil terlihat tengah berjalan membelakang Bandar Sebukit.

Iring-iringan itu menjadi perhatian banyak orang sepanjang jalan antara Bandar Sebukit menuju Kotaraja.

“Diantara mereka pasti ada seorang pembesar dari Kerajaan Singasari”, berkata seseorang yang nampaknya banyak mengenal berbagai tanda kebesaraan dari berbagai kerajaan kepada seorang kawannya ketika iring-iringan kecil bersama sekitar sepuluh orang prajurit yang berjalan membawa berbagai umbul-umbul kebesaran kerajaan Singassari melewati mereka.

Jarak antara Bandar Sebukit dengan Kotaraja memang tidak begitu jauh. Kotaraja tempat istana Tanah Melayu adalah sebuah dataran perbukitan yang cukup luas dikelilingi sungai, salah satunya adalah Sungai Musi.

Tribhuwanaraja dan Permaisurinya menyongsong kedatangan iring-iringan kecil itu di depan pintu gerbang istana yang sudah diberitahukan terlebih dahulu lewat beberapa utusan yang telah datang mendahului.

Dara Kencana telah dipertemukan kembali kepada orang tuanya. Sebuah pertemuan yang sangat mengharukan.

Terlihat sang permaisuri memeluk erat putri sulungnya yang terkasih, sepertinya tidak ingin melepaskannya lagi, tidak ingin kehilangan kembali.

“Aku tidak bermimpi, aku memang tidak sedang bermimpi”, berkata Sang permaisuri sambil terus memeluk putrinya.

“Ibunda tidak bermimpi”, berkata Dara Kencana berusaha mengendalikan perasaan hatinya yang ikut terbawa arus keharuan yang begitu sangat.

 “Kembali kedatanganmu membawa karunia kebahagiaan untuk kami”, berkata Tribhuwanaraja memeluk Mahesa Amping sebagai ungkapan rasa terima kasihnya.

Dan iring-iringan dari kerajaan Singasari disambut penuh kehormatan dan keramahan, mereka dijamu di rumah panggung serapat, sebuah tempat khusus Baginda Raja menerima dan menjamu para pejabat istana dan tamu-tamu terhormatnya.

“Sempurnalah segala suka cita kegembiraan kita, aku akan meminang dua orang putra kalian untuk kedua putri tercintaku, Dara Petak dan Dara Jingga”, berkata Tribhuwanaraja disebuah perjamuannya.

“Dimana bumi dipijak, disitu langit dijunjung, dengan segenap penghormatan yang besar mendapatkan karunia pinangan dari penguasa tanah Melayu yang besar, kami menyerahkan kedua putra kami”, berkata Ratu Anggabhaya mewakili kepala keluarga pihak lelaki menerima pinangan Tribhuwanaraja.

“Lain ladang lain pula ilalang, kamipun menerima persimpangan adat diantara kita sebagaimana keluasan hati tuan-tuan yang menerima persimpangan adat yang berbeda dengan hati lapang. Untuk dan atas nama darah persaudaraan yang abadi, kami serahkan putri terkasih Dara Kencana sebagai kapur sirih dan pinang hiasan kasih sayang, menerima pinangan sang penguasa Singasari Raya”, berkata Tribhuwanaraja menerima pinangan utusan kerajaan Singasari yang diwakili langsung oleh Ratu Anggabhaya.

Dan gending gamelan kebahagiaan sepertinya mengiringi suara hati dalam kecap suka cita perjamuan diatas rumah panggung serapat itu.

Sepekan kemudian telah dilangsungkan sebuah upacara pernikahan yang dilanjutkan dengan perayaan besar selama tujuh hari tujuh malam, dihadiri segenap warga dan pembesar istana, seluruh raja-raja bawahan Kerajaan Melayu Raya, dan beberapa utusan Kerajaan sahabat terdekat.

Didalam catatan kuno seorang pujangga pengembara, perayaan besar itu terjadi dipertengahan musim penghujan. Pada saat itu para pelaut memenuhi daratan, mendamparkan sauhnya di Bandar-bandar besar yang ramai menanti datangnya musim panas kembali, memanggil kerinduan para pelaut untuk mengembangkan layar menyusuri pesisir pantai, menembus selat raya dan mengarungi samudera.

Selama tinggal di Istana Melayu, Mahesa Amping dan Raden telah banyak memberikan perubahan yang berarti, terutama dalam peningkatan tataran ilmu para prajurit Tanah Melayu. Bersama Pranjaya mereka telah melatih sepasukan prajurit khusus. Pengalaman mereka sebagai pelatih para prajurit muda pengawal jung Singasari di Bandar Cangu telah mengajarkan mereka berbuat lebih baik lagi meningkatkan kemampuan para prajurit di tanah Melayu, baik secara perorangan maupun kemampuan mereka di medan perang secara berkelompok.

Sementara itu Ratu Anggabhaya, Lembu Tal dan Kebo Arema banyak mengisi waktu mereka berkunjung kerumah Datuk Belang. Hampir sepanjang malam mereka terlihat dan terlibat dalam pembicaraan yang hangat, melupakan kejemuan. Dan datuk Belang adalah tuan rumah yang baik, mendapatkan kunjungan para tamu yang baik pula. Dan sepanjang malam rumah panggung besar itu tidak pernah sunyi dari kehangatan dan kegembiraan.

Diatas langit ribuan burung pengembara terbang kearah selatan, itulah bahasa alam pergantian musim penghujan akan berganti.

“Semoga persaudaraan kita abadi”, berkata Tribhuwanaraja menyampaikan salam perpisahannya kepada iring-iringan kecil yang dipimpin langsung oleh Ratu Anggabhaya.

“Kesetiaanku adalah penantian kesabaran yang abadi, doa keselamatan akan selalu kupanjatkan untuk kakang Wijaya”, berkata Dara Petak melepas suaminya Raden Wijaya.

“Terbanglah, tempatmu adalah puncak-puncak gunung tinggi dibelantara samudera raya. Aku akan menjaga putramu, membesarkannya untuk dapat membawaku pergi mencari jejakmu”, berkata Dara Jingga kepada Mahesa Amping penuh senyum kebahagiaan, tidak ada air mata setetespun. Dara Jingga tidak menginginkan kesedihannya akan membawa keraguan langkah suaminya Mahesa Amping.

Dan siang itu Jung Singasari terlihat perlahan bergerak meninggalkan dermaga Bandar Sebukit mengikuti aliran sungai Batanghari yang hangat disinari matahari musim panas yang cerah.

Senja telah menanti Jung Singasari di muara besar sungai Batanghari. Dan layarpun terlihat telah terkembang membawa jung Singasari menyusuri pantar Swarnabumi yang damai.

Setelah dua hari dua malam berlayar di lautan, mereka telah melewati muara sungai Musi. Terlihat jung Singasari tengah mengarah ke Pulau Banca.

“Pulau Banca adalah tempat persinggahan yang tepat untuk mengisi persediaan air tawar dan pangan kita selama berlayar”, berkata Kebo Arema menjelaskan mengapa harus singgah di pulau Banca.

Demikianlah mereka memang telah bersandar di dermaga Pulau Banca.

“Selamat datang saudaraku”, berkata Gagak Seta, juragan besar Pulau Banca menyambut kedatangan mereka.

“Musim melaut telah kembali, kulihat banyak jung besar bersandar di pulaumu”, berkata Kebo Arema kepada Gagak Seta.

“Rejekiku akan datang bersama datangnya musim melaut”, berkata Gagak Seta tersenyum.

“Tapi aku tidak melihat barang daganganmu menumpuk diujung sana?”, bertanya Kebo Arema yang tidak melihat barang dagangan gagak Seta yang sebelumnya dilihatnya selalu menumpuk tinggi, mulai dari beras dan berbagai sayuran yang biasanya dibutuhkan untuk persediaan selama dalam pelayaran yang jauh.

“Sudah dua hari ini para pedagang dikepulauan Banca ini tidak berani datang menyeberang”, berkata Gagak Seta yang tiba-tiba saja warna garis wajahnya yang biasanya periang berubah menjadi sedikit masam.

“Apakah ada gangguan dari para perompak?”, bertanya Kebo Arema merasa ikut prihatin.

