HLHLP-119

sebelum>>| awal>>| lanjut>>

Laman: 1 2 3 4 5

Telah Terbit on 15 April 2011 at 19:30  Comments (307)  

The URI to TrackBack this entry is: https://pelangisingosari.wordpress.com/hlhlp-119/trackback/

RSS feed for comments on this post.

307 KomentarTinggalkan komentar

  1. Ceritanya semakin membuat penasaran. Ayo Ki kompor….. segera wedar tutuge!!

  2. Tutug-e…………belon kemalaman

    Sang fajar telah datang memenuhi janjinya. Kesibukan pagi sebagaimana hari-hari kemarin di Padepokan terpencil itu mulai terlihat. Beberapa budak yang bekerja di dapur sibuk didepan perapiannya. Sementara di sungai belakang Padepokan masih dipenuhi mereka yang bersih-bersih diri.

    “Hari ini adalah hari yang istimewa untuk para budak belian”, berkata Gedemantra kepada Mahesa Pukat .

    “Hari istimewa ?”, bertanya Mahesa Pukat belum mengerti.

    ……………………..
    telah dipindah ke https://pelangisingosari.wordpress.com/hlhlp-119/5/

    • Kamsiaaaaaaa……

    • matur nuwun ki kompor

    • matur nuwun ki Kompor…

    • Alhamdulillah, ………. tenyata pengembaraan imajinasi Ki Mahesa Kompor hampir nggak ada bedanya dengan Ki SHM. Kita serasa masih dalam lingkup karya Ki SHM, …….
      Nuwun

  3. Wah esuk-esuk sarapan nasi goreng .
    Matur nuwun Ki Kompor.
    Matur nuwun P. Satpam.
    Sugeng enjang

  4. cantrik TELAT mampir….selamat SIANG
    kadang padepokan ki MAHESA,

    • akhirnya cantrik mengambil suatu keputusan :

      “tetep HADIR, biarpun HUJAN deras sepanjang
      perjalanan”

  5. selamat sore, tetap hadir apapun cuacanya

  6. Akhirnya akupun memutuskan sebelum berangkat ke mesjid mampir dulu di padepokan.
    Sugeng dalu.

  7. Asyiikkkkkkk, diluar perkiraan.

    ayo tutug’e ndang diwedhar.

    sugeng dalu.

  8. Tutug-e………………belon kemalaman.

    Sementara itu, pada hari yang sama, empat ekor kuda bergerak menuju hutan somplak. Mereka adalah Mahesa Murti, Mahendra, Pangeran GacoBahari dan seorang kepercayaannya.

    Dalam perjalanan menuju hutan Somplak, Mahendra mengagumi Pangerang Gacobahari yang sepertinya tidak merasa asing dan menguasai setiap jengkal daerah yang dilaluinya.

    “Ternyata Pangeran Gacobahari sering bertualang disekitar daerah ini”, berkata Mahendra dalam hati sambil mencoba mengaitkan antara Pangeran Gacobahari dan suara jalak kebo yang didengarnya pada malam kemarin. “Pangeran Gacobahari begitu yakin dengan kemampuannya sendiri”, berkata lagi Mahendra dalam hati. Karena yang ia ketahui, seorang Pangeran selalu tidak melepaskan pengawalan pribadinya, minimal sepasukan prajurit yang kuat.

    ……
    sdudah dipindah ke https://pelangisingosari.wordpress.com/hlhlp-119/5/

    • padepokan “GEMPAR”….Eeh-Eeh, tiba’e ki Gembleh
      beserta rombongan ibu2 PKK, lagi ngapain ki…!!

      lha yang di dalam padepokan lagi pada TEGANG-an
      kok ya dateng2 bawa pasukan seGITU banyak-E…..

      • lanJUT pak DALANG….jangan terGANGGu ama GODA-an,

        cuma kok giMANA gituuu, masak konco dewe yg datang
        gak dipersilaHkan masuk,

    • Telah terjadi kegemparan yang luar biasa yang mengagetkan Datuk Malakar dan Pangeran Gacobahari, juga ratusan pengikutnya.

      Mahisa Pukat berdiri dengan santainya setelah ikatannya dilepaskan. Sambil meliuk-liukkan pinggangnya (apa itu bahasa Indonesia-nya molet, he he he …, tiba-tiba kok lupa). Katanya kepada Mahisa Murti, “hadu….., cuapeek sekali tidak bisa bergerak setengah hari. Kenapa kalian lama sekali baru sampai”

      Wantilan pun ikut-ikutan berdiri sambil mengangkat Mahisa Semu yang masih pura-pura tidak berkutik. Katanya, “ayolah, sudah tiba waktunya untuk melemaskan badan yang sempat kaku sejenak tadi”

      Mahisa Semu dengan malasnya ikut berdiri, katanya, “he he he …, mereka kena tipu ya”

      Sementara itu, Ki Arga yang sudah dipesan oleh Mahisa Murti untuk mengawasi dari jauh, telah mendapatkan pesan melalui aji pameling agar menyiapkan sekelompok cantrik senior untuk segera menuju padepokan tersebut.

      Pangeran Gaco Bahari terhenyak sesaat, kemudian katanya, “Ternyata kalian memang licin sekali, kalian berhasil mengelabui kami ……>

      he he he …, embuhlah lha kok ngrusihi Ki Kompor.
      monggo Ki dilanjut.

  9. Luar biasa, benar-benar menegangkan. Monggo dilanjutkan Ki Kompor.

  10. Ruaar biasa, Matur nuwun ki Mompor,
    Ki Satpam.
    Sugeng enjang.

    • Matur nuwun ki Mompor,
      Ki Sampam.
      Sugeng sinjang.

  11. Ternyata Ki Kompor masih bisa mengikat para cantrik melalui cerita komtemporer ini, terbukti kunjungan ke padepokan tetap ramai, walaupun mnetriknya tidak ada.
    Monggo Ki lanjut.

