SST-13

kembali | lanjut >>

Laman: 1 2 3

Telah Terbit on 16 Juni 2012 at 21:00  Comments (35)  

The URI to TrackBack this entry is: https://pelangisingosari.wordpress.com/sst-13/trackback/

RSS feed for comments on this post.

35 KomentarTinggalkan komentar

  1. Lha sak jam sing kepungkur tak isambangi,
    isine isih njaluk ngapura, ora ana tulisan sing cocok.

    Wah jebul malem Minggu dibukakna gandhok tenanan.

    Sepurane nggih Ki Menggung,
    kula ngrumiyini mlebet gandhok 013..

    • mangga ki Gembleh,

      Sepurane nggih Ki Menggung,
      kula njih ngrumiyini mlebet gandhok 013..

  2. Matur nuwun pak Satpam.

    • Anginthili ki Mbleh-e ah .

      Suwun mas Risang .

  3. komenku kok ambles, kemana?

    • lho…, kok gak ambles maneh
      hadu…….

  4. sugeng dalu
    dongengipun ki puno dipun tenggo


    alamatnya salah ki
    mohon cek dulu nama dan alamat, biar pak tidak dicegat Pak Satpam nya WP

    • suwun Ki

  5. Wilujeng enjang

    DONGENG ARKEOLOGI & ANTROPOLOGI

    Orang Bijak Taat Pajak. Tidak Semua Orang Pajak BIjak

    Akhir-akhir ini di media masa seperti koran dan tayangan televisi lokal, kita mendapatkan “suguhan” dan “tontonan” tentang Orang Pajak yang ditangkap KPK karena penyuapan.

    Andaikata tidak ketahuan, maka bila penyuapan terjadi, di satu sisi semakin bertambah orang pajak yang kaya karena korupsi (penyuapan dikatagorikan sebagai tindak pidana korupsi), tetapi di sisi lain pundi-pundi negara yang seharusnya berisi penuh hanya berisi sedikit.

    Dengan semakin bertambahnya pejabat pajak yang kaya, semakin meyakinkan kita, bahwa jargon Direktorat Jenderal Pajak Kementerian Keuangan RI, Orang Bijak Bayar Pajak sering diplesetkan menjadi: Mertua Bijak Pilih Orang Pajak, mengapa? Karena orang pajak kaya-kaya.

    Pernyataan ini sekaligus hendak mengatakan bahwa Tidak Semua Orang Bijak Kerja di Kantor Pajak.

    Kebalikan dari pernyataan di atas, ingin juga menunjukkan bahwa Tidak Semua Orang Pajak Kaya. Saya mempunyai banyak bukti tentang Orang Pajak Yang Tidak Kaya, yang menurut beberapa orang agak aneh bila orang pajak tidak kaya.

    Saudara misan saya, juga beberapa sahabat saya, dan yang baru-baru ini yang telah menyelesaikan tugasnya sebagai seorang Kepala Kantor Pelayanan Pajak Pratama di DKI Jakarta, adalah seorang anggota keluarga saya, berakhir dengan pensiun golongan ruang gaji IVc, dapat digolongkan tidak seberapa kaya bila dibandingkan dengan teman-teman lainnya. Filosofi dia: “Aja melu ngedan lan urip aja ngangsa”.

    Nampak sekali dari kesederhanaan hidupnya dan keluarganya. Ternyata masih ada Orang Pajak yang jujur, tekun melaksanakan tugas menghimpun dana dari masyarakat untuk pundi-pundi atau kocek negara.

    Tapi itu tadi, dia dianggap “bodoh” oleh teman-temennya yang lain, karena dia sebagai mantan Kepala KPP (di Jakarta lagi) kok “miskin”.

    Lalu bagaimana perilaku Pejabat Pajak Tempo Doeloe, di masa Kerajaan Nusantara Lama?

    Apa Pejabat Pajak masa itu juga seperti Den Baguse Pejabat Pajak yang ditangkap KPK.

    Setidak-tidaknya ada empat buah prasasati yang ditemukan pada tahun dan tempat yang berbeda, yang menginformasikan kepada kita yang hidup di zaman sekarang, perihal perilaku Pejabat Pajak Masa Kuno.

    Inilah dongengnya:

    I. Prasasti Wurudu Kidul (844Ç/922M)
    –cuplikannya sudah diwedar sebelumnya–

    Dari ribuan koleksi benda kuno yang ada di Museum Nasional Jakarta, ada satu artefak — yakni sebuah benda arkeologi atau peninggalan benda-benda bersejarah, yaitu semua benda yang dibuat atau dimodifikasi oleh manusia yang dapat dipindahkan.