———-oOo———-

SFBDBS 07-183

 “Sudah tidak ada lagi perompak yang berkeliaran di kepulauan banca ini”, berkata Gagak Seta sambil menggelengkan kepalanya.

“Jadi apa yang mengganggu mereka?”, bertanya Kebo Arema semakin penasaran.

“Ular naga besar berkaki enam”, berkata Gagak Seta

“Apakah kamu sudah pernah melihatnya ?”, bertanya kembali Kebo Arema.

“Aku baru mendengar dari orang-orang yang selamat, yang nyaris dibantai ular besar itu”, berkata Gagak Seta sedikit bercerita. ”Hari ini kami di Pulau Banca ini bermaksud mendatangi sarang ular naga itu”, berkata kembali Gagak Seta.

“Kami akan ikut menyertai”, berkata Kebo Arema kepada Gagak Seta.

“Terima kasih, kami memang butuh orang-orang yang mempunyai keberanian”, berkata Gagak Seta merasa gembira atas penyertaan Kebo Arema.

“Sampai lupa mengajak kalian singgah dirumahku, mungkin banyak yang harus kita bicarakan sebelum mendatangi pulau sarang naga besar itu”, berkata Gagak Seta sambil mengajak rombongan Kebo Arema singgah dan beristirahat dirumahnya.

Setelah tiba di rumah panggung Gagak Seta, seperti biasa mereka bersih-bersih dan beristirahat sejenak menikmati hidangan dari tuan rumah yang cukup ramah.
Akhirnya pembicaraan kembali kepada ssosok ular naga berkaki enam. Dan gagak Seta bercerita sedikit tentang ular naga berkaki enam itu.

Gagak Seta bercerita bahwa beberapa puluh tahun yang lalu, ketika kepulauan Banca ini digunakan sebagai sarang para perompak. Ada sekelompok bajak laut yang berhasil menjarah sebuah jung besar yang membawa banyak barang dagangan.

Disebuah pulau mereka membuka berbagai barang hasil jarahannya itu. Dan salah satu barang jarahannya itu adalah sebuah peti kayu yang besar.

Bukan main kagetnya para perompak itu ketika membuka peti kayu besar itu yang ternyata adalah seekor ular naga berkaki enam. Para bajak laut semuanya berlari meninggalkan pulau itu.

“Sampai saat ini tidak ada yang berani mendekati pulau itu”, berkata Gagak Seta mengakhiri ceritanya.

“Dan baru sekarang Ular naga itu mengganggu manusia?”, bertanya Raden Wijaya yang tertarik mengenai cerita ular naga berkaki enam itu.

“Benar, baru kali ini ular naga itu mengganggu, mungkin makanan di pulau itu sudah menipis habis”, berkata Gagak Seta.

“Mungkin ular naga tua yang terusir dari kelompoknya, aku pernah mendengar cerita itu”, berkata Mahesa Amping ikut memberikan pikirannya.

“Banyak kemungkinannnya, kita harus datang kesarangnya, memastikan apa sebenarnya yang telah terjadi”, berkata Gagak Seta.

Akhirnya diputuskan besok pagi mereka akan berangkat ke sarang pulau naga itu. Gagak Seta akan mengajak tiga orang lelaki yang berani dari pulau Banca, sementara itu Kebo Arema mengajak Mahesa Amping, Raden Wijaya dan Lawe menyertainya.

Keesokan harinya, ketika matahari sudah bangkit beranjak diujung timur pulau Banca yang terlindung barisan pohon kelapa yang kokoh berdiri bercanda bersama hembusan angin pantai bertiup sepanjang hari. Tiga buah jukung kecil meninggalkan pulau Banca. Mereka adalah para lelaki pemberani yang akan menuju ke pulau naga.

Tidak ada hambatan apapun ketika mereka telah mendekati Pulau Naga yang sudah puluhan tahun tidak ada seorangpun yang berani mendekatinya.

Terlihat tiga buah jukung telah sampai dipantai pulau naga. Delapan orang lelaki melompat menjejakkan kakinya dipasir putih pantai yang telah hangat terbakar sinar matahari. Semua mata tertuju kepada sebuah hutan kayu yang rimbun dihadapan mereka, pohon-pohon kayu raksasa yang besar tinggi menutup seluruh daratan pulau naga itu.

“Berhati-hatilah”, berkata Kebo Arema berjalan dimuka mendekati hutan kayu yang lebat itu.

“Lihatlah, ular naga besar itu masuk dari tempat ini”, berkata salah seorang lelaki dari pulau Banca yang ikut menyertai mereka melihat sebuah semak yang terkuak, beberapa ranting kecil nampak patah.

“Kita masuk lewat jalan ini”, berkata Gagak Seta.
Jejak itu memang cukup besar, memudahkan mereka untuk berjalan menembus hutan yang penuh semak belukar itu.

Mereka belum masuk begitu jauh menembus kerapatan belukar hutan, tiba-tiba saja langkah kaka mereka terpaksa berhenti.

Nafas mereka sepertinya tertahan, tidak jauh dari mereka terlihat dua sosok ular naga berkaki enam diatas sebuah belumbang. Panjang ular naga itu mencapai sekitar sepuluh meteran, badannya sebesar sepelukan orang dewasa.

“Ular naga yang besar”, berbisik Kebo Arema seperti tidak percaya dengan apa yang dilihatnya.
Belum habis perkataan Kebo Arema, tiba-tiba saja mereka melihat kedua naga besar itu seperti gelisah.

“Menyingkir jauh-jauh”, berkata Kebo Arema yang melihat dua ekor naga besar itu melangkah mendekati mereka.

Maka dengan sigap mereka berlari menjauh.

Ternyata kedua ekor naga besar itu tidak mengejar mereka, tapi terus berjalan dengan keenam kakinya mengikuti jejak yang sepertinya jalan mereka untuk menuju kepantai.

Menyadari bahwa kedua ekor naga besar itu tidak mengejar mereka, maka dengan keberanian yang teguh kedelapan orang pemberani itu terus membuntuti arah langkah kedua ekor naga itu.

Kedua ekor naga besar itu telah mencapai pantai, ternyata kegelisahan mereka karena ada seekor naga besar lain yang terlihat baru saja tiba diujung pasir pantai.

Dua ekor naga besar terlihat menunjukkan taring-taring mereka, sepertinya sebuah bahasa mengusir naga besar yang baru datang.

Naga besar pendatang baru terlihat ikut mempertunjukkan taringnya.

Sementara itu delapan pasang mata dengan nafas tertahan menunggu apa yang akan terjadi, ternyata seekor naga besar pendatang baru cukup cerdas untuk tidak melayani tantangan kedua naga besar yang sepertinya telah bersiap menerkam lawannya. Terlihat naga besar pendatang itu perlahan mundur, perlahan menghilang masuk kedalam laut yang dalam.

Melihat lawannya pergi masuk kedalam laut, kedua ekor naga besar itu terlihat telah kembali masuk kedalam hutan.

“Sebagaimana yang pernah kamu katakan, naga besar yang terakhir kita lihat adalah naga besar yang terusir dari kelompoknya”, berkata Kebo Arema kepada Mahesa Amping.

“Binatang liar dihutan ini masih banyak, tidak akan habis hanya untuk dua ekor naga besar itu”, berkata Gagak Seta.

“Dapat disimpulkan, bukan dua ekor naga besar itu yang sering menggangu penduduk, tapi seekor naga yang terbuang dari kelompoknya, seekor naga besar yang sedang marah”, berkata Raden Wijaya ikut memberikan sebuah kesimpulan.

“Naga itulah yang harus kita binasakan”, berkata sesoarng lelaki Pulau Banca yang terlihat begitu geram, mungkin karena salah satu korban adalah saudaranya sendiri.

“Kita pancing naga besar itu”, berkata Gagak Seta

“Dengan apa?”, bertanya Lawe.

Maka gagak Seta menyampaikan beberapa hal yang dapat dimengerti dan semua nampaknya menyetujui rencana Gagak Seta itu.

“Ketika Naga besar itu menunjukkan dirinya, kita arahkan dirinya ke darat. Kita dapat leluasa bergerak dibandingkan berada diatas air”, berkata Gagak Seta menyampaikan beberapa rencananya.

———-oOo———-

SFBDBS 07-184

Terlihat delapan orang telah keatas jukungnya masing-masing. Terlihat mereka mendayung berputar putar sekitar tempat terakhir naga besar itu masuk kedasar laut dalam.

