PKPM-11

<< kembali | lanjut >>

PKPM-11

Laman: 1 2 3 4

Telah Terbit on 29 April 2015 at 00:01  Comments (223)  

The URI to TrackBack this entry is: https://pelangisingosari.wordpress.com/pkpm-11/trackback/

RSS feed for comments on this post.

223 KomentarTinggalkan komentar

  1. He he, mendhului Pak Dalang. Kalau Ki Pak Satpam tidak boleh, jeruk-makan jeruk.

    • He he he …., monggo….

      • he…he…he….mangga…..

        • hup…….meloncat lewat dinding pagar (mengintai suasana padepokan)

          • sepi

  2. he….he….he…..
    make compi umum di bandara Halim lancar masuk gandhok.
    Berarti bener Pak Satpam kalau masalahnya ada padaku sendiri.

  3. Pagi itu suasana Kademangan Randu Agung terlihat begitu lengang dan sepi, sudah beberapa hari itu para penduduknya telah pergi mengungsi ketempat yang menurut mereka lebih aman, karena tersiar kabar bahwa prajurit Majapahit akan kembali menyerang.

    Namun sebelum mengungsi, mereka masih sempat memanen hasil padi mereka dan telah membawanya ke tempat pengungsian masing-masing.

    Empu Nambi dan para pendukungnya telah berada di puri pasanggrahan milik Ki Banyak Wedi yang telah dirubah menjadi sebuah benteng pertahanan yang amat kuat.

    Tersiar sebuah berita bahwa pasukan besar prajurit Majapahit hari itu telah bergerak dari Kademangan Japan menuju bumi Lamajang.

    “Hari ini para prajurit Majapahit telah bergerak meninggalkan Kademangan Japan”, berkata Panji Samara kepada Empu Nambi dan beberapa orang pimpinan pasukan pendukungnya.

    “Ada tiga kesatuan pasukan kerajaan Majaphit, kesatuan pasukan Jala Rananggana, pasukan Jala Pati dan pasukan Jala Yudha. Dari kesatuan manakah yang kali ini akan kita hadapi ?”, bertanya Empu Nambi kepada Panji Samara.

    “Sesuai pengamatan para petugas delik sandi, mereka dari kesatuan Jala Rananggana”, berkata Panji Samara.

    “Berarti kita akan berhadapan dengan Tumenggung Jala Rananggana”, berkata Empu Nambi sambil memandang kearah putranya seperti ingin membaca isi hati dan perasaannya saat itu setelah mendengar yang akan dihadapinya adalah ayah mertuanya sendiri.

    “Nampaknya Mahapatih Dyah Halayuda sengaja membenturkan kita dengan orang sendiri”, berkata Adipati Menak Koncar.

    “Pertempuran ini adalah permainannya, dan kita telah terjebak masuk kedalam permainannya”, berkata Empu Nambi di hadapan para pimpinan pasukan pendukungnya itu.

    “Apa yang diinginkan oleh Mahapatih Dyah Halayuda dalam pertempuran ini ?”, bertanya Panji Wiranagari kepada Empu Nambi.

    “Mengosongkan istana Majapahit dari para ksatria penjaganya, aku berharap semoga masih ada ksatria yang dapat melindungi Raja Jayanagara”, berkata Empu Nambi sambil memandang jauh kedepan, memandang tanah rumput di halaman luas yang masih basah oleh gerimis panjang semalaman.

    Mendengar penuturan Empu Nambi telah membuat semua orang berpikir dan merenung. Diam-diam dikepala mereka membenarkan pikiran Empu Nambi tentang kecerdikan Mahapatih Dyah Halayuda untuk mencapai tujuan akhirnya, menguasai istana Majapahit.

    Sementara itu terlihat seekor elang jantan terbang melintas dari arah hutan Randu Agung menuju arah timur langit dan berputar-putar di padang ilalang Ledoktempuro.

  4. “Kita akan menyongsong mereka di padang Ledoktemporo”, berkata Empu Nambi dihadapan para pimpinan pasukan pendukungnya.
    “Mengapa kita tidak menunggu mereka di benteng ini ?”, bertanya Adipati Menak Koncar

    “Mungkin Ki Lurah Bancak dapat memberikan gambaran yang jelas kepada kalian”, berkata Empu Nambi kepada seorang lelaki tua disampingnya yang masih terlihat tegar meski rambut putih sudah memenuhi seluruh kepalanya. Ternyata lelaki tua itu adalah Ki Bancak, seorang mantan prajurit Majapahit yang sengaja diutus langsung oleh Tumenggung Mahesa Semu sebagai penghubungnya.

    “Ada dua kekuatan saat ini telah berada dalam kendali Ra Kuti, kesatuan pasukan Jala Pati dan sebuah pasukan tersembunyi. Dua kekuatan ini dipastikan akan segera menguasai istana Majapahit. Sementara kesatuan pasukan Jala Yudha di benteng Tanah Ujung Galuh diam-diam telah diyakinkan oleh Tumenggung Mahesa Semu berada di pihak kita. Harapan Tumenggung Mahesa Semu adalah bahwa pasukan Empu Nambi dapat memancing Mahapatih Dyah Halayuda menurunkan satu dari kekuatan mereka ke Tanah Lamajang agar ada keseimbangan perlawanan bila Ra Kuti benar-benar melaksanakan rencana busuknya, menguasai istana Majapahit”, berkata Ki Bancak menyampaikan berita dari Tumenggung Mahesa Semu.

    “Untuk memancing salah satu pasukan Ra Kuti keluar dari sarangnya adalah memenangkan pertempuran kita di padang Ledoktempuro, bukan bertahan di benteng Randu Agung ini”, berkata Empu Nambi menambahkan penjelasannya.

    “Bilamana darahku tumpah di padang Ledoktempuro, atau tubuhku tercabik-cabik, seluruh keturunanku akan bangga bahwa leluhurnya mati di tanah kebenaran”, berkata Panji Wiranagari dengan penuh semangat.

    “Aku akan mengobarkan seluruh pasukanku, bahwa yang kita perangi adalah para penghianat yang ingin menjual bumi Majapahit ini”, berkata Panji Anengah dengan suara yang cukup lantang sambil mengangkat tangannya tinggi-tinggi.

    “Aku akan berada bersama pasukanku, tidak akan mundur sebelum memenangkan pertempuran ini”, berkata Panji Samara tidak kalah semangatnya dari kedua kawannya itu, Panji Wiranagari dan Panji Anengah.

    “Aku haru bahagia mendengar semangat kalian, mata dan hati kalian saat ini telah terbuka bahwa pertempuran ini bukan sekedar membela dan melindungi sepenggal kepalaku yang sudah tua dan tiada berarti ini. Pertempuran kita adalah sebuah pertempuran suci membela dan melindungi bahtera Majapahit ini keluar dari angin badai yang ditaburkan oleh para penghianat, para pendusta besar yang punya kulit dan mata sama seperti kita, lahir dan tumbuh di bumi tercinta ini, namun punya hati dan pikiran yang sangat kejam, lebih kejam dari prajurit bangsa Mongol yang pernah kita perangi dan kita usir dari tanah kita tercinta ini”, berkata Empu Nambi di hadapan para pimpinan pasukan pendukungnya.

    Perkataan Empu Nambi seperti sebuah sirep, membuat semua orang terdiam merenung dan membisu.

    • libur tiga hari, enaknya kemana ya ??, hehe

  5. enakan di depan komputer, browsing2 dan nunggu lontar turun..hehehe, suwun ki…

  6. Bercanda dengan Si Cantik mungil dan Permaisuri Ki Dalang, masak ndalng terus?

    • betul,betul, betul Ki BP, masalahnya kalo enggak ngedalang, masih ada yang belum pas, hehehe

      • Masa Gajahmada ikut2an pawai May Day……??

  7. Sementara itu pasukan Majapahit telah bergerak mendekati arah hutan Ledoktempuro, iring-iringan besar itu bergerak seperti seekor Naga besar. Mahapatih Dyah Halayuda berada di dalam pasukan itu, sebuah pasukan gabungan terdiri dari pasukan Ki Jabung Terewes yang masih tersisa dan sebuah pasukan yang sangat kuat dari kesatuan pasukan Jala Ranaggana.

    Hutan Ledoktempuro berada di sebelah timur Kademangan Randu Agung. Untuk mendatangi Kademangan Randu Agung harus melewati sebuah padang yang cukup luas.

    Setelah menempuh perjalanan yang cukup jauh dari Kademangan Japan, terlihat pasukan besar prajurit Majapahit itu langsung membuat sebuah perkemahan di hutan Ledoktempuro.

    “Sebuah pasukan yang sangat besar”, berkata seorang prajurit Lamajang yang sudah cukup lama menunggu kedatangan pasukan Majapahit itu di sebuah semak belukar yang tersembunyi.

    “Kita harus segera melaporkannya ke benteng Randu Agung”, berkata seorang kawannya.

    Maka terlihat dengan berendap-endap keduanya telah keluar dari tempat persembunyian mereka menuju ke tempat kuda-kuda mereka.
    Tidak lama kemudian kedua prajurit Lamajang itu sudah terbang diatas kudanya menuju benteng Randu Agung.

    “Semua sesuai dengan rencana semula, kita akan menyongsong mereka di padang Ledoktempuro”, berkata Empu Nambi kepada para pimpinan pasukannya sambil menyampaikan beberapa hal penting menyusun siasat dan gelar perang mereka menghadapi pasukan Majapahit yang sangat besar itu

    Terlihat para pimpinan pasukan Empu Nambi berpamit diri satu persatu untuk meneruskan jalur perintahnya kepada para ketua kelompok masing-masing.

    Hingga akhirnya diatas pendapa benteng Randu Agung itu hanya tersisa Empu Nambi dan putranya, Adipati Menak Koncar.
    “Apakah kamu siap menghadapi pertempuranmu, wahai putraku ?”, bertanya Empu Nambi kepada Adipati Menak Koncar.
    “Aku siap lahir dan bathin, wahai ayahandaku”, berkata Adipati Menak Koncar.

    “Juga bilamana dalam pertempuran besar itu berhadapan muka dengan ayah mertuamu sendiri ?”, bertanya kembali Empu Nambi.
    “Bukankah ayahanda selalu mengatakan bahwa seorang prajurit harus melupakan perasaannya ?, mengutamakan kejernihan pikirannya ?. Aku akan berdiri di dalam pertempuranku sebagai seorang prajurit sejati, berdiri sebagai seorang ksatria utama dibelakang kebenaran hakiki, kebenaran sebuah cita-cita agung Kerajaan Majapahit ini, meski yang kuhadapi adalah ayah mertuaku sendiri”, berkata Adipati Menak Koncar.

    Terlihat Empu Nambi tersenyum memandang wajah putranya dalam-dalam.

  8. suwun mbah…

  9. Dan malam itu hujan turun begitu lebatnya mengguyur bumi Lamajang seperti ditumpahkan dari langit yang retak.

    Seperti biasa, hujan yang sangat lebat itu memang tidak begitu lama, sebentar saja awan hitam dilangit sudah menjadi tiris menyisakan gerimis yang turun di bumi hingga di penghujung malam.
    Perlahan langit kembali cerah, sang bintang kejora terlihat muncul di langit timur.

    Bumi pagi masih sangat gelap, namun kesibukan sudah terlihat di dapur umum benteng Randu Agung. Nampaknya para petugas hari ini harus sudah menyiapkan ransum para prajurit yang akan segera turun ke medan pertempurannya di padang Ledoktempuro.

    Wajah obor di depan gubuk-gubuk prajurit terlihat pucat pasi terkena cahaya matahari pagi manakala terdengar suara bende yang berputar-putar berdengung membentur dinding-dinding pagar batu benteng Randu Agung.

    Suara bende pertama itu adalah suara panggilan para prajurit untuk segera berkumpul di halaman muka benteng Randu Agung. Terlihat para prajurit Lamajang tengah berlari memenuhi halaman muka benteng Randu Agung itu masuk ke dalam kelompok pasukannya masing-masing.

    Terlihat Empu Nambi duduk diatas punggung kudanya di barisan terdepan bersama putranya, Adipati Menak Koncar. Ayah dan anak itu seperti dua orang kembar, sama-sama membawa sebuah cakra di tangan kanannya dan seekor kuda yang sama-sama berwarna hitam. Keduanya sama-sama gagahnya duduk diatas punggung kuda masing-masing, yang membedakan keduanya adalah warna rambut dan garis kerut di wajah mereka.