    Contoh artefak adalah alat-alat batu, logam dan tulang, gerabah, prasasti lempeng, kulit binatang, kertas, senjata-senjata logam (anak panah, mata panah, dll), teracottsa dan tanduk binatang —

    Artefak ini patut mendapat perhatian. Benda kuno itu berupa sepotong lempengan logam berukuran 27 cm x 23 cm, dengan kode inventaris E 63. Kondisi artefak memang sudah berkarat di sana-sini sehingga terkesan “acakadhut”.

    Dilihat dari bentuknya tak ada yang bernilai seni, kecuali berupa tatahan aksara. Tidak sembarang orang mampu membaca benda ini.

    Namun bagi arkeolog yang menggeluti bidang epigrafi (aksara dan tulisan kuno), benda itu sangat berarti karena informasi di dalamnya sangat bermanfaat untuk kajian masa kini.

    Artefak tersebut adalah sebuah prasasti yang dikenal sebagai Prasasti Wurudu Kidul, yang diterbitkan pada tahun 844Ç/922M, ditulis dengan aksara dan bahasa Jawa Kuno. Pertama kali isi prasasti Wurudu Kidul diulas oleh W.F. Stutterheim pada 1935.

    Pada intinya prasasti Wurudu Kidul menguraikan bagaimana susahnya seseorang menjadi warga keturunan dalam menghadapi pejabat pajak. Kemungkinan, sebelum ini pemerasan pajak hampir selalu dilakukan terhadap orang asing.

    Hukum Jawa Kuno memang mengatur bahwa pajak orang asing lebih tinggi daripada pajak orang pribumi. Namun kalau sudah keterlaluan, jelas-jelas akan menimbulkan citra buruk bagi pejabat pajak kerajaan.

    Konon, menurut bagian awal prasasti ini (disebut Prasasti Wurudu Kidul A), ada seorang pria bernama Sang Dhanadi. Dia bertempat tingal di desa Wurudu Kidul. Suatu hari Dhanadi kedatangan tamu bernama Wukajana.

    Orang ini menjabat sebagai Samgat Manghuri (yakni “Pejabat Direktorat Perpajakan Departemen Keuangan Kerajaan Mataram Kuno”), yang bertugas memungut pajak dari rumah ke rumah.

    Begitu melihat Dhanadi, Wukajana langsung menuduh Dhanadi bahwa dia adalah anak orang asing. “Kamu termasuk golongan warga atau wka kilalang (orang asing),” demikian kira-kira tuduhannya. Sebagai orang asing tentu saja Dhanadi harus membayar pajak lebih besar daripada warga pribumi.

    Dhanadi tidak terima dengan sangkaan tersebut. Dia lalu mengadu ke Sang Pamget Padang (yakni pejabat penegak hukum dari kerajaan Mataram Kuno, bernama Empu Bhadra; kalau masa kini dapat dipersamakan dengan KPK).

    Untungnya Sang Empu tidak mengulur-ulur waktu perkara seperti zaman sekarang. Tak berapa lama, beliau segera mengusut tuduhan terhadap Dhanadi itu.

    Sebagai tambahan informasi Sang Pamget Padang Empu Bhadra ini adalah pejabat penegak hukum yang sangat jujur, disegani oleh semua pihak bahkan oleh Baginda Prabu sendiri.

    Pertama kali, keluarga Dhanadi dipanggil satu per satu ke persidangan. Mulai dari kakek nenek, buyut hingga ayah ibu diperiksa dengan saksama dan ketat di pengadilan.

    Dari garis kakek dirunut-runut apakah ada unsur asing yang mengalir dalam darah Dhanadi. Begitu pula dari garis nenek. Bukan cuma itu. Warga di desa Grih, Kahuripan, dan Paninglaran yang berada di sekitar desa tempat Dhanadi tinggal, ikut dimintai keterangan sebagai saksi.

    Setelah melakukan pemeriksaan yang ketat dan seksama, dengan tegas dan berwibawa Sang Empu Bhadra segera memutuskan bahwa Dhanadi dan keluarganya benar-benar orang pribumi asli. Menurut prasasti disebut wwang yukti. Dengan demikian besarnya pajak yang harus dibayarkan Dhanadi tidak setinggi seperti yang diminta pejabat pajak itu.

    Sebagai pegangan, Sang Pamget Padang Empu Bhadra, memberikan “Surat Sakti” (tidak dijelaskan bahan “surat” tapi yang pasti bukan kertas) tertanggal 6 Kresnapaksa bulan Baisakha tahun 844Ç atau identik dengan 20 April 922M. Waktu itu pula (922M) yang dijadikan tarikh prasasti Wurudu Kidul.