  12. sret-sreeet….paraf sik, nanti malam
    sambang lagi

    • sret-sreeet….paraf sik, nanti SORE
      nginguk lagi

    • melu ki…..gantung nih lagi seru…..monggo ki Kompor di lanjut

  13. Ki dalang bersama para sinden sing demplon masih dalam perjalanan dari tlatah bulungan, buju buneng….jalan merayap menuju semanggi, para sinden pupurnye pade luntur……………..

  14. wah jan pinter tenen, mandek pas tanjakan, unjal napas sik

    • Jangan lupa pasang rem tangan, …… posisi gigi ompong, …… lepas pelan2 pedal rem kaki.

      • badan dibongkokan, tangan lurus kebawah, ambil napas, pelan pelan berdiri, tangan direntang, mata menatap monitor, sudah wedar belum, wuuuuuaaaaaaah belum

  15. Tutug-e……………………………masih belon kemaleman

    Tiba-tiba saja terdengar suara lantang berasal dari kelompok para budak belian.

    “Wahai para buda belian, inilah hari yang pernah aku janjikan, tekadkan diri kita, mati atau hidup dalam kemerdekaan”, ternyata suara itu berasal dari kepala suku mereka Putumantra.

    “Merdeka !!!”, gemuruh suara para budak belian menyambutnya.

    Maka seperti banjir bandang, ribuan budak belian menyerbu para pengikut Datuk Malakar.Rasa gentar menghentak para pengikut Datuk Malakar melihat wajah merah penuh kebuasan berlari menghampiri mereka.

    Dan semua berlangsung begitu cepat, gemuruh suara para budak belian benar-benar membuat para pengikut Datuk Malakar tercengang, tidak tahu apa yang harus dilakukannya.

    ……
    sdudah dipindah ke https://pelangisingosari.wordpress.com/hlhlp-119/5/

    • Seperti OVJ, sang sinden menembang mengiringi gending…………..tarik Kangmaseeeeeee……

      • Lanjuuuttttt mang……………..
        mumpung belon terlalu malem,
        Ki Arga nungguin,
        Ki Bancak nungguin,
        Ki Mukidi nungguin,
        Ki Honggopati nungguin,
        Ki TruPod nungguin,
        Ki Menggung Yp & GdL nngguin,
        Ki Ajar pk Satpam juga nungguin,

        nungguin tutug’e maneh…..!!!!!
        para kadhang lainnya juga nungguin,

        • setujuuu….

        • Setuju juga, mumpung belum tengah malam, masih banyak yang nungguin. Monggo wedar lagi Ki Kompor.

  16. sset….,masih banyak bahan mentah dipenggorengan,
    tapi….,
    “sunah nabi bang !!!”, teriak sang permaisuri dari dalam kamar.
    Bukannye sunah nabi malem jumaat”, teriak gue keras
    “itu khan kate Pak erte”, berkata sang permaisuri dari dalam kamar
    “yang bilang malem kamis siapa ??”, teriak gue lagi
    “GUEEEEEEEEE !!!!” teriak sang permaisuri masih didalam kamar.
    Buju buneng, kalo ude kate “GUE”, jangankan Pak Erte, SBY sekalipun pasti enggak bakal “menang”

    bleb bleb bleb……..ZZZzzzzZZZZzzzz

    • masih ada bahan mentah dipenggorengan……..

      Mahesa murti melirik gambar kecil dilengan orang bercambuk itu.Sebuah lukisan “cakra”.Sebuah lambang perguruan besar diujung delta Brantas, perguruan “SINDU SEJATI”.
      (jangan-jangan buyutnye Kiai Grinsing ????)

      • yang gue inget…..waktu itu Ki Pamanahan sedang sakit parah…terus enggak sengaja liat tatto nya Kiai Grinsing.
        Ade yang inget, siapa nama Kiai Grinsing sebenarnya ????

        • Pamungkas nama sebenarny. Karena ia adalah anak ragil. Itu yang saya ingat. Mohon pencerahan sesepuh padhepokan kalau salah

  17. Sugeng enjang.
    Ki Kompor
    P. Satpam.
    Kadang sedoyo.

    Alhamdulillah gandok makin ramai.
    Matur nuwun Ki Kompor.
    Punopo sampun sunahipun?

  18. antri nunggu ransum…..biasanya setelah sunah nabi ki Kompor semangatnya tambah….

  19. Nuwun
    Sugêng énjang ndungkap siyang

    DONGENG GELAR PERANG

    Waktu terus berjalan, Sembari menunggu wedaran Ki Dhalang Mahesa Kompor van Situ Cipondoh yang pada episode terakhirnya bercerita tentang perang dengan gelarnya, disebutkan ada: gelar perang cakra birawa dan gelar perang capit urang.

    Berikut cantrik Bayuaji ikut meramaikan dengan medar Dongeng Gelar Perang.

    Siasat dan gelar pasukan perang telah dikenal di kerajaan kerajaan kuno ditanah Nusantara, mulai dari jaman Mataram kuno sampai dengan jaman Mataram baru.

    Khusus ditanah Jawa, hal tersebut dapat dibuktikan dengan adanya sejumlah relief yang tergambar di sejumlah candi,

    Gelar-gelar perang ini pernah dipakai ketika terjadi pertempuran-pertempuran semasa kerajaan-kerajaan Nusantara, misalnya: Perang antara Ken Agrok dan Prabu Dandang Gendhis dalam Perang Ganter, ekspedisi Pamalayu semasa Prabu Kertanegara; perang mempersatukan Nusantara dalam episode “Sumpah Tan Ayun Amuktia Palapa”.

