JDBK-24

<< kembali | lanjut >>

Laman: 1 2 3

Telah Terbit on 23 September 2011 at 00:01  Comments (37)  

The URI to TrackBack this entry is: https://pelangisingosari.wordpress.com/jdbk-24/trackback/

RSS feed for comments on this post.

37 KomentarTinggalkan komentar

  1. Lha digawek-ke ganDUK anyar kok hORA diinggUK
    babar BLAS……kiBANGeTen, he-hee-heeeeeeeeee

    • selamat PAGI pak SATPAM, kadang padepokan SENGKALING
      sedaya-nya…..sugeng maKARYO,

      • menDHISIK-i ki BP…….nomer SIJI Oiii,

        • Wah…!

          • Wis entek…..imbuh !

          • wah…..
            gembul amat

          • Weh…iso molah malih rek….
            mbok kulo di imbuh-i sing selawean Ki….

      • monggo…

    • Ikutan donk….?

  2. Paksi main golep

    • Sugeng Enjung Ki KartoJ, Ki Gun,Ki SatPam saha para sanak Kadang sedoyo….
      Nderek Absen……ngrincangi Ki Gun kaliyan Ki KartoJ jagi regol…

      • pagi ugi ki LARSUN…..kulo rinCANGi jagi genDUK mriki

  3. mohon ijin ngunduh
    matur suwun lontaripun

    monggo

  4. muhun ijin absent, eh ngisi daptar hadir…….

    • monggo….

      • mangga…..

        • munggu……

          • minggi….

          • mengge….

  5. Nuwun
    Sugêng énjang

    Telah beberapa lama tidak sambang padepokan untuk mendongeng, saya berharap semoga sanak kadang sepadepokan dan keluarga senantiasa dalam keadaan sehat wal afiat, dalam rahmat dan berkah Tuhan.

    Wa bil khusus, katur kadang-kadang kulå ingkang sinu darsono ing budi: Ki Truno Podang, Ki Gembleh, Ki Arga, dan yang lainnya yang sudah lama tidak ngabyantårå, sambang padepokan, juga Ki Arema, Ki Ismoyo, Ki Satriå Pamêdar (“Bapak Satpam”), Ki Widura, Ki Anatram, miss nona, dan semua sanak kadang se padepokan. (Mohon maaf yang tidak disebut)

    Kita hanya bisa saling dongå-dinongå, doa-mendoakan, semoga Gusti Ingkang Murbå Ing Waséså tansah paring sih katrésnan karahayon, kasarasan, lumintu ing salêbêting rahmah lan berkah

    Dongeng Arkeologi & Antropologi Surya Majapahit dalam beberapa wedaran ke depan juga akan tancêp kayon, sekaligus sebagai penutup rangkaian dongeng-dongeng saya di gandhok-gandhok padepokan pelangisingosari.

    Sumånggå,

    DONGENG ARKEOLOGI & ANTROPOLOGI

    SURYA MAJAPAHIT

    Dongeng sebelumnya:
    Waosan kaping-47; Bhre Hyang Wisesa Ajiwikrama (1389-1429). Perang Paregreg. On 6 September 2011 at 08:46 JdBK 18

    Waosan kaping-48:
    RAJA-RAJA TERAKHIR MAJAPAHIT

    Pada waosan kaping-48 ini bertutur-turut akan didongengkan Raja-raja Terakhir Majapahit pasca Prabu Bhre Hyang Wisesa Ajiwikrama. Catatan sejarah para raja tersebut tidak banyak diulas dalam panggung sejarah Nusantara.

    Beliau-beliau itu adalah:
    1. Suhita (1429-1447);
    2. Kertawijaya — Brawijaya I — (1447-1451);
    3. Rajasawardhana — Brawijaya II — (1451-1453);
    4. Girishawardhana — Brawijaya III — (1456-1466);
    5. Suprabhawa (1466-1474);
    6. Kertabhumi — Brawijaya V — (1468-1478);
    7. Giridrawardhana (1478-1498)

    SUHITA STRI SUHITA (1429-1447)

    Yang memerintah Majapahit setelah Wikramawardhana adalah anak perempuannya yaitu Suhita, yang ibunya adalah anak Wirabhumi. Masa pemerintahannya ditandai berkuasanya kembali anasir-anasir asli Nusantara, antara lain didirikannya berbagai tempat pemujaan dengan bangunan-bangunan yang disusun sebagai punden berundak-undak di lereng-lereng gunung (misalnya Candi Sukuh dan Candi Ceta di lereng gunung Lawu).

    Selain itu terdapat pula batu-batu untuk persajian, tugu-tugu batu seperti menhir, gambar-gambar binatang ajaib yang memiliki arti sebagai lambang tenaga gaib, dan lain-lain.

    Prabu Stri Suhita adalah raja wanita kedua di Majapahit setelah Tribhuwana Tunggadewi, Prabu Stri Suhita memerintah bersama suaminya yang bernama Bhra Hyang Parameswara Ratnapangkaja.

    Menurut Pararaton, nama asli Parameswara adalah Aji Ratnapangkaja. Ibunya bernama Surawardhani alias Bhre Kahuripan, adik Wikramawardana. Ayahnya bernama Raden Sumirat yang menjadi Bhre Pandansalas, bergelar Ranamanggala.

    Dalam Nagarakretagama (ditulis 1365), Surawardhani masih menjabat Bhre Pawanuhan dan belum menikah. Gelar Bhre Kahuripan saat itu masih dijabat neneknya, yaitu Thribhuwana Tunggadewi. Menurut Pararaton, sepeninggal Thribhuwana Tunggadewi dan Surawardhani, jabatan Bhre Kahuripan kemudian diwarisi Ratnapangkaja.

    Ratnapangkaja memiliki tiga saudara perempuan, yaitu Bhre Mataram, Bhre Lasem, dan Bhre Matahun. Ketiganya masing-masing secara unik dinikahi oleh ayah, anak, dan cucu, yaitu Wikramawardana, Bhre Tumapel, dan Bhre Wengker. Bhre Wengker dari istri lain, memiliki putri Bhre Jagaraga dan Bhre Pajang, yang keduanya dinikahi Ratnapangkaja. Silsilah ini semakin rumit ketika Ratnapangkaja menikahi Suhita, putri Wikramawardana Pararaton tidak menyebut secara jelas nama ibu Suhita. Silsilah Suhita muncul sebelum pemberitaan Perang Paregreg.

    Hal ini dengan Ratnapangkaja sebelum perang terjadi. Menurut Pararaton, Ratnapangkaja bingung harus berpihak pada siapa ketika perang meletus. Apabila ia sudah menikahi Suhita tentu ia akan langsung memihak Wikramawardana, mengingat Pararaton tidak secara tegas menyebutkan kalau ibu Suhita adalah putri Bhre Wirabumi.

    Penulis Pararaton memang sering mengabaikan urutan peristiwa secara kronologis. Misalnya, pemberontakan Ranggalawe disebut terjadi tahun 1295, tapi baru diberitakan setelah Jayanagara naik takhta (1309). Seputar pemberitaan Bhre Wirabumi dijumpai adanya tiga tokoh yang menjabat Bhre Daha. Yang pertama adalah ibu angkat Bhre Wirabumi yang wafat sebelum perang meletus.

    Bhre Daha yang kedua adalah yang diboyong Wikramawardana setelah Perang Paregreg dan meninggal sebelum peristiwa bencana kelaparan terjadi tahun 1426. Sedangkan Bhre Daha yang ketiga naik takhta menggantikan Wikramawardana dan menghukum mati Raden Gajah (pembunuh Bhre Wirabumi).