Cukup lama mereka berputar putar, yang ditunggu sepertinya tidak akan pernah muncul.

Ketika rasa kecewa dan putus asa mulai menjangkiti beberapa orang, terlihat dari wajahnya yang nampak lelah. Tiba-tiba saja mata mereka semua tertuju pada satu tempat dimana air laut disekitarnya sepertinya bergolak.

Seekor naga besar yang ditunggu telah menyembul dari permukaan laut, air laut disekitarnya sepertinya langsung bergelombang.

Tanpa aba-aba apapun, ketiga jukung itu telah meluncur kedarat. Dengan sigap kedelapan orang itu telah melompat menjejakkan kakiknya di pasir pantai yang landai.

Sebagaimana yang mereka perhitungkan, naga besar itu mengejar mereka sampai ke pantai.

Kedelapan orang itu telah melepaskan senjatanya masing masing, perlahan mereka mundur mendekati daratan yang tidak lagi berpasir.

Ular naga berkaki enam itu terus mengejar mereka. Dan sebuah sabetan ekornya tiba-tiba saja nyaris menghantam tubuh Gagak Seta yang berada paling dekat dengannya.

Dengan gesit gagak seta melompat menghindar. Namun sabetan ekor naga besar itu terus melaju, seorang lelaki putra pulau Banca tidak dapat mengelak sabetan yang datang begitu cepat itu, tubuhnya terlempar sampai dengan puluhan kaki jauhnya. Lelaki itu nampak meringis menahan rasa sakit yang sangat, tulang rusuknya terasa remuk dan patah.

“Lindungi orang itu”, berkata Mahesa Amping kepada Lawe.

Terlihat Lawe berlari mendekati orang itu yang masih menahan rasa sakitnya tidak mampu bangkit berdiri, dengan kedua tangannya Lawe segera menyeret orang itu menjauhi serangan naga besar yang buas itu.

Ternyata Naga besar itu adalah makhluk cerdas, tahu kelemahan lawan. Tiba-tiba saja makhluk besar itu merayap dengan cepat mengejar Lawe yang tengah menyeret seorang yang terluka.

Mahesa Amping merasakan bahaya besar tengah mengancam sahabatnya, pada saat itu Lawe memang tidak dalam keadaan siap menerima terkaman.

Tanpa berpikir panjang, tubuh Mahesa Amping seperti terbang melesat jauh dan hinggap tepat dileher makhluk melata yang besar itu.

Crattttt !!!!!

Dua buah belati kembar senjata andalan Mahesa Amping telah menembus dua mata naga besar itu. Dan dengan hitungan kejapan mata, tubuh Mahesa Amping telah bergerak melesat menjauh dan berdiri dengan kedua belati pendeknya yang terlihat berlumur darah segar.

Tubuh naga besar itu berguling-guling merasakan sakit yang sangat pada kedua matanya, terdengar suara mencicit panjang keluar dari mulutnya yang bertaring menyeramkan.

Suara mencicit panjang itu seperti sebuah aba-aba, serentak lima orang telah bergerak dengan senjatanya masing-masing.

Dengan lompatan panjang, Kebo Arema berhasil merobek leher naga besar itu. Bersamaan dengan itu, sebuah keris Raden Wijaya telah menghujam dalam diperut naga besar itu. Sementara itu Gagak Seta dengan golok panjangnya yang tajam, nyaris membuntungi kaki depan makhluk mengerikan itu.

Namun malang bagi kedua lelaki asal pulau Banca yang ingin ikut membantai naga besar itu. Dalam keadaan kalap dan terluka makhluk itu telah mengayunkan ekornya, kedua orang itu seperti terhantam benda keras yang kuat, mereka terlempar jauh dan sepertinya tidak terlihat bergerak lagi. Ternyata mereka telah jatuh pingsan.

Mahesa Amping segera mendekati kedua orang itu.

“Syukurlah, hanya pingsan”, berkata Mahesa Amping dalam hati setelah meyakinkan bahwa nyawa keduanya masih dapat tertolong.

Sementara itu Naga besar itu masih berkelepar meronta kesana kemari, terlihat darah mengalir dari luka robekan pedang Kebo Arema dilehernya yang cukup dalam dan melebar hampir dapat dikatakan setengah dari lingkaran badannya yang besar sepelukan tangan. Darah juga terlihat keluar dari perut dan kaki depannya yang nyaris hampir kutung.

Lama juga ular naga besar berkaki enam itu bertahan dari sisa hidupnya. Namun perlahan tapi pasti kekuatan makhluk besar itu semakin surut karena kehabisan darah.

Akhirnya tidak ada lagi gerakan, ular naga berkaki enam itu sudah tidak kuasa mempertahankan kematiannya, tergeletak dipantai dengan tubuh kotor berbaur debu pasir putih. Ombak air laut sekali kali terlihat membasahi bangkai ular naga besar itu, perlahan bergeser mendekati bibir laut.

“Bagaimana dengan kedua ular naga yang ada di hutan itu”, bertanya Mahesa Amping kepada Gagak Seta ketika mereka sudah ada diatas jukung menjauhi bibir pantai Pulau naga.

“Mudah-mudahan mereka tidak membahayakan penduduk kepulauan ini”, berkata Gagak Seta sambil memandang pulau naga yang sudah semakin menjauh.

“Semoga hanya satu ekor naga yang tersisih dari kelompoknya”, berkata Mahesa Amping sepertinya berharap Cuma naga itu satu-satunya yang telah meresahkan penduduk kepulauan Banca.

“Aku juga berharap yang sama”, berkata Gagak Seta tersenyum kepada Mahesa Amping.

———-oOo———-

SFBDBS 07-185

bersambung ke bagian 2

Laman: 1 2 3 4 5 6

Telah Terbit on 8 November 2011 at 00:01  Comments (253)  

The URI to TrackBack this entry is: https://pelangisingosari.wordpress.com/sfbdbs-07/trackback/

RSS feed for comments on this post.

253 KomentarTinggalkan komentar

  1. hore, kamsiiiiaaaaaa

    • HADU KEDHISIKAN KI BC MASUK PRIPITAN

  2. selamat MALAM…..cantrik HADIR,

  3. Selamet pagi, mengHADIRkan diri

    • sugeng enjang, mengABSEN diri sendiri

      • pak DALANG lagi tugas cangkulan, gelaRAN rontal
        baru wedar malam nanti….”tetep semangaaaat”

        • semangat teteeeep

  4. Akhirnya disepakati, Raden Wijaya dan Lawe ditugaskan sebagai pemimpin tertinggi armada besar Jung Singasari, mempunyai wewenang penuh untuk mengambil berbagai pertimbangan dan keputusan besar.Sementra itu Mahesa Amping ditunjuk untuk mendampingi Kebo Arema, merintis jalur pelayaran baru kea rah timur.

    Ketika keputusan ini disampaikan kepada para prajurit pengawal jung singasari, mereka menerima dan berjanji akan mematuhi segala perintah dan keputusan.

    “Kita harus mohon doa restu dari Sri Baginda Maharaja di Kutaraja”, berkata Kebo Arema.
    Keesokan harinya, keempat orang pentolan armada besar laut Singasari ini telah memacu kudanya berangkat ke Kotaraja untuk mohon doa restu dri Sri Maharaja Singasari.

    Mereka tiba di Kotaraja bersamaan dengan hari Maguntur Raya. Disaksikan bersama para pejabat istana, dibalai maguntur raya Kebo Arema menyampaikan laporan khusus tentang berbagai hal menyangkut tentang Armada besar jung Singasari di hadapan Sri Maharaja Singasari.

    Sri Maharaja Singasari menerima laporan Kebo Arema dengan penuh gembira dan suka cita, impiannya tentang kerajaan laut telah menjadi kenyataan.

    “Armada jung Singasari telah membawa kemakmuran yang besar, pemikiran dan rencanamu untuk menyatukan jalur perdagangan laut dari timur ke barat adalah pemikiran yang cerdas, doa dan restuku menyertai kalian”, berkata Sri Baginda Maharaja Singasari di ruang rapat balai magunturan raja.

