HLHLP-114

3/3

“Mereka tidak perlu berbuat apa-apa lagi. Sawah, ladang, ternak dan kekayaan mereka akan berkembang dengan sendirinya.” berkata seorang yang lebih tua dari anak-anak muda itu.

“Tetapi perbuatan mereka akan berpengaruh buruk terhadap anak-anak muda yang lain. Anak-anak muda yang bukan anak orang-orang kaya. Jika mereka meniru anak-anak orang kaya itu, maka kehidupan mereka akan menjadi semakin sulit. Sementara itu kehidupan mereka, keluarga mereka dan masa depan mereka menuntut kerja keras. Juga kampung halaman mereka, padukuhan mereka dan Kabuyutan mereka.”

“Cukup.” pemilik kedai itu berteriak. sementara itu seorang di antara anak-anak muda yang sedang mulai mabuk itu melangkah mendekati Mahisa Murti sambil berkata, “Jika kau berbicara sepatah kata lagi, maka aku akan mengoyak mulutmu.”

Tetapi yang terjadi adalah diluar dugaan. Mahisa Amping telah melangkah dan berdiri di antara anak muda yang mulai mabuk itu dengan Mahisa Murti. Sambil mendorong anak muda itu kuat-kuat Mahisa Amping berkata, “He orang mabuk. Kau mau apa?”

“Amping” desis Mahisa Semu. Tetapi Mahisa Amping sudah berdiri bertolak pinggang sambil berkata, “Kalian, orang-orang mabuk. Kalian mau apa? Dalam keadaan mabuk, kalian tidak akan dapat berbuat apa-apa. Selagi berdiri pun kalian tidak lagi dapat menjaga keseimbangan kalian.”

Tetapi anak muda yang didorong oleh Mahisa Amping itu menjadi sangat marah.  Dalam keadaan setengah sadar, maka ia pun melangkah maju sambil mengayunkan tangannya. Tetapi tangan itu sama sekali tidak menyentuh apapun juga karena Mahisa Amping bergeser selangkah surut.

Tetapi ayunan tangannya itu sendiri justru telah menyeretnya sehingga anak muda itu pun menjadi terhuyung-huyung. Apalagi ia dalam keadaan mulai mabuk.

Mahisa Amping memang masih belum dapat berpikir jauh. Ia masih mengikuti saja gejolak perasaannya. Karena itu, demikian ia melihat anak muda itu terhuyung-huyung, maka Mahisa Amping justru telah menarik tangannya, sehingga anak muda itu jatuh terjerembab.

Namun dengan demikian, maka tidak ada jalan lagi untuk menghindari pertengkaran. Mahisa Amping yang masih sangat muda itu tidak lagi dapat menahan dirinya. Namun Mahisa Amping benar-benar telah bersiap untuk berkelahi meskipun anak-anak muda yang mabuk itu adalah anak-anak muda yang lebih tua dan lebih besar dari padanya.

Mahisa Murti hanya dapat menarik nafas dalam-dalam Tetapi ia dapat mengerti, bahwa Mahisa Amping menjadi sangat marah kepada orang-orang yang telah menyinggung perasaannya itu. Bahkan nampaknya Mahisa Semu pun sulit untuk menahan dirinya meskipun ia berusaha dengan sungguh-sungguh.

Karena itu, maka Mahisa Murti pun tidak lagi ingin mengelak. Bukan karena ia ingin berbuat semena-mena. Namun ia merasa bahwa sikapnya adalah benar. Pendapatnya tidak semestinya dianggap sebagai pendapat yang merusak ketenangan kedai itu.

Dengan demikian, maka Mahisa Murti itu justru berkata, “Aku peringatkan kalian, agar kalian tidak mempergunakan kekerasan. Aku hanya mengatakan pendapat yang aku yakini benar. Jika kalian menganggap pendapatku itu salah, itu persoalan kalian. Tetapi sekali lagi aku katakan, bahwa usaha yang tidak sepantasnya dilakukan, karena dengan demikian kedai ini sudah ikut mengaburkan masa depan anak-anak muda yang sering menjadi mabuk di kedai ini, justru tanpa menghitung waktu.”

Orang yang lebih tua dari anak-anak muda yang mulai mabuk itu justru telah berteriak, “Usir orang-orang ini. Jika mereka melawan, buat mereka menjadi jera.”

Anak-anak muda yang sudah mulai mabuk itu mulai bergerak. Namun Mahisa Murti pun bertanya, “Apa hubunganmu dengan pemilik kedai itu sehingga kau telah ikut mempertahankan sikapnya, tetapi kau sendiri tidak menjadi mabuk karenanya, atau sama sekali tidak minum tuak? Bukankah seharusnya kau peringatkan anak-anak muda yang terlalu banyak minum sehingga mereka menjadi mabuk itu?”

“Persetan, apa pedulimu” jawab orang itu, “yang penting, kau harus pergi atau kau akan dihajar di sini.”

Mahisa Murti tidak menjawab. Ketika Mahisa Semu berpaling kepadanya, maka Mahisa Murti itu pun berkata, “Jangan kehilangan kendali diri Semu. Kau sudah dapat membuat pertimbangan-pertimbangan yang mapan. Aku akan mengendalikan adikmu.”

Mahisa Semu mengangguk kecil. Ia mengerti maksud Mahisa Murti. Karena itu, maka ia pun berusaha untuk tidak berbuat berlebih-lebihan. Apalagi anak-anak muda itu sedang mabuk.

Dalam pada itu, beberapa orang anak muda telah mengepung Mahisa Murti, Mahisa Semu dan Mahisa Amping. Ada di antara mereka yang sudah benar-benar mabuk. Ada yang baru mulai. Tetapi ada yang masih sadar sepenuhnya apa yang tengah terjadi itu.

Orang yang sudah lebih tua dari mereka yang sedang mabuk itu serta pemilik kedai itu justru bergerak menepi. Mereka nampaknya tidak ingin melibatkan diri dalam perkelahian itu. Namun mereka telah memanas-manasi suasana sehingga anak-anak muda yang mulai mabuk itu menjadi marah.

Dalam pada itu, Mahisa Murti sendiri tidak langsung ikut larut dalam perkelahian yang terjadi kemudian. Mahisa Murti mengamati kedua adik angkatnya itu dengan saksama. Ia tidak ingin keduanya tidak lagi mampu menahan diri sehingga melakukan tindakan-tindakan yang berbahaya bagi anak-anak muda yang sedang mabuk itu.