    Bhre Daha yang pertama dipastikan adalah Rajadewi putri bungsu Raden Wijaya. Menurut Nagarakretagama, Bhre Wirabumi dinikahkan dengan Nagarawardhani cucu Rajadewi. Dari perkawinan tersebut lahir seorang putri yang menjabat Bhre Daha sepeninggal Rajadewi. Bhre Daha yang kedua inilah yang diboyong Wikramawardana sebagai selir setelah kekalahan Bhre Wirabumi tahun 1406.

    Dari perkawinan tersebut, lahir Suhita sebagai Bhre Daha menggantikan ibunya yang wafat menjelang bencana kelaparan 1426. Sepeninggal Wikramawardana, Bhre Daha alias Suhita naik takhta tahun 1427. Usianya saat itu dapat diperkirakan sekitar 20 tahun.

    Masa Pemerintahan Suhita

    Suhita memerintah berdampingan dengan Ratnapangkaja bergelar Bhatara Parameswara. Pada tahun 1433 Suhita membalas kematian Bhre Wirabumi dengan cara menghukum mati Raden Gajah alias Bhra Narapati. Dari berita ini terasa masuk akal kalau hubungan Bhre Wirabumi dan Suhita adalah kakek dan cucu, meskipun tidak disebut secara tegas dalam Pararaton.

    Nama Suhita juga muncul dalam Kronik Cina dari Kuil Sam Po Kong sebagai Su-king-ta, yaitu raja Majapahit yang mengangkat Gan Eng Cu sebagai pemimpin masyarakat Cina di Tuban dengan pangkat A-lu-ya. Tokoh Gan Eng Cu ini identik dengan Arya Teja, kakek Sunan Kalijaga.

    Akhir Pemerintahan Suhita

    Pada tahun 1437 Bhatara Parameswara Ratnapangkaja meninggal dunia. Sepuluh tahun kemudian, yaitu tahun 1447 Suhita meninggal pula. Pasangan suami istri itu dicandikan bersama di Singhajaya. Karena tidak memiliki putra Mahkota, Suhita digantikan adik tirinya, yaitu Dyah Kertawijaya, sebagai raja selanjutnya.

    Konon disebutkan bahwa pada masa pemerintahan Majapahit yang dipegang oleh Ratu Ayu Kêncånåwungu (Suhita) terjadi pemberontakan yang dilakukan oleh Mênakjinggå (Bhre Wirabumi??).

    Pokok persoalan pemberontakan tersebut adalah karena Mênakjinggå ingin memperistrikan Ratu Ayu Kêncånåwungu tetapi ditolak karena wajah Mênakjinggå seperti raksasa, wajahnya khas mongoloid. Hampir saja Mênakjinggå memperoleh kemenangan karena ia sangat sakti sebab memiliki senjata yang disebut gådå wêsi kuning.

    Akhirnya Ratu Kêncånåwungu membuka sayembara barangsiapa yang dapat mengalahkan Mênakjinggå akan memperoleh hadiah yang luar biasa. Tersebutlah seorang ksatria putra seorang pendeta bernama Raden Damarwulan yang memasuki arena sayembara.

    Dalam peperangan dengan Mênakjinggå hampir saja Damarwulan dapat tersingkir. Akan tetapi atas bantuan dua orang selir Mênakjinggå yang bernama Dewi Waita dan Dewi Puyengan akhirnya Mênakjinggå dapat dikalahkan. Selanjutnya Dewi Waita dan Dewi Puyengan menjadi istri Damarwulan.

    Sebagai imbalan atas kemenangan itu maka Damarwulan akhirnya menjadi suami Ratu Ayu Kêncånåwungu. Cerita Damarwulan-Mênakjinggå ini rupa-rupanya sangat populer di Jawa Tengah terlebih-lebih di Jawa Timur.

    Hingga sekarang kita masih dapat melihat peningggalan tersebut dalam bentuk makam kuno yang terletak di Desa Troloyo, Trowulan, Mojokerto. Di sana kita jumpai suatu kompleks makam yang oleh penduduk dianggap sebagai makam Ratu Ayu Kêncånåwungu. Dewi Waita dan Dewi Puyengan serta beberapa orang pengikutnya.

    Tidak jauh dari Troloyo, masih di Desa Trowulan juga kita jumpai sebuah candi yang oleh penduduk setempat dinamakan candi Mênakjinggå. Melihat berbagai hiasan serta peninggalan lain yang terdapat di sekitar candi tersebut dapat diperkirakan bahwa candi Mênakjinggå berasal dari zaman Majapahit.

    Raja-raja Majapahit yang bergelar Brawijaya:

    Beberapa sumber sejarah menyebutkan bahwa raja-raja Majapahit bergelar Brawijaya. Nama Brawijaya ini sangat populer, terutama di daerah Jawa Timur. Hampir setiap kota di Pulau Jawa, khususnya Jawa Timur menggunakan Brawijaya sebagai nama jalan. Nama Brawijaya juga diabadikan menjadi nama suatu perguruan tinggi negeri di Kota Malang, yaitu Universitas Brawijaya. Juga terdapat Stadion Brawijaya dan Museum Brawijaya di kota yang sama. Di samping itu kesatuan TNI AD yang meliputi daerah Jawa Timur dikenal dengan nama Kodam Brawijaya.

    Meskipun sangat populer, nama Brawijaya ternyata tidak pernah dijumpai dalam naskah Pararaton, Nāgarakṛtāgama ataupun prasasti-prasasti peninggalan Kerajaan Majapahit. Beberapa kitab babad dan serta yang mengidentifikasi sebagai Brawijaya adalah Babad Tanah Jawi, Sêrat Pranitiradyå, Sêrat Kåndå, dan Babad Sêngkålå.

    Kisah Brawijaya dalam naskah babad dan sêrat terkesan khayal dan tidak masuk akal, Oleh karena itu, perlu diselidiki dari mana para pengarang naskah babad dan serat memperoleh nama tersebut.

    Nama Brawijaya diduga berasal dari kata Bhra Wijaya. Gelar bhra adalah singkatan dari bhatara, yang berarti baginda. Sedangkan gelar bhre berasal dari kata bhra i, yang berarti baginda di. Jadi, Brawijaya bisa juga disebut Bhatara Wijaya.

    Menurut catatan Tome Pires dalam Suma Oriental, pada tahun 1513 di Jawa ada raja bernama Batara Vigiaya. Ibu kota negaranya terletak di Dayo. Pemerintahannya hanya bersifat simbol, karena yang berkuasa penuh adalah Pate Udara. Batara Vigiaya, Dayo, dan Pate Udra adalah ejaan Portugis untuk Bhatara Wijaya, Daha, dan Patih Hudara.

    Tokoh Bhatara Wijaya ini identik dengan Dyah Ranawijaya yang mengeluarkan prasasti Jiyu (1486), di mana ia mengaku sebagai penguasa Majapahit, Janggala, dan Kadiri. Pusat pemerintahan Dyah Ranawijaya terletak di Daha. Dengan kata lain, saat itu Daha adalah ibu kota Majapahit.

    Majapahit dalam ingatan masyarakat Jawa bukan yang berpusat di Daha (berakhir 1527), tetapi yang berpusat di Mojokerto (berakhir 1478). Maka, tokoh Brawijaya dalam babad dan serat pun ditempatkan sebagai raja terakhir yang memerintah sampai tahun 1478. Sedangkan Dyah Ranawijaya alias Bhatara Wijaya sendiri baru naik takhta pada tahun 1486 menurut prasasti Jiyu.