    Bahkan di jaman Perang Kemerdekaan pun, beberapa gelar perang pernah dipakai, salah satu contohnya adalah perang pasukan Tentara Keamanan Rakyat (cikal bakal TNI) yang dipimpin Jenderal Soedirman melawan pasukan Inggris dan NICA Belanda yang berlangsung dari bulan November sampai Desember 1945 di Ambarawa Jawa Tengah.

    Gêlar Pêrang Garudå Nglayang beliau gunakan untuk mengusir tentara Inggris dan NICA dari Ambarawa.

    Dan pada tanggal 12 Desember 1945, Soedirman melancarkan serangan serentak dengan Gêlar Pêrang Cåkrå Byuhå atau Siasat Pêrang Gilingan Råtå terhadap semua kedudukan Inggris di Ambarawa.

    Pertempuran yang kemudian dikenal dengan Palagan Ambarawa itu berlangsung selama lima hari, diakhiri dengan mundurnya pasukan Inggris ke Semarang. Perang tersebut berakhir tanggal 16 Desember 1945.

    Gêlar Pêrang:

    1. Gêlar Pêrang Wulan Tumanggal:

    Siasat perang ini diibaratkan seperti bentuk bulan sabit, dimana seolah-olah wujudnya tidak membahayakan. Tetapi sesungguhnya siasat ini membahayakan karena di ujung sudut dan di tengah barisan selalu siap sedia dengan gerakan yang mudah dilakukan.

    Lihatlah malam di kala bulan muncul di awal. Awal bulan, atau bulan sabit menyinarkan keteduhan dan ketenangan. Namun dalam perang, siasat “wulan tumanggal” menyimpan kejutan-kejutan. Di ujung sudut dan di tengah, tanpa diduga kadang muncul mengejutkan lawan.

    2. Gêlar Pêrang Supit Urang:

    Bayangkan bila seekor udang tengah mempertahankan diri atau menyerang dengan merentangkan sapitnya untuk mematikan lawan. Sang udang akan menggunakan sapitnya untuk menyerang musuh yang mendekatinya.

    3. Gêlar Pêrang Dirådåmétå:

    Dirådåmétå artinya gajah yang sedang marah. Siasat ini menggambarkan kemarahan seekor gajah. Kemarahan yang mengagumkan (sekaligus mengerikan), belalai dan gading gajah itu sangat membahayakan.

    Dan kekuatannya pun maha dahsyat. Imajinasikan bagaimana seekor gajah dengan tenaga yang luar biasa besarnya, sedang marah memainkan belalainya dan menyerundukan gadingnya yang keras dan tajam. Gajah menyeruduk maju terus tanpa kenal rasa takut dan sakit.

    4. Gêlar Pêrang Gilingan Råtå:

    Siasat perang ini sangat hebat, menyerupai roda kereta (råtå = kereta) yang menggelinding dengan dahsyat sehingga apapun apapun yang tergiling akan hancur lebur.

    Perang dengan siasat ini harus mengerahkan tentara dengan jumlah besar dan harus mampu bergerak cepat, sebab tujuan siasat ini adalah menggempur kekuatan lawan dengan segera dan habis pada seketika itu juga.

    Siasat ini memerlukan panglima perang yang ulung, hingga musuh tak dapat melawan. Pemimpin gerakan ini sebagian berada di garis depan dan sebagian lagi berada di garis belakang untuk mengelabuhi musuh.

    Siasat perang “Roda Kereta” bisa dibayangkan sebagai pasukan yang maju untuk bertempur laksana roda yang menggelinding musuh di depannya. Musuh akan tergilas, tergiling dan hancur lebur menyisakan debu.
    Pemimpin pasukan ditempatkan di depan dan dibelakang agar mengetahui gerak-gerik musuh.

    Adapun gelar-gelar perang lainnya yang dikenal adalah:

    1. Gêlar Pêrang Garudå Nglayang:

    Gêlar Pêrang Garudå Nglayang ini mengandalkan kekuatan pasukan yang besar seperti burung garuda melayang dan meniru gerakan burung garuda, dimana panglima dan pemimpin pasukan berada di paruh, kepala, sayap, dan ekor memberikan perintah kepada anak buahnya dengan siasat seperti tingkah burung garuda yang menyambar atau mematuk.

    Pada intinya serangan ini mengandalkan satu senapati utama pada posisi paruh, kemudian sayap kiri kanan bergerak bebas dengan posisi pengatur posisi yang sedikit heroik, sebab perlindungan posisi pengatur pasukan berada di depan, pasukan inti menempati posisi cakar kaki, kemudian pemimpin utama berada di ekor sebagai posisi pasukan penyapu terakhir.

    Gelar ini menempatkan Senopati di depan sendiri sebagai paruhnya, kemudian dua orang berjajar, seorang Senopati di belakang paruh sebagai kepala burung, kemudian Senopati Agung di belakang kepala burung. Dua orang Senopai berada di ujung sayap kanan dan kiri yang cukup jauh.

    Para Prajurit mengisi sayap dan menyambung dengan tubuh burung, kepala dan ekor, di mana di ekor burung terdapat seorang Senopati lagi. Dua sayap pada Gelar ini dimaksudkan agar dapat mengepung prajurit musuh untuk dikalahkan/ditumpas.

    2. Gêlar Pêrang Cåkrå Byuhå:

    Gêlar Pêrang Cåkrå Byuhå adalah formasi perang dengan pengepungan/countainment. (Cåkrå = cakram, senjata berbentuk bulat pipih bergerigi; Byuhå = gelar barisan).

    Formasi ini dapat juga digunakan untuk masuk ke tengah-tengah medan pertempuran yang sudah terlebih dahulu terjadi. Lingkaran gelar Cåkrå Byuhå akan langsung masuk ke tengah-tengah peperangan, kemudian mengembang sebagai gelar lingkaran yang semakin besar.

    Gelar yang berbentuk lingkaran bergerigi, yang menempatkan para senapatinya di sepanjang ujung geriginya. Gelar itu akan dapat menghadap ke segala arah sesuai dengan keadaan yang berkembang di medan yang sengit, yang mengarah kepada perang brubuh.