Sejenak kemudian, telah terjadi perkelahian antara Mahisa Semu dan Mahisa Amping melawan beberapa orang anak muda yang sedang mabuk. Sebagaimana dikatakan oleh Mahisa Amping, maka anak-anak muda itu tidak lagi mampu berkelahi sebaik-baiknya. Justru karena kesadarannya tidak lagi terkendali sepenuhnya, maka kepala mereka pun mulai menjadi pening oleh tuak.

Karena itu, maka Mahisa Semu dan Mahisa Amping mempunyai kesempatan lebih baik untuk mengatasi lawan-lawannya.

Meskipun anak-anak muda itu jumlahnya berlipat banyaknya, namun justru karena mereka tidak menguasai penalarannya sepenuhnya ada di antara mereka yang tidak berkelahi sepenuhnya. Mereka hanya saling mendorong dan bahkan kemudian jatuh bersama-sama.

Tetapi ternyata ada di antara mereka yang masih sepenuhnya menguasai diri mereka. Jika pengaruh tuak mulai menggelitik otaknya, maka mereka justru menjadi lebih berbahaya.

Orang-orang itulah yang kemudian mendapat perhatian sepenuhnya oleh Mahisa Semu sementara Mahisa Amping bermain-main dengan anak-anak muda yang dengan terhuyung-huyung berputaran di sekitarnya. Sekali-sekali mencoba memukul, namun ketika tubuhnya didorong ke samping, maka keseimbangannya tidak ingin dapat dikuasainya.

Tetapi tiga orang di antara mereka justru menjadi sangat berbahaya. Matanya mulai gelisah sementara bau tuak masih berhembus lewat sela-sela bibirnya.

Ketiga orang anak muda itu mulai menyibak kawan-kawannya yang tidak lagi dapat menguasai dirinya sendiri.

Mahisa Semu yang melihat mereka memang menjadi berdebar-debar. Ia tidak membiarkan anak-anak muda itu bertindak langsung terhadap Mahisa Amping yang masih saja berloncatan di antara mereka yang sedang mabuk. Sekali-sekali ia mendorong anak-anak muda itu, sehingga mereka berjatuhan. Namun kemudian Mahisa Amping itu segera meloncat surut. Jika ada di antara lawan-lawannya itu menyerangnya, maka dengan mudah ia dapat menghindar dan membalas menyerang.

Tetapi agaknya tidak demikian dengan ketiga orang anak muda yang masih mampu menguasai penalarannya sepenuhnya meskipun otaknya sudah dipengaruhi oleh tuak itu. Justru karena itu, maka ketiganya menjadi sangat garang, sementara tenaganya masih tetap utuh dan bahkan seakan-akan menjadi bertambah-tambah.

Ketika kawan-kawannya menyibak, maka Mahisa Semu lah yang dengan cepat menghadapi mereka sambil berkata, “Apa yang akan kalian lakukan Ki Sanak.”

“Mengoyak mulutmu” geram salah seorang dari antara mereka.

Mahisa Semu menarik nafas dalam-dalam. Katanya, “Sebenarnya kami tidak bermaksud menimbulkan keributan.”

Tetapi seorang yang bertubuh kekar segera memotong, “Omong kosong. Kalian sudah mengacaukan ketenangan kami dengan tingkah laku kalian. Seandainya kalian dengan suka rela pergi meninggalkan kedai ini, kita tidak mempunyai persoalan lagi.”

“Kami sudah bersiap-siap untuk pergi” jawab Mahisa Semu.

“Tetapi mulut anak itu telah membuat kami sakit hati.” jawab anak muda yang lain.

Mahisa Semu tidak menjawab lagi. Namun ia harus bersiap sebaik-baiknya. Ketiga orang anak muda itu mulai bergerak menyerangnya.

Namun Mahisa Semu yang sudah terlatih, bahkan sudah mulai bersiap-siap untuk sampai ke puncak kemampuan ilmu Bajra Geni, telah bersiap pula menghadapi mereka.

Demikian, maka sejenak kemudian, Mahisa Semu itu telah berkelahi pula menghadapi ketiga orang anak muda itu. Dengan kemampuannya yang semakin matang, maka Mahisa Semu berloncatan menyerang ketiga lawannya berganti-ganti.

Namun ketiga orang yang sudah dipengaruhi oleh tuak itu pun berkelahi dengan garangnya. Mereka menyerang bersama-sama dari tiga arah yang berbeda.

Namun ternyata mereka berhadapan dengan anak muda yang memiliki kemampuan yang semakin matang. Karena itu, maka tiba-tiba saja salah seorang dari mereka telah terlempar dan jatuh berguling di tanah. Ketika anak muda itu berusaha untuk bangkit dan bersiap dan berkelahi lagi, maka seorang kawannya yang lainlah yang berteriak kesakitan dan terbanting jatuh.

Tetapi anak-anak muda itu masih juga tidak menjadi jera. Meskipun agak kesakitan, tetapi keduanya telah bersiap pula untuk berkelahi, Sementara itu, seorang kawannya yang lain, telah meloncat menjauhi Mahisa Semu sebelum kedua orang kawannya bersiap. Baru kemudian mereka bertiga berloncatan mendekat lagi dari arah yang berbeda.

Sementara itu, Mahisa Amping masih juga bermain-main dengan beberapa orang anak-anak muda yang telah mulai menjadi mabuk. Anak itu justru berlari-lari berkeliling halaman. Namun kemudian tiba-tiba saja ia menyerang salah seorang dari mereka yang sedang terhuyung-huyung mengejarnya sehingga orang itu terjatuh justru menimpa kawan-kawannya. Dengan demikian, yang dilakukan oleh Mahisa Amping tidak lebih dari sekedar bermain-main. Sementara itu anak-anak muda yang mengejarnya pun sudah menjadi jemu pula. Kepala mereka terasa pening sehingga ada di antara mereka yang justru menjadi mual dan merasa akan muntah-muntah.

Tetapi tiga orang yang menjadi semakin garang itu masih berkelahi melawan Mahisa Semu. Mereka berkelahi dengan sungguh-sungguh. Bahkan mereka menjadi semakin garang oleh pengaruh tuak, namun yang belum terasa sangat mengganggu kesadaran mereka.

Dalam pada itu, pemilik kedai dan seorang yang meskipun masih nampak muda tetapi lebih tua dari anak-anak muda yang mabuk itu, memperhatikan perkelahian itu dengan kening yang berkerut. Mereka nampaknya tidak begitu menghiraukan Mahisa Amping. Meskipun mereka merasa heran juga bahwa anak itu memiliki ketangkasan yang tinggi, namun mereka lebih memperhatikan Mahisa Semu. Ternyata Mahisa Semu sama sekali tidak mengalami kesulitan melawan ketiga orang anak muda yang berkelahi dengan garangnya. Bahkan anak-anak muda itu telah mulai merasa kesakitan. Sekali-sekali salah seorang dari mereka terlempar keluar lingkaran perkelahian yang menjadi semakin keras.