    Dapat diperkirakan bahwa, tokoh Dyah Ranawijaya alias Bhatara Wijaya inilah yang namanya tercatat dalam ingatan masyarakat Jawa sebagai Brawijaya raja terakhir Majapahit . Hal itu dikarenakan setelah ia kalah oleh Sultan Trenggana raja Demak tahun 1527, Kerajaan Majapahit pun ikut berakhir.

    I. DYAH KERTAWIJAYA — BRAWIJAYA I — (1447 sd 1451)

    Dyah Kertawijaya adalah raja Majapahit yang memerintah tahun 1447-1451 dengan gelar Sri Maharaja Wijaya Parakramawardhana. Menurut Pararaton, Kertawijaya adalah putra Wikramawardana dari selir dan merupakan adik tiri dari Suhita Ratu Majapahit Ke VI.

    Putra Wikramawardana yang lain adalah Hyang Wekasing Sukha, Bhre Tumapel, dan Suhita. Sebelum menjadi raja, Kertawijaya pernah menjadi Bhre Tumapel, yaitu menggantikan kakaknya yang meninggal awal tahun 1427.

    Masa Pemerintahan Kertawijaya

    Kertawijaya naik takhta menggantikan Suhita tahun 1447. Pada masa pemerintahannya sering terjadi gempa bumi dan gunung meletus. Juga terjadi peristiwa pembunuhan penduduk Tidung Galating oleh keponakannya, yaitu Bhre Paguhan putra Bhre Tumapel.

    Dalam Prasasti Waringin Pitu disebutkan bahwa Kertawijaya bersifat Dewa Wisnu, memiliki jiwa yang tinggi dalam pemujaan terhadap para Dewa dan diibaratkan matahari, menyilaukan mata, bersih yang disebabkan kemegahan beliau karena pada tubuh sang raja mengeluarkan cahaya (aurora).

    Dalam masa Majapahit jumlah negara daerah tersebut semakin banyak, menurut uraian Prasasti Waringin Pitu (1369 Ç / 1447 M) yang dikeluarkan oleh raja Wijayaparakramawarddhana (Dyah Krtawijaya) terdapat sekitar 14 negara daerah yang berada di wilayah inti Majapahit, yaitu Jawa Bagian Timur. Negara daerah zaman Majapahit tersebut adalah:
    (1). Daha,
    (2). Jagaraga,
    (3). Kahuripan,
    (4). Tanjungpura,
    (5). Pajang,
    (6). Kembang Jenar,
    (7). Wengker,
    (8). Kabalan,
    (9). Tumapel,
    (10). Singapura,
    (11). Matahun,
    (12). Wirabhumi,
    (13). Keling, dan
    (14). Kalinggapura

    Sudah barang tentu sang raja memiliki ilmu supranatural yang sangat tinggi. Dalam Babad Tanah Jawi diceritakan bahwa Dyah Krtanegara ini bernama Raden Hardiwijaya, putra Prabu Murdaningkung.

    Raden Hardiwijaya ini naik tahta dengan sebutan Prabu Brawijaya I, dengan patihnya Panular II (Adipati Patih Demang Panular II-Pangeran Demang). Kehidupan Prabu Brawijaya I ini penuh kemewahan dan kebahagiaan. Bahkan dalam Prasasti Widjaya-parakrama-wardana, sebagaimana ditulis oleh Prof HM Yamin dalam bukunya Negarakrtagama Sapta-parwa, menguraikan:

    Dipertuan segala makhluk yang menguasai seluruh dunia dan tak ubahnya sperti yang tertua dari segala Dewa, nan mengatasi puncak bangunan segala raja-raja musuh, sehingga tak ubahnya seperti Wisnu yang mengirimkan tentaranya menuju segala penjuru alam, nan berjiwa pemujaan segala pujian seluruh buana, yang menjadi daerah kekaguman tentang sekalian ilmu pengetahuannya, nan berwajah kembang tunjung utama, yang berseri-seri karena kelimpahan pujian dan kemegahan gilang gemilang, yang dihinggapi serangga tabuhan berbondongan, yaitu, seri mahkota sekalian raja-raja yang lain, nan berpelayan orang-orang utama diantara para musuh dikalahkan dan yang bergirang hati sehingga mengganti upah mereka dengan kegembiraan, seperti berlaku dengan para pelayan yang lain, nan bertubuh menjadi pujian segala orang yang mencari perlindungan padanya, karena gelisah dan berpecah-belah, nan bersifat lemah lembut seperti aliran batang air Gangga yang memiliki pengetahuan dan kemurahan, nan bersemangat dapat dibandingkan dengan suatu bangunan gedung dan yang berkatetapan sebagai kaki raja di gunung (Adri-sja yaitu Himalaya), raja yang mahaluhur dan mahatunggal, serta terpuji sebesar-besar diatas dunia jagad, nan menyedarkan muka segala manusia yang baik-baik, seperti Dang Rembulan mengembang bunga tunjung, nan menghilang gelap gulita pada watak manusia, seolah-olah berlaku sebagai sang mentari, nan mengarahkan wajah-muka kepada kebajikan yang mendekatinya, tetapi yang memalingkan muka dari segala keburukan, nan mengembara di atas bumi menyilaukan mata karena bersumarak bersih-nirmala disebabkan kemegahan beliau, yang bertegak gelar kerajaan berbunyi Wijaya-parakrama-wardana dan bernama kecil Dyah Krtawijaya.

    Sedemikian rupa pujian serta penggambaran tentang figur maharaja terhadap sang Prabu Brawijaya I dalam prasati Wijaya-parakrama-wardana yang berasal dari Desa Surodakan (Trenggalek) bertarikh tahun 1369 Ç, atau 1447 M.

    Dalam prasati tersebut juga dapat diketahui bahwa sistem pemerintahan yang dijalankan oleh sang Prabu Brawijaya I menganut sistem pembagian kekuasaan dan diatur melalui perintah Sri Paduka Maharaja. Sebagai contoh di bidang sengketa hukum, kewenangannya diberikan kepada Hakim Dharma Upapati. Pekerjan mereka memutuskan sengketa-sengketa hukum dan berbagai perselisihan.

    Adapun perintah Seri Paduka Maharaja dalam hal ini menyebutkan:
    1. Pamegat Kandangan Tua: Dang Acarca Naradaya, dalam ilmu agama Budha,
    2. Pamegat Manghuri: Dan Acarca Taranata, dalam ilmu Waisjsika,
    3. Pamegat Pamotan: Dang Arcaca Arkanata, dalam ilmu Bahasa,
    4. Pamegat Kandangan Muda: Dang Arcaca Djina-indra, dalam ilmu agama Budha.

    Banyak tindakan-tindakan strategis yang diambil Paduka Raja Brawijaya I selama dalam menjalankan pemeritahan kerajaan, baik dalam menindak lanjuti konsep-konsep pemerintahan sebelumnya maupun kebijakan-kebijakan barunya. Tercatat tindakan populernya adalah pembentukan daerah-daerah perdikan (swasembada) yang masih bisa kita lihat sampai tahun 1979, karena setelah tahun tersebut tanah-tanah perdikan maupun tanah-tanah adat lainnya telah terhapus dengan UU No 5 Tahun 1979 Tentang Pemeritahan Desa, yang mengatur tentang nama, bentuk, susunan dan kedudukan pemerintahan desa.