    Namun sudah plong-kah hati Dhanadi? Mungkin karena sudah “mental pejabat korup”, rupa-rupanya pejabat pajak tadi tidak puas atas keputusan “KPK”. Akibatnya kali ini ketenangan Dhanadi terusik kembali oleh pejabat pajak lain, Pamariwa. Ternyata Pamariwa adalah seorang “Kepala Seksi pada Kantor Pelayanan Pajak Drih Kahuripan Mataram Kuno” :), bawahan Wukajana Sang Samgat Manghuri, pejabat pajak yang coba memeras Dhanadi tadi.

    Begitu bertemu muka dengan Dhanadi, demikian menurut Prasasti Wurudu Kidul B, Pamariwa langsung menuduhnya anak keturunan Khmer atau Kamboja, disebut wka kmir, tentu saja Dhanadi sangat tersinggung. Dia mengadu lagi ke Sang Pamget Padang.

    Sesuai prosedur hukum, Empu Bhadra mengirim “surat panggilan” pertama ke rumah Pamariwa agar menghadiri sidang gugatan. Namun pada panggilan pertama, Pamariwa tidak datang.

    Sesuai prosedur, beliau mengirim lagi surat panggilan kedua. Kali ini Pamariwa juga tetap tidak datang. Akhirnya Samget Juru i Madandar (mungkin semacam Panitera Pengadilan masa kini) mewartakan bahwa Dhanadi menang berperkara.

    Rupa-rupanya pada waktu itu belum dikenal istilah “pemanggilan paksa” seperti pada zaman sekarang. Jadi cukup pemanggilan dua kali berturut-turut. Jika tidak datang, berarti kalah perkara.

    Sekali lagi, Dhanadi menerima “Surat Sakti” tertanggal 7 Suklapaksa bulan Jyaistha tahun 844Ç atau 6 Mei 922M.

    Jelas sekali dari kedua kasus itu, ada upaya pemerasan yang coba dilakukan pejabat pajak. Di pihak lain, upaya negatif itu digagalkan oleh penegak hukum yang jujur.

    Sayang, proses pengadilan itu terjadi di masa lampau, tepatnya di Kerajaan Mataram. Kalau saja terjadi di masa kini, mungkin penjara kita sudah dipenuhi koruptor-koruptor.

    Terhadap ulah Pamariwa yang dua kali mangkir, tentu saja dikenakan sanksi berdasarkan hukum Jawa Kuno. Dikatakan di dalam berbagai kitab hukum, perbuatan menuduh yang tidak berdasar (duhilatan) adalah tindak pidana yang patut dikenai hukuman. Namun belum jelas hukuman apa yang dijatuhkan kepada Pamariwa itu. Juga kepada atasan Pamariwa, Wukajana dari Samgat Manghuri.

    II. Prasasti Luitan (823Ç/901M)

    Loewieting (mirip Luitan), sebuah nama tempat antara Ajibarang dan Dayaluhur, pada abad XVII terletak pada jalan pedalaman ke Jawa Barat. Winduaji pass yang sekarang terletak di Kecamatan Petuguran, ex Kawedanan Bumiayu, Kabupaten Brebes, pada abad XVII disebut Windoewasie atau Winduwadje yang mungkin berasal dari kata Wadihati dalam prasasti tersebut, dan terletak pada jalan ke Cirebon.

    Prasasti Luitan berangka tahun 823 Çaka. Prasasti yang diketemukan pada tahun 1976 di Cilacap ini memuat suatu masalah sosial dari satu kelompok masyarakat, yaitu proses pengenaan pajak atas tanah yang tidak benar.

    Zaman dulu, masalah yang sering dijumpai adalah manipulasi pengukuran oleh petugas pajak. Seorang petani, protes kepada petugas pajak terhadap perhitungan luas tanah yang dimilikinya.

    Menurut si pejabat pajak, luas tanahnya adalah 40 ½ tampah (ukuran tanah pada masa itu). Karena setiap tampah dikenakan pajak 6 dharana, si petani harus membayar 40 ½ tampah x 6 dharana = 243 dharana.

    Namun setelah diukur ulang oleh pejabat pajak yang lain, luas tanah si petani cuma 27 tampah.

    Rupanya tampah yang digunakan petugas pajak pertama berukuran lebih kecil, kira-kira 2/3 daripada ukuran yang sesungguhnya. Otomatis saja luas tanahnya membengkak.

    Sedangkan tampah yang digunakan petugas kedua, benar-benar berukuran asli. Karena kejelian si petani, maka dia berhasil menyelamatkan hartanya dari kecurangan si aparat pajak sebesar 13 ½ tampah x 6 dharana = 81 dharana.