Tetapi wajah kedua orang itu menjadi cemas. Anak-anak muda itu nampaknya akan kehilangan kesempatan. Bahkan ketika tubuh mereka menjadi semakin terasa sakit, nyeri dan terasa pedih oleh goresan-goresan kerikil saat mereka terjatuh, perlawanan mereka pun menjadi semakin mengendor.

“Anak iblis itu harus dibuat jera” geram orang yang sedikit lebih tua dari anak-anak muda yang minum tuak itu.

“Ternyata dengan sedikit kemampuan, mereka berani mengganggu usaha kita” sahut pemilik kedai itu.

“Biarlah aku yang menghajarnya. Awasi anak yang tertua itu. Nampaknya ia juga memiliki kemampuan.” berkata orang itu.

Pemilik kedai itu mengangguk kecil. Dipandanginya Mahisa Murti yang mengamati kedua adiknya yang sedang berkelahi. Namun ternyata bahwa ia tidak perlu mencemaskan Mahisa Amping, karena Mahisa Amping lebih banyak bermain-main daripada berkelahi. Ia berlari-lari berputaran, meskipun sekali-sekali ia menyerang juga. Namun anak-anak muda yang mabuk itu akhirnya tidak menghiraukan anak itu lagi. Mereka kebanyakan merasa sangat terganggu oleh kepala mereka yang menjadi pening. Bahkan kemudian perutnya menjadi mual.

Sebagian dari mereka justru telah menjatuhkan diri di tangga kedai itu, sementara tinggal seorang saja yang masih berusaha mengejar untuk menangkap Mahisa Amping. Tetapi Mahisa Amping masih berlari-lari terus dan sekali-sekali berhenti untuk melawan. Bahkan Mahisa Amping kemudian telah bersiap untuk berkelahi. Bukan saja berlari-lari.

Sementara itu, orang yang sudah lebih tua dari anak-anak muda yang mabuk itu melangkah mendekati Mahisa Semu yang masih berkelahi melawan tiga orang lawannya. Namun ketiga orang anak muda itu tidak lagi mampu berbuat sesuatu. Tubuh mereka sudah terasa semakin lemah, sementara di beberapa tempat terdapat noda-noda kebiru-biruan. Wajah mereka menjadi lembab dan tulang-tulang mereka terasa nyeri. Goresan-goresan kerikil mulai menitikkan darah yang terasa menjadi pedih oleh keringat.

Orang yang lebih tua dari mereka itu pun tiba-tiba saja berteriak, “Minggir. Biarlah aku memberinya sedikit peringatan agar anak ini menjadi jera. Jika tidak, maka ia akan merasa menang dan berbuat lebih buruk lagi di kemudian hari.”

Ketiga orang anak muda yang sudah mulai dipengaruhi tuak itu termangu-mangu sejenak. Namun ketika orang yang berteriak itu melangkah maju mendekati Mahisa Semu, maka anak-anak muda itu melangkah surut.

“Kami tidak dapat membiarkan kau dengan kebanggaanmu karena kau merasa dapat mengalahkan ketiga orang anak muda itu. Tetapi ingat, mereka dalam keadaan mabuk. Jika mereka memiliki kesadarannya sepenuhnya, maka kau akan mengalami nasib yang sangat buruk” berkata orang itu.

“Aku tidak mulai membuat keributan di sini” jawab Mahisa Semu, “aku hanya mempertahankan diri.”

“Saudaramu sudah membuat onar di sini. Kau dengan sombong mengangkat dadamu karena kau merasa menang melawan tiga orang anak muda. Karena itu, maka kau harus mendapat peringatan agar kau menjadi jera.” geram orang itu.

Mahisa Semu termangu-mangu sejenak. Namun ia pun menyadari, bahwa orang itu tentu bukan orang kebanyakan. Ia sudah melihat, bagaimana Mahisa Semu itu berkelahi melawan tiga orang anak muda yang sudah mulai dipengaruhi oleh tuak. Sehingga orang itu tentu sudah mempunyai gambaran tentang kemampuan Mahisa Semu.

Karena itu, maka menghadapi orang itu, Mahisa Semu harus berhati-hati. Bahkan diluar sadarnya, maka Mahisa Semu telah berpaling kepada Mahisa Murti.

Mahisa Murti tidak dapat berbuat lain kecuali mengangguk kecil. Ia tidak dapat lagi menarik segala persoalan yang sudah terjadi di kedai itu.

Isyarat itu telah membesarkan hati Mahisa Semu. Karena itu, ketika orang yang lebih tua itu bersiap untuk mulai berkelahi, maka Mahisa Semu pun telah bersiap pula.

“Kau, kakakmu dan adikmu harus minta maaf kepada kami semuanya di sini, karena kalian sudah mengganggu ketenangan kami.” berkata orang itu.

Tetapi Mahisa Semu menjawab lantang, “Kalianlah yang harus minta maaf kepada kami karena kalian telah mengganggu perjalanan kami. Kami yang berniat baik telah kalian tanggapi dengan sikap yang buruk sekali. Karena itu, maka kalian memang pantas untuk mendapat peringatan.”

“Anak iblis kau” geram orang itu, “aku koyakkan mulutmu.”

Mahisa Semu tidak menjawab. Tetapi ia sudah bersiap sepenuhnya untuk menghadapi orang itu.

Sebenarnyalah sejenak kemudian orang itu telah meloncat menyerang, sehingga Mahisa Semu harus bergeser menghindarinya. Tetapi agaknya orang itu sudah benar-benar menjadi marah. Dengan garangnya orang itu memburu dan menyerang beruntun sehingga Mahisa Semu harus berloncatan mundur untuk mengambil jarak.

Meskipun demikian, jantung Mahisa Semu sama sekali tidak tergetar karenanya. Dengan cermat ia mengamati tatanan gerak lawannya. Namun kemudian, anak muda itu telah bangkit untuk melakukan serangan-serangan pula.

Yang terjadi kemudian bukan sekedar perkelahian antara orang-orang mabuk. Tetapi dua orang yang dengan penuh kesadaran mempergunakan kemampuannya untuk mengalahkan lawannya.

Dengan demikian maka perkelahian itu semakin lama menjadi semakin keras. Ternyata orang yang lebih tua dari anak-anak muda yang mabuk itu memang memiliki kemampuan olah kanuragan.

Mahisa Murti yang memperhatikan perkelahian itu mengerutkan dahinya. Ia mulai menduga, bahwa orang yang berkelahi dengan Mahisa Semu itu adalah orang yang memang diupah oleh pemilik kedai itu untuk mengamankan kebijaksanaan pemilik kedai itu.