    Melihat kesiapan para pasukannya yang berjajar memanjang, terlihat Empu Nambi menganggukkan kepalanya sambil tersenyum kearah Adipati Menak Koncar.

    Nampaknya anggukan kepala itu sebuah pertanda bagi Adipati Menak Koncar. Terlihat Adipati Menak Koncar mengangkat tinggi-tinggi senjata cakranya seperti ingin membenturkannya di dinding langit pagi sambil berteriak keras memberikan aba-aba yang diikuti oleh suara bende yang bergulung-gulung memenuhi udara di sekitar halaman benteng Randu Agung itu.

    Mendengar suara bende yang kedua kalinya itu telah langsung membuat gerakan tangan para prajurit meraba senjata dan segala peralatan yang harus mereka bawa ke medan pertempuran, salah satu tertinggal adalah bencana bagi diri mereka, bahkan bencana untuk kawan-kawan mereka sendiri.

    Melihat senjata cakra yang diangkat tinggi-tinggi, telah membuat Panji Anengah, Panji Samara dan Panji Wiranagari seperti kembali di masa-masa muda mereka dalam sebuah pasukan khusus dibawah kendali Empu Nambi, seorang pemimpin yang sangat mereka hormati, seorang pemimpin yang sangat mereka kagumi. Yang selalu mengayomi kehidupan mereka, yang sangat bersahaya melebur bersama dalam suasana suka dan duka bersama mereka. Sementara pimpinan mereka saat itu tengah disingkirkan dan dipinggirkan bahkan di buru sebagai seorang pendosa.

  10. Matur Suwun Ki Dalang

  11. Kembali bergema suara bende yang bergulung-gulung memenuhi benteng Randu Agung menabrak dan berputar searah dinding pagar batu yang membatasi keliling benteng Randu Agung yang sangat luas itu.

    Suara bende ketiga kalinya itu telah menggerakkan langkah kaki pasukan Empu Nambi.

    Derap gema suara langkah kaki, derap gema suara pangkal tombak kayu bersatu padu menghentak bumi seperti irama semangat yang bergelora memenuhi udara pagi, memenuhi jalan-jalan utama Kademangan Randu Agung yang dilewati oleh pasukan Empu Nambi yang berjalan berbaris panjang seperti seekor ular sanca raksasa meliuk-liuk merayap diatas jalan tanah melewati persawahan yang luas sepi ditinggalkan para petaninya yang sudah lama pergi mengungsi.

    Kibar warna-warni umbuk-umbul, rontek dan tunggul-tunggul membesarkan hati para prajurit pasukan Empu nambi, meneguhkan semangat dan kebanggaan hati mereka berada di belakang Empu Nambi, sang pahlawan besar mereka.

    Ular Sanca raksasa itu merayap terus kearah timur Kademangan Randu Agung menuju arah padang Ledoktempuro.

    Akhirnya pasukan besar pendukung Empu Nambi itu telah memasuki jalan desa terakhir Kademangan Randu Agung yang berujung di muka sebuah padang ilalang yang sangat luas, padang Ledoktempuro.

    Di sebelah timur padang Ledoktempuro adalah sebuah hutan yang lebat dengan pohon-pohonnya yang tinggi menjulang seperti menyanggah langit, menutup cahaya matahari pagi padang ilalang Ledoktempuro.

    Terlihat pasukan Empu Nambi telah memasuki padang ilalang Ledoktempuro dan berhenti tepat ditengahnya menghadap kearah hutan Ledoktempuro.

    Terdengar suara keras membahana dari Adipati Menak Koncar memberikan sebuah aba-aba perintah yang diikuti oleh para penghubung terus menjalar hingga kebarisan paling ujung , ternyata aba-aba itu adalah sebuah perintah untuk bergerak membentuk sebuah gelar perang.

    Dalam waktu yang amat singkat barisan pasukan Empu Nambi terlihat bergerak membentuk sebuah gelar perang yang amat sempurna, gelar Garuda Nglayang.

    Tegak berdiri dengan pandangan lurus kedepan, pasukan Empu Nambi telah siap menantang musuh-musuh mereka yang akan muncul dari kegelapan hutan Ledoktempuro di ujung tepi timur batas padang ilalang yang sangat luas itu.

    Desir angin pagi bertiup cukup keras mengibarkan umbul-umbul, rontek dan tunggul-tunggul di tangan setiap kelompok pasukan. Warna-warni dan aneka corak lambang umbul-umbul yang mereka bawa sebagai pertanda dari mana mereka berasal, para prajurit pengawal Kadipaten Lamajang, para prajurit Majapahit dibawah pimpinan Panji Anengah, Panji Samara dan Panji Wiranagari dan para cantrik perguruan Teratai Putih yang tersebar di Jawadwipa dan Balidwipa. Gabungan pasukan besar itu telah bersatu dan disatukan oleh setangkai daun jarak yang terikat di atas kepala mereka.

    • Suwun Ki Dalang, monggo dilanjut, tapi jangan lupa bercanda dengan Si Cantik dan Permaisuri.

  12. Dan tidak lama berselang, muncullah sebuah pasukan keluar dari hutan gelap bersama sorak sorai gemuruh suara penuh semangat.
    Itulah pasukan Majapahit yang telah keluar dari perkemahan mereka di hutan Ledoktempuro, muncul dalam barisan yang panjang seperti seekor naga raksasa keluar dari mulut hutan.

    Manakala ujung barisan mereka sudah terlihat, pasukan Majapahit itu langsung membentuk sebuah gelar sempurna, gelar perang yang tanggon, Dirada Meta.

    Terlihat Empu Nambi tersenyum memandang barisan musuh di hadapannya, sementara para pasukannya telah meraba senjata-senjata mereka, memastikan bahwa senjata itu masih berada dekat mereka. Sementara mereka yang membawa tombak panjang terlihat tidak lagi memanggulnya diatas pundaknya, tapi sudah terangkat dan merunduk siap menghujam dada-dada musuh mereka.

    Seorang penghubung disebelah Empu Nambi terlihat mengibarkan benderanya ke kiri dan kekanan. Nampaknya seorang pimpinan pasukan tombak telah langsung memahaminya sebagai sebuah perintah untuk kelompoknya bergerak diam-diam duduk berjongkok di belakang barisan terdepan dengan posisi mata tombak miring meruncing.

    Kibar bendera pasukan Empu Nambi nampaknya diartikan oleh Mahapatih Dyah Halayuda bahwa pasukan musuh telah siap bergerak, maka senapati agung pasukan Majapahit itu langsung mengangkat tangannya tinggi-tinggi sambil berteriak keras mengguntur.

    “Hancurkan pasukan pemberontak itu !!”, berteriak Mahapatih Dyah Halayuda memberi perintah.

    Terdengar suara gemuruh prajurit Majapahit menyambut perintah Senapati agung mereka. Dan padang Ledoktempuro seperti tergoncang manakala pasukan segelar sepapan itu telah bergerak berlari dan memburu pasukan musuh di hadapannya itu.

    Terlihat pasukan berkuda prajurit Majapahit dibarisan terdepan seperti membelah padang ilalang meninggalkan pasukan lainnya yang tengah berlari kencang dengan senjata terhunus telanjang ingin segera meluluh lantakkan dada musuh-musuh mereka.

    Layaknya seekor gajah raksasa mengamuk, begitulah pasukan besar Majapahit itu bergerak menerjang pasukan musuh didepan mereka.

    “Apakah mereka bermaksud untuk bunuh diri bersama ?”, berkata Dyah Halayuda dalam hati diatas kudanya yang tengah berlari melihat pasukan musuh diam tidak bergerak menyongsong terjangan mereka.

    Dyah Halayuda masih juga belum dapat menebak apa yang akan dilakukan oleh pasukan Empu Nambi itu yang tidak bergerak sedikitpun menghadapi pasukannya yang sudah menjadi semakin dekat itu.”Apakah mereka gentar dan menggigil takut melihat pasukanku ?”, berkata kembali Dyah Halayuda dalam hati penuh kebanggaan hati membayangkan pasukan besarnya sebentar lagi akan meluluh lantakkan pasukan Empu Nambi itu.

  13. “Gila, gila, gila !!”, mengumpat habis-habisan Ki Jabung Terewes yang berada di pasukan berkuda.

    Sebagaimana Ki jabung Terewes, hampir semua pasukan berkuda Majapahit itu terkejut tidak mampu lagi menahan laju kuda mereka.
    Nampaknya siapapun akan terkejut bukan kepalang, apalagi masih berada diatas punggung kudanya yang tengah berlari kencang, karena di barisan terdepan pasukan Empu Nambi tiba-tiba saja telah bergeser seperti gerbang pintu kayu terbuka melebar kekiri dan kekanan.

    Bukan main terkejutnya pasukan berkuda itu yang telah terperangkap tonggak-tonggak hidup dari ratusan tombak yang sebelumnya berada terhalang barisan yang bergerak membuka itu.

    Terlihat puluhan kuda tertusuk leher dan perutnya melemparkan penunggangnya jatuh ke tanah berguling-guling dengan badan dan tulang terasa remuk, bahkan beberapa orang langsung tidak bergerak lagi karena sebuah batu besar menghantam kepala mereka ketika terjatuh.

    Terdengar sorak sorai para pasukan Empu Nambi menyambut penuh kegembiraan hati melihat perangkap mereka berhasil gemilang memperdayai musuh mereka.

    Sementara itu barisan terdepan pasukan Empu Nambi yang bergeser ke kiri dan kekananmembuka pasukan tombak itu adalah bagian sayap pasukan dalam gelar Garuda Nglayang yang langsung bergerak menusuk lambung pasukan induk lawan dari sebelah kanan dan kirinya.

    Porak poranda kekuatan pasukan Majapahit yang berada di lambung pasukan induk itu di hantam sayap pasukan Empu Nambi.
    Gemeretak gigi Dyah Halayuda menahan rasa amarah yang meluap-luap melihat korban dipihaknya dalam gebrakan pertama itu dan langsung telah memerintahkan pasukannya mundur beberapa langkah membantu pasukan di lambung mereka yang terkoyak-koyak itu.

    Layaknya seekor gajah besar yang terguncang, perlahan telah dapat berdiri kembali tegak di empat kakinya. Pasukan Majapahit yang mundur teratur itu akhirnya telah kembali dalam gelarnya mengimbangi gerak gelar musuh mereka yang keras laksana seekor garuda raksasa menukik lincah mencakar dan mematuk mangsanya dari berbagai arah dan kokoh bergerak dalam kesatuan perintah senapati mereka, Empu Nambi.

    “Selamat datang Mahapatih baru Majapahit, maafkan bila sambutan kami tidak sesuai yang diharapkan”, berkata Empu Nambi diatas punggung kudanya menghadang kuda Mahapatih Dyah Halayuda.

    “Jangan merasa gembira dengan perangkap pasukan tombakmu, peperangan ini masih panjang”, berkata Mahapatih Dyah Halayuda memandang tajam Empu Nambi seperti tengah mengukur tingkat kemampuan mantan pejabat tinggi istana yang telah berhasil digantikan kedudukannya.

    “Peperangan ini memang masih panjang, kulihat pasukanmu sudah berdiri kembali di keempat kakinya”, berkata Empu Nambi sambil tersenyum membalas tatapan mata Dyah Halayuda yang menusuk itu.

  14. Mantep sanget ki dalang… Suwun

  15. “Menang atau kalah tidak kupikirkan dalam peperangan ini, yang kupikirkan bagaimana dapat membunuhmu”, berkata Dyah Halayuda sambil menghentakkan kudanya maju kedepan mendekati Empu Nambi.

    Dua trisula di tangan Dyah Halayuda terlihat menusuk kedua tempat sasaran yang berbeda, tubuh Empu Nambi dan perut kudanya.
    Namun kuda Empu Nambi adalah seekor kuda pilihan yang sudah sangat mengerti kemauan tuannya, terlihat kaki belakang kuda Empu Nambi bergeser menjauhi trisula, bersamaan dengan itu cakra ditangan Empu Nambi langsung bergerak menghantam trisula yang meluncur kearahnya.

    Trang !!