    Hubungan antara Rajasawarhana dengan Kertawijaya tidak disebut secara tegas dalam Pararaton, sehingga muncul pendapat yang mengatakan kalau Rajasawarhana naik takhta setelah membunuh Kertawijaya. Pendapat lain mengatakan Rajasawarhana adalah putra Kertawijaya yang nama aslinya tercatat dalam prasasti Waringin Pitu sebagai Dyah Wijayakumara.

    Akhir Pemerintahan Kertawijaya

    Kertawijaya wafat tahun 1451. Ia dicandikan di Kertawijayapura. Kedudukannya sebagai raja digantikan Rajasawarhana. Penyebutan Dyah Krtawijaya sebagai Brawijaya I tersebut diduga karena raja ini memiliki nama yang berunsur Wijaya (keturunan Raden Wijaya) dan memiliki ilmu pengetahuan yang tinggi, sehingga dikagumi rakyatnya.

    II. RAJASAWARDHANA — BRAWIJAYA II — (1451-1453)

    Rajasawardhana naik takhta menggantikan Dyah Kertawijaya, sebelum menjadi raja ia pernah menjabat sebagai Bhre Pamotan, Bhre Keling, kemudian Bhre Kahuripan. Hubungan antara keduanya tidak disebut dengan jelas dalam Pararaton, sehingga muncul pendapat bahwa Rajasawardhana adalah adik Dyah Kertawijaya yang melakukan kudeta disertai pembunuhan terhadap kakaknya tersebut. Pendapat di atas perlu diselidiki kebenarannya, karena Pararaton menyebutkan, Dyah Kertawijaya adalah putra bungsu dalam keluarga Wikramawardana.

    Pendapat lain mengatakan, Rajasawardhana identik dengan Dyah Wijayakumara, yaitu putra sulung Dyah Kertawijaya yang namanya tercatat dalam prasasti Waringin Pitu (1447). Menurut prasasti Waringin Pitu, Dyah Wijayakumara memiliki istri bernama Manggalawardhani Bhre Tanjungpura. Dari perkawinan itu lahir dua orang anak, yaitu Dyah Samarawijaya dan Dyah Wijayakarana.

    Sementara itu, Rajasawardhana (Sang Sinagara) dalam Pararaton memiliki empat orang anak, yaitu Bhre Kahuripan, Bhre Mataram, Bhre Pamotan, dan Bhre Kertabumi. Jika Rajasawardhana benar identik dengan Wijayakumara, berarti Bhre Kahuripan dan Bhre Mataram juga identik dengan Samarawijaya dan Wijayakarana. Mungkin, saat prasasti Waringin Pitu dikeluarkan (1447), Bhre Pamotan dan Bhre Kertabumi. belum lahir. Pemerintahan Rajasawardhana juga terdapat dalam berita cina. Disebutkan bahwa pada tahun 1452 Rajasawardhana mengirim duta besar ke Cina.

    Tokoh ini dianggap identik dengan Girisawardhana yang tercatat dalam prasasti Waringin Pitu. Ketika Rajasawardhana mangkat tahun 1453, terjadilah pertikaian tahta antara Bhre Kahuripan (VII) Samarawijaya dan Bhre Wengker (III) Girisawardhana.

    Kemelut paman dan keponakan ini menyebabkan Majapahit tiga tahun tidak mempunyai raja, telung tahun tan hana prabhu, Pararaton menulis. Kekosongan tahta ini berakhir tahun 1456 tatkala Girisawardhana menjadi raja dengan gelar Hyang Purwawisesa. Kiranya Samarawijaya yang masih muda mengalah terhadap paman yang sekaligus mertuanya, dan rela menjadi putra mahkota untuk kedua kalinya. Peranan ibu suri Bhre Daha (V) Jayeswari tentu sangat besar dalam proses rekonsiliasi tersebut.

    Akhir Pemerintahan Rajasawardhana

    Bhre Daha (V) Jayeswari wafat tahun 1464, dan gelar Bhre Daha (VI) disandang Manggalawardhani. Ketika Bhre Jagaraga Wijayaduhita dan raja Girisawardhana wafat pula tahun 1466, sengketa kekuasaan muncul kembali.

    III. GIRISHAWARDHANA — BRAWIJAYA III — (1456-1466)

    Girishawardhana Dyah Suryawikrama adalah raja Majapahit yang memerintah tahun 1456-1466. Ia dianggap identik dengan Bhra Hyang Purwawisesa dalam Pararaton. Menurut Pararaton, Sepeninggal Rajasawardhana tahun 1453 Majapahit dilanda kekosongan pemerintahan selama tiga tahun. Baru pada tahun 1456, Bhre Wengker naik takhta bergelar Bhra Hyang Purwawisesa. Pada tahun 1462 terjadi bencana gunung meletus mewarnai pemerintahannya.

    Akhir Pemerintahan Girishawardhana

    Pada tahun 1466 Hyang Purwawisesa meninggal dunia dan dicandikan di Puri. Ia digantikan oleh Bhre Pandansalas sebagai raja selanjutnya. Tokoh Hyang Purwawisesa dianggap identik dengan Girisawardhana Dyah Suryawikrama, raja Majapahit yang mengeluarkan prasasti Sendang Sedur tahun 1463.

    Nama Dyah Suryawikrama sebelumnya juga muncul dalam prasasti Waringin Pitu (1447), sebagai putra kedua Dyah Kertawijaya. Jika Rajasawardhana identik dengan Dyah Wijayakumara, kakak Suryawikrama. Maka, kekosongan pemerintahan selama tiga tahun dapat diperkirakan terjadi karena adanya perebutan takhta antara Suryawikrama melawan Samarawijaya putra sulung Wijayakumara

    Prasasti Waringin Pitu juga menyebutkan Samarawijaya adalah menantu Suryawikrama. Mungkin pada tahun 1456 persaingan antara keduanya berakhir setelah Samarawijaya merelakan takhta Majapahit kepada Suryawikrama, yang tidak lain adalah paman sekaligus mertuanya tersebut.

    DYAH SUPRABHAWA BRAWIJAYA IV (?) (1466-1474)

    Dyah Suraprabhawa adalah raja Majapahit yang memerintah tahun 1466-1474, bergelar Sri Adi Suraprabhawa Singhawikramawardhana Giripati Pasutabhupati Ketubhuta. Tokoh ini identik dengan Bhre Pandansalas dalam Pararaton yang naik takhta tahun 1466 berkaraton di Tumapel selama 2 (dua) tahun.

    Dalam Pararaton ditemukan beberapa orang yang menjabat sebagai Bhre Pandansalas. Yang pertama adalah Raden Sumirat putra Raden Sotor (saudara tiri Hayam Wuruk).

    Raden Sumirat bergelar Ranamanggala menikah dengan Surawardhani adik Wikramawardana. Dari perkawinan itu lahir Ratnapangkaja, Bhre Mataram, Bhre Lasem, dan Bhre Matahun. Ratnapangkaja kemudian kawin dengan Suhita (raja wanita Majapahit, 1427-1447).

    Bhre Pandansalas yang pertama tersebut setelah meninggal dicandikan di Sri Wisnupura di Jinggan. Bhre Pandansalas yang lain diberitakan menjadi Bhre Tumapel, kemudian menjadi raja Majapahit tahun 1466. Istrinya menjabat Bhre Singhapura, putri Bhre Paguhan, putra Bhre Tumapel, putra Wikramawardana.

