SFBDBS-11

<<kembali ke SFBdBS-10 | lanjut ke SFBdBS-12 >>

—oOo—

Laman: 1 2 3 4 5

Telah Terbit on 4 April 2012 at 22:30  Comments (259)  

The URI to TrackBack this entry is: https://pelangisingosari.wordpress.com/sfbdbs-11/trackback/

RSS feed for comments on this post.

259 KomentarTinggalkan komentar

  1. selamat malam kadank sedoyo

    • lho……….kok sendiriannnn ?????

      • Tidak sendirian kok, ada saya……

  2. Sebagaimana Rangga Lawe, Raden Wijaya merasa kenal dengan orang yang datang bersama Mahesa Amping.

    “Perkenalkan, ini saudara kembar dari Empu Nada”, berkata Mahesa Amping memperkenalkan Empu Dangka kepada Raden Wijaya.

    “Ternyata aku bertemu dengan guru Paman Kebo Arema dan Baginda Maharaja Singasari”, berkata Raden Wijaya penuh santun dan penghormatan.

    Tamu dari Raden Wijaya ternyata memaklumi suasana pertemuan itu, orang itupun berpamit diri.

    “Maaf, urusanku sudah selesai, aku mohon pamit diri”, berkata orang itu kepada Raden Wijaya serta semua yang ada di pendapa Balai Tamu.

    Setelah tamu itu turun dari pendapa, kembali suasana penuh kegembiraan lebih terbuka lagi, mereka saling bercerita beberapa hal seiring selama perpisahan mereka.

    “Aku tidak melihat Paman Kebo Arema”, berkata Mahesa Amping menanyakan keadaan kebo Arema.

    “Paman Kebo Arema baru saja keluar, mungkin ada sedikit urusan di Benteng Cangu”, berkata Rangga Lawe kepada Mahesa Amping.

    “Setelah beristirahat, aku akan ke Benteng Cangu sekalian bertemu Kakang Mahesa Pukat”, berkata Mahesa Amping.

    “Kita semua akan mengantarmu ke Benteng Cangu”, berkata Rangga Lawe menyambung perkataan Mahesa Amping.

    Pembicaraan mereka tiba-tiba tertahan manakala dari balik pintu keluar seorang pelayan membawa minuman dan hidangan untuk mereka.

    “Silahkan dinikmati hidangannya”, berkata Rangga Lawe memberi kesepatan Mahesa Amping dan Empu Dangka memulai mengambil hidangan yang tersedia.

    “baru kali ini aku dipersilahkan oleh seorang yang bernama Lawe”, berkata Mahesa Amping yang disambut gerai tawa semuanya.

    “Ini untuk pertama dan terakhir, besok kamu bukan tamu lagi”, berkata Rangga Lawe yang membuat suara ketawa kembali menyambung berkepanjangan.

    Demikianlah, mereka saling bersenda gurau sambil menikmati hidangan diatas pendapa Balai Tamu. Empu Dangka dapat menilai begitu dekatnya persahabatan ketiga pemuda yang ada bersamanya itu.

    “Mereka tiga serangkai sahabat sejati dan sehati”, berkata Empu dangka dalam hati menilai keakraban ketiga pemuda dihadapannya itu sambil ikut menikmati senda gurau mereka yang sepertinya tidak ada batas perbedaan warna-warni pangkat dan derajat keturunan.

    • lho…!!??!, berarti kurang satu lagi

      • kamsiiiiiiiaaaaaaaaaaaaaa.

  3. satpam sudah coba bundel rontal yang tercecer, terbyata masih belum cukup.
    kalau Pak Dhalangnya menambahkan dua rontal lagi, maka SFBDBS-11 sudah bisa dibundel.
    he he he … (dengan nada berharap)

    • cuma dua rontal lagi ????? (sambil bernyanyi)

      makan, makan sendiri,
      nyuci, nyuci sendiri
      ngopi……bikin sendiri

      • cuma dua rontal lagi ???????
        (kirain sambil mencet keyboard)

      • Ngerontalpun ……pun sendiriiiiiiii

  4. Sementara itu di hutan seberang sungai Brantas, sekumpulan burung pengelana terlihat turun bertengger di beberapa ranting. Satu dua burung-burung muda terlihat tengah mencari perhatian dihadapan para burung betina dengan memegarkan bulunya yang halus putih sambil membuat sebuah suara kicau yang merdu. Sebagian lagi terlihat tengah meneguk air ditepian sungai Brantas penuh kepuasan setelah melewati perjalanan panjangnya.

    “Kita akan menemui kemarau panjang”, berkata Empu Dangka dengan pandangan jauh kedepan memandang burung-burung pengelana di seberang sungai Brantas.

    “Saat yang baik untuk membawa prajurit berlayar menuju Balidwipa”, berkata Mahesa Amping ikut memandang ke hutan di seberang Sungai Brantas.

    Dan waktupun terus berlalu, matahari diatas Sungai Brantas telah mulai tergelincir surut kebarat.

    “Mari kita ke Benteng Cangu, menemui Senapati Mahesa Pukat dan Paman Kebo Arema”, berkata Raden Wijaya.

    Maka terlihat mereka tengah menuruni anak tangga Balai Tamu dan melangkah menuju Benteng Cangu yang letaknya tidak begitu berjauhan.