    Seperti jaman sekarangpun, membuktikan, bahwa zaman dulu pun ada petugas pajak nakal dan petugas pajak jujur.

    Catatan:

    a. Beberapa ukuran luas tanah yang dikenal masa itu

    i. Tampah adalah satuan ukuran luas, setara dengan 6.750 – 7.680 meter persegi.

    ii. Lamwit = 20 tampah

    iii. Depa = jarak dua ujung tangan yang direntangkan (sekitar 1,6-2 meter)

    iv. Depa Sihwa/Raja, jarak ujung dua tangan raja yang direntangkan = 1,5 Depa

    v. Hasta, jarak antara siku dengan ujung jari (antara 40 – 60 centimeter)

    b. Satuan mata uang yang berlaku pada masa itu:

    i. Suwarna, mata uang berupa logam emas seberat 2,5 gram emas;

    ii. Dharana, mata uang berupa logam perak setara dengan 2,5 gram perak;

    iii. Tahil, mata uang emas atau perak, istilah tahil merujuk kepada tael Cina.

    Banyak standar massa tael yang berbeda-beda bergantung pada wilayah atau jenis perdagangan. Secara umum, tael perak bermassa kira-kira 40 gram. Tepatnya 1,2 troy ons atau 36,7 gram perak tidak murni.

    iv. Atak atau Satak, setara dengan 1,2 gram emas, sering disebut atau ½ Masa;

    v. Picis. Terbuat dari Tembaga, sebagai satuan mata uang terendah. Biasanya digunakan untuk pembayaran pajak, denda-denda khusus.

    vi. Masa atau Samasa.

    vii. Kupang

    viii. Tali

    ix. Laksa atau Selaksa

    x. Keti atau Saketi

    c. Konversi:

    a) 1 Satak = 200 Picis
    b) 1 Masa = 400 Picis
    c) 2 Masa = 800 Picis = 1 Domas
    d) 1 Kupang = ¼ Masa atau 1 Saga setara dengan 0,6 Gram emas
    e) 1 Kupang = 100 Picis
    f) 1 Tali = 1.000 Picis
    g) 1 Laksa = 10.000Picis
    h) 1 Keti = 100.000 Picis

    III. Prasasti Palepangan (826Ç/906M) Rakai Watukura Dyah Balitung

    Kejadian serupa juga teridentifikasi dari Prasasti Palepangan (906 M). Manipulasi pengukuran dengan tampah yang lebih kecil oleh aparat pajak, menyebabkan si Rama (Wajib Pajak) harus protes keras kepada pihak berwenang.

    Prasasti Palepangan, mencatat “selisih pendapat antara rakyat desa Palepangan dengan sang nayaka pejabat pajak negara. Menurut sang pejabat pajak tersebut sawah rakyat desa Palepangan itu luasnya 2 lamwit, yang harus dibebani pajak sebanyak 6 dharana perak tiap tampahnya.

    Merasa keberatan, maka mereka pun menghadap rakyan mahamantri i hino Pu Daksa, dengan permohonan agar sawah mereka diukur kembali dengan tampah haji yakni satuan ukuran tampah standar kerajaan, karena mereka yakin sawah mereka panjangnya hanya 100 depa sihwa dan lebarnya 30 depa sihwa.

    Permohonan itu dikabulkan, dan ternyata sawah mereka hanya 1 lamwit 7½ tampah, dan dengan demikian pajak yang harus dibayar adalah 5 kati dan 5 dharana perak”.

    Setelah diperiksa ulang, akhirnya protes si Rama pun dikabulkan. Kalau tidak teliti si Rama akan kena kemplang petugas pajak sebesar 12 ½ tampah x 6 dharana = 75 dharana.

    Sebab, menurut si petugas pajak luas sawahnya 40 tampah, sedangkan dari hasil pengukuran si Rama hanya 27 ½ tampah.

    IV. Prasasti Taji

    Prasasti Taji adalah prasasti pada tujuh lempeng tembaga, ditemukan di dekat Ponorogo Jawa Timur. Kini prasasti itu disimpan di Musium Nasional Jakarta. Yang ditemukan hanya lempeng nomor 1, 3, 6, dan 7. Tulisannya hanya terdapat pada satu sisi, kecuali lempeng 7 pada kedua sisi.

    Aksara dan bahasa yang digunakan Jawa Kuno. Dikeluarkan pada 823 Çaka atau 901 Masehi oleh Rakryan i Watu Tihang pu Sanggramadurandara untuk meresmikan sebuah kabikuan bernama Dewasabha yang terletak di desa Taji.