    Suraprabhawa menduduki tahta Majapahit membuat keponakannya sakit hati. Baru saja dua tahun Suraprabhawa bertahta (prabhu rong tahun), yaitu tahun 1468, keempat putra Sang Sinagara (Rajasawardhana) memperlihatkan sikap oposisi dengan ‘pergi dari istana’ (tumuli sah saking kadaton putranira sang sinagara), yaitu Bhre Kahuripan (VII) Samarawijaya, Bhre Mataram (V) Wijayakarana, Bhre Pamotan (II) Wijayakusuma, dan si bungsu Bhre Kertabhumi Ranawijaya. Mereka menyingkir ke Jinggan (antara Mojokerto dan Surabaya sekarang), menyusun kekuatan untuk merebut hak mereka atas tahta. Sejak itu Samarawijaya disebut Sang Munggwing Jinggan (Yang Berdiam di Jinggan). Pararaton memberitakan demikian.

    Akhir Pemerintahan Suraprabhawa

    Dyah Suraprabhawa yang dianggap identik dengan Bhre Pandansalas, tercatat namanya dalam prasasti Waringin Pitu (1447) sebagai putra bungsu Dyah Kertawijaya. Istrinya bernama Rajasawardhanadewi Dyah Sripura yang identik dengan Bhre Singhapura. Peninggalan sejarah Suraprabhawa setelah menjadi raja berupa prasasti Pamintihan tahun 1473.

    Pada tahun 1478 Sang Munggwing Jinggan Samarawijaya dan adik-adiknya memimpin pasukan dalam penyerbuan ke ibukota Majapahit, yang menyebabkan runtuhnya kerajaan Hindu terbesar di Jawa itu. Pararaton menutup uraian sejarah Majapahit dengan kalimat: kapernah paman, bhre prabhu sang mokta ring kadaton i saka 1400, (paman mereka, sang raja, mangkat di istana tahun 1478).

    Pararaton tidak menyebutkan dengan pasti kapan Bhre Pandansalas alias Suraprabhawa meninggal. Ia hanya diberitakan meninggal di dalam keraton, dan merupakan paman dari Bhre Kertabumi. Tahun kematian Suraprabhawa kemudian ditemukan dalam prasasti Trailokyapuri yang dikeluarkan oleh Girisawardhana Dyah Ranawijaya. Menurut prasasti tersebut, Suraprabhawa alias Singhawikramawardhana meninggal tahun 1474.

    Ungkapan mokta ring kadaton (‘mangkat di istana’) mengisyaratkan bahwa Suraprabhawa mati terbunuh. Jika kematiannya wajar, tentu dipakai kalimat, misalnya mokta ring wisnubhawana, mokta ring somyalaya, dan semacamnya.
    Ingat Ken Arok Sri Rajasa Sang Amurwabhumi yang disebut dalam Pararton sebagai mokta ring dampa kacana (meninggal di atas tahta), bermakna sama dengan mokta ring kadaton.

    Kemenangan putra-putra Sang Sinagara ternyata harus ditebus dengan ikut gugurnya Sang Munggwing Jinggan Samarawijaya. Prasasti Petak menyebutkan: kadigwijayanira sang munggwing jinggan duk ayun-ayunan yudha lawaning majapahit (“kemenangan Sang Munggwing Jinggan yang jatuh-bangun berperang melawan Majapahit”).
    Ungkapan ayun-ayunan (‘jatuh-bangun’) dapat diartikan meraih kemenangan dengan susah-payah dan berakhir dengan gugur dalam pertempuran.

    KERTABUMI — BRAWIJAYA V (1468-1478)

    Prabu Brawijaya atau Brawijaya V adalah raja terakhir Majapahit versi naskah babad dan serat, yang memerintah sampai tahun 1478. Ia sering disamakan dengan Bhre Kertabhumi, yaitu nama yang ditemukan dalam penutupan naskah Pararaton.

    Babad Tanah Jawi menyebut nama asli Brawijaya adalah Raden Alit putra Prabu Bratanjung. Brawijaya memerintah dalam waktu yang sangat lama, yaitu naik takhta ketika putranya yang bernama Arya Damar belum lahir, sampai turun takhta karena dikalahkan putranya yang lain, yaitu Raden Patah yang juga anak angkat Arya Damar.

    Brawijaya memiliki permaisuri bernama Ratu Dwarawati, seorang muslim dari Campa. Dari mereka, antara lain, lahir, Raden Patah bupati Demak, Batara Kalong bupati Ponorogo, dan Bondan Kejawan leluhur raja-raja Mataram Islam Sementara itu Serat Kanda menyebut nama asli Brawijaya adalah Angkawijaya putra Prabu Mertawijaya dan Ratu Kêncånåwungu.

    Mertawijaya adalah nama gelar Damarwulan yang naik takhta Majapahit setelah mengalahkan Menak Jingga bupati Blambangan. Pemerintahan Brawijaya atau Brawijaya V berakhir akibat serangan putranya sendiri yang bernama Raden Patah pada tahun 1478. Raden Patah kemudian menjadi raja pertama Demak bergelar Panembahan Jimbun.

    Bhre Kertabhumi dalam Pararaton

    Pararaton hanya menceritakan sejarah Majapahit yang berakhir tahun 1478 Masehi (1400 Saka). Pada bagian penutupan naskah tersebut tertulis:

    Bhre Pandansalas menjadi Bhre Tumapel kemudian menjadi raja tahun Saka 1388, baru menjadi raja dua tahun lamanya kemudian pergi dari istana anak-anak Sang Sinagara yaitu Bhre Kahuripan, Bhre Mataram, Bhre Pamotan, dan yang bungsu Bhre Kertabhumi terhitung paman raja yang meninggal dalam istana tahun Saka 1400.

    Kalimat penutupan Pararaton tersebut berkesan ambigu. Tidak jelas siapa yang pergi dari istana pada tahun Saka 1390, apakah Bhre Pandansalas ataukah anak-anak Sang Sinagara. Tidak jelas pula siapa yang meninggal dalam istana pada tahun Saka 1400, apakah Bhre Kertabhumi, ataukah raja sebelumnya.

    Teori yang menyebut Bhre Kertabhumi sebagai tokoh yang meninggal tahun 1400 Ç (1478 M) cukup populer, karena namanya ditemukan dalam kronik Cina dari Kuil Sam Po Kong sebagai Kung-ta-bu-mi raja Majapahit yang kalah tahun 1478.

    Sedangkan dalam Serat Kanda juga disebutkan bahwa, Brawijaya dikalahkan Raden Patah pada tahun Sirna ilang KERTA-ning BUMI, yang artinya 1400 Ç.

    Bre Kertabhumi dalam Kronik Cina

    Naskah yang ditemukan dalam Kuil Sam Po Kong di Semaeang mengisahkan akhir Kerajaan Majapahit sampai berdirinya Kerajaan Pajang. Dikisahkan, raja terakhir Majapahit bernama Kung-ta-bu-mi, memiliki putra bernama Jin Bun yang dibesarkan oleh Swan Liong, putra Yang-wi-si-sa dari seorang selir Cina. Pada tahun 1478 Jin Bun menyerang Majapahit dan membawa Kung-ta-bu-mi secara hormat ke Bing-to-lo.

    Kung-ta-bu-mi adalah ejaan Cina untuk Bhre Kertabhumi. Jin Bun dari Bing-to-lo adalah Raden Patah alias Panembahan Jimbun dari Demak Bintara. Swan Liong adalah Arya Damar. Sedangkan Yang-wi-si-sa bisa berart i Hyang Wisesa alias Wikramawardana atau bisa pula Hyang Purwawisesa.