    Tidak begitu lama mereka telah sampai di pintu gerbang Benteng Cangu. Seorang pengawal yang melihat tangan kedmereka langsung membukakan pintu gerbang dan mempersilahkan masuk.

    Sementara itu Mahesa Pukat dan Kebo Arema yang tengah berada di atas pendapa Benteng Cangu telah melihat kedatangan mereka yang semakin mendekat.

    “Guru….”, berkata Kebo Arema sambil menuruni anak tangga pendapa.

    “Bangkitlah anakku”, berkata Empu Dangka menyentuh punggung Kebo Arema untuk bangkit berdiri.

    Maka suasana benar-benar menggembirakan, banyak sekali yang mereka percakapkan sepanjang berbagai hal selama perpisahan waktu diantara mereka.

    “Kamu telah melaksanakan tugasmu dengan baik”, berkata Mahesa Pukat kepada Mahesa Amping yang telah bercerita cukup panjang mengenai perjalanan tugasnya di Balidwipa.

    “Saran dan pandangan Kakang Mahesa Pukat sangat diharapkan”, berkata Mahesa Amping kepada Mahesa Pukat berharap mendapat berbagai masukan.

    “Apakah kamu tidak ingin menerima saran dan pandanganku ?”, berkata Kebo Arema sambil mengelus janggutnya yang panjang penuh senyum.

    “Saran dan Pandangan dari Kakang dan Paman sangat diharapkan”, berkata Mahesa Amping mengulang kembali perkataannya.

    Demikianlah, mereka bersama saling memberikan beberapa pandangan berdasarkan apa yang telah diamati Mahesa Amping selama berada di Balidwipa.

    • satu………….,berteriak sambil bersalto tiga kali dan langsung berdiri bertolak pinggang. hehehe

  5. satu rontal lagi, masuk di gandok 12 yang sduah terbuka
    he he he ….

  6. “Kapan kalian akan ke Kotaraja ?”, bertanya Mahesa Pukat kepada Mahesa Amping

    Terlihat Mahesa Amping memandang Raden Wijaya berharap ikut memberikan jawaban.

    “Kami akan berangkat segera, tentunya setelah Mahesa Amping dan Empu Dangka cukup beristirahat”, berkata Raden Wijaya cukup terdengar bijaksana.

    “Kalian semua akan berangkat ke kotaraja ?”, bertanya kembali Mahesa Pukat.

    “Mungkin Rangga Lawe yang harus tertinggal mewakili segalanya di Balai Tamu”, berkata Raden Wijaya.

    Maka semua mata tertuju kepada Rangga Lawe.

    “Sebagai prajurit, aku siap menerima tugas dari Sang Senapati”, berkata Rangga Lawe dengan wajah senyum terpaksa karena sedikit kecewa tidak diikutkan ke Kotaraja.

    Namun perkataan Rangga lawe itu sudah membuat semua diatas pendapa benteng Cangu tertawa.

    Sementara itu waktu berlalu seperti berlari, senja telah mulai merangkak pergi meninggalkan bumi menyelinap dibawah kegelapan malam yang telah mulai merayap menyelimuti bumi.

    “Kami mohon pamit diri”, berkata Kebo Arema kepada Mahesa Pukat mewakili.

    Maka terlihat Kebo Arema, Mahesa Amping, Empu Dangka, Raden Wijaya dan Rangga Lawe tengah menuruni anak tangga pendapa Benteng Cangu diringi pandangan mata Mahesa Pukat sampai
    akhirnya menghilang tidak terlihat lagi ketika mereka terhalang pintu gerbang benteng cangu yang tinggi.

    Berlima mereka beriring berjalan melangkah menuju Balai Tamu Bandar Cangu yang tidak begitu jauh dari Benteng Cangu. Sementara langit malam telah menutupi air sungai Brantas menjadi begitu kelam, hanya terdengar riak gelombangnya sesekali menampar kayu bahtera Singasari yang tengah bersandar di dermaga kayu itu.

    Seorang pelayan menyambut kedatangan mereka di pendapa Balai Tamu.

    “Hamba kira tuan-tuan akan kembali dari Benteng Cangu sampai jauh malam”, berkata pelayan tua itu penuh senyum ramah.

    “Kami rindu dengan masakanmu Pak tua, itulah sebabnya kami segera kembali”, berkata Rangga Lawe kepada pelayan tua itu membuat semua yang mendengar ikut tersenyum.

    Diam-diam Empu Dangka memperhatikan keakraban sikap pelayan tua itu kepada penghuni Balai Tamu itu.”Kesetiaan pelayan tua itu buah dari sikap penghuni rumah ini yang menghormatinya bukan sebagai pesuruh, tapi sebagai sahabat”, berkata Empu Dangka dalam hati mengagumi sikap kasih orang-orang disekilingnya itu.

    Sinar bulan sepotong redup memandang wajah alang-alang yang melenggut ditepian sungai Brantas. Dan malampun telah jauh merambah kegelapan.

    • cihuiiiiiiiii……….,

      • he he he ….., gandok 12 sudah dibuka ki
        rontal terakhir sya masukkan di gandok 12.


Tinggalkan Balasan ke sandikala Batalkan balasan