    Setelah keluar dari balai Maguntur raya, mereka tidak langsung kembali ke Bandar Cangu. Mereka berempat menyempatkan waktu beristirahat semalam di pesanggrahan Ratu Anggabhaya, memohan restu dan nasehat langsung dari Ratu Anggabhaya.Keesokan harinya baru mereka berempat berangkat menuju Bandar Cangu.

    “Selamat jalan para pendekar laut sejati”, berkata Ratu Anggabhaya melepas keberangkatan mereka.
    Kotaraja saat itu sudah memasuki pergantian musim panas, dipagi yang hangat itu terlihat empat ekor kuda keluar dari gerbang kota menyusuri jalan tanah yang terbuka kearah Bandar Cangu.

    Lengkung langit bertebaran awan putih, matahari musim panas terasa lebih menyengat cahayanya membakar bumi. Diiringi debu yang mengepul dibelakang kaki-kaki kuda, empat orang berkuda terlihat rancak melarikan kudanya diatas jalan tanah yang kering, mereka adalah Kebo Arema, Lawe, Raden Wijaya dan Mahesa Amping yang tengah menembus hari menuju Bandar Cangu. Keceriaan nampak menyelimuti wajah mereka. Dibenak hati masing-masing masih terbayang wajah Sri Baginda Maharaja yang penuh suka cita dan perasaan gembira mendengar laporan Kebo Arema di ruang Balai Maguntur Raya. Ibarat arah matahari, tugas “kekancingan” membangun armada besar laut Singasari sudah menapak diarah puncak matahari. Setengahnya lagi adalah menunggu datangnya senja kesempurnaan.

    Dan senja akhirnya telah tiba menyambut langkah kaki kuda mereka di padukuhan terdekat dari Bandar Cangu yang ramai.

  5. “Selamat datang kembali di Benteng Cangu”, berkata
    Mahesa Pukat menyambut kedatangan Kebo Arema, Lawe dan Mahesa Amping yang baru tiba dari Kutaraja.

    Setelah bersih-bersih dan beristirahat sejenak, barulah mereka berkumpul kembali di pendapa Benteng Cangu, banyak yang mereka bicarakan sepanjang malam, antara lain tentang rencana keberangkatan pelayaran menuju daerah timur.

    Dan rembulan sepotong nampaknya begitu lelah mengegelantung diatas langit benteng Cangu. Suara burung celepuk terdengar panjang dan semakin menjauh hilang ditelan kesunyian malam.

    Hari-hari berlalu menunggu saat keberangkatan pelayaran ke daerah timur nampaknya sudah hampir tiba. Beberapa prajurit yang ijin ke kampung halamannya bertemu dengan keluarganya masing-masing nampaknya hampir dapat dipastikan telah berdatangan berkumpul kembali di barak-barak mereka.

    Dan pagi itu terlihat sebuah jung besar bergerak perlahan meninggalkan dermaga Bandar Cangu. Kebo Arema, Mahesa Amping dan tiga ratus prajurit pengawal melambaikan tangannya kepada orang-orang yang berdiri di sepanjang Bandar Cangu melepas kepergian mereka, melepas para pelaut sejati, pejuang perintis daerah baru bagi kemakmuran dan kejayaan Singasari.

    “Selamat jalan sahabat”, berkata Lawe melambaikan tangannya mengiringi jung Singasari yang terus melaju membelakangi Bandar Cangu yang akhirnya hanya terlihat buritan bahteranya yang semakin menjauh hilang diujung batas mata memandang.

    Raden Wijaya dan Lawe mulai merasakan ketidak hadiran dua orang terdekatnya ketika langkah kaki mereka beranjak dari tepi dermaga Bandar Cangu, ketika tiba di benteng Cangu, dan ketika datang berkunjung ke barak prajurit pengawal jung Singasari keesokan harinya.

    Tapi perasaan itu tidak dibiarkan membeku, justru perasaan itu telah menggerakkan hati dan semangat mereka untuk dapat berkarya, membuat berbagai kesibukan baru.

    Ternyata berawal dari sinilah sifat dan sikap kepemimpinan raden wijaya mulai terlatih.

    Dimulai dari pembangunan balai tamu yang besar ditengah barak-barak prajurit tempat Raden Wijaya dan Lawe dapat menerima para tamunya dari berbagai kalangan, sekaligus tempat mereka beristirahat.

    Raden Wijaya dan Lawe nampaknya berkeinginan keluar dari ketergantungan Benteng Cangu yang selama ini banyak membantu.

    Mahesa Pukat diam-diam memuji keputusan Raden Wijaya dan Lawe, Armada laut Singasari adalah kesatuan dan kekuatan yang besar, balai tamu yang besar dan megah adalah citra perwakilan wibawa kesatuan mereka.

    “Terima kasih atas pengertian dan dukungan dari Paman Senapati”, berkata Raden Wijaya atas dukungan dan simpatik yang besar dari Mahesa Pukat.

    • dua rontal untuk gandhok anyer

      • Kamsiaaa… !!

        • Kaaammmssiiiiiiiiiiiaaaaaaaaaaaaaaaaaaaa….!!!

          • matur nuwuuuunnnn

          • nuwuuuunnnn matur

          • Mancuuuuur Nuuwuuuuuun.

  6. ABSEN

  7. dua rontal sudah siap digelar untuk besok pagi,
    atau…………..

    • siap!!!

    • suwun

    • kamSIA….!!!

  8. SIAP, KAPAN SAJA, TETAPI KALAU BISA LEBIH CEPAT, KENAPA TIDAK, NUWUN

    • SIAP-SIAP KAPAN SAJA,……..NUWUN JUGA

      • Siap kapan siap saja………….juga nuwun.

  9. HADIR (pake bold)….HADIR (pake italic)

    ndhisiki ki GembLEH

  10. Sugeng dalu Ki Menggung,
    kadosipun Pak Dhalang ketiduran………

    Tak nDulit Ni Sinden wae ah……..

  11. On 23 November 2011 at 22:48 kompor said:

    dua rontal sudah siap digelar untuk besok pagi,
    atau…………..

    he he he ….
    sekarang ini sudah pagi apa belum ya??

    halah….
    ataunya itu bisa besok malam, lusa pagi, lusa malam, dst.

    monggo Pak “Dhalang” Kompor “Bara Membara”, pakeliran sudah siap.

  12. hup…baru sampe rumah,

  13. Setelah balai tamu berdiri dengan megahnya ditengah barak-barak prajurit, kembali Raden Wijaya menunjukkan bakat kepemimpinannya yang cemerlang. Raden Wijaya telah membuat kesepakatan dagang bersama berbagai kalangan terutama para bangsawan Singasari.

    Dibawah kepemimpinan Raden Wijaya, lima bahtera Jung Singasari tidak pernah sepi dan selalu sarat penuh membawa berbagai barang pulang dan pergi sepanjang jalur perdagangan antara Bandar Cangu dan Tanah Melayu. Dan armada jung Singasari sudah mulai dikenal oleh para saudagar besar sebagai armada dagang yang paling disegani, dapat menjaga keamanan barang perdagangan sampai ditempat tujuan.

    Kekuatan armada laut Singasari telah ikut memicu kemakmuran di dalam nagari, berbagai hasil pertanian, berbagai hasil kerajinan yang berlimpah dapat diperdagangkan keluar nagari ke berbagai tempat yang jauh sampai ke Tanah Melayu.

    Disaat musim pasang laut, armada jung Singasari dapat melayari sampai jauh kedaerah pedalaman hulu sungai diberbagai banyak Nagari, dipedalaman hulu sungai Citarum di tanah Pasundan, di pedalaman hulu sungai Musi dan dipedalaman hulu sungai Batanghari di Tanah Melayu.

    Lewat tangan kepemimpinan Raden Wijaya, pilar-pilar istana kerajaan laut Singasari telah mulai terbangun.
    Sementara itu, dilangit malam dibawah cahaya bulan dan bintang terlihat sebuah bahtera dengan tujuh buah layar terkembang penuh tengah melaju diatas lautan luas, kadang bahtera itu bergoyang dipermainkan gelombang laut.

    “Kita telah memasuki perairan Masalembo, para pelaut menamakan daerah ini sebagai neraka laut”, berkata seorang yang nampak gagah diatas anjungan kepada seorang pemuda didekatnya. Ternyata dua orang itu tidak lain adalah Kebo Arema dan Mahesa Amping di atas Jung Singasari.