Dengan keras dan bahkan kasar orang itu menyerang sejadi-jadinya. Tetapi Mahisa Semu yang terlatih itu masih tetap mampu mengimbanginya. Bahkan kemudian perlahan-lahan Mahisa Semu mulai mengatasinya.

Namun orang itu juga bukan orang kebanyakan. Serangan-serangannya menjadi semakin keras. Orang itu berloncatan dengan cepatnya, sementara tubuhnya seakan-akan menjadi sangat ringan.

Tetapi Mahisa Semu ternyata mampu mengimbangi kecepatan geraknya. Meskipun Mahisa Semu masih muda, tetapi ia tidak segera menjadi gelisah melihat kemampuan lawannya. Dengan mengerahkan kemampuannya, maka beberapa kali Mahisa Semu justru berhasil memotong gerak lawannya, sehingga lawannya itu justru terkejut karenanya.

Lawannya yang melihat Mahisa Semu mengalahkan ketiga orang anak muda yang telah dipengaruhi oleh tuak itu memang sudah menduga bahwa anak muda itu memiliki landasan ilmu kanuragan. Tetapi ia tidak mengira bahwa tataran kemampuan ilmu kanuragan anak muda itu sedemikian tinggi baginya, sehingga akhirnya ia mengalami kesulitan.

Tetapi ada satu hal kelebihan orang itu. Ia lebih tua dari Mahisa Semu. Ia pun ternyata memiliki pengalaman yang luas bertualang di dunia kekerasan. Karena itu berdasarkan atas pengalamannya, maka ia masih dapat bertahan lebih lama. Bahkan sekali-sekali ia masih juga mampu membuat tipuan-tipuan sehingga Mahisa Semu kadang-kadang terkejut karenanya.

Meskipun demikian, ketangkasan Mahisa Semu memang membuat lawannya kadang-kadang harus berloncatan mundur. Kaki Mahisa Semu seakan-akan menggapai-gapai tubuhnya kemana pun ia menghindar. Sementara itu, kedua tangannya dengan rapat melindungi tubuhnya dari serangan-serangan lawannya yang dengan tiba-tiba menerpanya.

Demikianlah, perkelahian itu menjadi semakin seru. Pada saat-saat yang gawat, maka serangan-serangan Mahisa Semu sempat masuk menembus pertahanan lawannya. Ketika lawannya mengayunkan tangannya ke arah kening Mahisa Semu, maka Mahisa Semu dengan cepat merendah.

Demikian tangan lawannya itu terayun, maka dengan cepat kaki Mahisa Semu yang memiringkan tubuhnya itu terjulur langsung mengenai bagian bawah ketiak lawannya.

Lawannya itu terdorong surut. Tetapi dengan berputar satu lingkaran dan sedikit merendah, ia pun segera mempersiapkan diri. Ketika kemudian Mahisa Semu meloncat memburunya, maka Mahisa Semu justru terkejut. Lawannya itu sempat bergeser selangkah ke samping. Namun kemudian ia meloncat maju dengan tangan kawannya yang terjulur lurus. Untunglah bahwa Mahisa Semu sempat memiringkan kepalanya, sehingga yang dikenai serangan lawannya itu hanyalah daun telinganya

Meskipun demikian rasa-rasanya daun telinganya itu menjadi panas. Bukan saja karena sengatan rasa sakit. Tetapi juga kemarahan yang menerpa jantungnya.

Karena itu, maka Mahisa Semu menjadi semakin garang pula. Jika semula ia masih menghormati lawannya yang umurnya lebih tua daripadanya, maka kemudian, Mahisa Semu seakan-akan telah melupakannya. Anak muda itu telah mengerahkan tenaga dalamnya sejauh tingkat kemampuannya. Namun demikian, tenaga Mahisa Semu itu seakan-akan telah menjadi berlipat.

Dengan demikian, maka serangan-serangan Mahisa Semu menjadi semakin kuat dan semakin keras, sehingga dengan demikian, maka lawannya itu menjadi semakin mengalami kesulitan.

Pemilik kedai itu mulai menjadi gelisah. Anak itu ternyata bukan anak muda kebanyakan. Ia memiliki kelebihan dari bukan saja anak-anak muda sebayanya. Tetapi orang-orang yang lebih tua dan lebih berpengalaman.

Sebenarnyalah bahwa Mahisa Semu semakin lama semakin menguasai lawannya. Serangan-serangannya menjadi semakin cepat dan semakin keras. Bahkan semakin banyak serangan-serangannya yang mampu menyusup dan menguak pertahanan lawannya.

Dengan demikian, maka keadaan orang itu menjadi semakin sulit sementara Mahisa Semu sudah terlanjur menjadi marah. Ketika serangan kakinya mengenai lambung lawannya, maka lawannya itu telah terdorong beberapa langkah surut. Namun Mahisa Semu masih memburunya. Serangan berikutnya dilontarkannya dengan kakinya pula. Sambil memiringkan tubuhnya, maka serangannya datang meluncur dengan derasnya.

Orang itu tidak sempat menghindar. Serangan kaki itu ternyata tepat hinggap di dadanya.

Ternyata serangan itu telah mengakhiri perlawanan orang itu. Ia terdorong dengan derasnya dan tidak lagi mampu mempertahankan keseimbangannya.

Orang itu pun kemudian telah jatuh terlentang. Demikian kerasnya sehingga tulang punggungnya serasa akan patah.

Ketika orang itu berusaha untuk bangkit, maka ia hanya dapat menyeringai menahan sakit. Bahkan kemudian terdengar ia mengerang kesakitan.

Sementara itu, pemilik kedai itu pun menjadi gelisah. Mahisa Murti yang tidak terlibat dalam perkelahian itu telah berdiri di dekat pemilik kedai itu. Dengan nada dalam ia berdesis, “Ki Sanak. Apakah kau akan membantunya. Kau lihat, tidak ada yang dapat melawan adikku itu. Tetapi jika kau ingin, maka kau dapat melakukan. Atau kau akan mencobai aku sebagaimana pesannya tadi. Bukankah kau tadi dipesan untuk mengawasi aku.”

Pemilik kedai itu berdiri termangu-mangu. Namun ketika Mahisa Murti menggeram, maka ia mulai menjadi gemetar.

“Aku memiliki kemampuan berlipat dari adikku itu. Nah, jika kau ingin mencobanya, marilah. Aku akan mengajarimu agar kau sekali-sekali mau mendengarkan pendapat orang lain.”

Tetapi pemilik kedai itu justru berkata dengan suara bergetar, “Ki Sanak. Kami mohon maaf. Jangan sakiti kami.”