    Keduanya sama-sama pernah menjadi raja Majapahit. Menurut kronik Cina di atas, Raden Patah adalah putra Bhre Kertabumi, sedangkan Swan Liong adalah putra Hyang Wisesa dari selir Cina. Kisah ini terkesan lebih masuk akal dari pada uraian versi babad dan serat.

    Selanjutnya dikisahkan, sepeninggal Kung-ta-bu-mi, Majapahit menjadi bawahan Demak yang diperintah oleh Nyoo Lay Wa (seorang Cina muslim) sebagai bupati.

    Pada tahun 1486 Nyoo Lay Wa tewas karena unjuk rasa penduduk pribumi. Maka, Jin Bun lalu mengangkat Pa-bu-ta-la (menantu Kung-ta-bu-mi) sebagai bupati baru. Tokoh Pa-bu-ta-la identik dengan Prabhu Natha Girindrawardhana alias Dyah Ranawijaya dalam prasasti Jiyu (1486). Jadi, menurut Berita Cina tersebut, Dyah Ranawijaya alias Bhatara Wijaya adalah saudara ipar sekaligus bupati bawahan Raden Patah. Dengan kata lain, Bhra Wijaya adalah menantu Bhre Kertabhumi menurut Kronik Cina.

    GIRINDRAWARDHANA — BRAWIJAYA VI — (1478-1498)

    Prabhu Natha Girindrawardhana Dyah Ranawijaya adalah raja terakhir Kerajaan Majapahit yang memerintah tahun 1486-1527. Girindrawardhana Dyah Ranawijaya adalah putra Suprabhawa alias Singhawikramawardhana, raja Majapahit yang memerintah tahun 1466-1474.

    Hubungan antara Ranawijaya dan Suprabhawa ini diperkuat dengan adanya unsur kata Girindra dan Giripati dalam gelar abhiseka masing-masing. Kedua kata tersebut memiliki arti sama, yaitu raja gunung.

    Silsilah Ranawijaya juga terdapat dalam prasasti Jiyu (1486) tentang pengesahan anugerah Suprabhawa kepada Sri Brahmaraja Ganggadhara berupa tanah Trailokyapuri. Pengesahan ini dilakukan bersamaan dengan upacara Sraddha memperingati 12 tahun meninggalnya Suprabhawa.

    Dalam prasasti itu Ranawijaya bergelar Sri Wilwatikta Janggala Kadiri, artinya penguasa Majapahit, Janggala, dan Kadiri. Prasasti Jiyu juga menyebut adanya nama Bhre Keling Girindrawardhana Dyah Wijayakusuma saudara Ranawijaya.

    Dalam tahun 1468 Suprabhawa alias Singhawikramawardhana terdesak oleh Kertabhumi (anak bungsu Rajasa wardhana), yang kemudian berkuasa di Majapahit. Sedangkan Singhawikramawardhana memindahkan kekuasaannya ke Daha, dimana ia wafat di tahun 1474. Di daha ia digantikan anaknya, Ranawijaya yang bergelar Bhatara Prabu Girindrawardhana, yang berhasil menundukkan Kertabhumi dan merebut Majapahit di tahun 1474. Menurut prasastinya di tahun 1486 ia menamakan dirinya raja Wilwatika Daha Janggala Kadiri

    Jadi, pemerintahan Dyah Suraprabhawa Singhawikramawardhana berakhir tahun 1474 dan digantikan oleh keponakannya, yaitu Bhre Kertabumi. putra Rajasawardhana, yang sebelumnya pergi meninggalkan istana bersama ketiga kakaknya. Meskipun tidak disebut dengan jelas dalam Pararaton, dapat dipastikan Bhre Kertabumi. melakukan kudeta terhadap Dyah Suraprabhawa karena ia sebagai putra Rajasawardhana, merasa lebih berhak atas takhta Majapahit dibanding pamannya itu.

    Pararaton memang tidak menyebut dengan jelas kalau Bhre Kertabumi. adalah raja yang menggantikan Bhre Pandansalas Dyah Suraprabhawa. Justru dalam kronik Cina dari Kuil Sam Po Kong, diketahui kalau Kung-ta-bu-mi adalah raja Majapahit yang memerintah sampai tahun 1478.

    Brawijaya adalah nama raja terakhir Majapahit versi naskah-naskah babad dan serat, misalnya Babad Tanah Jawi dan Serat Kanda. Nama ini sangat populer dalam masyarakat Jawa namun tidak memiliki bukti sejarah, misalnya prasasti. Identifikasi Brawijaya dengan Ranawijaya cukup masuk akal, karena Ranawijaya juga raja terakhir Majapahit. Kerajaan Dayo adalah ejaan Portugis untuk Daha, yang saat itu menjadi ibu kota Majapahit , dan kemudian dikalahkan Demak tahun 1527.

    Ingatan masyarakat Jawa tentang kekalahan Majapahit yang berpusat di Daha tahun 1527 bercampur dengan peristiwa runtuhnya Majapahit yang berpusat di Mojokerto tahun 1478. Akibatnya, Bhra Wijaya yang merupakan raja terakhir tahun 1527 oleh para penulis babad “ditempatkan” sebagai Brawijaya yang pemerintahannya berakhir tahun 1478.

    Akibatnya pula, tokoh Brawijaya pun sering disamakan dengan Bhre Kertabhumi, raja Majapahit tahun 1474-1478. Padahal, tidak ada bukti sejarah yang menyebut Bhre Kertabhumi juga bergelar Brawijaya.

    Lebih lanjut tentang identifikasi Brawijaya, bisa dilihat pada tulisan di bawah ini.

    Hubungan Ranawijaya dengan Bhre Kertabhumi

    Menurut kronik Cina, Ranawijaya adalah menantu Bhre Kertabhumi yang diangkat oleh Raden Patah sebagai raja bawahan Demak. Pendapat lain mengatakan, Ranawijaya menjadi raja Majapahit atas usahanya sendiri, yaitu dengan cara mengalahkan Bhre Kertabhumi tahun 1478, demi membalas kekalahan ayahnya, yaitu Suprabhawa. Pendapat ini diperkuat oleh prasasti Petak yang menyebutkan kalau keluarga Girindrawardhana pernah berperang melawan Majapahit.

    BRAWIJAYA

    Prabu Brawijaya (lahir: ? – wafat: 1478) atau kadang disebut Brawijaya V adalah raja terakhir Kerajan Majapahit versi naskah-naskah babad dan sêrat, yang memerintah sampai tahun 1478. Tokoh ini diperkirakan sebagai tokoh fiksi namun sangat legendaris. Ia sering dianggap sama dengan Bhre Kertabhumi, yaitu nama yang ditemukan dalam penutupan naskah Pararaton.

    Namun pendapat lain mengatakan bahwa Brawijaya cenderung identik dengan Dyah Ranawijaya, yaitu tokoh yang pada tahun 1486 mengaku sebagai penguasa Majapahit, Janggala dan Kadiri,
    Prasasti Jiyu menyebut gelar Dyah Ranawijaya adalah Sri Wilwatikta Jenggala Kadiri, yang artinya penguasa Majapahit, Janggala dan Kadiri yang diduga wilayah kekuaasaanya tidak seluas wilayah Kerajaan Majapahit pada masa raja-raja sebelumnya, tetapi ini hanya ingin membuktikan bahwa pada tahun 1486 tersebut kekuasaan Bhre Kertabhumi di Majapahit telah jatuh pula ke tangan Ranawijaya, setelah berhasil menaklukan Bhre Kertabhumi.