    Hampir saja Dyah Halayuda melepaskan trisulanya, merasakan telapak tangannya seperti tersengat panas yang menyengat.
    “Hem”, hanya suara dengusan itu saja yang terdengar dari bibir Empu Nambi yang dalam benturan pertama itu sudah dapat mengukur tingkat kemampuan lawannya itu.

    Sementara itu Dyah Halayuda terkejut bukan kepalang merasakan tataran tenaga sakti sejati lawannya sudah begitu sangat tinggi melampau kemampuannya.

    Itulah sebabnya dalam serangan-serangan berikutnya, Dyah Halayuda selalu menghindari benturan. Cara bertempur Dyah Halayuda ini ternyata diketahui oleh Empu Nambi, terlihat cakra di tangan Empu Nambi menjadi lebih leluasa bergerak mengejar kemanapun tubuh Dyah Halayuda bergerak.

    Bertempur diatas kuda nampaknya kurang menguntungkan bagi Dyah Halayuda yang langsung terbang melesat seperti seekor elang mencengkeram dengan kedua cakar kakinya yang amat tajam.

    Trang, trang !!

    Bersamaan dengan loncatan Dyah Halayuda yang meninggalkan kudanya, terlihat Empu Nambi ikut meloncat meninggalkan kudanya seperti terbang menghadang dan menangkis kilatan trisula di tangan Dyah Halayuda.

    Luar biasa akibat dari benturan senjata trisula dan cakra itu, terlihat tubuh Dyah Halayuda terlempar empat langkah kebelakang dengan merasakan kedua tangannya terasa sangat perih.

    “Hem”, hanya itu suara yang keluar dari bibir Empu Nambi yang tegak berdiri tersenyum menatap lawannya yang tengah memperbaiki dirinya untuk tegak berdiri setelah limbung beberapa saat.

    Namun Dyah Halayuda memang seorang yang amat licik, tahu bahwa seorang diri tidak akan mampu menandingi Empu Nambi, telah memanggil Lembu Peteng dan ikal-Ikalan Bang.

    “hem”, hanya itu suara yang terdengar keluar dari bibir Empu Nambi menghadapi tiga orang penyerangnya itu.

  16. Sambil menghadapi ketiga penyerangnya, Empu Nambi masih sempat mengamati seluruh sisi pertempuran. Melihat kemapanan pasukan disayap kanannya yang dipercayakan kepada putranya, Adipati Menak Koncar. Sekilas Empu Nambi dapat menilai pasukan sayap kanannya itu telah dapat menekan kekuatan musuh mereka.

    Sebagaimana yang di lihat oleh Empu Nambi, ternyata pasukan sayap kanan yang dipimpin oelh Adipati Menak Koncar mampu menekan kekuatan lawan mereka yang dipimpin oleh seorang senapati pengapit dalam gelar Dirada Meta yang bernama Ki Jabung Terewes.
    Ki Jabung Terewes bersama pasukannya yang pernah dipukul mundur oleh para prajurit Lamajang beberapa waktu yang telah lewat itu memang bermaksud membalas dendam atas kematian anak buahnya dalam pertempuran sebelumnya itu, dan sangat kebetulan sekali yang dihadapinya dalam pertempuran kali ini sebagian besarnya adalah para prajurit dari Lamajang.

    Namun yang dihadapi oleh Ki Jabung Terewes adalah Adipati menak Koncar yang punya banyak pengalaman bertempur, seorang pemimpin pasukan yang hebat mengendalikan sebuah pasukan besar.Beberapa kali Ki Jabung Terewes seperti hilang akalnya menghadapi berbagai jebakan dan perangkap pasukan yang berada didalam kendali Adipati Menak Koncar ini yang kadang menyusut melengkung membentuk jurang menganga, begitu pasukan musuh masuk tiba-tiba saja pasukan Adipati Menak Koncar seperti air bah gelombang besar menghantam dan menjepit pasukannya. Dan korbanpun berjatuhan tidak sedikit di pihak pasukan Ki Jabung Terewes itu.

    Sambil bertempur menghadapi tiga orang penyerangnya, terlihat Empu Nambi tersenyum penuh kebanggaan hati bahwa putranya dengan sangat cerdasnya mengendalikan pasukannya, mengatur seluruh kekuatan pasukannya.

    Sementara itu di sayap kiri pertempuran, Empu Nambi sempat mengamati suasana pertempuran disana. Telah melihat bahwa Panji Wiranagari yang dipercayakan memimpin pasukan sayap kirinya itu mampu mengimbangi pasukan lawan.

    “Syukurlah, mereka tidak bertemu muka dalam pertempuran ini”, berkata Empu Nambi dalam hati menarik nafas lega manakala melihat seorang senapati musuh yang menghadapi sayap kirinya adalah besannya sendiri, Tumenggung Jala Rananggana.

    Perlahan tapi pasti, gelar Garuda Nglayang pasukan Empu Nambi dapat mendesak gelar perang Dirada Meta yang sangat kuat itu, terutama berkat tekanan yang kuat di sayap kanan pasukan Adipati Menak Koncar yang memaksa Dyah Halayuda memerintahkan beberapa orang prajuritnya yang berada di pasukan induknya bergeser membantu pasukan Ki Jabung Terewes yang tertekan itu.

    Akibatnya pasukan Empu Nambi di bagian paruh dan kepala gelar perangnya dapat memukul pasukan Majapahit yang menyusut itu. Telah dapat mendesak mundur pasukan Majapahit hingga empat tumbak dari garis awal pertempuran.

    “Sedari awal aku memang belum yakin kemampuan orang sombong itu ditempatkan sebagai senapati pengapit di gelar perang ini”, berkata dalam hati Tumenggung Jala Rananggana penuh rasa khawatir.

  17. Sementara itu matahari diatas padang Ledoktempuro telah bergeser turun kearah barat cakrawala, dentang senjata beradu dan suara gemuruh peperangan begitu riuh memenuhi padang Ledoktempuro. Sorak dan sorai suara prajurit masih silih berganti dari kedua pasukan manakala kemenangan berpihak diantara mereka. Hanya saja sorak dan sorai pasukan Empu Nambi lebih banyak terdengar dibandingkan pasukan Majapahit yang dipimpin langsung oleh Dyah Halayuda.
    Suara riuh dan gemuruh peperangan itu masih terdengar dari ujung tepi hutan diujung timur padang Ledoktempura. Namun akan menjadi semakin senyap hilang dari pendengaran manakala telah masuk lebih jauh lagi ke tengah jantung hutan itu, ketempat perkemahan besar pasukan Majapahit yang saat itu hanya di jaga oleh sekitar seratus orang prajurit, termasuk didalamnya para juru masak yang bertugas menyiapkan ransum untuk para prajurit.

    Terlihat beberapa prajurit tengah sibuk menyiapkan masakan di depan gubuk mereka, sementara beberapa orang prajurit di beberapa tempat tengah berjaga, memastikan perkemahan mereka dalam keadaan aman tanpa gangguan apapun.

    Namun para prajurit Majapahit di perkemahan itu tidak menyadari sama sekali bahwa ribuan mata sudah sejak lama mengintai disekitar mereka.

    Entah dari mana arah datangnya, terlihat seorang lelaki berjalan mendekati tiga orang prajurit yang tengah menyiapkan rusa panggang tidak jauh dari gubuk mereka.

    “Siapa kamu !!”, berkata dengan suara keras sambil berdiri salah seorang dari ketiga prajurit itu yang melihat pertama kali seorang lelaki yang telah begitu dekat dengan perapian mereka.
    Dengan sigap, kedua temannya ikut berdiri menatap tajam lelaki asing itu.

    “Siapa aku ?, apakah begitu penting sebuah namaku ?”, berkata lelaki asing itu penuh senyum ringan.

    “Terlarang bagi orang asing memasuki perkemahan kami, jangan-jangan kamu adalah pihak musuk yang sengaja datang mengganggu”, berkata salah seorang kawan prajurit yang pertama kali berdiri.

    “Ternyata senjata prajurit Majapahit hanya sebuah pisau dapur biasa”, berkata lelaki asing itu sambil tersenyum memandang pisau dapur yang digenggam oleh ketiga prajurit itu.

    “kami baru saja menyayat daging rusa, sebut siapa kamu sebelum pisau ini akan menyayat tubuhmu”, berkata salah seorang dari ketiganya.

    “Pasang telinga kalian, sebagai seorang prajurit Majapahit pasti kalian pernah mendengar nama Rangga Pamandana, seorang mantan prajurit Majapahit dari kesatuan pasukan Jala Yudha”, berkata lelaki asing itu yang ternyata adalah Rangga Pamandana, salah seorang perwira prajurit Majapahit yang telah membelot berada di belakang pasukan Empu Nambi.

    Sebagai seorang prajurit Majapahit, nampaknya mereka bertiga memang pernah mendengar nama Rangga Pamandana. Seketika itu juga wajah ketiganya langsung berubah menjadi pucat pasi.

    • Mantap Ki,suwun

  18. suwun ki, mantaap

  19. Rangga Pamandana tersenyum melihat perubahan wajah ketiga prajurit itu.

    Namun ketiga prajurit itu mulai sadar akan tugas dan kewajibannya sebagai seorang prajurit yang harus menjaga dan mengamankan perkemahan mereka.

    “Apa yang tuan inginkan di perkemahan kami ?”, bertanya salah seorang prajurit itu yang sudah dapat mengendapkan perasaan jerihnya kepada Rangga Pamandana itu.

    “Aku ingin merampok gudang persediaan kalian”, berkata Rangga Pamandana dengan suara datar tanpa tekanan mengancam.
    Mendengar perkataan Rangga Pamandana, ketiganya saling berpandangan satu dengan yang lainnya.

    “Kami bertiga mungkin bukan tandingan tuan, namun kami dapat memanggil kawan-kawan kami yang lainnya”, berkata salah seorang prajurit kepada Rangga Pamandana.

    “Cepat kamu panggil mereka, aku tidak akan lari selangkahpun dari tempatku berdiri”, berkata Rangga Pamandana.

    Mendengar perkataan Rangga Pamandana, langsung seketika salah seorang prajurit langsung berlari ke sebuah gubuk dan langsung membunyikan kentongan yang ada di depan gubuk itu.

    Maka terdengarlah suara kentongan bernada panjang berputar-putar memenuhi seluruh perkemahan dari ujung satu ke ujung lainnya.

    Dan dalam waktu yang singkat seratus orang prajurit Majapahit sudah berkumpul dihadapan Rangga Pamandana.

    “Kutawarkan kepada kamu untuk menyerahkan diri tanpa perlawanan”, berkata seorang kepala prajurit di perkemahan itu kepada Rangga Pamandana.

    “Bagaimana bila terbalik aku yang menawarkan kepada kalian untuk menyerahkan diri tanpa perlawanan”, berkata Rangga Pamandana masih dengan sikap tenang tanpa merasa gentar sedikitpun menghadapi seratus orang prajurit Majapahit itu.

    “Apa yang kamu miliki sehingga berani menawarkan hal demikian kepada kami ?”, berkata kepala prajurit itu sudah mulai tidak sabaran menghadapi sikap Rangga Pamandana itu.

    “Aku memiliki pasukan besar sepuluh kali lipat dari jumlah kalian”, berkata Rangga Pamandana menjawab kalem.

    “Omong kosong !!”, berkata kepala prajurit itu dengan nada membentak menganggap ucapan Rangga Pamandana hanya untuk mengulur-ulur waktu.

    “Aku berkata benar”, berkata Rangga Pamandana sambil langsung bersuit panjang.

    Terkejut para prajurit yang ada diperkemahan itu, ternyata Rangga Pamandana tidak beromong kosong.

  20. Ternyata suitan panjang Rangga Pamandana itu adalah untuk memanggil para pasukan. Terlihat bermunculan dari semak dan belukar beberapa orang seperti hantu di siang hari bolong, setiap kepala bercirikan daun jarak yang terikat kuat. Dan benar-benar berjumlah sepuluh kali lipat dari jumlah prajurit Majapahit yang berada di perkemahannya.

    “Kuulangi lagi tawaranku, menyerah tanpa perlawanan”, berkata Rangga Pamandana setelah seluruh pasukannya telah berkumpul di belakangnya.

    Mendengar tawaran dari Rangga Pamandana itu, beberapa orang masih berpikir-pikir, beberapa lainnya hanya menunggu suara terbanyak dari kawan-kawannya, sementara yang terbanyak adalah yang tidak berpikir apapun kecuali rasa takut yang amat sangat membayangkan menghadapi jumlah musuh yang sepuluh kali lipat dari jumlah mereka.