“Tetapi kawan-kawanmu sudah terlanjur kesakitan” desis Mahisa Murti, “supaya adil, maka kau pun harus disakiti.”

“Ampun. Aku mohon ampun Ki Sanak. Aku tidak akan mengulangi kesalahan ini.”

Mahisa Murti termangu-mangu sejenak. Sementara itu, Mahisa Amping berdiri bertolak pinggang. Ternyata ia berkelahi dengan salah seorang anak muda yang mabuk itu. Namun tidak terlalu lama, karena anak muda itu dengan mudah didorongnya jatuh. Bahkan beberapa kali.

Mahisa Semu pun masih berdiri termangu-mangu. Namun kemudian katanya, “Ki Sanak. Marilah. Aku ingin berbicara dengan kau dan kawanmu itu.”

Pemilik kedai itu termangu-mangu sejenak. Ketika ia melihat di sekitarnya, ternyata masih ada beberapa orang yang berdiri di halaman kedainya itu. Justru bukan orang-orang yang semula ada di kedai itu. Mereka datang ketika mereka mendengar telah terjadi perkelahian di halaman kedai itu antara beberapa orang lewat yang sempat singgah dan dianggap mengganggu ketenangan orang-orang yang sering ribut di kedai itu karena mabuk.

Mahisa Semu pun kemudian melangkah mendekati lawannya yang punggungnya serasa patah itu. Katanya, “Bangkit dan dengar kata-kata kakakku.”

“Punggungku sakit sekali” desis orang itu.

“Kau mau bangkit atau aku patahkan kakimu?” geram Mahisa Semu sambil menangkap pergelangan kaki orang itu.

“Jangan. Jangan” minta orang itu.

“Jika demikian, cepat bangkit, sebelum aku kehabisan kesabaran.” bentak Mahisa Semu.

Dengan susah payah sambil menyeringai kesakitan orang itu mencoba untuk bangkit. Betapapun sakitnya, namun ia tidak ingin kakinya dipilin oleh anak muda itu sehingga patah.

Sementara itu Mahisa Amping sambil bertolak pinggang membentak anak muda yang mabuk itu, “Bangun. Dengar kakakku berbicara. Kau dan kawan-kawanmu harus merangkak mendekat dan mendengarkan kata-katanya.”

Tetapi Mahisa Murti lah yang kemudian memanggilnya. Demikian Mahisa Amping mendekat, Mahisa Murti pun berkata, “Mereka sedang mabuk. Sulit untuk mengerti kata-katamu.”

Mahisa Amping termangu-mangu sejenak. Namun kemudian dua orang di antara anak-anak muda yang mabuk itu telah muntah-muntah di halaman itu.

Mahisa Amping memalingkan wajahnya sambil berdesis, “Mereka harus dihukum.”

“Bukan kita yang akan menghukumnya.” jawab Mahisa Murti.

“Siapa?” bertanya Mahisa Amping.

“Kita akan berbicara dengan pemilik kedai itu” desis Mahisa Murti.

Mahisa Amping justru termangu-mangu. Namun ia tidak menjawab lagi.

Orang yang kesakitan punggungnya dan pemilik kedai itu pun kemudian berdiri dengan wajah pucat di hadapan Mahisa Murti. Sementara beberapa orang datang dari rumah-rumah yang tidak terlalu jauh dari kedai itu, serta beberapa orang yang masih berada di pasar di sebelah.

Sebelum Mahisa Murti bertanya kepada kedua orang itu, Mahisa Murti justru bertanya kepada orang-orang yang berkerumun, “Nah, apakah kata kalian tentang kedai ini?”

Seorang yang rambutnya sudah mulai ubanan melangkah maju mendekat sambil berkata, “Apakah maksud angger sebenarnya? Apakah yang angger maksud tentang anak-anak muda yang sering bermabuk-mabukan di kedai ini?”

“Ya” jawab Mahisa Murti, “apakah tidak ada akibat bagi para penghuni rumah di sekitar tempat ini atau mereka yang masih berada di pasar itu?”

Orang yang berambut ubanan itu menarik nafas dalam-dalam. Katanya, “Sebenarnyalah bahwa sudah agak lama kami ingin berbicara tentang hal itu. Tetapi pemilik kedai ini agaknya tidak senang mendengarkan pendapat kami.”

“Tidak” sahut pemilik kedai itu dengan serta merta. “Bukan maksudku. Tetapi selama ini memang tidak ada orang yang memberi aku petunjuk.”

“Kau jangan mengada-ada” bentak Mahisa Murti, “ketika aku menyatakan pendapatku, kau langsung menjadi marah. Kau panasi hati anak-anak muda itu, sehingga mereka menyerang kami.”

“Tetapi, bukan maksudku menolak pendapatmu ngger” jawab pemilik kedai itu.

“Ingat. Aku dapat berbuat apa saja terhadapmu. Aku dapat memukulmu sampai kepalamu menjadi retak. Kau lihat, bahwa orang-orang yang datang sekarang tidak semuanya akan membantumu.”

“Tetapi aku mau mendengarnya” orang itu mulai menjadi gagap. Ketika Mahisa Murti memandanginya dengan wajah yang bersungguh-sungguh orang itu berkata dengan suara yang menjadi gemetar lagi. “Ya. Ya. Aku akan mendengarnya.”

Sementara itu Mahisa Murti bertanya kepada orang yang rambutnya mulai beruban itu, “Bagaimana pendapat kalian?

“Anak-anak muda yang mabuk itu kadang-kadang memang mengganggu,” jawab orang itu  bahkan tidak mengenal waktu”

Mahisa Murti mengangguk-angguk kecil. Sementara seorang perempuan berkata, “Anakku mulai minum tuak juga.”

Mahisa Murti memandangi pemilik kedai itu dengan tajamnya. Sementara itu pemilik kedai itu menjadi semakin cemas. Orang-orang yang biasanya berdiam diri dan tidak berani menyatakan sikapnya itu, telah mulai mengungkapkan perasaan mereka. Seorang demi seorang akan terpancing untuk menyatakan pendapatnya.

Sebenarnya bahwa orang-orang yang tinggal di sekitar kedai itu serta orang-orang yang terbiasa berada di pasar, ternyata sependapat, bahwa kedai yang menyediakan tuak itu kurang bijaksana. Apalagi pendapat beberapa orang perempuan yang anaknya sudah mulai dipengaruhi oleh tuak.

Mahisa Murti pun mengangguk-angguk sambil berkata kepada pemilik kedai itu, “Nah, kau dengar pendapat mereka. Mereka sebenarnya berkeberatan. Tetapi aku tidak tahu kenapa mereka selama ini hanya berdiam diri saja. Mungkin karena kau memiliki seorang upahan yang berilmu sebagaimana orang yang ternyata tidak dapat mengalahkah adikku itu.”