    Di sini petugas pajak juga sering meminta pembayaran lebih dari semestinya, sebagaimana diungkapkan Prasasti Taji itu. Konon suatu hari nayaka Rakryan Jasun Wungkal, sebagai seorang mangilala drawya haji (Abdi kraton yang mendapat gaji dari perbendaharaan kerajaan – tepatnya Petugas Pajak), mengadu kepada raja. Sebagai seorang pejabat negara dia ternyata tidak pernah menerima drawya haji (pajak) dari daerah kekuasaannya.

    Dia pun menuduh bawahannya, Sang Awaju ri Manayuti, tidak tertib menerima pajak. Setelah diselidiki ternyata diketahui uang tersebut sering dipakai Sang Awaju untuk menraktir para Panurang. — Panurang adalah pejabat pemungut pajak yang langung berhubungan dengan Wajib Pajak — yang minta lebih. Pantas saja tidak masuk kas negara. Duwitnya masuk ke kantong Den Baguse Pejabat Pajak.

    Sanak Kadang,

    Masih banyak prasasti-prasasti yang bekaitan dengan pajak khususnya dan keuangan serta perekonomian negara, antara lain: Prasasti Kamalagyan, tahun 959 Ç (1037M), pada masa Prabu Airlangga, mencatat “pengurangan pajak bagi desa Kamalagyan”; Prasasti Gandhakuti, tahun 1042 M, mencatat “Aji Paduka Mpungku membeli tanah dari desa Kambang Sri seharga 10 suwarna 10 masa emas”

    Dan masih ada beberapa lagi.

    Dari dongeng di atas, sebenarnya gambaran penerapan hukum di Indonesia banyak sekali terdapat dalam prasasti-prasasti yang berkategori jayapattra, jayasong, suddhapattra, dan sukhadukha (prasasti mengenai persoalan hukum).

    Pakar-pakar kita yang mampu menerjemahkan dan menafsirkan prasasti-prasasti demikian, masih bisa dihitung jari tangan. Akibatnya, banyak data masih tersimpan di berbagai museum di seluruh Indonesia. Juga di tempat-tempat lainnya seperti Balai Pelestarian Peninggalan Purbakala dan Balai Arkeologi.

    Nuwun

    Dongeng Arkeologi & Antropologi Danang Sutawijaya selanjutnya menyusul.

    Punakawan

    • Matur Nuwun ki puna II .

      sugeng sonten .

      • “orang bijak taat pajak” orang pajak kapan bijak,

        matur nuwun ki PUNA-2

        • “orang taat suka pijat gak ya..?”

          • kagak tau ki….

    • Wah….blaik iki……!!!!
      kalau penerapan hukum jaman sekarang ditulis di atas lempengan kemudian 1200 tahun yang akan datang ditemukan, maka yang akan terbaca adalah kata kata seperti :
      “saya tidak ingat”
      “saya tidak tahu”
      “saya tidak bersalah”
      “silahkan gantung saya di tengah alas”
      tentu cicit2 kita akan kebingungan.

      Sugeng dalu para kadang sutresna.

  6. matur nuwun Ki Puna

  7. sugeng dalu.

    • sugeng dalu ugi.

  8. sugeng dalu
    ngisi daftar hadir

  9. sugeng siang
    hadiiir

    • sugeng sonten
      dherek haDIR

      • sugeng dalu,
        nunut ndherek hadir.

        • sugeng dalu
          haddiiiirrrr

          • sugeng siang malih

  10. Cap jempol .

    • nDherek nDJempol,
      sambil dengen ini menyataken bachwasanja itoe gadhok tjap nomer ampat belas misih dikontji dengen kentjeng sekali.
      Hal ini temtoe sadja menandaken bachwa pak Satpam misih direpotken dengan itoe oeroesan jang sanget penting.
      Para tjantrik diharapken oentoek tetep bersabar.

  11. Nuwun
    Pamuji Rahayu

    DONGENG ARKEOLOGI & ANTROPOLOGI MATARAM

    DANANG SUTAWIJAYA
    — de Regering van Panembahan Senapati Ingalaga —

    SÊRAT WÉDHÅTÅMÅ
    (Sisipan Dongeng Tiga Tahun Pertama Panembahan Senapati)

    Menjelang tengah malam, dinten Respati Umanis malem Sukrå Jêmuwah Pahing, 02 Sya’ban 1433H atau 02 Ruwah 1945J Kuntårå Langkir. Sayup-sayup terdengar beberapa cantrik menembangkan måcåpat kidung wêngi Sêrat Wédhåtåmå.

    Punakawan ingin juga kekidungan, mengulas sebagian isi Sêrat Wédhåtåmå:

    Sêrat Wédhåtåmå adalah karya Kanjêng Gusti Pangéran Adipati Aryå (KGPAA) Mangkunagårå IV diciptakan bertujuan untuk mengajak umat manusia pada kemuliaan budi, dan larangan memperturutkan budi jahat.