    “kami prajurit Majapahit, tidak akan gentar menghadapi musuh”, berkata kepala prajurit Majapahit itu sambil meloloskan pedangnya dan mengangkatnya tinggi-tinggi seperti ingin menusuk dinding langit.

    Nampaknya suara kepala prajurit itu seperti sebuah perintah, seketika itu juga seratus prajurit Majapahit itu telah ikut meloloskan pedang di pinggang mereka, melupakan rasa takut, melupakan kebimbangan hati dan melupakan pikiran apapun selain siap menghadapi apapun yang terjadi.

    “Para prajurit yang sangat berani”, berkata Rangga Pamandana memuji sikap para prajurit Majapahit itu sambil melepaskan pedangnya memberi tanda kepada pasukannya untuk maju.

    Maka pertempuran memang tidak dapat dihindari lagi, seratus orang prajurit Majapahit memang telah menunjukkan keberaniannya.
    Denting suara pedang saling beradu, caci maki dan bentakan kasar adalah suara peperangan di arena perkemahan itu.

    Namun apalah artinya seratus orang prajurit menghadapi seribu orang pasukan Rangga Pamandana ?

    Apalah artinya seratus prajurit Majapahit kelas dua dalam lingkungan keprajuritan, para juru masak dan para prajurit penjaga biasa ?

    Sementara pasukan Rangga Pamandana itu adalah para prajurit pilihan, sebagian dari para prajurit dari Blambangan yang sengaja belum diterjunkan oleh Empu Nambi dalam pertempuran di hari pertamanya itu.

    Maka dalam waktu yang amat singkat pasukan Rangga Pamandana telah dapat menguasai medan pertempuran itu. Jumlah prajurit Majapahit terlihat semakin menyusut tajam, korban di pihak prajurit Majapahit seperti daun di musim kemarau panjang, telah terlihat berguguran, mati atau terluka parah diujung pedang pasukan Rangga Pamandana yang trengginas itu, yang punya banyak pengalaman bertempur, para prajurit terbaik dari Tanah Blambangan yang sangat terkenal itu.

    “Menyerahlah kalian”, berkata Rangga Pamandana dengan suara penuh wibawa kepada sepuluh orang prajurit Majapahit yang tersisa, yang sudah terkepung dalam lingkaran yang amat kuat.

    • matur suwun…..
      terima kasih …..

      kaaamsiiiiaaaaa …. aaaaaa…… aaaaa….. aaaaa……………..

  21. matur nuwun ki dalang…

  22. Suara keras Rangga Pamandana yang penuh kewibawaan itu seperti sebuah tangan kuat langsung merontokkan nyali dan taji keberanian sepuluh orang prajurit Majapahit yang tersisa itu. Seorang prajurit Majapahit dengan wajah yang sudah penuh rasa putus asa terlihat telah langsung melemparkan senjatanya.

    Nampaknya lemparan senjata tanda penyerahan diri salah seorang dari prajurit Majapahit itu seperti sirep yang amat kuat, kesembilan orang prajurit Majapahit langsung mengikutinya, melemparkan senjatanya jauh-jauh dari jangkauan dirinya sendiri.

    “Ikat mereka semua, dan kosongkan gudang persediaan mereka”, berkata Rangga Pamandana memerintahkan pasukannya.
    Maka dalam waktu yang amat singkat itu, terlihat pasukan Rangga Pamandana itu telah membawa persediaan pangan yang ada di gudang perkemahan pasukan Majapahit itu.

    Kedatangan dan kepergian pasukan Rangga Pamandana itu benar-benar seperti hantu di siang hari bolong, mereka sudah hilang menyelinap di kerepatan hutan Ledoktempuro yang amat lebat itu, seperti hilang tertelan bumi.

    Sementara itu pertempuran di padang Ledoktempuro masih terus berlangsung dengan amat serunya. Sorak sorai prajurit dari dua belah pihak saling silih berganti manakala sebuah kemenangan berhasil mereka raih, korbanpun sudah terlihat begitu banyak bergelimpangan di tanah, jerit dan teriakan terlontar seketika bersamaan rasa sakit yang amat sangat manakala tebasan sebuah pedang melukai tubuh para prajurit dari kedua belah pihak.

    Dan dari sorak sorai yang pernah terdengar, sorak sorai kali ini terdengar begitu riuh, begitu sangat bergemuruh dari sebelumnya. Terdengar dari pasukan yang bertempur di sayap kiri berasal dari suara pasukan yang dipimpin langsung oleh Adipati Menak Koncar.

    Ternyata suara riuh itu terdengar manakala terlihat cakra di tangan Adipati Menak Koncar membentur dada Ki Jabung Terewes yang langsung terlempar dan berguling-guling diatas tanah dan diam tak bergerak lagi.

    Sebenarnya Ki Jabung Terewes belum mati, hanya terluka parah. Namun suara pasukan di pihak Empu Nambi telah berteriak penuh kegembiraan bahwa Ki jabung Terewes telah terbunuh.

    “Senapati musuh terbunuh, senapati musuh terbunuh !!”, berteriak para pasukan di sayap kiri pimpinan Adipati Menak koncar itu bergemuruh terdengar oleh semua orang yang tengah bertempur di padang Ledoktempuro itu.

    Suara riuh kemenangan itu terdengar juga ditelinga Mahapatih Dyah Halayuda yang tengah bertempur menghadapi Empu Nambi.

    “Lembu Peteng, pimpinan kuserahkan kepadamu menggantikan Ki Jabung Terewes”, berkata Dyah Halayuda kepada Lembu Peteng yang tengah membantunya menghadapi Empu Nambi.

    • kaaamsiiiiaaaaa …. aaaaaa…… aaaaa….. aaaaa……………..

  23. Terlihat Lembu Terewes langsung meloncat bergeser kearah sayap kiri gelar mereka.

    Menghadapi dua orang penyerangnya membuat Empu Nambi dapat merasa lebih ringan dan leluasa mengamati seluruh keadaan medan pertempuran, memberikan perintah-perintahnya lewat jalur penghubungnya.

    Empu Nambi dapat melihat keadaan pertempuran di sayap kanannya, ternyata kepemimpinan Lembu Peteng tidak dapat merubah keadaan, bahkan membuat lebih parah lagi keadaan dimana para prajurit Lamajang di bawah kepemimpinan Adipati Menak Koncar telah semakin menusuk kearah lambung pasukan induk mereka.

    Berdebar perasaan hati Dyah Halayuda, membayangkan lambung gelar Dirada Meta sampai robek tidak mampu menahan tekanan sayap kanan pasukan Empu Nambi itu.

    Terlihat Empu Nambi tersenyum di kulum manakala mendengar perintah Dyah Halayuda untuk memperkuat sayap kiri mereka.

    Sementara itu Empu Nambi masih melihat keseimbangan pertempuran di sayap kirinya, nampaknya Tumenggung Jala Rananggana mampu mengimbangi kekuatan pasukan yang berada di bawah pimpinan Panji Wiranagari dan Panji Anengah. Mereka nampaknya berasal dari induk jalur tata gelar yang sama, jadi seperti dapat saling membaca setiap gerak lawan, karena mereka sama-sama para prajurit Majapahit yang berada di pihak yang berseberangan.

    “Sayang hawa murniku sudah terkuras hampir setengahnya oleh Gajahmada”, berkata dalam hati Dyah Halayuda ketika menghindari setiap benturan senjata Empu Nambi, hanya mengandalkan kecepatan dan kegesitannya bergerak.

    Namun tiba-tiba saja suara sorak dan sorai kembali terdengar diujung kiri sayap pasukannya yang dipimpin oleh Lembu Peteng. Berdebar perasaan hati Dyah Halayuda manakala mendapat berita dari penghubungnya bahwa Lembu Peteng gugur terhantam cakra Adipati Menak Koncar di kepalanya.

    “Orang-orang bodoh !!”, berkata Dyah Halayuda kepada seorang penghubungnya.

    “masih ada seorang kawanmu ini menggantikan orangmu yang gugur itu, sehingga kita bisa lebih leluasa berhadapan satu lawan satu”, berkata Empu Nambi dengan senyum menggoda.

    “Kurobek mulutmu”, berteriak Dyah Halayuda penuh kemarahan sambil menerjang Empu Nambi seperti badai gelombang yang regulung-gulung.

    Trang !!

    Cakra Empu Nambi seperti tameng yang amat kuat menahan serangan yang amat dahsyat itu.

    Maka akibatnya berpulang kepada Dyah Halayuda yang langsung mundur dua langkah dari tempatnya berdiri sambil merasakan kedua tangannya bergetar pedih.

    “lambung pasukanmu sebentar lagi akan robek”, berkata Empu Nambi mengingatkan musuhnya.

  24. “Persetan dengan pasukanku, yang kuinginkan hari ini adalah membunuhmu”, berkata Dyah Halayuda sambil memerintahkan sepuluh orang prajuritnya membantu dirinya mengepung Empu Nambi seorang diri.

    Namun Empu Nambi berada bersama orang-orang yang setia kepadanya, tidak akan rela melihat Empu Nambi seorang diri menghadapi kecurangan itu. Terlihat beberapa orang setianya telah turun bersama menghadapi setiap musuh yang datang membantu Dyah Halayud. Termasuk mengambil alih menghadapi Ikal-Ikalan Bang.

    Akibatnya, Dyah Halayuda hanya seorang diri menghadapi Empu Nambi. Beruntung bahwa hati dan pikiran Empu Nambi setengahnya berada di medan pertempuran, mengendalikan seluruh pasukannya lewat jalur para penghungnya. Terlihat Empu Nambi dengan ringannya keluar dari serangan lawannya, hanya beberapa kali membuat tekanan-tekanan menembus pertahanan lawannya.

    Namun setengah hati perlawanan Empu Nambi telah menguras habis tenaga Dyah Halayuda. Melihat bahwa dirinya tidak akan mampu seorang diri menghadapi Empu Nambi, tiba-tiba saja Dyah Halayuda melompat jauh dan menyelinap diantara keriuhan suasana peperangan.

    “Manusia licik”, berkata Empu Nambi yang telah kehilangan jejak Dyah Halayuda.

    Bersama hilangnya Dyah Halayuda dalam pandangan Empu Nambi, terlihat seluruh pasukan Majapahit telah bergerak mundur dengan sebuah gelar membentuk sebuah lingkaran cakra besar yang terus bergerak mendekati arah hutan Ledoktempuro.

    “hari telah senja”, berkata Empu Nambi dalam hati sambil menatap mentari yang semakin surut diujung barat bumi.

    “Bila saja tidak datang senja, pasukan kita sudah berada diujung kemenangan”, berkata Adipati menak Koncar yang datang mendekati Empu Nambi.

    “masih ada waktu besok, wahai putraku”, berkata Empu Nambi dengan senyum penuh kebanggaan hati memandang putranya yang dilihatnya sangat cekatan dan cerdas mengendalikan sayap kanan gelar perang pasukannya.

    Sementara itu pasukan Majapahit sudah hampir seluruhnya masuk kedalam hutan, dipadang Ledoktempuro itu hanya tertinggal pasukan Empu Nambi.

    “Mari kita kembali ke benteng Randu Agung”, berkata EmpuNambi kepada Adipati Menak Koncar.

    Demikianlah, wajah senja yang buram mengiringi pasukan Empu Nambi meninggalkan padang Ledoktempuro, meninggalkan mayat-mayat musuh mereka, membiarkan orang-orang yang terluka dari pihak musuh mereka yang sebentar lagi akan dibawa oleh kawan-kawan mereka sendiri.

    Wajah bumi diujung senja perlahan semakin redup, iring-iringan pasukan Empu Nambi telah memesuki jalan utama Kademangan Randu Agung, tanpa suara, tanpa derap langkah kaki yang keras menghentak bumi. Sesekali wajah mereka menyapu hamparan persawahan yang sepi disisi perjalanan mereka.

    • siip

    • Ups… pagi-pagi sudah ada rontal mecungul dari Situ Cipondoh.

      Suwun …….!!!!!

      eh…., dua rontal lagi dong, biar bisa nutup senthong kiri.

      he he he …..