    Babad Tanah Jawi menyebut nama asli Brawijaya adalah Raden Alit. Ia naik tahta menggantikan ayahnya yang bernama Prabu Bratanjung, dan kemudian memerintah dalam waktu yang sangat lama.

    Di sini sejarah bercampur-aduk legenda, yaitu disebutnya bahwa sejak putra sulungnya yang bernama Aryå Damar (?) belum lahir, sampai akhirnya turun takhta karena dikalahkan oleh putranya yang lain, yaitu Raden Patah yang juga saudara tiri Aryå Damar. Lihat selanjutnya pada Gandhok Dongeng Arkeologi & Antropologi tentang siapa Aryå Damar.

    Brawijaya memiliki permaisuri bernama Ratu Dwarawati, seorang muslim dari Campa. Jumlah selirnya banyak sekali. Dari mereka, antara lain, lahir Aryå Damar bupati Palembang, Raden Patah bupati Demak, Batara Katong bupati Ponorogo, serta Bondan Kejawen yang disbut-sebut dalam legenda sebagai leluhur raja-raja Kesultanan Mataram.

    Sementara itu Sêrat Kåndå (namanya saja sêrat kåndå, maksudnya kandane såpå = kata siapa?) menyebut nama asli Brawijaya adalah Ångkåwijåyå, putra Prabu Mertawijaya dan Ratu Kêncånåwungu. Mêrtawijaya adalah nama gelar Damarwulan yang menjadi raja Majapahit setelah mengalahkan Ménakjinggå bupati Blambangan.

    Sementara itu pendiri Kerajaan Majapahit versi naskah babad dan serat bernama Djåkå Sêsuruh, bukan Raden Wijaya sebagaimana fakta yang sebenarnya terjadi. Menurut Sêrat Pranitiradyå, yang bernama Brawijaya bukan hanya raja terakhir saja, tetapi juga beberapa raja sebelumnya. Naskah serat ini menyebut urutan raja-raja Majapahit ialah:
    1. Djaka Sesuruh bergelar Prabu Bratana
    2. Prabu Brakumara
    3. Prabu Brawijaya I
    4. Ratu Ayu Kencanawungu
    5. Prabu Brawijaya II
    6. Prabu Brawijaya III
    7. Prabu Brawijaya IV dan yang terakhir,
    8. Prabu Brawijaya V

    Sering terjadi kesalah pahaman dengan menganggap Brawijaya (bhre Kerthabumi) sebagai Dyah Ranawijaya, yang menyerang keraton Trowulan, dan memindahkan Ibukota Kerajaan ke Kediri atau Daha.

    Konon, beberapa penulis sejarah menyebutkan bahwa nama Brawijaya berasal dari kata Bhra Wijaya. Gelar bhra adalah singkatan dari bhatara, yang bermakna “baginda”. Sedangkan gelar bhre yang banyak dijumpai dalam Pararaton berasal dari gabungan kata bhra i, yang bermakna “baginda di”.

    Dengan demikian, Brawijaya dapat juga disebut Bhatara Wijaya.
    Menurut catatan Tome Pires yang berjudul Suma Oriental, pada tahun 1513 di Pulau Jawa ada seorang raja bernama Batara Vigiaya. Ibu kota kerajaannya terletak di Dayo. Pemerintahannya hanya bersifat simbol, karena yang berkuasa penuh adalah mertuanya yang bernama Pate Amdura.

    Batara Vigiaya, Dayo, dan Pate Amdura adalah ejaan Portugis untuk Bhatara Wijaya, Daha, dan Patih Mahodara (penyebutan Patih Mahodara tidak dikenal dalam sumber sejarah yang lain)
    Tokoh Bhatara Wijaya ini kemungkinan identik dengan Dyah Ranawijaya yang mengeluarkan prasasti Jiyu tahun 1486, di mana ia mengaku sebagai penguasa Majapahit, Jangala dan Kadiri.
    Pusat pemerintahan Dyah Ranawijaya terletak di Daha. Dengan kata lain, saat itu Daha adalah ibu kota Majapahit.

    Babad Sêngkålå (maksudnya Sang Kala, kala = saat, waktu, masa), mengisahkan pada tahun 1527 Kadiri atau Daha runtuh akibat serangan Sultan Trengana dari Kesultanan Demak. Tidak diketahui dengan pasti apakah saat itu penguasa Daha masih dijabat oleh Bhatara Ranawijaya atau tidak.

    Namun apabila benar demikian, berarti Ranawijaya merupakan raja Daha yang terakhir.
    Mungkin Bhatara Ranawijaya inilah yang namanya tercatat dalam legenda masyarakat Jawa, yang kebnearnya masih harus diteliti, sebagai raja Majapahit yang terakhir, yang namanya kemudian disingkat sebagai Brawijaya. Namun, karena istilah Majapahit identik dengan daerah Trowulan, Mojokerto, maka Brawijaya pun “ditempatkan” sebagai raja yang memerintah di sana, bukan di Daha.

    Kerajaan Majapahit yang berpusat di Trowulan menurut legenda yang tersebar berakhir pada tahun 1478. Oleh karena itu, Brawijaya pun dikisahkan meninggal pada tahun tersebut. Padahal Bhatara Ranawijaya diketahui masih mengeluarkan prasasti Jiyu tahun 1486. Rupanya para pujangga penulis naskah babad dan serat tidak mengetahui kalau setelah tahun 1478 pusat Kerajaan Majapahit berpindah dari Trowulan menuju Daha.

    Bhre Kertabhumi dalam Pararaton

    Pararaton hanya menceritakan sejarah Kerajaan Majapahit yang berakhir pada tahun 1478M atau tahun 1400 Ç). Pada bagian penutupan naskah tersebut tertulis:

    Bhre Pandansalas menjadi Bhre Tumapel kemudian menjadi raja pada tahun Saka 1388, baru menjadi raja dua tahun lamanya kemudian pergi dari istana anak-anak Sang Sinagara yaitu Bhre Kahuripan, Bhre Mataram, Bhre Pamotan, dan yang bungsu Bhre Kertabhumi terhitung paman raja yang meninggal dalam istana tahun Saka 1400.

    Tidak jelas siapa yang pergi dari istana pada tahun 1390 Ç, apakah Bhre Pandansalas ataukah anak-anak Sang Sinagara. Tidak jelas pula siapa yang meninggal dalam istana pada tahun 1400 Ç, apakah Bhre Kertabhumi, ataukah raja sebelumnya.

    Sebuah teori menyebut bahwa Bhre Kertabhumi sebagai tokoh yang meninggal tahun 1400 Ç (1478 M). Teori berdasarkan ditemukannya naskah Kronik Cina dari Kuil Sam Po Kong Semarang yang menyebut nama Kung-ta-bu-mi sebagai raja Majapahit terakhir. Nama Kung-ta-bu-mi ini diperkirakan sebagai ejaan Cina untuk Bhre Kertabhumi.

    Sementara itu dalam Sêrat Kåndå disebutkan bahwa, Brawijaya adalah raja terakhir Majapahit yang dikalahkan oleh Raden Patah yang terkenal dengan sebutan candra sengkala Sirnå ilang KÊRTA-ning BUMI dibaca sebagai atau 1400 Ç.
    Sirnå = 0
    Ilang = 0
    Kêrta = 4
    Bumi = 1

    Atas dasar berita tersebut, tokoh Brawijaya pun konon dianggap identik dengan Bhre Kertabhumi atau Kung-ta-bu-mi. Perbedaannya ialah, Brawijaya memerintah dalam waktu yang sangat lama sedangkan pemerintahan Bhre Kertabhumi relatif singkat.