Tetapi orang itu tiba-tiba saja menyahut meskipun masih harus menyeringai menahan sakit, “Aku bukan orang upahan.”

“O” Mahisa Murti berpaling kepadanya, “jadi kenapa kau pertaruhkan dirimu untuk membelanya? Jika kau menerima upah untuk pekerjaan itu, maka namanya kau orang upahan, karena upah itulah yang menentukan, apakah kau akan melakukan pekerjaan itu atau bukan.”

“Tetapi aku bukan orang upahan” jawab orang itu.

“Jadi kenapa?” desak Mahisa Murti.

Orang itu justru menjadi ragu-ragu. Tetapi pemilik kedai itulah yang kemudian menjawab,  “Orang itulah yang memberikan tuak kepadaku. Semakin banyak anak-anak yang minum, maka semakin banyak pula tuaknya laku.”

Mahisa Murti berdesah perlahan. Katanya, “Jika demikian, maka kalian berdualah yang bertanggung jawab jika semakin banyak anak-anak muda yang menjadi terbiasa minum tuak. Mereka akan menjadi ketagihan. Bahkan semakin lama mereka minum semakin banyak. Tuak kalian memang menjadi semakin laris. Tetapi apakah kalian berpikir tentang akibatnya yang dapat terjadi atas anak-anak muda itu? Lihat, apa yang telah mereka kerjakan sejak pagi sampai sesiang ini? Duduk-duduk, minum tuak, mabuk kemudian muntah-muntah dan tidur atau mengganggu orang lain. Sementara itu anak-anak muda yang lain sedang sibuk bekerja keras untuk membentuk masa depan mereka.”

Pemilik kedai dan orang yang kesakitan di punggungnya itu tidak menjawab.

Namun Mahisa Murti pun berkata terus, “Nah, sekarang terserah orang-orang yang tinggal di sekitar kedai ini. Kalian harus mendengarkan pendapat mereka. Aku sendiri memang sering lewat jalan ini. Aku sudah melihat orang keluar masuk kedai ini, termasuk anak-anak muda. Tetapi baru sekarang kami sempat singgah di sini dan menyaksikan apa yang ada di dalam kedai ini.”

Pemilik kedai dan orang yang kesakitan punggungnya itu hanya menundukkan kepala mereka saja. Tetapi mereka sama sekali tidak menjawab.

Dalam pada itu, Mahisa Murti masih berkata kepada orang-orang yang mengerumuninya, “Ki Sanak. Selanjutnya terserah kepada kalian. Jika kalian memang menentang, maka sebaiknya kalian berbicara berterus-terang kepada pemilik kedai. Sementara itu, kalian jangan tergesa-gesa membebankan semua kesalahan kepada anak-anak muda itu. Mereka harus mendapat bimbingan dan petunjuk bahwa apa yang mereka lakukan bukan jalan terbaik bagi kehidupan mereka kelak.”

Seorang yang berambut ubanan itu berkata, “Kami memang memerlukan satu saat yang mengejutkan seperti ini. Dengan demikian, maka anak-anak itu akan melihat kenyataan yang mereka hadapi. Mereka semua sama sekali tidak menghargai apa yang telah ditentukan oleh banyak orang serta pemisahan anggapan atas yang baik dan yang buruk.”

Pemilik kedai dan orang yang punggungnya bagai patah itu semakin menunduk. Kemudian seorang pun berkata lantang, “Kita akan menutup kedai itu, nanti kalian pergi, maka kami masih berteka-teki, apakah akan ada perubahan yang terjadi di kedai ini. Bahkan mungkin kami, yang tentu akan dapat dikenali oleh pemilik kedai dan pembuat tuak itu, akan diancam oleh bahaya yang tidak akan dapat kami elakkan.”

“Jangan takut” berkata Mahisa Murti, “hal itu tidak akan terjadi. Setelah aku mengetahui keadaan ini, maka tempat ini akan selalu diawasi oleh para prajurit Singasari.”

“Prajurit Singasari? Bukankah Singasari masih jauh?” bertanya orang bertubuh kecil itu.

“Ya. Singasari memang masih jauh. Tetapi prajurit itu akan datang dan menghubungi bebahu Kabuyutan yang membawahi tempat ini. Para prajurit itu akan dapat membicarakan persoalan kedai ini dengan Ki Buyut dan para bebahunya, sehingga pengawasan sehari-hari kedai ini ada di tangan mereka.”

“Bagus” berkata orang bertubuh kecil itu. Agaknya ia memiliki keberanian untuk berbicara lebih terbuka dari kawan-kawannya meskipun tubuhnya kecil. Kemudian ia pun berkata pula, “sebaiknya para prajurit itu memang berbicara dengan Ki Buyut. Jika mereka hanya berbicara dengan Ki Bekel, maka tidak akan ada artinya lagi.”

“Kenapa?” bertanya Mahisa Murti.

“Kita di sini semuanya tahu, apa yang dilakukan oleh Ki Bekel. Tetapi tidak seorang pun di antara kami yang berani berbicara. Kami pun tidak tahu dengan siapa kami harus berbicara.”

“Apa?” bertanya Mahisa Murti.

“Pemilik kedai dan pembuat tuak itu memiliki ilmu dan kemampuan. Sedangkan Ki Bekel mempunyai kekuasaan yang juga bersandar pada kekuatan beberapa orang bebahunya. Sementara itu tuak menghasilkan uang. Nah…”

Tetapi seorang yang lain berteriak, “Bakar saja gubug yang telah menyesatkan itu. Dua adikku mulutnya telah mulai berbau tuak. Kelakuannya sudah tidak dapat dikendalikan lagi. Mereka juga sering berada di kedai ini.”

Sementara itu, maka Mahisa Murti pun berkata, “Baiklah. Kami serahkan pemilik kedai itu kepada kalian, apapun yang akan kalian lakukan. Namun satu hal yang perlu aku pesankan, kalian harus memperlakukan mereka sebagaimana kalian memperlakukan sesama, karena mereka juga mempunyai perasaan serta nalar budi.”

“Kami akan menghukum mereka” teriaki seseorang.

“Itu tidak perlu” jawab Mahisa Murti, “tetapi kalian harus yakin, bahwa di kedai ini tidak akan dijual tuak.”

Pemilik kedai itu termangu-mangu. Namun kemudian Mahisa Murti berkata sekali lagi, “Aku akan sering lewat jalan ini. Karena itu, maka kalian harus melakukan apa yang seharusnya kalian lakukan menurut pertimbangan nalar budi kalian. Meskipun sekali lagi aku peringatkan, mereka harus diperlakukan sebagaimana kita memperlakukan diri sendiri.”