    Namun berbeda dengan gelar Gêdong Minêp, yang juga merupakan lingkaran yang rapat, maka gelar Cåkrå Byuhå menempatkan senapati utamanya di depan, di luar lingkaran. Senapati Utamanya dapat bergeser menurut keadaan. gelar cakra byuha biasanya digunakan untuk melindungi raja, orang penting, tawanan atau pusaka,yang akan dibawa kesuatu tempat.

    Orang/ barang yang dilindungi tsb diletakkan ditengah gelar, sementara pasukan melindungi berlapis lapis berbentuk bulat/melingkar. dengan ujung-ujung geriginya pasukan bergerak menghancurkan penghalang yang merintangi.

    3. Gêlar Pêrang Gêdong Minêp:

    Gêlar Pêrang Gêdong Minêp adalah sebuah formasi yang digunakan untuk menjebak musuh yang jumlahnya lebih sedikit dengan cara memancing pasukan lawan untuk masuk kedalam gelar, kemudian pasukan lawan kalau sudah masuk ditengah, akan mereka kurung (gêdong=gedung, minêp=menutup) kemudian lawan akan dihancurkan.

    Gelar ini tidak efektif manakala jumlah pasukan seimbang atau lebih banyak, karena kepungan lambat laun akan jebol. Panglima dari gelar Gêdong Minêp berada di dalam lingkaran yang tertutup rapat.

    Senopati berada di tengah, dikelilingi bawahan dan prajuritnya. Sehingga bila mendapat serangan musuh maka para prajuritnya yang terkena lebih dulu.

    Apabila Gêlar Pêrang Gêdong Minêp ini bukan suatu siasat untuk menjebak musuh, maka gelar ini memberi gambaran bahwa Senopati atau Senopati Agung tersebut sebenarnya kurang memiliki keberanian.

    4. Gêlar Pêrang Jurang Grawah:

    Gêlar Pêrang Jurang Grawah mirip dengan Gêlar Pêrang Gêdong Minêp, namun biasanya digunakan untuk melawan pasukan yang lebih banyak jumlahnya dengan cara memancing mereka kedalam pasukan, tetapi tidak dikurung (jurang=jurang, grawah= menganga), lawan dibiarkan masuk sebanyak banyaknya, namun begitu sampai ke tengah pasukan langsung dibinasakan.

    Formasi ini hanya bisa dilaksanakan jika pasukan memiliki kelebihan kemampuan, baik perseorangan maupun dalam kelompok dibanding dengan pasukan lawan, atau dapat dikatakan ini adalah gelar yang sering digunakan oleh pasukan khusus, walaupun kecil jumlahnya tapi berkemampuan tinggi.

    5. Gêlar Pêrang Wukir Jaladri:

    Gêlar Pêrang Wukir Jaladri adalah formasi pasukan yang bentuknya seperti gunung di tengah lautan (wukir = gunung, jaladri = lautan). Gelar ini biasanya digunakan untuk bertahan dari gempuran musuh. Bermakna Gunung di tengah laut.

    Kendaraan besar dan gajah akan ditempatkan di tengah sebagai gunung atau batu karang, dengan Panglima berkedudukan di tengah-tengahnya sebagai pusat komando, sedangkan para Senopati dan prajurit melingkarinya sebagai gelombang dan airnya.

    6. Gêlar Pêrang Gêlatik/Êmprit Nêbå:

    Gêlar Pêrang Gêlatik atau Êmprit Nêbå ini mrip Gelar Pêrang Jaladri Pasang, yaitu samudera yang sedang pasang airnya, dimana gerak-gerik pasukan diibaratkan air laut pasang yang mematikan.

    Adalah strategi perang dengan bentuk formasi seperti burung gelatik dalam jumlah banyak yang bersama sama turun dari udara (nêba= turun dari udara dalam keadaan terbang), atau burung gelatik yang secara bersama-sama datang ke sawah untuk mencari makan padi, pada umumnya melayang turun bersama-sama.

    Tentu saja burung gelatik tersebut mamakan padi semaunya sendiri tanpa aturan maka rusaklah tanaman padi yang diibaratkan sebagai musuh.

    Gelar ini biasanya dilakukan oleh Senopati Agung dan sepasukan prajurit yang sudah putus asa, mungkin karena sudah terjepit tapi pantang menyerah.
    (Ada peribahasa Jawa yang berbunyi: Kinêpung wakul binåyå mangap, yang artinja dikelilingi seperti pertemuan bingkai bakul dan seperti bertemu dengan buaya ternganga mulutnya. Berarti bahaya yang tak dapat dihindari.)

    7. Mowor Sambu dan Dom Sumuruping Banyu:

    Mowor Sambu dan Dom Sumuruping Banyu oleh sebagian orang tidak digolongkan dalam gelar perang tetapi hanya bagian dari strategi perang.

    Dalam Gelar Wowor Sambu, sepasukan prajurit, sebagian atau bahkan seorang prajurit bertugas menyerang musuh dari belakang atau dari dalam dengan cara menyamar sebagai prajurit musuh atau dalam bentuk lain.

    Hal ini pernah dilakukan prajurit Mataram pada masa Sultan Agung menyerang Kompeni Belanda/VOC di Batavia tahun 1629, dengan memasukkan prajuritnya ke dalam benteng VOC sebagai pedagang sayur-mayur sejumlah 40 prajurit, yang kemudian bertugas menyerang musuh dari belakang, sementara prajurit Mataram yang besar jumlahnya menyerang dari depan atau luar benteng.

    Sedangkan pengertian Dom Sumuruping Banyu adalah memasukkan sedikit orang ke daerah musuh untuk memata-matai kekuatan musuh, hal ini sama dengan Wowor Sambu apabila dengan prajurit yang relatif sedikit yang ditugaskan khusus hanya untuk memata-matai musuh.