  25. Lanjut Ki, semakin penasaran sekaligus harap-harap cemas melihat ending Ki Sandikala.

  26. Sementara itu pasukan DyahHalayuda yang memasuki hutan Ledoktempuro sudah mendekati perkemahannya.
    Bukan main terkejutnya Dyah Halayuda manakala melihat para prajurit penjaganya sudah dalam keadaan terikat tangan dan kakinya.

    “Mereka telah merampok persediaan pangan kita”, berkata salah seorang prajurit penjaga bercerita apa yang terjadi di perkemahan tadi siang.

    Terlihat wajah Dyah Halayuda seperti terbakar merah, tidak berkata apapun selain bergeratak giginya menahan rasa amarah yang begitu amat hebat dan langsung menuju kearah gubuknya sendiri.

    Akhirnya dengan sangat terpaksa beberapa orang prajurit Majapahit itu harus nganglang dimalam hari berburu di hutan untuk mempersiapkan ransum para prajurit malam itu dan keesokan harinya.

    Kasihan memang keadaan para prajurit Majapahit itu, setelah seharian bertempur masih harus menunggu cukup lama, menunggu keberuntungan teman-teman mereka berburu di hutan.

    “Bukan Ki Sandikala bila tidak cerdik”, berkata Tumenggung Jala Rananggana dalam hati sambil berbaring di gubuknya memuji kecerdikan Empu Nambi yang sudah lama dikenalnya itu dalam masa-masa perjuangan menghadapi para prajurit Raja Jayakatwang.

    “Roda kehidupan memang sangat aneh, dulu aku dan Empu Nambi berada dalam satu barisan, sementara saat ini aku dan Empu Nambi berada di barisan terpisah dan berseberangan”, berkata kembali Tumenggung Jala Rananggana dalam hati.

    Namun baru saja Tumenggung Jala Rananggana memejamkan matanya yang sudah amat lelah itu, tiba-tiba saja datang seorang prajurit yang memintanya untuk menghadap Mahapatih Dyah Halayuda .

    “Sampaikan kepada Mahapatih, aku akan segera menghadap”, berkata Tumenggung Jala Rananggana kepada prajurit itu.

    Maka tidak lama berselang terlihat Tumenggung Jala Rananggana telah keluar dari gubuknya memenuhi panggilan Mahapatih Dyah Halayuda.

    Ternyata ketika Tumenggung Jala Rananggana sampai di gubuk Mahapatih Dyah Halayuda, dilihatnya sudah ada Ikal-Ikalan Bang dan beberapa perwira tinggi.

    “Dalam pertempuran besok, aku berharap Tumenggung Jala Rananggana tetap menjadi senapati pengapitku di sayap kiri dalam gelar Dirada Meta”, berkata Dyah Halayuda.

    Terlihat Tumenggung menarik nafas panjang, “Yang aku khawatirkan akhirnya terjadi juga”, berkata Tumenggung Jala Rananggana dalam hati membayangkan bahwa dalam pertempuran besok sudah dapat dipastikan dirinya akan berhadapan dengan anak menantunya sendiri, Adipati Menak Koncar.”Apa yang harus kukatakan kepada kedua putra mereka bila pedangku ternoda darah ayahnya ?”, berkata kembali Tumenggung Jala Rananggana membayangkan pertempuran yang akan dilaluinya itu.

  27. suwun ki dhalang…

  28. Dan malam itu bulan belum tua di langit Kademangan Pronojiwo, sebuah kademangan yang berada di kaki gunung Semeru.

    Di saat bumi Lamajang bergelora, Kademangan Pronojiwo menjadi tempat pengungsian bagi para warga Lamajang yang merasa yakin bahwa peperangan tidak akan menjalar hingga kesana. Mungkin karena letaknya berada di ujung paling barat, terpisah oleh sebuah hutan kecil dengan beberapa kademangan terdekatnya.

    Ternyata Empu Nambi sangat memperhatikan keselamatan para pengungsi dengan menempatkan tiga ribu pasukannya di Kademangan Pronojiwo itu.

    Rangga Pamandana oleh Empu Nambi dipercayakan memimpin pasukan itu sebagian besar berasal dari para prajurit pengawal Kadipaten Blambangan.

    Disamping menjaga keamanan para pengungsi dan warga Kademangan Pronojiwo, pasukan Rangga Pamandana itu juga sebagai pasukan khusus yang sengaja disiapkan oleh Empu Nambi terpisah dari pasukan induknya di benteng Randu Agung, jauh dari perhitungan dan pengamatan Mahapatih Dyah Halayuda.

    Tadi siang sebagian dari pasukan Rangga pamandana telah dengan sangat mudahnya menggasak gudang persediaan Majapahit. Dan dengan penuh kegembiraan hasil jarahan itu langsng dibagi- bagikan kepada para pengungsi dan para warga Kademangan Pronojiwo.

    Dan malam itu nampaknya Rangga Pamandana ingin kembali membuat sebuah kehebohan lain di perkemahan para pasukan Majapahit.

    “malam ini aku perlu seratus prajurit untuk nglanglang di hutan Ledoktempuro”, berkata Rangga Pamandana kepada salah seorang kepala kelompok prajurit.

    Maka tidak lama berselang, terlihat Rangga Pamandana dari seratus orang prajuritnya telah keluar dari Kademangan Pronojiwo.

    Untuk menghindari pengamatan para petugas Majapahit yang pasti telah disebar diberbagai tempat, pasukan Rangga Pamandana tidak melewati jalan utama, tapi memotong diantara pematang sawah menuju hutan ledoktempuro.

    “Kita buat mereka tidak tidur semalaman”, berkata Rangga Pamandana ketika mereka telah berada di sekitar perkemahan hutan Ledoktempuro itu.

    Sementara itu suasana di perkemahan sudah jauh malam, hampir seluruh prajurit Majapahit sudah pulas tertidur setelah lelah dan penat seharian bertempur dan makan malam yang terbatas karena gudang persediaan mereka telah di jarah oleh Pasukan Rangga Pamandana.

    Ada lima pos gardu penjagaan di perkemahan itu, dan disetiap waktu secara bergilir mereka berkeliling perkemahan untuk memastikan keadaan aman terjaga.

  29. Malam itu semilir angin terasa sangat dingin seperti menusuk kulit telah membuat para penjaga di pos gardu yang berada diujung perkemahan duduk berhimpitan dan tidak jauh-jauh dari perapian.

    Namun salah seorang dari para penjaga itu telah melihat dikegelapan malam seseorang tengah menyalakan sebuah perapian.

    “Mungkin seorang prajurit yang masih kelaparan, berburu sendiri unggas di hutan”, berkata salah seorang penjaga kepada kawannya.

    “Mari kita dekati, siapa tahu ada unggas lebih”, berkata kawan penjaga itu.

    Sementara itu beberapa kawan mereka tidak begitu peduli dengan pembicaraan dua orang prajurit penjaga itu, masih duduk berhimpitan di depan perapian mereka.

    Tidak lama berselang keduaprajurit penjaga itu telah mendekati orang yang tengah membuat perapian itu, tubuh orang itu membelakangi mereka sehingga wajahnya belum terlihat jelas.

    “Pendeta menyebar benih di tanah kering”, berkata salah seorang penjaga menyebut sebuah kata sandi.

    “Pendeta harusnya di pura, membaca kitab suci”, berkata orang itu sambil menambahkan ranting-ranting kecil di perapiannya.

    Mendengar jawaban kata sandi dari orang itu, terlihat keduanya mengerutkan keningnya langsung berubah sikapnya menjadi penuh kewaspadaan meraba pedang di pinggang masing-masing.

    “Berdiri dan berbalik badan agar kami dapat melihat wajahmu”, berkata salah seorang dari penjaga itu kepada seorang lelaki didekat mereka itu.

    Maka terlihat lelaki itu berdiri sambil menepak-nepak telapak tangannya yang kotor dan membalikkan badannya.

    Terbelalak mata kedua penjaga itu menatap wajah lelaki yang terlihat tersenyum memandang mereka berdua.

    “Rangga Pamandana !!”, bersamaan keduanya menyebut sebuah nama.

    Ternyata lelaki yang sendirian membuat perapian itu adalah Rangga Pamandana, tentu saja kedua penjaga itu mengenalnya karena tadi siang Rangga Pamandana daan pasukannya telah menggasak habis gudang persediaan merekanya.

    Namun baru saja keduanya mereba gagang pedang di pinggang, tiba-tiba saja tangan Rangga Pamandana telah mendahuluinya bergerak dengan amat cepat sekali.

    Plok, plokk !!

    Dua kali tangan Rangga Pamandana bergerak menampar wajah keduanya dengan tamparan yang kuat.

    Terlihat keduanya langsung limbung terlempar dan jatuh di tanah dengan kepala terasa pening berat.

    • Plok, plokk !!,plokk !!!…Suwuuunn !!

  30. Ternyata kejadian yang menimpa kedua penjaga itu dilihat oleh kawan-kawan mereka.

    “Ada sesuatu menimpa kedua teman kita”, berkata salah seorang dari para penjaga itu sambil menunjuk kearah kedua kawan mereka yang terjatuh itu.

    Serempak delapan orang penjaga itu telah berloncatan berlari.
    Termangu mereka semuanya karena mengenal siapa lelaki yang telah merobohkan kedua kawan mereka.

    “Rangga Pamandana !!”, berkata beberapa orang masih mengenal Rangga Pamandana yang tengah berdiri tegak sambil melayangkan senyumnya kepada kedelapan penjaga itu.

    “Mengapa salah seorang dari kalian tidak membunyikan tanda bahaya ?”, bertanya Rangga Pamandana kepada prajurit penjaga itu.
    Mendengar pertanyaan dari Rangga Pamandana para prajurit penjaga saling berpandangan membenarkan perkataan Rangga Pamandana itu.

    “Jaluk, lekas kamu bunyikan pertanda, sementara kami akan menahan orang ini agar tidak lari”, berkata salah seorang prajurit penjaga itu kepada kawannya yang bernama jaluk.
    Terlihat Jaluk sudah langsung berlari ke gubuknya dimana alat kentongan ada disana.

    Namun bersamaan dengan itu pula, sepuluh prajurit Rangga Pamandana telah menyelinap masuk ke kandang kuda.

    “Aku tidak akan lari, mari kita memanaskan tubuh kita di malam dingin ini”, berkata Rangga Pamandana ketika merasa yakin sepuluh orang pasukannya telah berhasil menyelinap ke kandang kuda.

    Namun baru saja Rangga Pamandana berkata, terdengar suara kentongan tanda bahaya bergema di malam yang sepi itu.

    Maka tidak lama berselang, ketujuh orang prajurit penjaga sudah mengepung Rangga Pamandana dengan pedang terhunus ditangan mereka.

    “Kita tahan orang ini, sebentar lagi kawan-kawan kita akan turun membantu”, berkata salah seorang prajurit penjaga kepada kawan-kawan mereka.

    Perkataan salah seorang prajurit penjaga itu seperti menumbuhkan keberanian di hati kawan-kawannya, terlihat dua orang prajurit penjaga dari arah berbeda telah melayangkan pedangnya kearah Rangga Pamandana.

    “Nampaknya kalian banyak berlatih dengan patok-patok mati”, berkata Rangga Pamandana sambil bergeser selangkah.

    Bukan main kecewanya kedua orang penyerang itu yang telah kehilangan sasarannya.

  31. Namun keempat kawannya sudah langsung bergerak menyusul menerjang Rangga Pamandana.

    Demikianlah susul menyusul serangan dihadapi oleh Rangga Pamandana, namun tidak satupun serangan yang dapat menciderainya, Rangga Pamandana dapat bergerak dengan cepatnya seperti tengah bermain-main dengan bahaya, seperti tengah menunggu sesuatu.

    Ternyata yang ditunggu Ranga Pamandana adalah kedatangan para penjaga dari gardu yang lain yang datang mendekati arah suara kentongan.

    Ternyata yang ditunggu Rangga Pamandana juga terbangunnya para prajurit Majapahit yang tengah tertidur, terbangun dan keluar dari gubuknya langsung berlari kearah suara kentongan bahaya.

    Ketika para penjaga berlari mendekat, ketika para prajurit terbangun dan datang mendekat, Rangga Pamandana masih juga belum melarikan dirinya, masih bermain-main dengan ketujuh orang penjaga yang menyerangnya.

    Apa sebenarnya yang masih ditunggu oleh Rangga Pamandana ?

    Ternyata Rangga Pamandana menunggu suara langkah kaki kuda yang panik berlari keberbagai arah.