    Kung-ta-bu-mi dalam Kronik Cina

    Naskah kronik Cina yang ditemukan dalam Kuil Sam Po Kong di Semarang antara lain mengisahkan akhir Kerajaan Majapahit sampai berdirinya Kerajaan Pajang.

    Dikisahkan, raja terakhir Majapahit bernama Kung-ta-bu-mi. Salah satu putranya bernama Jin Bun yang dibesarkan oleh Swan Long, putra Yang-wi-se-sa dari seorang selir Cina. Pada tahun 1478 Jin Bun menyerang Majapahit dan membawa Kung-ta-bu-mi secara hormat ke Bing-to-lo.

    Kung-ta-bu-mi merupakan ejaan Cina untuk Bhre Kertabhumi. Jin Bun dari Bing-to-lo adalah Panembahan Jim Bun alias Raden Patah dari Demak Bintara. Swan Liong identik dengan Arya Damar. Sedangkan Yang-wi-si-sa bisa berarti Hyang Wisea alias Wikramawardhana, atau bisa pula Hyang Purwawisesa. Keduanya sama-sama pernah menjadi raja di Majapahit.

    Menurut Babad Tanah Jawi dan Sêrat Kåndå, tokoh Arya Damar adalah anak Brawijaya dari seorang raksasa perempuan bernama Endang Sasmintapura. Jadi, Arya Damar adalah kakak tiri sekaligus ayah angkat Raden Patah.

    Menurut kronik Cina di atas, Raden Patah adalah putra Bhre Kertabhumi, sedangkan Swan Liong adalah putra Hyang Wisesa dari seorang selir berdarah Cina. Kisah ini terkesan lebih masuk akal daripada uraian versi babad dan serat.

    Selanjutnya dikisahkan pula, setelah kekalahan Kung-ta-bu-mi, Majapahit pun menjadi bawahan Demak. Bekas kerajaan besar ini kemudian diperintah oleh Nyoo Lay Wa, seorang Cina muslim sebagai bupati.

    Pada tahun 1486 Nyoo Lay Wa tewas karena unjuk rasa penduduk pribumi. Maka, Jin Bun pun mengangkat iparnya, yaitu Pa-bu-ta-la, menantu Kung-ta-bu-mi, sebagai bupati baru.

    Tokoh Pa-bu-ta-la identik dengan Prabu Nata Girindrawardhana alias Dyah Ranawijaya dalam prasasti Jiyu 1486. Jadi, menurut Berita Cina tersebut, Dyah Ranawijaya alias Bhatara Wijaya adalah saudara ipar sekaligus bupati bawahan Raden Patah. Dengan kata lain, Bhra Wijaya adalah menantu Bhre Kertabhumi menurut kronik Cina.

    ånå toêtoêgé

    Nuwun

    cantrik bayuaji

    • matur nuwun ki BAYU,

      pak SATPAM cantrik LAPUR….ning padepokan ki MAHESA
      pintu masuk keTUTUP, cantrik ora iso koment….kenapa ya ??

      • lha…lho…?!?
        sek sek sek…, tak deleng disik

        • hadu….?!
          Ki GundUL mbujuki
          lha wong gak apa-apa gitu lho
          coba njenengan cek malih

          • HE-EH wes gak po2…..wes-weeess, siap2 ning TKP,

    • matur nuwun Ki Bayu dongengipun

  6. matur suwun ki Bayu

    hmm…., sudah mau tancep kayon ya
    hadu……..

  7. Nuwun
    Sugêng dalu

    tancêp kayon?

    ya…………..

    Dongeng Arkeologi & Antropologi Surya Majapahit, akan berakhir pada episode:

    Tenggelamnya Surya Majapahit

    Sejarah semakin “kisruh” dengan bumbu legenda atau folklore. Dari sinilah lalu ada dongeng:

    SABDO PALON MENAGIH JANJI

    yakni ketika:

    Bêdhahé Kraton Måjåpahit lan adêgé Kraton Dêmak Bintårå

    Apakah saatnya sudah tiba, ketika Sang Sabdo Palon menagih janji.

    Masih ingat peristiwa tanggal 26 Oktober 2010 yang lalu, ketika awan di atas Gunung Merapi “menampilkan” wajah punakawan (tetapi bukan punåkawan bayuaji) melainkan punåkawan Petruk, sesaat setelah itu Merapi “merapikan” dirinya.

    Apakah ini yang dimaksud oleh Sabdo Palon dalam bait-bait kidung Hardi Mêrapi yèn wus njêblug mili lahar., yang selengkapnya berikut ini:

    Sangêt-sangêting sangsårå,
    kang tuwuh ing tanah Jawi,
    Hardi Mêrapi yèn wus njêblug mili lahar.
    Bêbåyå ingkang tumêkå,
    waråtå sa Tanah Jawi.
    Kaliné banjir bandhang,
    jêroné ngêlêbné jalmi,
    kathah sirnå manungså praptèng pralåyå.
    Warnå-warnå kang bêbåyå, angrusakên Tanah Jawi

    surêm sang déwangkårå lampahé
    mandhêg mangu kalimput ing dhuhkitå
    ampak-ampakan mégå pêpulêtan
    mêndhung angêndanu arêbut dhucung asung bélåsungkåwå
    gunung manggut-manggut
    manglung tumiyung marang sang sujånå gung
    angin sumilir angiring tindaké prå widådari sarwi anyêbar sêkar wangi
    klèbating sampur pratåndhå bélå konjuk ingkang sowan ing pangayunaning Gusti

    Tunggu wedarannya pada gandhok berikutnya.

    Nuwun

    cantrik bayuaji

    • (Dongeng Arkeologi & Antropologi Surya Majapahit dalam beberapa wedaran ke depan juga akan tancêp kayon, sekaligus sebagai penutup rangkaian dongeng-dongeng saya di gandhok-gandhok padepokan pelangisingosari.)

      Waduuuh…. Kulo sampun dheg-dhegan, kulo kinten dongengipun Ki Bayuaji saestu badhe tancep kayon. Dados taksih wonten lajengipun njih? Bibar Demak, Pajang taksih wonten Mataram. Taksih panjaaang Ki Bayu, ingkang panjenengan dongengaken nembe sekedhik, dereng komplit. Malah menawi mundur dumugi kerajaan Syailendera, Mataram kino, walaaah…… jebul taksih kathah ingkang dereng dipun dongengaken. Matur nuwun.

    • So jelas ini yang beta tunggu tunggu,

      matur nuwun Ki Bayu,
      setya tuhu ngrantos SPNG,
      sugeng dalu.

  8. PAGI

    • SORE

  9. Neng stasiun mBalapan…………
    kutha Solo sing dadi kenangan…………

    (walah kesrobot refrain lagune mas John Lennon,
    Imagine all the people……..living live in PEACE
    hu……………..100x)
    nangis apa ngguyu…..????

    • dadi kelingan sHAkira…..waka-waka-ka-ka
      karo meGAL-meGOL, jan ngemesNO

      • oRA nangis apa oRA ngguyu…..????

  10. PAGI padepokan SENGKALING….pak SATPAM keriNAN


Tinggalkan Balasan ke arga Batalkan balasan