    ånå candhaké

    Kêparêng rumiyin. Kalau pake gayanye Ki Kompor…
    kamsiaaaaaa………………….
    nyilem lagi ach……..

    Nuwun

    cantrik bayuaji

    • Nuwun sewu Ki Bayu, …… Cantrik Truno gak putus2nya nyrandu. Nopo tentara kompeni ugi ngangge gelar2 perang kangge nglawan prajurit Mataram?
      Lajeng nopo tentara Modern taksih ngangge gelar2 perang meniko, mengingat mobilitas tentara jaman seniki sangat tinggi, ip. ngangge kendaraan perang.
      Nuwun.

      • Nuwun

        On 28 April 2011 at 10:58 Truno Podang said:
        tentara kompeni ugi ngangge gelar2 perang kangge nglawan prajurit Mataram?
        Lajeng nopo tentara Modern taksih ngangge gelar2 perang meniko, mengingat mobilitas tentara jaman seniki sangat tinggi

        Katur ingkang kinurmatan kadang kulå Ki Truno Podang,

        1. Delar Perang VOC/Kumpeni Belanda

        Dalam sejarah perang antara kerajaan Jawa Mataram melawan kumpeni Belanda, tidak banyak informasi tentang gelar perang yang dipakai oleh tentara VOC/kompeni Belanda.

        Yang banyak diberitakan justru kegiatan intelijen (intelligence) sebelum terjadinya perang, artinya pihak kumpeni terlebih dahulu menyebarkan isue-isue yang bersifat mengadu-domba kepada petinggi-petinggi kerajaan, menciptakan kerusuhan-kerusuhan yang mengundang pihak kumpeni untuk menumpas kerusuhan-kerusuhan itu, yang pada akhirnya timbul “utang budi” sang pangeran/raja kepada VOC/kumpeni Belanda.

        Sebagaimana kita baca dalam sejarah raja-raja Jawa, sering terjadi saling jatuh-menjatuhkan antara pangeran yang satu dan pangeran yang lain, sehingga negara menjadi terpecah belah (Palihan Nagari Mataram: Kasunanan Surakarta dan Kasultanan Yogyakarta, kemudian terpecah lagi menjadi empat, Kasunanan Surakarta, Kasultanan Yogyakarta, Mangkunegaran dan Pakualaman). Naiknya seseorang menjadi raja karena “jasa baik” kumpeni.

        Bahkan seperti diberitakan dalam Babad Nitik Mangkunêgårå I (Catatan Harian Prajurit Èstri Mangkunêgaran). Diceritakan bagaimana muaknya RM Said melihat Pangéran Mangkubumi setelah Perjanjian Giyanti, Mangkubumi menghadiahkan istrinya sendiri, Raden Rêtnåsari, kepada Deller, Penguasa Belanda di Semarang, sebagai tanda keseriusan dan tanda keteguhan dari janji persahabatannya, dan merupakan balas karena “jasa baik” Belanda menobatkan Mangkubumi sebagai raja Keraton Yogyakarta.

        Demikian juga halnya Kesultanan Cirebon yang akhirnya menjadi dua Kasepuhan dan Kanoman (sekitar tahun 1677). Pembagian dua kekuasaan tersebut sekaligus menandai awal keruntuhan Kesultanan Cirebon.
        Perselisihan antara kedua kesultanan itu, ditambah dengan ketidakpuasan Pangeran Wangsakerta, memudahkan campur tangan politik VOC Belanda. Sejak perjanjian 7 Januari 1681, Gubernur Jenderal dan Dewan Hindia, mengakui keberadaan ketiga raja di Cirebon. Masing-masing berdiri sendiri. Dan pada tahun 1700, kesultanan menjadi empat kekuasaan. Selain Kasepuhan dan Kanoman, terdapat juga Kesultanan Kacirebonan di bawah Pangeran Arya Cirebon, dan Kaprabonan (Panembahan) di bawah Pangeran Wangsakerta. Sejak itu, perdagangan internasional melalui Pelabuhan Cirebon sudah berada di tangan VOC.

        2. Gelar perang pada Perang Modern

        Belum banyak yang saya ketahui juga Ki. Pernah beberapa waktu yang lalu, ketika saya berkunjung ke Museum Perjuangan TNI Satria Mandala yang terletak di Jalan Gatot Subroto Jakarta Selatan, terdapat beberapa diorama perang (tentunya ini merupakan imajinasi sang artis pemahat, meskipun didasarkan pada kisah nyata pelaku perang yang masih hidup), yang membentuk beberapa gelar perang mirip gelar-gelar perang yang ada, tetapi tidak ada cacatan tentang gelar perang jenis apa. Pada papan penerangan yang ada hanya disebutkan, misalnya Diorama perang penumpasan separatis DI/TII di Jawa Barat, Jawa Tengah, dstnya.

        Demikian Ki. Mudah-mudahan informasi ini bermanfaat.

        Nuwun
        Sugêng siyang

        cantrik bayuaji

        • nuwun sewu Ki, sumela atur, rikala Kol.Sudirman mimpin perang wonten “Palagan Ambarawa” , saged mimpang perangipun ngangge gelar supit urang,saksampunipun menang Pak Dirman dipun angkat dados Panglima Besar, sak enggo sepriki dipun peringati dados Hari Juang Kartika tgl 15- Des- 1945, nyuwun ngapunten bilih lepat

          • Nuwun

            Katur Ki Truno,

            Keberhasilan Jendral (waktu itu Kolonel)Soedirman memimpin pertempuran yang selanjutnya dikenal dengan Palagan Ambarawa, selama lima hari yang berakhir pada tangal 15 Desember 1945, dan karena peristiwa itulah, maka tanggal 15 Desember diperingati sebagai Hari Infantri AD, kemudian dengan Surat Keputusan KSAD Nomor Skep/662/XII/1999 tanggal 14 Desember 1999, peristiwa Palagan Ambarawa dijadikan Hari Juang Kartika.