    Luar biasa kehebohan terjadi di perkemahan pasukan Majapahit, manakala para penjaga di beberapa pos ronda datang mendekat, manakala beberapa prajurit terbangun, dan disaat semua orang datang mendekati Rangga Pamandana untuk membantu meringkusnya, terdengarlah suara derap langkah kaki kuda tanpa penunggangnya, kuda-kuda itu dibuat menjadi panik oleh pasukan Rangga Pamandana yang telah menyelinap ke kandang kuda, membuka lebar-lebar kandang kuda.

    Semua mata tertuju kearah kuda-kuda yang berlari tanpa arah, ratusan kuda berlari bersama kesegala arah penjuru bahkan ada yang berlari berlawanan arah dengan beberapa prajurit yang baru datang.

    Suasana perkemahan yang semula sepi berubah menjadi suara riuh yang ramai, suara derap, suara ringkik kuda dan suara orang berteriak.

    “Kejar dan tangkap kuda-kuda itu !!”, berteriak beberapa orang tengah mengejar kuda-kuda mereka.

    Itulah kehebohan yang tengah ditunggu oleh Rangga Pamandana, sesaat tiada ada prajurit Majapahit yang memperhatikannya, sesaat itu dipergunakan Rangga Pamandana untuk melarikan dirinya menghilang dikegelapan hutan.

    Ternyata Rangga Pamandana tidak pergi jauh-jauh dari perkemahan itu, masih bersembunyi di dalam kegelapan hutan Ledoktempuro.

    Apakah masih ada kehebohan lain yang ditunggu oleh Rangga Pamandana ?

    Ternyata ketika para penjaga meninggalkan pos gardu penjagaan mereka, manaka beberapa prajurit terbangun mendengar suara kentongan bahaya dan langsung keluar meninggalkan gubuk-gubuk mereka, maka disaat itulah beberapa pasukan Rangga Pamandana telah mendekati gubuk-gubuk kosong yang telah ditinggalkan oleh penghuninya.

    • Tidak lama kemudian, terlihat api membubung dari beberapa gubuk yang dibakar oleh pasukan Lamajang.

      He he he .., suwun…

      • siip….. senthong kiri sudah bisa ditutup

        senthong tengah sudah berisi sebagian, tinggal menunggu isi berikutnya.

        kamsiiaaaaa………………………………..!!!!

  32. mantaaap ki dalang.. suwun

  33. Kamsiaaaaa Pak Dhalang……..

    • He….he….he…..
      tumben bisa menchungul, biasanya cuma boleh mBaca wae.

      • Nanti tak gawekke pintu gandok yang besar, biar Ki mBleh bebas keluar masuk gandok, he he he … mblayu……

  34. Dari tempat kejauhan, Rangga Pamandana melihat api mulai menjalar membakar beberapa buah gubuk di perkemahan pasukan Majapahit.

    Laksana sebuah perapian besar di malam gelap yang dingin, lidah kobaran api begitu cepat membakar batang kayu gubuk bahkan telah merambat menjilat gerumbul dan semak-semak hutan disekelilingnya.

    Rangga Pamandana tersenyum melihat para prajurit Majapahit bahu membahu memadamkan api agar tidak merambat ke gubuk lainnya.

    “Apakah ada orang kita yang tertinggal ?”, bertanya Rangga Pamandana kepada beberapa orang prajuritnya, memastikan bahwa jumlah mereka lengkap tidak satupun yang berkurang.

    Akhirnya setelah merasa yakin tidak ada seorangpun yang tertinggal, Rangga Pamandana mengajak pasukannya kembali ke Kademangan Pronojiwo.

    Beberapa prajurit merasa bangga atas kepedulian Rangga Pamandana itu, merasa dinaungi dan dilindungi oleh pimpinan mereka sendiri.

    “Mari kita kembali ke Kademangan Pronojiwo”, berkata Rangga Pamandana kepada para prajuritnya.

    Sebagaimana mereka berangkat, ketika kembali menuju arah Kademangan Pronojiwo mereka tidak melewati jalan utama, tapi menyusuri persawahan yang kering ditumbuhi banyak semak dan rerumputan.

    Dan tengah perjalanan, Rangga Pamandana telah mengutus seorang prajuritnya ke benteng Randu Agung untuk menyampaikan berita kepada Empu Nambi tentang apa yang terjadi atas perkemahan pasukan Majapahit di hutan Ledoktempuro.

    Sementara itu kebakaran di perkemahan pasukan Majapahit tidak bisa dipadamkan dan telah menjalar semakin membesar melahap habis perkemahan mereka.

    Dan malam itu dengan sangat terpaksa para prajurit Majaphit beristirahat di bawah langit terbuka.

    “Rangga Pamandana, dua kali orang itu membuat keonaran”, berkata Mahapatih Dyah Halayuda dengan kata-kata penuh kemarahan.

    “Besok pagi, prajurit kita tidak siap menghadapi pertempurannya. Apakah sebaiknya kita mundur kembali ke Kademangan Japan ?”, berkata Tumenggung Jala Rananggana kepada Mahapatih.

    Namun ketinggian hati Mahapatih telah membuatnya tidak lagi dapat berpikir jernih, baginya peperangan ini adalah peperangan antara dua orang patih kerajaan Majapahit, dan dirinya telah berjanji kepada Raja Jayanagara untuk dengan segera membawa Empu Nambi, hidup atau mati.

    “Besok kita tetap bertempur menghadapi musuh di padang Ledoktempuro, katakan kepada prajurit bahwa bila mereka ingin makan, mereka harus mengalahkan musuh hari itu juga”, berkata Mahapatih dengan ketinggian hatinya tidak mengindahkan usulan Tumenggung Jala Rananggana.

  35. Seandainya Mahapatih Dyah Halayuda menerima usulan Tumenggung Jala Rananggana, seandainya membuang jauh-jauh rasa ketinggian hatinya, mau berpikir jernih memahami keadaan para prajuritnya, persediaan pangannya yang menipis serta istirahat yang sangat kurang, pastinya Mahapatih Dyah Halayuda akan memutuskan lain.

    Dan seandainya malam itu Dyah Halayuda melihat apa yang tengah dilakukan oleh pasukan Empu Nambi di benteng Randu Agung, pastinya Dyah Halayuda akan berpikir lain.

    Malam itu Dyah Halayuda tidak mengetahui bahwa pasukan Empu Nambi di benteng Randu Agung tengah bersiap diri bergerak di dini hari, bergerak langsung menyerang pasukan Dyah Halayuda langsung di hutan Ledoktempuro.

    Berawal dari utusan Rangga Pamandana yang telah bertemu langsung dengan Empu Nambi, menyampaikan apa yang telah dilakukan oleh Pasukan Rangga Pamandana di perkemahan pasukan Majapahit itu.

    Maka malam itu juga Empu Nambi telah membangunkan prajuritnya yang bertugas di dapur umum untuk menyiapkan makanan untuk pasukannya yang sengaja belum dibangunkan agar dapat beristirahat dengan cukup.

    Manakala ransum para prajurit sudah siap, malam sudah berada di tiga perempat malam, barulah Empu Nambi membangunkan para prajuritnya, mengisi perutnya agar memberikan kekuatan baru.
    Demikianlah, di penghujung malam yang masih gelap dan dingin, terlihat pasukan Empu Nambi telah keluar dari regol pintu gerbang benteng Randu Agung.

    Iring-iringan pasukan Empu Nambi yang berbaris panjang terlihat seperti seekor ular naga raksasa merayap di jalan utama Kademangan Randu Agung. Cahaya obor ditangan setiap prajurit seperti sisik-sisik emas yang menyala-nyala bergerak di malam gelap itu.

    Demikianlah, laksana seekor ular naga raksasa di malam gelap, pasukan besar itu telah merayap bergerak terus hingga akhirnya telah berada diujung timur Kademangan Randu Agung.

    “Buka mata kepalamu lebar-lebar, barisan hantukah yang kamu lihat bergerak di padang Ledoktempuro itu ?”, berkata seorang prajurit Majapahit yang ditugaskan mengamati keadaan diujung hutan Ledoktempuro kepada kawannya sambil menunjuk kearah padang Ledoktempuro.

    “Mereka bukan barisan hantu, tapi sebuah pasukan besar yang tengah bergerak”, berkata kawannya memastikan.

    “Nampaknya mereka mengarah ke hutan ini, malapetaka besar akan menimpa pasukan kita”, berkata kembali petugas pengamat itu kepada kawannya.

    Demikianlah, terlihat kedua petugas pengamat itu telah langsung berbalik badan berlari masuk kedalam hutan.

  36. On 08/05/2015 at 21:26 ismoyo said:

    Bermula di WA adbm membicarakan Ki Sunda Adest, saya inisiatif sms ybs diajak bergabung, kelihatannya hp aktif, message delliver. Tungu sesaat dibalas isinya sbb :
    “Wa’alaikumussalam Wr Wb, maaf perkenalkan saya istri dari almarhum Kang Desti (ki sunda) beliau sdh meninggal pd tgl 22-02-2013 dua tahun, tolong bapak dan temen di perkumpulan mau memaafkan kesalahan2 almarhum jika ada janji2 yg blm terpenuhi, tolong dimaafkan, makasih.
    Meninggalnya di Batam sehabis sholat Jumat, kena serangan jantung dan dikebumikan di Bandung. Rencana bebrp hari lagi mau kerja di Singapore, tp Alloh berkehendak lain. Makasih atas segala doanya buat semua”

    Innalillahi wa inna ilaihi raaji’uun. Allahumaghfirlahu warhamhu wa’aafihi wa’fu anhu wa akrim nuzuulahu wa wassi’ madkhalahu waghsilhu minal khataaya kama yunaqqats tsaubul abyadu minad danasi.

    Cantrik senior/lama pasti mengenal beliau, kita blm pernah bertemu muka, namun siapapun sanak kadang yg bergabung di adbm, pdls dan gs sdh bagaikan sdr sendiri, spt mengenal dari dekat, jauh di mata dekat di hati. Kita doakan agar almarhum mendapat tempat yg layak di sisi Alloh SWT, sesuai amal ibadahnya.

    Kiranya sanak kadang semua hening sejenak, ikhlas membacakan Ummul Qur’an utk almarhum. Khususon ilaa ruuhii ADHIKARYA DESTIAN SUHERMAN bin Ating Suherman llahumul Faatihah . . . .

    ismoyo

    • beliau salah satu translater dan editor buku-buku PDLS yang ada di blog ini.

      • turut berduka cita sedalam-dalamnya, semoga keluarga yang ditinggalkan diberikan ketabahan hati, ditambah keimanannya, AMIN

        • Aamiin…..

          • Aamiin…..Selamat jalan Ki Sunda

  37. Bukan main terkejutnya Dyah Halayuda mendengar berita dari dua orang petugas pengamatnya tentang sebuah pasukan besar yang tengah menuju ke hutan Ledoktempuro. Tak ada dalam pikirannya sedikitpun bahwa Empu Nambi telah mengambil kesempatan menyerang pasukannya di malam itu juga.

    “Ternyata Empu Nambi seorang manusia licik yang kukenal di dunia ini”, berkata Dyah Halayuda penuh amarah dihadapan Tumenggung Jala Rananggana dan Ikal-Ikalan Bang.

    Bila saja ada cahaya yang menerangi wajah Tumenggung Jala Rananggana saat itu, pasti akan terlihat sedikit senyum nyinyir yang menertawakan diri Mahapatih Dyah Halayuda seakan berkata”kamulah manuasia terbodoh yang kukenal di dunia ini”.Namun yang keluar dari bibir Tumenggung Jala Rananggana berbeda dengan apa yang ada didalam hatinya, “Masih ada waktu untuk menyelamatkan pasukan kita, menyingkir keluar dari hutan ini”, berkata Tumenggung Jala Rananggana kepada Dyah Halayuda.

    “Tidak, tidak, tidak !!, kita bukan sekumpulan tikus sawah, tapi sekumpulan pasukan Majapahit yang punya harga diri tinggi. Kita tidak akan lari setapakpun, kita hadapi mereka”, berkata Dyah Halayuda kepada Tumenggung Jala Rananggana.

    “Bila memang itu keputusan Mahapatih, aku pamit diri untuk menyiapkan pasukanku”, berkata Tumenggung Jala Rananggana berpamit diri kepada Dyah Halayuda sebelum isi perutnya seperti ingin muntah merasa sangat muak melihat sikap Dyah Halayuda yang sangat tinggi hati itu.