    Beliau menangkap realitas sosial dan pandangan jiwa bahwa gejala-gejala lahiriyah memiliki kekuatan kosmis nominus yang merupakan realitas dunia.

    Nominus tersebut juga mengajarkan laku spiritual terkait proses kebaktian kepada Sang Maha Pencipta, atau lebih dikenal dengan istilah sêmbah rågå, ciptå, råså lan karså.

    Tentang sêmbah rågå, ciptå, råså lan karså, akan saya jlentrehkan pada kesempatan yang akan datang.

    Wédhåtåmå berasal dari suku kata Wédhå dan Utåmå artinya air jernih yang sejuk dan utama atau kautaman dalam kehidupan manusia (Jawa).

    Wédhåtåmå bukanlah dogma agama, namun ia adalah menjadi salah satu dasar penghayatan bagi siapa saja yang ingin “laku” spiritual dan bersifat universal lintas kepercayaan atau agama apapun.

    Wédhåtåmå merupakan ajaran luhur untuk membangun budi pekerti dan olah jiwa bagi kalangan raja-raja Mataram, namun ajaran ini tidaklah terbatas untuk lingkungan keraton Mataram (kini Ngayogyakartå Hadiningrat dan Suråkartå Hadiningrat), tetapi diajarkan pula bagi siapapun yang berkehendak menghayatinya.

    Ajaran Wédhåtåmå tidak ada iming-iming jaminan surga dan ancaman neraka, Wédhåtåmå melainkan suara hati nurani, yang menjadi “jalan setapak” bagi siapapun yang ingin menggapai kehidupan dengan tingkat spiritual yang tinggi.

    Puncak dari “laku” spiritual yang diajarkan serat Wédhåtåmå adalah menemukan kehidupan yang sejati, lebih memahami diri-sendiri, manunggaling kawulå Gusti, dan mendapat anugerah Gusti Kang Måhå Agung, untuk “melihat dan menghayati” alam semesta.

    Sêrat Wédhåtåmå yang berisi ajaran tentang budi pekerti atau akhlak mulia ini, digubah dalam bentuk tembang agar mudah diingat dan lebih “membumi”. Sebab sebaik apapun ajaran itu tidak akan bermanfaat apa-apa, apabila hanya tersimpan di dalam “menara gadhing” yang megah.

    Tentang Danang Sutawijaya, kelak adalah Panembahan Senapati, Serat Wédhåtåmå menembangkan:

    Nulådå laku utåmå,
    tumrapé wong Tanah Jawi,
    Wong Agung ing Ngèksigåndå,
    Panêmbahan Sénåpati,
    kêpati amarsudi,
    sudané håwå lan nêpsu,
    pinêsu tåpå bråtå,
    tanapi ing siyang ratri,
    amamangun karyênak tyasing sêsåmå.

    Mari kita mencontoh perilaku yang baik dan utama (ulådå laku utåmå ) bagi manusia “Jawa” (tumrapé wong tanah Jawi) yaitu orang yang besar dan terhormat di Mataram (wong agung ing Ngèksigåndå) adalah Panembahan Senapati yang tekun di dalam hal mengurangi dan mengendalikan hawa nafsu (kêpati amarsudi, sudané håwå lan nêpsu) dengan jalan prihatin dan bertapa (pinêsu tåpå bråtå) di siang maupun malam (tanapi ing siyang ratri) juga selalu berkarya membuat hati tenteram bagi sesama dengan kasih sayang (amamangun karyênak tyasing sêsåmå).

    Panembahan Senopati adalah raja pertama Mataram Islam yang bergelar:

    Panêmbahan Sênåpati Ing Ngalågå Ngabdurrahman Sayyidin Panåtågåmå Khalifatullah Tanah Jåwå.

    Dilihat dari gelarnya maka beliau itu sudah bisa menjadi pemenang atas diri sendiri dari ego kepemilikan pribadi yang diakui secara sepihak dan bermandikan cahaya Illahi yang penuh Rahman dan Rahim maka berhak menjadi khalifah dibumi ini dalam arti sudah menjadi wakil Tuhan di dalam menata agama dan negara.

    Ketika kita menjadi pemenang atas diri sendiri maka kita akan menggunakan nafsu muthmainah kita sebagai pemimpin dari segala nafsu kita, lalu apakah nafsu muthmainah itu?

    Nafsu yang ingin selalu dekat kepadaNya, hanya nafsu muthmainah yang mendengar panggilanNya sedangkan nafsu-nafsu lainnya hanya sibuk mengurusi keduniaan,

    Untuk siapa panggilan ini?