            Sepanjang data dari Pusat Penerangan AD (Puspenad), gelar perang yang dipakai beliau ada dua yaitu: Gêlar Pêrang Garudå Nglayang dan Siasat Pêrang Gilingan Råtå.

            Sumber: Puast Sejarah TNI AD, Museum Perjuangan TNI AD Satria Mandala Jakarta.

            Kêparêng
            Sugêng sontên

            cantrik bayuaji

        • Nggih Cantrik Truno ngaturaken gunging panuwun pikantuk panglejaran Ki Bayu dalah Ki Bancak.
          Mugi karahayon ingkang tansah pinanggih.

  20. Mas Kompor pantas menjadi anaknya SH Mintardja
    sudah mirip buangetttt
    matur suwun ki kompor

  21. Mosok sunah rasul terus sampe siang? Awas lho kebanyakan SR nanti gak bisa nutul key board.

    Ono Tutuge, …

    • wakakakak……..ki Truno, ki Kompor lagi dalam pemulihan tenaga.

  22. ki Kompor sawek ndudul tik

  23. sugeng ndalu ki……

  24. siapa yang setuju tutug’e diunggah sekarang…????

    saya………………!!!!!!!!
    nomer satu.

    • kulo njenengan wakili sekalian ki Gembleh,

  25. ki DALANG MAHESA isih lemes ki, kemaren malam
    sampe pagi diPEres nyi DALANG.

    malem ini isih semrepet, belom bisa ndudul tIK
    he5x, ojo2 nyi DALANG malem ini minta “tambah”

    • tenang mawon Ki Menggung,
      kala wau sampun kula kintuni mantra
      ajian Thi Ki I Beng untuk memulihkan
      tenaga, dijamin kecepatan ndudul tik’e
      bakal tambah banter.
      Duka menawi dipun penggak Nyai’ne malih,
      nggih mesti bakal diperes ngantos tuntas.

      He…..he…..he…..
      sugeng dalu Ki.

  26. tas, tas tuntas

  27. Sugeng ndalu…..

    Lama tidak mampir padepokan. Ternyata banyak yang mesti dipelajari.

    Pamit badhe sinau rumiyin….

  28. Hup…., maaf,…baru nyampe …..

    keren…kursi undangan udeh banyak terisi,
    bahan mentah udeh lumayan banyak, metik diperjalanan.

    kamsia, ilmu perang Ki BY langsung ane sedot, ternyata ane saleh inget….tentang jenis-jenis perang…jadi dipersoriiiiiiii asal nyebut…gap pape khan……
    sip….siap-siap “copas” istilah anak sekarang

  29. Tutug-e………kemaleman.

    Sementara itu., Mahesa Semu dan Wantilan telah bergabung bersama pasukan para budak yang dipimpin oleh Kepala sukunya sendiri. Dan Nampak pula Gedemantra adikya yang tidak kalah gagahnya bertepur dengan begitu garang, sebagai panglima pengapit sisi kiri gelar capit urang.

    “Ternyata kau punya keberanian Dadulengit”, berkata Mahesa Semu yang baru bergabung disisi kanan gelar pasukan kepada Dadulengit yang tengah memutar-mutarkan golok panjangnya.

    “Kukira kau sudah mati”, berkata Dadulengit berpaling kepada Mahesa Semu setelah goloknya berhasil melukai seorang pengikut Datuk Malakar.

    ……
    sdudah dipindah ke https://pelangisingosari.wordpress.com/hlhlp-119/5/

    • Tutug-e……………nambah lagiiiiiiiiiiiiii

      Para pengikut Datuk Malakar sudah bercerai berai. Satu persatu terbunuh, satu persatu jatuh terluka dibantai para budak yang semakin garang, dan satu persatu melemparkan golok besarnya, menyerah !!!.

      Pasukan para budak yang dipimpin Putumantra telah menguasai peperangan. Pasukan para budak akhirnya telah benar-benar memenangkan pertempuran. Nampak beberapa orang pengikut Datuk Malakar yang menyerah tengah diikat diamankan.

      Datuk Malakar yang melihat peperangan telah dikuasai para budak, menjadi begitu gusar, geram dan marah sampai keubun ubunnya. Golok besarnya diputar begitu kencangnya seperti baling-baling menerjang Mahesa Pukat.

      ……
      sudah dipindah ke https://pelangisingosari.wordpress.com/hlhlp-119/5/

      • Seperti Operara Van Java, sang sinden melagamkan lagu “begadang” koborasi dangdut dan gending gamelan.

        …..begadang jangan begadang……..

        (Sori Ki YP, sindennya udeh ade yang antar jemput. He3x)

        • protes ki DALANG :

          sesuk2 biaya akomodasi sinDEN
          di-anggarkan 0 rupiah ki….!!!

          jempuT-antar sinden biar cantrik
          yg lakukan,…se-kalian cantrik
          pengen belajar ngiDUNG diperjala-
          nan.

  30. Nuwun
    Sugêng énjang

    Alhamdulillah, terima kasih Tuhan segala kenikmatan yang Engkau limpahkan pada kami.
    Hari ini aku sehat kembali. Matur nuwun semua doa dari sanak kadang.

    Nuwun

    punåkawan

  31. Nuwun
    Sugêng énjang

    Alhamdulillah, terima kasih Tuhan segala kenikmatan yang Engkau limpahkan pada kami.
    Hari ini aku sehat kembali.Matur nuwun semua doa dari sanak kadang.

    Nuwun

    punåkawan

    • semoga kita termasuk orang yang bersyukur

  32. Wadaoow Mahesa Pukat terluka.
    Terusannya mana Ki?
    Matur nuwun Ki Kompor.

  33. Ngebayangin Ki Kompor jam 2 dini hari sudah depan lap top terus sekarang lagi ngapain ya.

    • keramas ki, buat ngiLANGi rasa kantuk…!!