    “Kenapa para pelaut menyebut daerah ini sebagai neraka laut ?”, bertanya Mahesa Amping penuh penasaran.

    “Hantu badai sering datang dengan tiba-tiba sebagai pusaran puting beliung yang menakutkan menyeret dan menenggelamkan sebuah bahtera hingga kedasar laut dalam ”, berkata Kebo Arema sambil matanya menatap jauh kedepan, sepertinya takut ucapannya didengar oleh hantu badai yang baru saja disebutnya.

    Ternyata ucapan Kebo Arema sepertinya di dengar oleh hantu badai yang paling ditakuti, tiba-tiba saja terdengar suara angin bergemuruh berasal dari lambung kanan jung Singasari.

    “putar kemudi membelakangi arah badai”, berteriak Kebo Arema kepada dua orang yang telah siap siaga memegang kemudi ganda yang menjadi cirri khas jung Singasari.

    Terlihat juru mudi itu dengan sigap telah memutar arah tepat bersamaan dengan datangnya gelombang besar mendorong bahtera yang seperti terbang begitu tinggi melambung.

  14. Disinilah para prajurit merasakan berhadapan dengan keganasan laut yang sebenarnya, namun berkat latihan yang sering mereka lakukan terutama dalam menghadapi datangnya badai laut, mereka seperti diuji dengan medan yang sebenarnya, disinilah para prajurit awak jung Singasari dituntut untuk melakukan apa yang harus mereka lakukan. Tanpa mengenal gentar beberapa prajurit berlari mendekati tali tiang layar, dengan cepat mereka berhasil menurunkan tiang layar. Dan jung Singasari telah selamat dari gulungan angin yang berputar lewat diatas jung Singasari yang tengah meluncur terhempas menukik menuruni gelombang pasang.

    Jung Singasari telah terhempas menampar air laut dibawahnya mengangkat air laut naik mengisi dan membasahi hampir sepanjang geladak seperti hujan besar tercurah dari langit. Satu jam lebih seluruh awak jung Singasari diguncang gelombang, disinilah mereka diuji untuk dengan tangkas mengarahkan bahtera mengikuti kemana arah gelombang datang, dan Kebo Arema adalah pengarah dan pemandu mereka yang sangat dipercaya.

    “Pertahankan arah, belakangi ombak gelombang”, berteriak Kebo Arema dengan suaranya yang keras ditengah suara gemuruh angin gelombang ombak laut yang datang mengejar.

    Akhirnya setelah sekian lama bermain dan bertarung dengan gelombang, mereka merasakan gelombang sudah tidak datang dan mengejar lagi, sepertinya makhluk gelombang pasang telah telah bosan mengoyak-ngoyak bahtera itu, mungkin telah jauh dari area perburuannya.

    “Kita telah jauh keluar dari jalur mata angin, kembangkan kembali layar penuh”, berkata Kebo Arema memberi perintah kepada prajuritnya yang langsung dilaksanakan dengan trampil dan penuh cekatan.Dan semuanya sepertinya telah memahami dan mengerti apa yang harus dilakukan sesuai dengan tugasnya masing-masing.

    “Pertahankan arah, kita telah kembali pada jalur mata angin”, kembali Kebo Arema berkata kepada dua orang yang bertugas menjaga kemudi kembar.

    Badai pasti berlalu, demikianlah para awak bahtera itu merasakan makna yang sebenarnya. Sebuah makna yang bukan sekedar kata-kata, tapi mereka memang merasakan dan menghadapinya dalam kehidupan nyata, melewati saat yang begitu mencekam, merasakan tubuh terhempas dan tergoncang bersamaan dengan guyuran tumpahan air asin laut menampar wajah.

    “Berbahagialah, tidak semua orang merasakan apa yang baru saja kita alami, merasakan nyawa akan hilang, merasakan hidup akan berakhir”, berkata Kebo Arema kepada Mahesa Amping dan beberapa prajurit yang ada dianjungan yang diketahui baru pertama kali ini merasakan keganasan gelombang badai yang sesungguhnya.

    “Inilah pelajaran pertama, dan kalian telah melewatinya dengan benar”, berkata kembali Kebo Arema.

    Sementara itu diujung timur cakrawala langit, semburat warna merah mencium ujung tepian laut sebagai tanda sang dewi pagi akan datang menjelang.

    Kearah semburat warna merah itulah bahtera itu mengarahkan kemudinya, mengarahkan layar harapan.

    • Kamsiaaa…!!
      Selamat pagi.

    • matur suwun Pak Dhalang

  15. Sugeng Enjing Para Sanak Kadang Padepokan…
    Nyuwun doa supados ontran2 wonten enggal2 lerem…
    Niat sae ananging wonten in tengah margi malah nyebabaken kerusuhan..

    • saya juga miris Ki
      mudah-mudahan segera ada penyelesaian sehingga kehidupan masyarakat yang tidak tahu menahu bisa kembali normal, tanpa ketakutan.

      • hadu…ane ketinggalan informasi nich, ada kerusuhan dimana ????

  16. Seekor elang laut terlihat terbang mengambang berputar putar, itulah bahasa alam sebagai tanda bahwa daratan sudah semakin mendekat.

    “Sebentar lagi kita akan menemui daratan”, berkata Kebo Arema kepada Mahesa Amping sambil matanya menatap dan mengikuti arah elang laut yang tengah berputar-putar.

    Sebagaimana yang dikatakan oleh Kebo Arema, terlihat bayangan hitam daratan diujung pandangan yang jauh. Sebuah pemandangan yang indah, sebuah harapan yang indah setelah sekian lama jiwa terasa jenuh memandang hamparan laut luas yang sepertinya tidak bertepi.

    “Daratan !!”, berteriak seorang prajurit melepas rasa kegembiraannya.
    Bahtera itu terus melaju mendekati bayangan hitam yang semakin nampak jelas.

    Akhirnya daratan tidak lagi sebagai bayangan hitam, tapi sudah terlihat jelas sebagai gerumbul hutan bakau yang subur hijau menutupi tepian bibir laut. Beberapa nelayan terlihat tengah mengayuh jukungnya dan melambaikan tangannya kearah bahtera besar yang baru dilihatnya untuk pertama kalinya.

    “Dengan bahtera sebesar itu kita dapat mencari ikan ditempat lebih jauh lagi”, berkata seorang anak lelaki tanggung kepada seorang lelaki tua, mungkin ayahnya.

    “Dengan bahtera itu kita tidak perlu menepi, berlayar sepanjang masa”, berkata lelaki tua sambil tersenyum, matanya mengagumi bahtera yang tengah melaju dekat jukungnya yang kecil terguncang-guncang terkena sayap ombak bahtera besar.

    “Inilah daratan Bone, kampung para pelaut”, berkata Kebo Arema kepada Mahesa Amping di anjungan.
    Akhirnya bahtera telah memasuki sebuah teluk besar, terlihat sebuah perkampungan nelayan yang besar.

    Perlahan jung Singasari mendekati sebuah dermaga besar. Tiga orang prajurit dengan penuh cekatan melompat ke tepi dermaga, dan dengan sigap pula menyambut ujung tali yang dilemparkan kearahnya dari atas Bahtera.

    “Inilah Bandar Bacukiki”, berkata Kebo Arema memperkenalkan nama Bandar tempat bahtera mereka saat itu telah merapat.

    “Bandar yang sepi”, berkata Mahesa Amping yang melihat Bandar itu tidak seperti layaknya Bandar-bandar besar yang pernah dikunjunginya.

    “Kitalah yang akan meramaikannya kelak”, berkata Kebo Arema kepada Mahesa Amping.”Bandar Bacukiki ini adalah gerbang utama menuju Tanah Gurun, selama ini para pelaut mandar menyembunyikan Pulau Gurun, sebuah daratan yang kaya akan pala dan lada, apakah kamu sudah menangkap kemana arah pembicaraanku ?”, bertanya Kebo Arema kepada Mahesa Amping.

    “Kita memutuskan mata rantai para pelaut mandar, membawa pala dan lada dari Tanah Gurun langsung ke Tanah Melayu dengan harga yang bagus”, berkata Mahesa Amping.