    Panggilan itu ditujukan kepada mereka yang terpuji atau umat yang menjunjung tinggi akhlak mulia serta mempraktekannya didalam kehidupannya sehari hari. Siapapun dia.

    Panembahan Senapati memberi contoh dalam olah rahså atau olah hati yang paling dalam, yang dimulai dari mengosongkan diri dari sifat kesombongan dan juga penyakit-penyakit hati lainnya, apabila kita bisa mengosongkan hati dari hal-hal yang bersifat keduniaan dan penyakitnya maka kita akan bisa mendengar suara kesejatian atau cerminan diri kita yang terbaik dari cahaya Illahi yang dipantulkan dengan sangat bening atau rahså sejati.

    Setiap orang punya bentuk rahså sejati, hanya berbeda-beda sesuai dengan karakter yang dimilikinya tapi pada hakekatnya sama yaitu bening tanpa cacat, cela dan noda, inilah cerminan sebaik-baiknya diri kita yang akan menjadi teladan pribadi untuk kita contoh dan ikuti, dan ini hanya bisa dirasakan dan dihayati bagi yang percaya.

    Apabila kita bisa mengikuti apa kehendak kesejatian itu, maka diri kita akan bersatu dengannya, dan menjadi diri sejati yang sebenarnya, siap untuk untuk menjadi mata, telinga, tangan, dan seluruh indera kita, maka inilah khalifah Allah yang sesungguhnya yang tanpa pengakuan dari pihak manapun, tapi sudah diakui olehNya.

    Khalifah Allah inilah yang berhak menjadi pemimpin atas agama dan masyarakat. Dalam Islam, pemimpin atas agama bisa berarti ulama, namun syarat-syarat syar’i menjadi ulama yang berupa hafal Al Qur’an beserta Al Hadits serta yang berkenaan dengan itu tidaklah cukup, karena bisa jadi iblis lebih mengetahui Al Qur’an dan Al Hadits serta lebih fasih hukum-hukum agama, daripada ulama, tapi kita tahu, iblis bukanlah ulama, malahan menjadi musuh kita yang nyata, maka dari itu kebeningan hati serta terbebasnya diri dari segala kepentingan duniawi menjadi syarat mutlak bagi ulama supaya fatwa-fatwa yang dikeluarkan tidak terkotori nafsu-nafsunya sendiri dan sayangnya tidak semua ulama terbebas dari kotoran-kotoran hati dan dunia, bagaimana mau menghasilkan fatwa yang benar kalau petunjuk Allah terhalang oleh kekotoran hatinya sendiri, ini hanya analogi sederhana bagaimana pentingnya menjaga dan membersihkan hati secara terus menerus.

    Begitu pula analogi bagi pemimpin masyarakat yang benar atau pamong pråjå. Pamong itu sifatnya ngêmong atau melayani, dengan demikian, tidaklah tepat kalau pemimpin itu diistilahkan pemerintah, karena kesannya hanya bisa perintah, hanya menjadi “tukang perintah”, sedangkan pamong itu disamping melayani, dia juga bawahan dari masyarakat yang dipimpinnya itu.

    Pengabdian kepada rakyat bagi pamong adalah lebih utama, daripada pamrih atau imbalan (sêpi ing pamrih ramé ing gawé).

    Juga bukanlah seorang pemimpin bangsa jika dia adalah seorang pangrèh pråjå. Pangreh, dari kata dasar rèh, bisanya hanya menjadi “tukang rèh” atau tukang peras.

    Pangreh hanya sebagai penguasa tanah atau feodal sedangkan rakyat hanya dijadikan budak dari sang majikan, maka segala kebijakan hanya mengacu pada kesejahteraan si tuan penguasa, sedangkan kesejahteraan rakyatnya terabaikan.

    Di atas semua itu yang paling berbahaya adalah bersatunya pemimpin agama (ulama) dan pemimpin pemerintahan (umara) di dalam memperkosa rakyatnya dengan cara mengeluarkan fatwa-fatwa penuh nafsu dunia dengan disertai dalil-dalil penguat dalam rangka nafsu politis untuk menguatkan kekuasaannya, memeras harta rakyat dan membelenggu kemerdekaan hak asasi rakyatnya supaya kemerdekaan berpikirnya bisa dibatasi semaksimal mungkin.

    Panembahan Senapati adalah seorang pamong, dengan laku prihatin tåpå ngramé (bertapa di dalam keramaian, bertapa dengan menyibukan diri di dalam mobah-mosiking jagad).