Demikianlah, maka Mahisa Murti pun kemudian berkata, “Aku mengerti. Sekarang akan melanjutkan perjalanan. Jika terjadi sesuatu, maka aku akan cepat mengerti.”

Orang-orang yang berkerumun itu pun mengangguk-angguk. Ketika seorang yang bertubuh kecil menyeruak kawan-kawannya dan kemudian berdiri di paling depan, Mahisa Murti pun bertanya, “Ada yang akan kau katakan?”

“Ya” jawab orang itu, “selama ini di antara kami memang tidak ada yang berani berbuat sesuatu. Pemilik kedai dan orang yang membuat tuak itu adalah orang-orang yang ditakuti. Mereka dapat berbuat apa saja terhadap kami. Jika uang itulah pusar dari persoalan yang sebenarnya kami hadapi di sini, sehingga Ki Bekel pun tidak berminat untuk menghentikan penjualan tuak di kedai ini.”

Mahisa Murti mengangguk-angguk. Katanya, “Aku mengerti sekarang apa yang terjadi di sini. Baiklah. Aku berjanji, bahwa petugas dari Singasari akan menghubungi Ki Buyut.”

Orang bertubuh kecil itu mengangguk-angguk. Namun di wajah beberapa orang Mahisa Murti masih melihat keragu-raguan.

Karena itu Mahisa Murti pun berkata, “Kalian tidak usah takut atau ragu-ragu menghadapi persoalan ini. Tetapi juga tidak usah bertindak berlebihan sebagaimana dikatakan oleh beberapa orang untuk menghukum pemilik kedai itu dan pembuat tuak itu. Biarlah Ki Buyut menangani hal ini.”

“Sebenarnya kami tidak takut terhadap kedua orang itu” berkata seorang yang bertubuh kekar, “bahkan kami siap menghukumnya beramai-ramai. Jika selama ini kami hanya berdiam diri, karena kami memang menghormati sikap Ki Bekel. Tetapi tentu ada batas-batas tertentu. Yang kalian lakukan adalah semacam awal dari langkah-langkah baik yang dapat dilakukan di sini.”

Mahisa Murti mengangguk-angguk. Namun sebelum pembicaraan berkepanjangan, maka orang-orang itu tertegun. Orang yang siap untuk menghukum itu pun terdiam pula. Beberapa orang telah mendatangi tempat itu. Orang itulah yang disebut Ki Bekel.

“Apa yang terjadi di sini. Seseorang telah melaporkan bahwa ada orang yang berusaha mengacaukan ketenangan di tempat ini.” berkata Ki Bekel yang datang diiringi oleh beberapa orang bebahu yang memang sering menakut-nakuti orang-orang padukuhan yang cukup besar itu.

Mahisa Murti lah yang kemudian melangkah maju sambil menjawab lantang, “Akulah orangnya. Bukankah kau Bekel yang berkuasa di padukuhan ini?”

“Ya. Aku penguasa padukuhan ini.” jawab Ki Bekel.

“Bagus” berkata Mahisa Murti, “aku pesan kepadamu, awasi kedai ini. Di kedai ini tidak boleh lagi dijual tuak yang dapat meracuni anak-anak muda. Bahkan mereka dalam keadaan mabuk telah mengganggu ketenangan padukuhan ini.”

“Siapa kau?” bertanya Ki Bekel.

“Siapapun aku, itu tidak penting. Tetapi dengar keteranganku. Orang-orang yang berkerumun ini sependapat, bahwa tidak sepantasnya di kedai ini dijual tuak, karena anak-anak mereka mulai dijalari penyakit minuman itu. Tetapi selama ini kau tidak berbuat apa-apa untuk mencegahnya.”

“Setan kau” geram Ki Bekel, “kau berbicara dengan aku, Ki Bekel yang berkuasa di padukuhan ini.”

“Aku tidak peduli. Orang-orang di sekitar kedai ini sudah mulai bangkit. Mereka tidak lagi dibayangi oleh ketakutan. Bahkan mereka sudah siap untuk bertindak, menghukum pemilik kedai dan penjual tuak itu. Tetapi itu bukan wewenang mereka. Tetapi wewenangmu.”

“Kau jangan mengigau seperti itu. Ingat, di sini aku mempunyai wewenang sepenuhnya. Aku dapat bertindak atasmu” berkata Ki Bekel.

Tetapi Mahisa Murti seakan-akan tidak mendengarnya. Bahkan ia berkata, “Akan datang petugas dari Singasari untuk menata pergaulan hidup di padukuhan ini.”

Tetapi Ki Bekel yang marah itu menjawab lantang, “Omong kosong. Aku tidak percaya kepada kata-katamu itu.”

“Aku tidak akan memaksamu untuk percaya. Tetapi pada saatnya petugas dari Singasari itu akan datang bersama sekelompok prajurit. Jika kau keras kepala, maka kau akan ditangkap.”

“Aku tidak menunggu prajurit dari Singasari. Akulah yang akan menangkapmu sekarang.” teriak Ki Bekel.

Pemilik kedai dan orang yang ternyata pembuat tuak yang sudah menjadi ketakutan, tiba-tiba telah menengadahkan kepalanya lagi. Sebaliknya orang yang telah berteriak untuk menghukum pemilik kedai dan pembuat tuak itu menjadi ragu-ragu. Bagaimanapun juga, Ki Bekel adalah seorang yang berilmu.

 

0oo0d-w0oo0

(Bersambung ke Jilid 115)

 

Koleksi buku: Ki Ismoyo
Scanning: Ki Ismoyo
Convert, Edit, Ebook by Dewi KZ
http://kangzusi.com/

Laman: 1 2 3 4 5

Telah Terbit on 6 Maret 2011 at 16:45  Comments (190)  

The URI to TrackBack this entry is: https://pelangisingosari.wordpress.com/hlhlp-114/trackback/

RSS feed for comments on this post.

190 KomentarTinggalkan komentar

  1. muncul diujung malam,kerlap-kerlip lampu mobil mengitari situ kerautan Cipondoh, jalan memang tidak pernah sepi,disana ada seorang ayah, seorang ibu, atau seorang kakek memacu kuda besinya, perjalanan panjang, perjalanan pendek, yang jelas mereka masih di dalam deru jalanan, Sementara kita sedang asyik menyelesaikan rontal 114.

    kamsia
    kamsia
    kamsia

    Terima kasih TUHAN, yang memberi waktu dan kehidupan yang indah ini……………

    • Amiiiinnnnn.