  17. “Aku senang punya kawan seperjalanan yang otaknya sangat encer”, berkata Kebo Arema sambil menepuk-nepuk bahu Mahesa Amping.”Mari kita turun melihat keadaan Bandar Bacukiki”, berkata kembali Kebo Arema.

    Ketika mereka berdua telah turun di dermaga, seorang yang sudah cukup berumur namun masih terlihat kegagahannya telah mendatangi mereka.

    “Siapakah diantara tuan yang menjadi pimpinan bahtera besar ini”, bertanya orang itu.

    “Akulah pemimpin bahtera besar ini, putra Karaeng Tuku yang pernah menyelamatkan sepuluh pelaut mandar di pulau Wangi-wangi’, berkata Kebo Arema dengan bahasa asli mandar yang cukup kental kepada orang yang datang menyapanya.

    Terlihat orang itu tertegun sebentar mendengar ucapan Kebo Arema, dahinya terlihat semakin bertambah kerutan seperti tengah mengingat-ingat sesuatu dengan kuat.

    “Aku belum pikun, dihadapanku pasti Karaeng Taka, putra penguasa Pulau Wangi-wangi yang telah menyelamatkan selembar nyawaku ini”, berkata orang itu setelah merasa ingatannya telah menemukan sebuah kenangan yang sudah lama terlupakan.

    “Benar, aku Karaeng Taka. Ternyata Paman Malarangeng masih gagah seperti dulu yang kukenal”, berkata Kebo Arema yang ternyata mengenal orang dihadapannya.

    “Tidak kusangka, hari ini aku bertemu dengan putra Karaeng Tuku yang dulu masih kecil dan sangat nakal”, berkata orang itu yang di panggil Paman Malarangeng penuh kegembiraan menyalami erat tangan Kebo Arema serta mengguncang-guncang bahunya seperti layaknya orang yang lebih tua kepada seorang bocah.

    “Mari ikut berkunjung kerumahku, keluargaku akan senang dapat mengenal putra penyelamatku dari Wangi-wangi”, berkata Paman Malarangeng mengajak Kebo Arema dan Mahesa Amping ke rumahnya.

    Ternyata rumah Paman Malarangeng tidak begitu jauh dari dermaga, sebuah rumah panggung yang besar.

    Dirumah panggung itu Kebo Arema diperkenalkan kepada semua keluarga dan kerabatnya, berkali-kali Paman Malarangeng menyebut nama Kebo Arema sebagai putra yang penyelamat dari Wangi-wangi.

    “Orang Mandar adalah para pembuat jung yang cakap, melihat Bahtera besarmu aku jadi iri, ternyata bukan hanya orang mandar satu-satunya yang cakap dalam membuat sebuah jung besar”, berkata Paman Malarangeng.

    “paman Malarangeng tidak usah berkecil hati, bahtera besar itu adalah karya para putra mandar”, berkata Kebo Arema kepada Paman Malarangeng yang langsung mengangguk-anggukkan kepalanya.

    “Ternyata karya orang kita sendiri”, berkata Paman Malarangeng sambil masih mengangguk-anggukkan kepalanya tanda penuh kekaguman dan kebanggaan.

    • nDhisiki pak Satpam,
      nDhisiki Ki Menggung,
      nDhisiki Ki Arga,
      nDhisiki Ki Bancak,
      nDhisiki Ki LarDust,

      KKKaaaammmmssssiiiiaaaaaaaaaaaaaaaaaaaa!!!!!!!!!

    • hadu…..

      telat aku, semalam nguantuke puoll………., gak tahan menunggu kehadiran Pak Dhalang

      hmmm…
      matur suwun. (gak bengok, sudah diwakili Ki Gembleh)

      • Wiew …. (tiru-tiru Nyi DewiKZ)

        tiga rontal lagi, SFBDBS-07 sudah bisa dibungkus.

        menunggu………. !

  18. Pasti paman Malarangeng yang ini kaga pake kumis.

    (soalnya si paman ini jujur banget………..!!!!!!!)

    Kaaammmsssiiiaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaa!!!!!!!!!!!!

  19. Selamat siang kadang sedoyo,
    pwenek tenan tidur, sampe mimpi ketemu kawan-kawan lama, kawan-kawan lama yang entah ada dimana sekarang………………..

  20. “Kami membawa banyak barang berbagai senjata dan alat pertanian, mudah-mudahan berguna untuk orang-orang disini”, berkata Kebo Arema kepada Paman Malarangeng.

    “Kebetulan sekali, kami disini tengah membangun kekuatan, orang-orang suku dalam sering datang menyerang”, berkata Paman Malarangeng.

    “Kulihat perkampungan besar ini tidak begitu kaya, apa yang mereka harapkan ?, bertanya Kebo Arema.

    “Mereka tidak mencari harta, tapi mencari para wanita”, berkata Paman Malarangeng.

    “Ternyata perang lama”, berkata Kebo Arema sambil menggeleng-gelengkan kepalanya.

    “Tahan keberangkatan kalian hingga tiga hari, kami akan memuat bahtera kalian dengan kebutuhan yang cukup selama pelayaran menuju Tanah Gurun”, berkata Paman Malarangeng.

    Hari itu juga Kebo Arema telah memerintahkan beberapa prajurit untuk menurunkan berbagai senjata dan alat pertanian. Pada jaman itu Singasari memang terkenal sebagai daerah pengrajin alat-alat pertanian dan berbagai senjata.

    “Aku memang pernah mendengar bahwa di Tanah Singasari banyak ahli pembuat alat dan senjata”, berkata Paman Malarangeng sambil memeriksa berbagai senjata. “Ringan dan kuat”, berkata kembali Paman Malarangeng sambil menimang-nimang sebuah golok panjang.

    Dan tidak terasa senja telah turun di Bandar Bacukiki, puluhan kalelawar terlihat telah keluar dari sarangnya meski hari masih bening, mungkin sudah tidak sabar setelah seharian menunggu datangnya malam.

    Malam itu Kebo Arema dan Mahesa Amping beristirahat di rumah Paman Malarangeng. Banyak yang mereka percakapkan sambil menunggu datangnya rasa kantuk tiba.

    “Perkampungan ini sangat terbuka, memudahkan musuh menyerang dari banyak tempat”, berkata Kebo Arema memberi penilaian tentang keadaan perkampungan Bandar Bacukiki.

    “Mungkin kamu punya saran untuk itu”, berkata Paman Malarangeng meminta saran kepada Kebo Arema.

    “Membangun rumah pantau yang tinggi, yang dapat melihat kedatangan musuh dari tempat yang jauh”, berkata Kebo Arema.

    “Sebuah usul yang baik”,berkata Paman Malarangeng menyetujui usul dari Kebo Arema.

    “Aku juga punya seorang kawan yang dapat melatih sebuah pasukan khusus”, berkata Kebo Arema sambil melirik Mahesa Amping.

    “Kami menghaturkan ribuan terima kasih, pasukan khusus itu akan menjaga dan melindungi wanita-wanita kami”, berkata Paman Malarangeng yang sudah menbayangkan sebuah pasukan yang kuat.

    • terima kasih, matur nuwun

      • selamat sore Ki Bancak, monggo…kata pak Satpam tinggal tiga rontal lagi kita sudah boleh masuk ke gandhok delapan.

        Terima kasih telah mengawani perjalanan ini………………….

  21. Keesokan harinya, Paman Malarangeng telah mengumpulkan semua lelaki yang ada. Ternyata mereka umumnya telah mempunyai dasar kanuragan yang lumayan. Maka dengan telaten Mahesa Amping meningkatkan tataran mereka tanpa merubah apapun yang telah mereka miliki. Mahesa Amping memberikan beberapa bentuk latihan yang harus mereka lakukan, baik latihan yang akan meningkatkan tataran ilmu secara perorangan maupun secara berkelompok.

    “Waktu yang ada memang sangat singkat, Paman Malarangeng harus mengawasi mereka untuk selanjutnya”, berkata Mahesa Amping kepada Paman Malarangeng.

    “Ketika kembali dari Tanah Gurun, kuharap kalian punya waktu yang cukup”, berkata Paman Malarangeng yang bersedia mengawasi latihan-latihan yang telah diberikan oleh Mahesa Amping.

    Dan waktu memang terasa begitu singkat, tiga hari telah berlalu, selama itu para lelaki di perkampungan Bandar Bacukiki telah mempelajari beberapa hal yang dapat meningkatkan kemampuan mereka, baik secara perorangan maupun secara berkelompok, meski dibutuhkan waktu yang cukup unutk melatihnya.