  34. matur nuwun ki….

  35. Nuwun
    Sugêng énjang ndungkap siyang</b

    candhaké DONGENG GELAR PERANG

    “… ternyata ane saleh inget….tentang jenis-jenis perang…jadi dipersoriiiiiiii asal nyebut…gap pape khan…….” Tulis Bang Kompor [On 29 April 2011 at 00:25 kompor said:]

    Kagak apé-apé bang Kompor. Nih toêtoêgé……………nambah lagiiiiiiiiiiiiii

    BENDA-BENDA “KERAMAT” DI MEDAN PERANG

    Dalam pada itu kita juga kenal dengan benda-benda “keramat” atau yang dikeramatkan, tetapi bukan senjata perang seperti pedang, tombak, panah, dan sejenisnya.

    Benda-benda ini dihadirkan di medan pertempuran digunakan untuk pembangkit semangat para tentara di medan peperangan, dan dimaksud untuk memberi rasa takut pada lawan, di antaranya adalah bende; panah sendaren; umbul-umbul dan cermin.

    Bêndé

    Bêndé atau canang adalah sejenis gong dengan ukuran yang lebih kecil yang dapat dijumpai di hampir seluruh kepulauan Nusantara.

    Pada masa lalu, bende biasanya digunakan untuk memberikan penanda kepada masyarakat untuk berkumpul di alun-alun terkait informasi dari penguasa, untuk menyertai kedatangan raja atau penguasa ke daerah tersebut, atau untuk menandai diadakannya pesta rakyat.

    Bende lazim juga digunakan dalam peperangan. alat musik ini memang khusus dipergunakan untuk komunikasi dalam peperangan.

    Tidak sembarang orang boleh memainkan dan tidak sembarang waktu boleh ditabuh.
    Bende tersebut sangat disakralkan, ingat judul sustu novel Bende Mataram.

    Bende ini biasanya diberi nama atau gelar yang berbau mistis dan seram berbau maut, misalnya: Kyai Amuk, Kyai Guntur, Kyai Pegatsih, nama-nama yang menyeramkan ini dimaksudkan agar dalam peperangan, bunyi bende ini bisa menggugah semangat tempur para prajurit dan menggetarkan nyali pasukan musuh.

    Panjang pendek nada yang diperdengarkan dan berapa kali dipukul adalah merupakan sandi sandi yang hanya dimengerti oleh beberapa orang pucuk pemimpin pasukan.

    Bunyi bende ini merupakan sebuah aba aba untuk membentuk formasi pasukan dan perubahan siasat dan gelar pasukan serta aba aba untuk memulai pergerakan pasukan.

    Dalam gelar pasukan perang biasanya dipimpin oleh satu Senopati Agung [jendral besar] dibatu oleh dua atau lebih Senopati Penjawat [senopati pendamping].

    Para senopati pendamping ini berfungsi memimpin unit unit pasukan yang ada di kiri dan kanan atau dibelakang pasukan induk.

    Begitu mendengar bunyi bende diperdengarkan, senopati pendamping akan menyuruh perwira penghubung untuk memberikan sandi balasan bahwa perintah telah sampai dan dimengerti oleh para senopati tersebut.

    Sebagai contoh bende yang merupakan salah satu peninggalan dari kerajaan Majapahit yang masih tersisa dan dikeramatkan adalah Gong Kyai Pradah yang sekarang disimpan dipendopo Kawedanan Lodoyo.

    Benda ini sampai sekarang masih dikeramatkan dengan melakukan upacara Siraman yang dilakukan tiap tahun dibulan Maulud dalam penanggalan jawa.

    Upacara ini sampai sekarang masih menjadi tradisi yang menarik yang dihadiri oleh para pejabat Kabupaten Blitar dan dibanjiri oleh penonton yang datang dari daerah Blitar,Kediri,Tulung Agung dan sekitarnya.

    Dalam Babad Pengging. Diberitakan ketika Sunan Kudus diperintahkan untuk ke Pengging menemui Syekh Siti Jenar:

    Perjalanan Sunan Kudus dan murid-muridnya, sampai di utara Kali Cemara, karena kemalaman mereka menginap di dalam hutan dengan membuat kemah.

    Pada malamnya harinya Sunan Kudus memerintahkan muridnya untuk membunyikan Bende Kyai Sima yang dibawa dari Demak.

    Bende itu adalah barang pusaka peninggalan mertua Sunan Kudus. Ketika Bende dipukul bunyinya mengaum seperti singa. Suara auman itu sampai terdengar ke desa-desa sekitarnya sehingga para penduduk desa merasa ketakutan.

    Esok harinya para penduduk desa masuk ke dalam hutan untuk membunuh harimau atau singa yang semalam mengganggu tidur mereka. Tapi mereka tidak menemukan singa yang dicarinya. Hanya bertemu dengan Sunan Kudus beserta muridnya.

    “Apakah Tuan tidak mendengar suara harimau mengaum semalam ?” tanya tetua desa.
    “Tidak !” jawab Sunan Kudus. “Andai kata kami melihat harimau tentu kami tidak berani bermalam di sini dan segera lari ke desa.”
    “Sungguh mengherankan, kami tidak tidur semalaman karena kuatir harimau itu datang ke desa kami,” kata tetua desa.
    “Kalau begitu namakan saja desamu ini Desa Sima (harimau) karena kau mendengar suara harimau padahal tidak ada harimau sama sekali,” kata Sunan Kudus.

    Penduduk desa menurut dan Sunan Kudus pun meneruskan perjalanannya ke Pengging.

    Panah sêndarèn

    Sebagai sandi balasan dari bende yang ditabuh biasanya mempergunakan panah api atau panah bersuara [panah yang ujungnya diberi sêndarèn, alat yang dapat mengeluarkan suara bila bergesekan dengan udara].