    “Ikal-Ikalan Bang, apakah kamu juga punya pikiran yang sama seperti Tumenggung pengecut itu ?”, berkata Dyah Halayuda kepada Ikal-Ikalan Bang ketika Tumenggung Jala Rananggana telah jauh dari mereka berdua.

    Terlihat Ikal-Ikalan Bang tidak langsung menjawab, hati dan pikirannya diam-diam membenarkan usulan Tumenggung Jala Rananggana.
    “menurutku, pasukan kita memang tidak punya kesiapan untuk menghadapati musuh”, berkata Ikal-Ikalan Bang

    “Enyahlah kamu dari hadapanku”, berkata Dyah Halayuda penuh kemarahan.

    Tanpa berkata apapun, terlihat Ikal-Ikalan Bang telah berbalik badan meninggalkan Dyah Halayuda seorang diri.

    Ikal-Ikalan Bang dan Tumenggung Jala Rananggana memang seperti tengah digayuti kebimbangan hati, mengikuti kebenaran pikirannya atau mengikuti Senapati Agung mereka yang tinggi hati dan sangat keras kepala itu yang berujung kehancuran pasukannya sendiri, para prajurit Majapahit yang berada dibawah kendalinya selama ini, yang sebagian besar sudah menyatu dengan kehidupannya, yang dikenal juga secara kesehariannya, yang dikenal juga para keluarganya. Sementara saat itu demi kesetiaannya kepada perintah sang Mahapatih harus membiarkan prajuritnya masuk kejurang kematiannya.

    “Persiapkan prajurit kalian”, berkata Tumenggung Jala Rananggana kepada para perwira tingginya.

    • masih ada lagi gak ya…
      sudah ngantuk ni…, he he he ….

      suwun Pak Dhalang.

  38. matur nuwun ki sandi…

  39. Selamat pagi Pak Dhalang.
    Semoga sudah fresh setelah libur tiga hari bercengkerama dengan permaisuri dan sang putri.

  40. Mohon maaf, kemarin tidak jenguk padepokan banyak tugas dari Kiai dan Nyaine.

  41. Assalamu’alaikum, selamat siang…..
    Masih terdaftar ndak yach aku di gandok ini…..hikss..
    Mohon maaf kalau lama ndak muncul…
    @Ki Kompor pha kabar? mau nelp nomere udah ndak ada?
    Keluarga sehat semuanya Ki….?
    @Ki Kartoj, kapan main ke arah Depok dan Bogor?
    @Paklik Satpam, kog ndak ikutan ngumpul di WA ADBM?

    • Sugeng siang nderek sowan menopo dipun keparengaken??

      • Ya mesti pareng ta Bu Lik
        Monggo…., katuran pinarak.
        Ngapunten, nembe wangsul saking nganglang.

    • Waalaikum salam, miss nona, alhamdulillah keluarga sehat, putra-putri udah pada besar-besar…sering bawa pacar kerumah (hahaha), sementara no, hp lama saya lg di blokir

      Terima kasih masih inget jalan menuju Padepokan ini

    • Takut dibully Bu Lik
      Singidan wae.

  42. Iya nech, aku lagi ngulang baca hlhlp 108 krn pengen baca lanjutane yg 109 karangan ki Kompor….hehehe

    • He.. miss nona ga kesasar jalan menuju padepokan ?…kalo gitu aku juga ga mau sampe kesasar jalan menuju depok ato bogor… 😀

    • Iyo jangan sampai ke sasar ya…
      Btw, lanjutane 109 dimana yach…

    • Selamat datang Miss, tapi di sini tidak ada mentrikbelle, Ki Kompor dan Ki Pak Satpam diadd saja ke grup WA

  43. Ki Dalang ini memang “jian” nggemesi, tahu kalau penonton, harap-harap cemas menanti ending Ki Sandikala kok malah dikredit.

  44. Ternyata para prajurit Majapahit dapat diandalkan, mereka nampaknya sudah terlatih untuk siap siaga menghadapi berbagai macam keadaan darurat, terlihat mereka dengan sigap telah bergabung dalam kesatuan masing-masing.

    Terlihat semua obor di perkemahan itu sudah dimatikan, gelap pekat memenuhi suasana di perkemahan itu. Dan ribuan mata dengan hati mencekam menanti dengan perasaan berdebar kehadiran musuh di kegelapan malam.

    “Gila, mereka datang dengan jumlah dua kali lipat dari kemarin”, berkata Dyah Halayuda manakala melihat puluhan ribu obor telah muncul di kegelapan hutan malam.

    Ternyata siasat Empu Nambi dapat mengelabui penglihatan musuhnya, menggetarkan perasaan musuhnya seakan-akan jumlah prajuritnya berlipat ganda. Padahal yang bertambah adalah obor ditangan para prajurit Lamajang dimana setiap orang membawa dua buah obor.

    Suasana di tengah Hutan Ledoktempuro itu menjadi semakin mencekam manakala obor ditangan prajurit Lamajang telah dimatikan. Para prajurit Lamajang seperti menghilang di kegelapan malam.
    Berdebar perasaan sebagian besar prajurit Majapahit, mereka seperti menghadapi prajurit hantu yang dapat seketika muncul dihadapan mereka, atau bahkan dapat muncul seketika dari arah belakang mereka sendiri.

    Kegelisahan itulah yang tengah melanda sebagian para prajurit Majapahit di kegelapan malam menanti dengan hati dan perasaan cemas kemunculan musuh mereka.

    Kegelisahan para prajurit Majapahit akhirnya terpecahkan bersama desir ribuan suara anak panah berapi yang datang arah depan mereka.

    Serangan anak panah berapi yang datang dengan sangat tiba-tiba itu benar-benar membuat para prajurit Majaphit menjadi sangat panik, ratusan orang tidak dapat menghindarinya lagi telah terluka terkena anak panah berapi.

    Serangan anak panah yang membabi buta itu ternyata hanya sebuah permulaan awal kejutan, karena kejutan-kejutan lainnya ternyata datang tidak kalah hebatnya karena selang waktu yang amat singkat setelah hujan anak panah berapi itu telah terdengar suara riuh bergemuruh pasukan Empu Nambi yang datang dan muncul dengan sangat tiba-tiba sekali dari arah kanan dan kiri pasukan Majapahit.

    Disinilah terlihat kecerdasan Empu Nambi sebagai seorang senapati perang yang sangat ulung, dapat memanfaatkan medan kegelapan hutan menjadi berpihak kepada pasukannya.

    Ternyata setelah memerintahkan pasukannya untuk mematikan obor yang menyala, Empu Nambi memisahkan pasukannya dalam tiga kelompok besar, satu kelompok diam ditempat sebagai pasukan pemanah, sementara dua kelompok lainnya bergerak bergeser ke kiri dank e kanan perkemahan musuh.

    Maka ratusan prajurit Majapahit telah menjadi korban, mulai dari terkena panah hingga menjadi tunggul-tunggul sasaran pedang pasukan Empu Nambi yang datang dari arah kegelapan malam.

  45. Luar biasa, dalam waktu yang amat singkat itu sepertiga pasukan Majapahit menyusut tajam tidak mampu menahan gelombang serangan pasukan Empu Nambi yang datang dari tiga penjuru arah kegelapan malam.

    “Jangan terpecah dari kelompok kalian”, berkata Tumenggung Jala Rananggana ditengah kepanikan para prajuritnya.

    Ternyata teriakan Tumenggung Jala Rananggana telah menyadarkan prajuritnya, merekapun langsung bersatu padu menghadapi gelombang terjangan lawan-lawan mereka.

    Sementara itu di sisi lainnya, Ikal-Ikalan Bang juga telah dapat membangkitkan kesadaran para prajuritnya untuk tidak panik, menyatukan kelompok-kelompoknya kembali.

    Namun kemenangan awal telah berpihak kepada pasukan Empu Nambi, pasukan Majapahit yang telah menyusut tajam itu seperti tidak mampu lagi menahan arus gelombang serangan pasukan Empu Nambi yang menjepit dari tiga penjuru itu.

    “Kita bertemu lagi, wahai Mahapatih Majapahit”, berkata Empu Nambi yang dapat menerobos medan pertempuran menemui Mahapatih Dyah Halayuda.

    “Tidak perlu susah payah mencarimu, wahai pemberontak”, berkata Dyah Halayuda mencoba menutupi rasa gentarnya mengingat dalam pertempuran sebelumnya dirinya mengakui tenaga lawannya yang sangat kuat seperti membentur gunung karang itu.

    Ternyata Empu Nambi tidak dapat dikelabui dengan sebuah gertakan, dirinya dapat membaca apa yang ada dalam pikiran Dyah Halayuda sebenarnya.

    “Panggil dua atau tiga orang perwiramu, agar kamu dapat bersembunyi dari setiap seranganku”, berkata Empu Nambi sambil tersenyum memandang Dyah Halayuda.

    Ternyata Dyah Halayuda berhati picik dan tidak punya rasa malu, tiba-tiba saja telah bersuit panjang memanggil para perwiranya.

    Tidak tanggung-tanggung, enam orang perwira telah datang siap membantunya.

    “Dikegelapan malam ini tidak ada yang melihat dirimu, bersiaplah untuk mati”, berkata Dyah Halayuda sambil memberi perintah kepada para perwiranya langsung menerjang kearah Empu Nambi.

    Memang tidak seorangpun yang melihat keberadaan Empu Nambi, semua orang tengah menghadapi lawan masing-masing dalam sebuah perang brubuh tanpa gelar perang di kegelapan malam di hutan Ledoktempuro.

    Tapi Empu Nambi tidak surut menghadapi Dyah Halayuda dan pembantunya itu, dengan lincah dan gesit melepaskan diri dari kepungan-kepungan mereka bahkan beberapa kali dapat membalas serangan yang cukup berbahaya.

    Sementara itu tidak terasa cahaya pagi sudah mulai merayapi hutan Ledoktempuro.

  46. Mata para prajurit sudah mulai dapat melihat rerumputan hijau, batang-batang kayu, semak belukar dan tentunya hingar bingar suasana peperangan yang terlihat semakin nyata.

    Namun kemenangan di serangan awal menjadi pertanda kemenangan-kemenangan berikutnya bagi pasukan Empu Nambi. Terdengar untuk pertama kali suara sorak sorai dari sebuah kelompok pasukan Empu Nambi yang telah dapat menundukkan kelompok lawannya.

    Suara sorak sorai itu benar-benar menciutkan hati dan perasaan para prajurit Majapahit.

    Dan kembali suara sorak sorai terdengar dari belahan lain, suara sorak sorai dari kelompok pasukan Empu Nambi benar-benar membuat hati dan perasaan pasukan Majapahit semakin menguncup.

    Sementara sorak sorai kemenangan dari dua kelompok pasukan Empu Nambi itu telah menambah semangat pasukan Empu Nambi yang mendengarnya, seperti ingin secepatnya menyelesaikan pertempuran mereka dan berteriak bersorak sorai sebagaimana kawan-kawan mereka itu.

    “Tumenggung Jala Ranggana benar, pasukanmu akan habis binasa semuanya”, berkata Empu Nambi sambil tertawa mendengar salah seorang penghubung Dyah Halayuda yang membawa pesan dari Tumenggung Jala Rananggana untuk membawa pasukannya mundur.

    “Aku akan mundur setelah dapat membunuhnu terlebih dahulu”, berkata Dyah Halayuda sambil mengejar kearah Empu Nambi yang tengah menghadapi dua orang perwiranya.

    Trang, trangg !!

    Sambil keluar melompat dari serangan dua orang lawannya, Empu Nambi harus menangkis serangan trisula kembar di tangan Dyah Halayuda.

    Seketika itu juga Dyah Halayuda merasakan dirinya terdorong dua langkah dan masih merasakan kepedihan kedua telapak tangannya akibat benturan cakra Empu Nambi yang telah dilambari tenaga sakti sejatinya amat kuat itu.

    Beruntung empat orang perwira Majapahit sudah datang menghadang menghalangi Dyah Halayuda dari Empu Nambi yang melangkah mendekatinya.

    Namun Empu Nambi terlihat merasa ringan-ringan saja menghadapi keempat perwira itu, juga ketika dua orang perwira lainnya, bahkan ketika Dyah Halayuda sudah tatag kembali ikut bergabung mengeroyok Empu Nambi.