  2. Rontal ingkang ceblok wonten ing koper sampun kula pendhet Ki Ajar pak Satpam.

    Matur nuwun lan sugeng dalu.

  3. cemilan ketoprak tahu petis sudah dianter tu, awasss pedessssss

    waduh…..
    ketoprak masakan Nyi Dewi enak tenan….
    suwun….

    • Nyi Dewi,….lanjutan Tutur Tinularnya kapan ?

    • tak rasakke petise nyi dewi alus tenan he…he..he… nyuwun ngapunten nyi bercanda lho

  4. Telat dapat antrian 150….eh ternyata nggak usah antri. langsung ngundhuh, suwun Ki

  5. punya simpenan rontal 70-an ….. kapan mocone ya…

    Ono mentrik sing gelem membacakan menjelang tidur ???

  6. seger tenan mau bar subuhan wis moco rotal ngantek tuntas

  7. sugeng enjing poro cantrik lan metrik kulo pamit reyin badhe padhes upo

  8. 155

    • 156

  9. ndak nemu nih
    dicantol teng pundi to pak kiai?

    hik hik

    • hadu….., mesakno rek

      harus jalan-jalan ki:
      1. buka halaman 2, ada tulisan: <… diambil di sini. Dulit saja kata sini,
      2. langsung masuk camilan hlhlp-114, ada tulis: . Dulit saja kata ceblok
      3. langsung menuju cantolan rontal, terus dulit saja kumisnya P. Kumis yang sedang nuding itu.

      he he …, selamat jalan-jalan.

      • lho kok gak lengkap, ulang no 2.

        2. langsung masuk camilan hlhlp-114, ada tulis: …. rontal diucalno… ceblok.. nang endi!… Dulit saja kata ceblok.

        • masya allah, munyeng-munyeng..
          nanging sampun kulo pendhet

          maturnuwun sanget Ki Satpam

  10. Slametan pagi….

  11. Selamat pagi,
    Sugeng enjang,
    Good Morning
    Tapi yang paling afdol
    Assalamualaikum wr. wb.
    poro kadang semua.

  12. Kangmas Satpam, kapan gandok dibuka?

    • Waktu jam istirahat Adimas Honggo…

      hadu…., bisa kuwalat aku, kaya jambu mete, kepala di bawah.

  13. Assalamu’alaikum wrwb.
    Sugeng enjang sedoyo sanak sederek ingkang minulyo, …….. poro beghawan,poro ajar, poro janggan, poro putut, poro kyai, poro nyai, poro cantrik, poro mentrik, sugeng makaryo, mugi rahayu ingkang tansah pinanggih.
    Wassalam

    • Amin…..

  14. assalamualaikum,
    kagem ki gede, nyi senopati, ki arema, ki ismoyo, ki p satpam lan sedoyo pendiri n pendukung situs ini, mita mengucapkan terimakasih banyak karena melalui situs ini opa mita jadi tau kabar ‘teman lama’nya yaitu agung sedayu n mahesa agni ..opa pernah baca di masa mudanya tapi ‘ngga tutug’ katanya …

    benernya dah lama pengen ngucapin ini tapi takuuuut 😦 biiiznya komunitasnya sepertinya dah bapak2 n cewenya dikiiit … tapi takut klo situs ini keburu tutup krn kehabisan rontal, mita paksain diri tuk ngetik ini … takut ga punya kesempatan lagi tuk ngucapin ‘maturnuwun sanget nggih’ ( benernya pengen ngetik ini dalam bhs kromo inggil tapi ternyata cucaaaah deh, pdhl mita wong solo asli loh .. jadi maluuuu ) sekali lagi maturnuwun sanget nggih wassalam

    • Mita, ayo tak kancani mlayu.. Ayo.. cepet sebelum dikerumuni bapak-bapak dan opa-opa.

      • Kulo tak mbuntut-i njihh…..

    • Ha.. ha.. ha..

      Calon mentrik takut, krn “komunitasnya sepertinya dah bapak2 n cewenya dikiiit”

      Nyi, tenang aja ada SatPamnya kok, paling2 kalau gandok baru belum dibuka, baru desak2an.

      • Bêtul… bêtul… bêtul…
        nanti kalau ada yang nakal tak jèwèré

        hé hé hé , apa bêrani ya kalau yang nakal itu Ki Truno.

        • Wah, sudah terlambat, mita! Lha angger satpame ya melu ngrubung terus pan njaluk tulung sapa jajal?

          • lho….?!?!?
            lha niki badhé nulungi jé
            malah didakwä ngrubungi
            nasib….! nasib…!

          • Njaluk tulung kulo Jeng…

          • nulung ngrubungi…

          • hadu…….
            Tak wanèk-wanèkké wis

            Ki Menggung dan Ki Pandanalas kalau nakal nanti tak jèwèr

          • monggo…Pak Lik..

            aku ki sakjane ge gemez ro Padmi….nek cedhak arep dak kuwes2 tenan

          • tinimbang dirubung semut…

    • He he he, ……….. Mita pasti takut sama Ki Pandanalas ya!. Itu hanya nampak dari luarnya saja menakutkan (Kumisnya mbaplang, motone mblalak2) Dhik Mita, tapi njeronya itu alus lho! Suwer, …. coba tanyao Bu Guru Ken Padmi yang masih berkerabatan!

      • kulo mpun setunggal kemawon…Nimas Padmi…

        mpun mboten badhe pindah ke laen hati

        • suwèèèèrrr…..!?

  15. Atau takut sama Ki Rangga Widura? Halah dia itu cuma suwaranya aja yang menggelegar, tapi ajiannya udah mentok gak bisa lewih sekti neh.

    • Ada lagi yang suka bengak-bengok, ….. Mita ra sah wedi, …….. Kasih aja rujak cingur yang pedes, pasti diam. Kalo Ki Rangga Widura kasih aja pecel madiun juga yang puedes poll pasti minta nambah!

      • Pantesan bokongku senat-senut …. jebule disarani Ki Trupod ….
        Denger suata pecel …. langsung melek mataku … tangi bethetku! Hiks ..

  16. Ha ha ha ….
    sudah ada dua cantrik yang nyanggong di muka gandok 115.
    baru selesai dicat, sebentar lagi kering.
    nunggu cat kering berapa menit ya?
    sabar…, yang belum sholat, sholat dulu, yang belum makan, makan dulu.

    • Gerbang hlhlp-115 tidak terlalu kuat …
      Monggo dijebol kemawon ….
      Ajiku Gundolo Geni pasti mengungguli Brojo Geni maupun Gundolo Sosro …

      Mari pindah ….

      • Ajian kulo Ki Gundal gandul njih mpun siap Ki….

        • tinggal disemprotke nggih ki


Tinggalkan komentar