    Dalam kisah pertempuran antara Pajang dan Mataram dikisahkan:

    “Namun demikian, para prajurit Mataram telah menunjukkan bahwa mereka adalah prajurit-prajurit pilihan. Dalam jumlah yang jauh lebih kecil, mereka mampu bergeser surut dalam kesatuan yang utuh.

    Demikian pasukan Mataram surut dan turun menyeberangi Kali Opak, maka isyaratpun telah diterbangkan. Panah sêndarèn telah meluncur di langit, mengirimkan perintah kepada mereka yang siap untuk memecahkan bendungan……..”

    Umbul-umbul

    Sebagaimana benda-benda “keramat” lainnya, maka umbul-umbul pun berfungsi sama.

    Di tengah perkebunan Gunung Cikurai, sekitar 15 kilometer sebelah selatan Kota Garut, Mang Iding Solihin, ± 80 tahun, sang kuncen, yang saya kenal, beberapa tahun yang lalu pernah menunjukkan kepada saya beberapa benda yang dikeramatkan seperti keris, bedil, umbul-umbul dan peta kuno, sebuah peta Kerajaan Pajajaran berkain “Boeh Rarang”.
    Benda-benda tersebut disimpan oleh penduduk desa di daerah Gunung Cikurai.

    Dua lipatan kain lusuh seperti kain blacu berupa umbul-umbul yang sudah sangat rapuh, Di masa silam, dia berkisah umbul-umbul itu digunakan saat perang Pajajaran melawan Mataram.

    Salah satu bagian dari umbul itu menampilkan gambar prajurit bertanduk dengan kain jumputan merah menyala, gambar “Ciung Wanara”.

    Dan isyarat yang Mang Iding sampaikan adalah siapa pun yang ingin menyaksikan umbul-umbul kuno ini, maka pantang memakai baju merah. “Pamali,

    Sangat disayangkan benda-benda tersebut tidak boleh dipinjam (tentunya dengan maksud untuk diteliti sejarahnya, dan bila mempunyai nilai sejarah, maka diupayakan penyelamatannya dari kerapuhan.)

    Cermin

    Tidak diketahui dengan pasti sejak kapan cermin digunakan sebagai ”senjata perang”. Dalam kronika Cina, dicatat bahwa Temuchin si Jegnghis Khan (kakek Kubilai Khan) di tahun 1167 telah mempergunakan cermin sebagai alat komunikasi dalam beberapa pertempurannya.

    Dalam episode kepulangan Jengghis Khan, setelah memenangkan pertempuran, dia berpesan kepada salah satu panglima perangnya dan petugas sandinya tentang cermin: “Alat perangku yang paling aku handalkan bukanlah pedang, tombak atau panah, tetapi cermin. Tetapi jangan sekali-kali engkau berikan benda ini pada seorang wanita.”

    Nah…..
    Hiks…. hiks….hiks.
    dan….

    Dongeng masih akan berlanjut. Tapi cantrik bayuaji cukupkan dulu dan…..

    ånå toêtoêgé

    Nuwun

    cantrik bayuaji

    • Nyuwun pangapuntên, kebanyakan bold

      sampun mboten Ki

    • Wedaran kangmas Bayuaji selalu menarik hati. Dados tambah khasanah kulo. Suwun lho kangmas.

  36. Waduh kok nggantung malih to Ki . Menopo sampun wayahe nglokoni kewajiban nggih.

  37. Sudah cukup satu jilid
    monggo pindah ke gandok HLHLP K-02 yang sudah dibuat Ki Arema semalam.

  38. boyongan

  39. golek gandok anyar rung ketemu

  40. ndherek copas hlhlp-119,
    matur nuwun.

  41. Kesasar,alamate palsu po yo? Kang Mbleh, tulong. menopo njenengan pirso,alamatipun hlhlp -118-119…judeg ki.kadung mbekok j.

  42. Nwn Kang Putut Risang infonipun.hananging kulo tesih penasaran… h,,,, sak lajengipun? dos pundi? nunal nunul nganti keju drijine,ora… ketemu2.cen wis tuoki yo griyak2.ning semangat.ngaaattt…

  43. Waduhh… tesmakku ning ndi yo ? mripatki wis kriyap kriyep j.tonjo nnannn…tp namung ngaturaken….Agunging panuwun kagen Kang P R utawi Kang P Satpam.

  44. Ini terusannya mana ya ki..?

    • silahkan baca di petunjuk yang pernah dituliskan di atas: On 12 Mei 2015 at 10:12 P. Satpam said:

      • Maturnuwun ki.satpam , salam sehat slalu buat ki.satpam

        • Baru sekali ini baca HLHLP 119…

          Memang luar biasa Ki Kompor yang kemudian diberi gelar sendiri abiseka Ki Sandikala..

          Saya baca ulang 2x karya Ki Dalang bener2 merupakan “Masterpiece”..👍👍👍

          Beberapa penggemar karya maestro Ki SHM mencoba teruskan ADBM, tapi tak beranjak jauh dari seputar Menoreh. Bahkan hidupkan tokoh2 yang udah mati…😜

          Ada lagi yang bikin tokoh2 bisa terbang ..💤 Tapi Ki Sandikala bener2 sang Maestro malah melebihi Ki SHM, dengan pengembaraan tokoh2nya ke Sumatra, Pasundan, Bali dll👍👍👍

  45. Assalamualaikum,maaf om lanjutan hlhlp 119 nya bisa baca dimana om makasih

  46. Apa mungkin ada lanjutan keperguruan
    Windu jati pak dalang saya jadi penasaran ingin tau kisah hlhlp dgn putra mahkotanya cantrik ngnteni obahe
    pak dalang…. nuwun…


Tinggalkan Balasan ke yudha pramana Batalkan balasan