    “Lihatlah pasukanmu sudah semakin menyusut”, berkata Empu Nambi kepada Dyah Halayuda sambil bergerak menghindari dua orang penyerangnya.

    Ternyata sambil menghadapi Dyah Halayuda dan para perwiranya, Empu Nambi masih sempat meilhat secara keseluruhan suasana pertempuran di hutan Ledoktempuro itu.

    Sebagaimana yang dilihat oleh Empu Nambi, pasukan Majapahit yang dijepit dari tiga penjuru itu memang semakin menyusut jumlahnya.

  47. Nampaknya semangat pasukan Majapahit sudah terlihat semakin rapuh, mungkin karena istirahat serta makan yang sangat terbatas benar-benar memepengaruhi kesiapan lahir dan bathin pasukan yang berada dalam kepemiminan Mahapatih Dyah Halayuda itu.
    Sementara itu pasukan Empu Nambi seperti seekor ayam aduan yang giras baru keluar dari kurungan sang pawang perawat ayam aduan, tandang pasukan Empu Nambi benar-benar menguasai semua garis pertempurannya.

    Suasana pertempuran yang sudah terlihat pincang di pihak pasukan Majapahit itu telah membuat Tumenggung Jala Rananggana harus selalu berada di tengah-tengah kelompoknya memeberikan arahan dan pengendaliannya yang diyakini lambat tapi pasti akan hancur binasa dalam kekalahan yang besar. Namun dengan sangat gigihnya Tumenggung Jala Rananggana selalu mendatangi kelompoknya yang dilihatnya mendapatkan tekanan pihak musuh.

    “Cakramu benar-benar sangat mengerikan, wahai anak menantuku”, berkata Tumenggung Jala Rananggana kepada seorang lelaki dengan senjata cakra ditangannya yang sangat menggiriskan hati telah melemparkan begitu banyak korban di pihak pasukan Majapahit.

    Ternyata lelaki bersenjata cakra yang dipanggil sebagai anak menantu oleh Tumenggung Jala Rananggana itu tidak lain adalah Adipati Menak Koncar.

    “Ternyata Ananda hari ini telah salah menempatkan diri berada di pasukan ini”, berkata Adipati Menak Koncar berdiri mematung penuh rasa kebimbangan.

    “Anak menantu tidak salah berdiri, tapi peperangan inilah yang salah sehingga kita satu keluarga harus berdiri berseberangan”, berkata Tumenggung Jala Ranggana kepada Adipati Menak Koncar.

    “Ananda merasa berat mengangkat cakra ini”, berkata Adipati Menak Koncar

    “Ayah mertuamu juga seperti berat mengangkat pedang ini, takut melukaimu”, berkata Tumenggung Jala Rananggana.

    “Bila demikian aku akan mencari lawan lain”, berkata Adipati Menak Koncar sambil melangkah menjauhi ayah mertuanya itu.

    “Lindungi dirimu dari pedang musuh, wahai anak menantuku”, berkata Tumenggung Jala Rananggana sambil melompat ke garis pertempuran yang berlawanan arah dengan anak menantunya itu.

    Dan tidak lama kemudian sorak sorai terdengar dari pihak pasukan Empu Nambi, terdengar dari arah Adipati Menak Koncar menempatkan dirinya.

    Suara sorak sorai pasukan Empu Nambi itu seperti merobek-robek hati dan perasaanTumenggung Jala Rananggana, mengiris-iris hatinya yang tengah diombang ambingkan oleh gelombang kebimbangan antara kecintaannya kepada pasukannya dan kasih sayangnya kepada ayah dua orang cucu tercintanya, Adipati Menak Koncar.

  48. Ingin rasanya Tumenggung Jala Rananggana langsung melompat membantu pasukannya yang tengah mendapatkan tekanan, tapi bersamaan itu pula terbayang wajah dua orang cucu tercintanya seperti menahannya.

    Sementara itu Empu Nambi masih seperti bermain-main menghadapi Dyah Halayuda dan keenam perwira yang membantu mengeroyoknya.

    “Biarkan diriku seorang diri menghadapi mereka”, berkata Empu Nambi kepada setiap orang yang datang untuk meringankan dirinya itu.

    Pandangan dan senyum Empu Nambi ternyata seperti sirep membuat siapapun langsung menuruti permintaan Empu Nambi mencari pertempuran lain.

    “Lihatlah pasukanmu akan tergilas habis, aku beri kesempatan pasukanmu mundur keluar dari pertempuran ini”, berkata Empu Nambi kepada Dyah Halayuda.

    “Aku tidak akan mundur sebelum melihat bangkaimu”, berkata Dyah Halayuda sambil menerjang bersama-sama perwira pembantunya.
    Namun dengan sigap dan lincah Empu Nambi sudah begitu cepat berkelit menghindar dan langsung menerjang membuat serangan balasan kepada salah seorang perwira.

    Ternyata perwira itu tidak siap dan lengah mendapatkan serangan yang tiba-tiba saja terarah kepadanya.
    Prakk !!!

    Tempurung kaki kanan perwira itu terbentur cakra Empu Nambi yang meluncur begitu cepat dan tiba-tiba itu.

    Terlihat perwira itu terlempat jatuh dan bergulingan merasakan sakit yang amat sangat di bagian tulang tempurung kakinya yang remuk.
    Ciut seketika perasaan Dyah Halayuda dan kelima orang sisa perwira pembantunya itu melihat keampuhan serangan Empu Nambi yang sangat tiba-tiba itu, benar-benar seperti terjangan batu karang ditanah curam, meluncur tak mampu di hindari oleh siapapun.

    “kalian tidak akan mampu menahan kerasnya cakraku ini, tapi kalian juga tidak akan mampu menahan tiga ribu pasukan cadanganku yang datang dari arah belakangmu”, berkata Empu Nambi sambil berdiri tegak.

    Ternyata Empu Nambi tidak sekedar berkata sesumbar, Dyah Halayuda yang terlatih pendengarannya telah mendengar suara sorak sorai yang datang bukan di arena pertempuran, tapi dari arah belakang mereka meski masih sangat jauh.

    “kamu benar-benar licik, Empu Nambi”, berkata Dyah Halayuda dengan gemeretak gigi menahan rasa amarah yang amat sangat.

  49. Sementara itu suara sorak sorai dari kejauhan semakin santer terdengar, semakin mendekat meruntuhkan semangat bertempur pasukan Majapahit.

    “Dengar dan pasang telingamu, siapa yang datang”, berkata Empu Nambi sambil tersenyum berdiri tegak penuh percaya diri yang tinggi.
    Ternyata suara sorai pasukan yang datang itu terdengar semakin jelas.

    “kami pasukan dari Blambangan, sisakan kami musuh !!”, demikian suara itu bergema semakin jelas terdengar mendekati arah pertempuran.

    “Pasti kamu sudah pernah mengenal pimpinan pasukan cadanganku itu, dialah Rangga Pamandana”, berkata Empu Nambi masih dengan senyumnya.

    Cahaya matahari terlihat berada dipuncak cakrawala, itulah pertanda panggilan untuk datang pasukan cadangan yang sudah diatur oleh Empu Nambi membawa tenaga dan nafas baru bagi pasukannya.

    Akhirnya suara sorak sorai pasukan cadangan yang di pimpin oleh Rangga Pamandana itu terdengar begitu jelas berputar-putar diantara batang-batang pepohonan dan mengisi seluruh arena pertempuran di hutan Ledoktempuro itu.

    “Kami pasukan dari Blambangan, sisakan kami musuh”, demikian sorak sorai suara pasukan cadangan itu menciutkan hati setiap jiwa prajurit Majapahit terdengar semakin jelas.

    Dan akhirnya suara sorak sorai itu berhenti berganti menjadi suara gemuruhair bah yang tumpah membanjiri arena pertempuran dari arah belakang pasukan Majapahit.

    Pasukan yang baru datang itu memang seperti sebuah air bah yang tumpah, langsung meluluh lantakkan beberapa orang pasukan Majapahit yang berbalik badan menghadang mereka.

    JIwa dan semangat prajurit Majapahit sudah semakin rapuh, berharap sebuah seruan mundur yang tidak juga kunjung datang.

    Disaat yang sangat genting itu, tiba-tiba saja sepasukan prajurit yang dipimpin oleh Tumanggung Jala Ranggana datang dengan gelar perang cakra byuhanya menerobos ketengah-tengah pertempuran.

    “Lupakan masalah harga dirimu, kuberi kesempatan pasukanmu mundur”, berkata Empu Nambi kepada Dyah Halayuda.

    “Jangan sombong, aku pasti datang kembali membawamu hidup atau mati”, berkata Dyah Halayuda yang langsung masuk menerobos kedalam lingkaran barisan cakranya.

    “Maafkan bila aku lancang mengambil alih perintah untuk mundur”, berkata Tumenggung Jala Rananggana kepada Dyah Halayuda yang baru masuk bersama beberapa prajurit lainnya.

    “kali ini kamu benar”, berkata Dyah Halayuda kepada Tumenggung Jala Rananggana.

  50. Maka dalam waktu yang amat singkat, lingkaran cakra yang pimpin oleh Tumenggung Jala Rananggana itu semakin membesar menyerap seluruh prajurit Majapahit masuk kedalamnya.

    Gelar perang cakra byuha memang sebuah gelar perang pertahanan yang amat kuat, orang sakti manapun tidak akan berani coba-coba memasukinya. Dan setiap prajurit ditataran paling rendah sekalipun pasti sudah tahu bahwa itulah sebuah gelar perang mundur menyelamatkan pasukan yang tersisa dari kehancurannya.

    “Biarkan mereka mundur”, berkata Empu Nambi kepada pasukannya manakala melihat lingkaran cakra pasukan Majapahit yang dipimpin oleh Tumenggung Jala Rangnaggana itu bergerak mundur kearah utara hutan Ledoktempuro.

    Mendengar seruan Empu Nambi, seluruh prajurit Lamajang telah membiarkan pasukan musuh bergerak menjauhi arena pertempuran.

    Akhirnya pasukan Majapahit itu telah jauh terpisah masuk kearah utara hutan Ledoktempuro dan menghilang di kelebatan hutan rimba.

    “Mereka pergi meninggalkan kawan-kawannya yang mati dan terluka”, berkata Empu Nambi kepada Adipati Menak Koncar.

    “kami akan segera memerintahkan sebagian pasukan untuk menolong mereka yang terluka”, berkata Adipati Menak Koncar seperti paham makna perkataan ayahandanya itu.

    Maka tidak lama berselang terlihat beberapa orang turun menolong para korban peperangan itu, tidak melihat musuh atau kawan lagi, nilai-nilai naluri kemanusiaan telah mulai hidup kembali diujung pertempuran itu yang nyaris merubah manusia menjadi sekelompok hewan buas yang saling menggeram menunjukkan taring dan cakarnya yang amat tajam dan runcing, membunuh atau terbunuh. Hanya itulah yang ada dalam pikiran setiap manusia di sebuah medan pertempuran.

    Dan sangkala terlihat redup sembunyi di kelebatan hutan Ledoktempuro manakala beberapa orang tengah memisahkan mayat-mayat korban pertempuran itu, memisahkan mayat kawan dan mayat musuh mereka untuk dikebumikan di tempat terpisah. Mayat-mayat pasukan Majapahit nampaknya telah langsung di kebumikan di hutan Ledoktempuro, sementara mayat prajurit Lamajang mereka bawa kembali ke kampung halaman masing-masing dengan maksud pihak keluarga mereka masih dapat melihat wajah saudara, anaknya atau kekasihnya untuk yang terakhir kalinya.

    “Mari kita kembali ke Benteng Randu Agung”, berkata Empu Nambi kepada putranya.

    Terdengar suara Adipati Menak Koncar yang mengguntur memberi aba-aba pasukannya untuk bergerak. Suara itu terdengar bergema berputar-putar diantara batang-batang pohon hutan Ledoktempuro.

    Maka terlihatlah iring-iringan pasukan segelar sepapan pasukan Empu Nambi telah bergerak menerobas hutan Ledoktempuro seperti seekor ular naga raksasa besar meliuk liuk diantara bebatuan dan pohon-pohon besar semakin jauh meninggalkan sisa perkemahan yang hangus terbakar.


Tinggalkan komentar