    Tidak bertapa dalam arti hanya duduk bersamadi di puncak-puncak gunung atau gua, yang justru menjauh dari bêbrayan agêng, di sini Sang Panembahan dituntut bekerja tanpa pamrih membantu orang lain dengan segenap keikhlasan dan rasa syukur.

    Apabila kita ikhlas, sebagaimana dicontohkan Panembahan Senapati, maka segala kepemilikan kita sudah kita pasrahkan kepada Gusti Kang Agawé Urip, dalam arti rasa miliknya, di situlah kita berhasil mencapai “tidak punya rasa punya” maka segala langkah dan perbuatan kita akan serasa ringan tanpa beban.

    Kita akan menjadi manusia yang ringan tangan atau gemar menolong orang lain tanpa pamrih dan semua itu dilakukan dengan penuh rasa syukur apapun hasil yang kita peroleh, maka hikmah yang akan kita capai adalah sabar dan syukur disegala kondisi dan situasi serta gemar menolong terhadap orang lain tanpa pamrih.

    Tåpå ngramé itu pun dilakukan baik siang hari maupun malam hari, maka karenanya sepanjang hari nafsu kita akan terkendalikan seperti makan secukupnya dengan tidak berlebih-lebihan, serta membatasi diri dari perbuatan-perbuatan yang kurang berguna.

    Apabila kita sudah melakukan hal-hal tersebut maka kasih sayang Allah dalam hal ini adalah Rahman dan RahimNya akan memancar kepada kita untuk kita pantulkan kembali kepada sesama dalam bentuk perbuatan kita sehari-hari yang penuh kasih sayang dan cinta kasih Sang Maha Pencipta.

    Itulah makna salah satu dari filosofi Panembahan Senopati, dan tentu saja dengan tidak mengurangi rasa hormat kepada beliau pribadi selaku Pamong Kawula Mataram. Leluhur bangsa ini.

    ånå tutugé

    Nuwun

    Punakawan

    • matur suwun Ki Puna (II)

      satu kata yang selama ini jadi pertanyaan, “Ngeksiganda” dan belum ada yang bisa menjelaskan dengan baik kepada saya.
      jadi…, Ngeksiganda itu = Mataram?

      • Sugeng dalu Dimas Risang

        Nama Ngèksigåndå sendiri diartikan sebagai Matarum atau Mataram.

        Hal itu didasarkan pada kata ngèksi yang berasal dari kata èksi bermakna ’melihat’ yang dapat juga diartikan sebagai mata.

        Sedangkan gåndå atau bau mengacu pada pengertian bau harum atau dalam bahasa Jawa disebut arum.

        Dari kata itu kemudian muncul istilah ng+èksigåndå. Imbuhan ng menyatakan tempat. Jadi Ngèksigåndå sama maknanya dengan tempat atau lokasi Matarum/Mataram.

        Nuwun

        Punakawan

        • matur suwun…
          selama ini saya hanya memahami Ngeksiganda sebagai suatu nama tempat di Mataram, mungkin nama Kesatrian
          siip…………….
          tambah satu perbendaharaan kat

          • Lho, Mas Risang lupa to..???
            Gembleh kan sebutane Wong Agung ing Ngeksiganda.
            Kalau gak percaya, tanya deh ama pak Satpam.

          • sugeng dalu
            kawulo inggih kawulo ngeksigondo
            sinaos pinggiran
            cedak watu adoh ratu
            matur nuwun Ki Puno II

  12. Pamuji Rahayu

    Wo….. tibake Ki Ageng Gembleh saha Ki Gede Bancak, priyagung saking Mataram.

    Menawi Punakawan, inggih kadapuk dados punakawan, namung kawula alit kemawon, sanes trahing kusuma rembesing madu, sanes turunan ningrat, inggih namung turu ning pinggir ratan. 🙂

    He he he….
    Sugeng dalu para sanak kadang, sugeng malem minggon

    Nuwun

    Punakawan

    • Kasinggihan Ki Puna II,
      namung sak derma matrap ajian,

      Ing ngarsa angusung bandha,
      ing madya ambuleti perkara,
      tut wuri hangriwuhi.

      sugeng dalu.

      • menawi Ki Menggung remenanipun,

        Tut wuri hanjawili.

        • Trenyuh sanget Ki. Kawontenan ing nagari kita, kados ngendikanipun Ki Gembleh.ing nginggil.

          Wonten satungal ‘sesanti’ malih ingkang sami kaliyan ing nginggil:

          Ing ngarsa ngumbar angkara ………… adigang, adigung, adiguna

          Ing madya nglumpluke arta ………….. nyolong, njupuk masling, ngrampok

          Tut wuri mwlu nadahi………….. entuk turahan, ngemis

          ….


Tinggalkan Balasan ke Haryo Mangkubumi Batalkan balasan