    Senja itu langit sudah berwarna bening kelabu, puluhan kalelawar telah memenuhi angkasa Bandar Bacukiki. Terlihat tiga orang prajurit tengah melepaskan tali temali tambatan dermaga.

    “Kami menunggu kedatangan kalian kembali”, berkata Paman Malarangeng melambaikan tangannya bersama beberapa lelaki di dermaga Bandar Bacukiki.

    Dan Bahtera besar itu terlihat perlahan bergerak bergeser menjauhi dermaga Bandar Bacukiki, menyusuri hutan bakau yang subur menutupi bibir pantai lengkung teluk Bone.

    Malam itu bulan bulat kuning bergelantung diatas langit bersama jutaan bintang berkelip mengawani sebuah bahtera yang tengah terapung diatas hamparan laut luas seperti tidak bertepi. Tujuh tiang layar terlihat sudah mengembang ditiup angin yang sepertinya tidak pernah lelah bertiup sepanjang malam.

    Dan rembulan telah mengiringi bahtera besar itu berlayar menuju ke pulau pelabuhan berikutnya hingga diujung sisa malam.
    Temaram warna merah menyala terlihat diujung sebuah pulau hitam.

    “Arahkan layar ke pulau hitam itu”, berkata Kebo Arema kepada juru mudinya.

    Dan bahtera besar itu telah mengarahkan layarnya kea rah pulau yang terlihat kelam bermahkota cahaya warna merah menyala.
    Cahaya warna merah itu sudah semakin buram karena harus berbagi cahayanya mengisi seluruh lengkung langit.Sebuah bahtera elok berlayar tujuh terlihat terapung ditengah lautan luas menuju sebuah pulau yang semakin terlihat jelas.

    • rontal kedua………..!!!!!

  22. “Kita sudah masuk keperairan pulau wangi-wangi”, berkata Kebo Arema sambil matanya tidak melepas sedikitpun daratan didepannya, tidak sebagamana biasanya bila bahtera hampir mendekati sebuah tempat untuk berlabuh, kali ini terlihat raut wajah Kebo Arema begitu tegang, sepertinya ada sebuah kenangan kelam mengisi seluruh benak dan pikirannya.

    Lamunan Kebo Arema telah tersungkur jauh melampaui waktu yang begitu jauh, terlempar dalam kenangan kelam ketika dirinya harus keluar meninggalkan pulau wangi-wangi tempat dirinya dibesarkan. Terbayang jelas ketika di suatu hari Ayahnya telah menyuruhnya keluar dari Pulau Wangi-wangi.

    “Kamu adalah putra tunggalku, pergilah sejauh kamu bisa. Datanglah kembali setelah kamu telah menjadi seorang lelaki”, berkata Ayah Kebo Arema kepada dirinya.

    Kebo Arema masih mengingat jelas, hari itu Pulau Wangi-wangi telah didatangi segerombolan orang, salah seorang diantaranya adalah pamannya sendiri. Pamannya adalah seorang buangan dari pulau Wangi-wangi karena telah melakukan sebuah dosa yang tidak dapat diampuni, telah menodai seorang gadis. Dan gadis itu adalah sepupunya sendiri, sebuah garis perkawinan yang ditabukan oleh orang pulau Wangi-wangi.

    Hari itu Paman Kebo Arema datang untuk merebut kekuasaan ayah Kebo Arema. Meski ayah Kebo Arema adalah orang yang kuat dan disegani di pulau Wangi-wangi, namun menghadapi gerombolan itu pasti tidak akan mampu melawannya. Menghadapi suasana yang sulit dan berbahaya itu, ayahnya telah meminta Kebo Arema segera meninggalkan Pulau Wangi-wangi untuk menghindari hal-hal yang mungkin saja dapat terjadi.

    Kebo Arema tidak pergi jauh, hanya meyeberang ke sebuah pulau terdekat. Dari beberapa nelayan yang juga dikenalnya sebagai penghuni pulau Wangi-wangi didapat sebuah berita menyedihkan, Ayahnya telah terbunuh. Dan Pamannya telah menjadi penguasa pulau wangi-wangi bersama gerombolannya.

    “Pulau Wangi-wangi saat ini seperti neraka, pamanmu dan gerombolannya telah berlaku diluar batas kemanusian, mereka seperti raja besar yang harus dilayani, merebut semua wanita yang diinginkannya”, berkata nelayan itu mengakhiri ceritanya kepada Kebo Arema.

    Sejak saat itu Kebo Arema telah mengembara jauh, dihati kecilnya ada sebuah tekad untuk kembali menuntut balas.
    Dan hari itu Kebo Arema telah datang kembali setelah pengembaraannya yang panjang.

    Terlihat matahari telah bersembul dari balik daratan pulau Wangi-wangi yang cukup luas. Sebuah daratan yang cukup hijau. Burung-burung kecil berburu ikan di peraiaran yang semakin mendekati daratan.

    Dan Bahtera telah menjatuhkan jangkarnya, laut landai tidak memungkinkan bahtera besar itu menepi sampai ke daratan. Terlihat sepuluh jukung kecil keluar dari jung Singarasi mendekati bibir pantai Pulau Wangi-wangi.

    Lima orang berperawakan tegar sepertinya tengah menanti kedatangan mereka.

    • rontal ke tiga ….!!!!
      Gimana Paklek Satpam ??, ane udeh punya tiket masuk kegandhok anyer.

      • Hadu…….
        mohon maaf Pak Kompor “Bara Membara”
        ternyata satpam salah hitung, saat ini baru 71 halaman A5 font Georgia 11. Satu bundel 75 halaman. Jadi sepertinya paling tidak dua rontal lagi baru bisa dibundel.
        ngapunten……

        Gandok baru sedang satpam siapkan, segel dibuka setelah sfbdbs-07 bisa dibundel.

        nuwun

  23. Assalamu’alaikum warahmatullahi wabarakatuh

    Nuwun

    Menjelang pergantian Tahun Hijriyah, wangsa Bayuaji mengucapkan:

    Sugêng Warså Énggal 1 Muharram 1433H

    Mohon maaf atas segala kesalahan dan khilaf yang telah lalu.
    Semoga kita termasuk dalam golongan orang-orang yang beruntung, yaitu orang yang hari ini lebih baik daripada hari kemarin dan hari esok lebih baik daripada hari ini. Aamiin.

    Wassalamu’alaikum warahmatullahi wabarakatuh

    Nuwun

    cantrik bayuaji

    • Selamat malam Ki Bayuaji, lama tak bersua

      Wangsa Mahesa Kompor juga mengucapkan selamat tahun baru Hijrah, semoga ada niat untuk memulainya sebagai jalan baru, tekat baru menjadi manusia yang lebih baik lagi, SOMOGA

      • Selamat malam PAK DALANG, lama tak bersua JUGA

        CANTRIK YUDHA juga mengucapkan selamat tahun baru Hijrah, semoga ada niat untuk memulainya sebagai jalan baru, tekat baru menjadi manusia yang lebih baik lagi, SOMOGA

        • Selamat malam Ki Yudha, sayangnya para sinden sudah kepincut berat sama pemilik kaos ukuran XXXXXL dari pulau Bandeng presto,hehehe 3 x bergema

          • WE-LAH…..APA BETULAN KI MAHESA KOMPOR,

            YANG CANTRIK DENGAR SIH….BUKAN NI SINDEN,
            ANANGING BU LIK-e NI SINDEN,

  24. MENUNGGU BUKA-AN GANDOK ANYAR OOOOIIIII-OOOOIIII,

    PAK SATPAM CEPET DI BUKA GEMBOK GANDOK-08,
    PAK DALANG MAU NBEBER RONTAL SABTU MALAM

    MESAK-KE NI SINDEN DARI TADI DUDUK DHEPROK
    NING TERAS GANDOK.

  25. Ternyata Paklek Satpam salah hitung,
    gak papa, rontal baru masih terus dimasak sampe mateng untuk tiket masuk gandhok anyer

  26. Sepuluh buah jung telah merapat dipantai berpasir.Empat puluh lelaki terihat telah meloncat keair laut dangkal. Sinar matahari pagi menyinari wajah-wajah mereka yang terus melangkah kedepan.

    “Aku hanya ingin bicara dengan pemimpin kalian”, berkata salah seorang dari lima orang lelaki perperawakan kekar dan tegar.

    “Akulah pemimpinnya”, berkata Kebo Arema dengan suara menantang keras.

    Kelima orang itu terkejut mendengar suara yang tidak menunjukkan rasa gentar sedikitpun.

    “Kamu harus tahu aturan di atas pulau ini”, berkata kembali salah seorang dari mereka.

    “Selama aturan itu tidak merugikan, kami akan mentaatinya”, berkata Kebo Arema kepada orang itu.

    “Aturan kepada siapapun yang singgah di pulau ini adalah menyerahkan setengah barang yang dibawanya”, berkata orang itu dengan suara yang agak sedikit ditinggikan.

    “Kami tidak akan menerima aturan itu, niat kami semula hanya singgah, tapi niat kami berubah melihat kesewenang-wenangan aturan di pulau ini”, berkata Kebo Arema.

    “Bila tidak menerima aturan di pulau ini, silahkan tinggalkan tempat ini”, berkata orang itu.

    “Kami memang tidak sekedar singgah, kami datang untuk menguasai pulau ini”, berkata Kebo Arema dengan suara yang tidak kalah kerasnya dengan orang itu.

    Kelima orang itu kaget dan terkejut mendengar ucapan Kebo Arema yang terkesan seperti menantang perang. Tapi kelima orang itu cukup cerdik, mereka berlima tidak akan mungkin menang menghadapi empat puluh orang yang terlihat sudah siap bertempur.

    “Kami akan lapor kepada Pimpinan kami, tunggulah disini, kami akan datang dan mengusir kalian seperti menggebuk seekor anjing kurapan”, berkata orang itu sambil mengajak keempat kawannya pergi.

    “Katakan kepada pemimpin kalian, aku putra Kareng Tuku datang untuk menuntut balas”, berkata Kebo Arema kepada kelima orang yang tengah akan pergi meninggalkan mereka.

    Salah seorang dari kelima orang yang hendak berlalu itu nampaknya terkejut mendengar sebuah nama disebut oleh Kebo Arema, orang itu terlihat berbalik badan memperhatikan Kebo Arema dari ujung kaki sampai ke kepala.

    “Aku akan menyampaikannya kepada pemimpin kami”, berkata orang itu yang langsung berbalik badan mengejar keempat kawannya yang sudah beberapa langkah meninggalkannya.

    “Kira-kira berapa kekuatan mereka”, berkata Mahesa Amping yang berdiri didekat Kebo Arema.

    “Menurutku tidak melebihi banyaknya lelaki di Bandar Bacukiki”, berkata Kebo Arema.

  27. “Aku pernah melihat kemampuan para lelaki di Bandar Bacukiki, bersiaplah kalian menghadapi perang brubuh yang kasar”, berkata Mahesa Amping kepada semua prajurit yang ikut merapat di pantai pulau Wangi-wangi.
    Tidak lama kemudian datanglah rombongan orang dari arah daratan.

    “Ternyata keponakanku yang datang”, berkata seorang yang nampaknya orang penting di pulau wangi-wangi itu.

    “Ternyata Paman Karaeng Jagong tidak pernah susut tua”, berkata Kebo Arema menatap tajam seorang lelaki dihadapannya yang di panggilnya sebagai paman Karaeng Jagong.

    “Karaeng Taka, ternyata kamu sudah menjadi seorang lelaki”, berkata Karaeng Jagong yang masih mengenali Kebo Arema sebagai putra saudaranya.

    “Darah harus dibalas darah, begitulah tutur dari penjunjung adat di pulau ini”, berkata Kebo Arema dengan suara bergetar menahan gejolak dendamnya yang telah lama berlalu dan hadir menghantui di banyak mimpi-mimpinya.

    “Dulu aku datang menemui ayahmu untuk membalas sakit hati sebagai orang buangan yang terhina, dan sekarang kamu datang kepadaku sebagai seorang putra yang akan menuntut balas, membeli darah dengan darah”, berkata Karaeng Jagong kepada Kebo Arema yang sepertinya masih meremehkan kemampuan keponakannya itu.

    “Aku datang untuk mensucikan pulau ini dengan darahmu”, berkata Kebo Arema masih dengan suara bergetar menahan rasa gusar yang sangat.

    “Habisi mereka, bahtera besar akan menjadi milik kita”, berkata Karaeng Jagong memberi perintah untuk menyerang.

    Sebagaimana yang dikatakan Mahesa Amping, terjadilah perang brubuh yang sangat kasar. Tapi para prajurit muda Singasari adalah prajurit yang tangguh dan juga sudah terlatih lama. Mereka langsung menghadapi serangan orang-orang pulau wangi-wangi.

    Pertempuranpun tidak dapat dihindari lagi, jumlah kekuatan lawan memang berimbang.

    Tapi para prajurit Singasari tidak merasa gentar, terlihat mereka sudah dapat menguasai medan pertempuran, penguasaan mereka melakukan peperangan secara berkelompok maupun secara perorangan telah menjadikan mereka lebih menguasai pertempuran. Ditambah lagi diantara mereka ada Mahesa Amping yang meski tidak menggunakan kemampuan dan kekuatan sebenarnya yang luar biasa melampaui kemampuan orang biasa. Tapi hampir setiap musuh yang datang langsung terpelanting jauh dengan merasakan tulang-tulang rusuknya nyeri patah.

    Sementara itu Kebo Arema telah beradu tanding bersama Karaeng Jagong pamannya sendiri. Kebo Arema masih belum menunjukkan kemampuan yang sebenarnya, masih terus mengimbangi serangan Karaeng Jagong sambil mencari kelemahan-kelemahan yang mungkin dapat ditembusi.

    • gimana paklek satpam ?, ni sinden sudah lama ngedeprok di tangga luar nunggu gandhok anyer dibuka.

      • betol 3x dan terus berGEMA….sampe pak Satpam mBUKA gandok anyar,

        belom CUKUPkah….?? he3x, rasa2nya 2 rontal paketan pak DALANG cukup buat nukar KUNCI gembok…!!!

        bukankah begitu pak SATPAM (tanpa ada bold ato italic)

        • kamsia pak DALANG…..KAMSIA-KAMSIA-KAMSIAaaaaa

          • selamat malam Ki Yudha,
            tumben pemilik kaus ukuran xxxxl dari pulau bandeng presto kok belum juga mecungul

  28. cerita selanjutnya……….
    – Kebo Arema ditunjuk sebagai penguasa di Pulau Wangi-wangi
    – ketika kembali dari pelayaran di daerah timur, sri baginda Maharaja telah mangkat, digantikan oleh sang putra mahkota yang saat itu masih menjadi Raja di Kediri

    So pasti, Sri Maharaja Kertanegara akan melanjutkan impian ayahandanya, membangun kerajaan laut Singasari jauh lebih luas lagi.

    So pasti, beliau tidak akan lupa dengan para sahabat lamanya, menurut perhitungan ane, Kebo Arema pasti akan diangkat sebagai menteri kelautan dan perikanan. Sementara itu Raden Wijaya dan Lawe kebagian duduk di BAKIN.

    Sementara itu, Mahesa Amping masih diluar kabinet, mungkin beliau diarahkan sebagai ketua MUI.

    • Kapan wedarnya ?
      Ditungguuu…!!

      • menunggu…!!!

        • Menunggu dengan sabar mumpung hari Minggu.

        • Maaf Ki
          Kami sedang stress, mulai tadi malam tidak bisa membuat SBB-04.
          Alhamdulillah, sekarang sudah selesai dengan sedikit akal-akalan.
          Mohon bersabar, sedang dalam proses pengumpulan “ubo-rampi” pembuatan gandok SFBDBS-08

          ditunggu……!!!

  29. SFBDBS-08 sudah dibuka.
    Tetapi SFBDBS-07 belum bisa dibundel, kurang satu halaman.

    Silahkan Ki Kompor mulai wedaran di SFBDBS-08, tetapi satu halaman bagian depan akan kami gabung dengan SFBDBS-07

    nuwun
    satpampelangi

  30. selamat gandok anyar, matur nwun


Tinggalkan Balasan ke canTRik yuDHa Batalkan balasan